Jerat [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ina agak lega saat mimpi buruk yang membuatnya terbangun tengah malam dengan kaus lembap yang menempel di kulit, mulai berganti. Dia kembali merasakan tangannya digenggam hangat oleh lelaki tinggi yang tidak terlihat wajahnya. Mereka menuju cahaya matahari yang -entah kenapa- membuat Ina bahagia. Mimpi itu cukup menghiburnya.

Sayangnya, di dunia nyata milik Ina, Martin dan Navid malah membuat segalanya memburuk. Diawali dengan kehadiran Martin di kampusnya yang tidak terduga, membuat Milly dan Uci saling sikut dengan tidak sopannya. Lalu dilanjutkan dengan berbagai ajakan gigih yang makin sulit untuk ditolak. Bukan karena hati Ina berubah dalam artian mulai tertarik pada Martin atau rencana perjodohan ayahnya. Melainkan karena dia didesak sedemikian rupa.

Martin yang pernah menyarankan Ina untuk bersikap santai, mendadak menampakkan niat untuk mendekati gadis itu dengan cukup intens. Ina pernah mengingatkan perbincangan mereka di masa lalu, tapi lelaki itu hanya tergelak santai. Tanpa argumentasi yang bisa memuaskan Ina. Belakangan, gadis itu tahu kalau Martin melakukan semua itu atas seizin ayahnya. Ah, fakta itu saja sudah membuat kepala Ina hampir pecah.

Dan seakan semua itu belum cukup memberi pengalaman horor bagi Ina, Martin melengkapi kengerian. Beberapa kali menghabiskan waktu bersama, Ina jadi tahu lelaki seperti apa sang dokter. Martin sangat suka jelalatan, memindai lawan jenis yang dianggapnya menawan, tanpa sungkan. Namun yang paling parah, lelaki itu juga berusaha dengan gigih untuk ... meraba Ina dalam banyak kesempatan!

"Kita kan bakalan jadi suami istri, tidak perlu canggung begitu, Ina," argumen Martin saat Ina protes keras dan memukul tangan lelaki itu. Komentar lelaki itu membuat emosi Ina pun meninggi. Namun dia menahan diri agar tak memaki Martin dan melontarkan sumpah serapah. Dia tak mau kelak sampai harus menjilat ludah sendiri.

"Bukan soal canggung, Tin. Aku nggak nyaman saja. Tolong jangan meraba-rabaku lagi karena aku nggak suka," kata Ina dengan rahang terasa menegang. "Lagi pula, belum tentu juga kita akan menikah."

Kian lama, semua mirip mimpi buruk yang tak berkesudahan saja. Ina sangat ingin mengadu pada ayahnya, tapi jauh di dalam benaknya dia yakin bahwa Navid takkan memercayai kata-katanya. Pasti sang ayah cuma menganggap Ina sedang merancang fitnah agar tidak diminta menikahi Martin. Dia bahkan tidak berniat memberi tahu Zora dan dua sahabatnya. Untuk apa? Komentar prihatin mereka hanya akan membuat Ina ingin mati.

"Na, kamu yakin mau menikah dengan Martin?" Bahkan Milly pun tampak bergidik. "Maaf ya, bukan karena Martin itu nggak menarik. Dia cukup oke menurutku, dokter pula. Tapiiii kamu seharusnya melihat wajahmu sendiri tiap kali bersama Martin. Tampangmu mirip orang yang sedang menahan mual dan hampir muntah."

Itu pernyataan yang sangat benar. Ina mendesah pelan. Namun dia tak tahu harus bicara apa di depan sahabatnya.

"Iya, kamu tampak tersiksa banget. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya kalau kalian menikah," timpal Uci. "Kurasa, kamu akan memilih tinggal di Kutub Selatan bersama penguin atau malah disuntik mati ketimbang yah...." Uci tak menyelesaikan kalimatnya. Akan tetapi, semua sudah tahu apa maksudnya.

Uci dan Milly mungkin memiliki lidah paling pedas di seluruh Indonesia. Ina pun nyaris setingkat. Sementara Zora lebih kalem. Namun, kedua sahabat si kembar itu bukan orang-orang yang suka berdusta. Mereka terbiasa bicara apa adanya di depan satu sama lain.

Ina panik selama berhari-hari. Gadis itu tidak tahu harus melakukan apa untuk mengembalikan kenormalan hidupnya. Sebelum insiden di Phoebe yang berbuntut panjang. Sebelum ayahnya punya ide genius untuk mengembalikan Zaman Batu di rumah mereka. Sebelum Ina terlibat kecelakaan berbuntut tawaran pernikahan itu. Mengapa kesulitan seolah datang bertubi-tubi ke dalam hidup Ina?

Sore itu Martin kembali mengajak Ina untuk bertemu. Makan malam yang dijadikan kambing hitam. Ina yang benar-benar sudah tidak mampu terus berpura-pura, menolak dengan ketus. Tidak peduli andai nanti dia harus berhadapan dengan Navid. Ina malah memilih untuk pergi ke mal, ditemani Milly. Dia harus mencari kado ulang tahun untuk salah satu tantenya, Zizi. Uci sedang ada jadwal ke dokter gigi dan tak bisa bergabung dengan keduanya. Sementara Zora ada janji dengan Winston.

"Kamu mau beli kado apa sih, Na? Oh ya, masih ada tradisi memberi kado segala, ya? Tantemu itu umurnya berapa, sih? Tantemu nggak mungkin baru berumur lima belas tahun, kan?" oceh Milly.

Ina agak membungkuk, memperhatikan sederet botol parfum yang berjajar rapi. "Empat puluh tiga, kalau aku nggak salah. Kenapa? Memangnya orang uzur tidak boleh dikasih hadiah? Tanteku ini orangnya baik banget, adik mamaku. Dulu, Tante Zizi yang sering mengasuh kami kalau Papa harus ke luar kota atau ke luar negeri."

Milly terkekeh. "Sudah setua itu dan masih bikin pesta ulang tahun? Ckckckck..."

"Hush, jangan berani-beraninya kamu mengejek tanteku, ya!" larang Ina sambil terus menimbang-nimbang. Sepertinya parfum memang pilihan yang tepat untuk hadiah.

"Lho, kamu sendiri barusan bilang...." Milly ikut membungkuk.

Ina menukas, "Itu kan tanteku sendiri, masih dimaklumi kalau aku agak melantur. Tanteku memang sudah tergolong uzur kalau dibandingkan dengan kita."

"Ya ampun! Serius ya sama alasanmu barusan? Kok terdengar teramat sangat tolol?"

Ina mengangkat wajah dan berniat membelalak ke arah Milly saat matanya malah tertuju ke satu objek. Dada Ina mendadak berdebar. Sebuah dorongan impulsif yang tidak mampu dikekangnya pun membuat gadis itu melakukan hal yang tak terduga. Ina meminta Milly memberinya waktu sepuluh menit sebelum berlari dengan tekad bulat.

"Inaaaa, jangan lari dengan sepatu setinggi itu!" Milly memperingatkan dari belakang Ina. Gadis itu buru-buru melambankan langkah, teringat bahwa dia sedang mengenakan sepatu berhak runcing yang bisa membahayakan hidup jika dipakai untuk melakukan sprint. Milly bahkan tidak sempat mengajukan pertanyaan karena Ina keburu melesat.

Ina memastikan matanya mengenali orang yang tepat. Dia tidak mau mempermalukan diri sendiri di depan orang asing. Tambahan rasa jengah seperti itu sungguh tidak dibutuhkan Ina saat ini. Setelah memastikan bahwa punggung yang dilihatnya tadi memang bukan kepunyaan sosok tak dikenal, Ina memberanikan diri memanggil orang tersebut.

Yang dipanggil berbalik, selama dua detik mencari sumber suara, sebelum akhirnya menemukan Ina yang berdiri hanya kurang dari tiga meter di depannya. Mata biru es itu berbintang. Atau, mungkinkah Ina salah lihat?

"Ina?"

Gadis itu mengangguk. Bersyukur karena Alistair masih mengingat namanya. Sebuah nama sempat terbersit tiba-tiba, membuat Ina melirik ke berbagai arah dengan tidak nyaman. Dia sangat lega saat tidak menemukan bayangan Vicky di mana-mana.

"Kamu ada perlu denganku?" tahu-tahu Alistair sudah menjulang di depan Ina. Napas gadis itu seakan tercuri.

"Ina ... iya...." Mendadak, Ina mirip orang dungu karena bicara terbata.

"Hmmm, ada apa? Perlu bicara di tempat yang nyaman?"

Ina menggeleng cepat. Matanya bergerak pelan dan berhenti di kening Alistair. Bekas jahitan meninggalkan garis halus di sana. Ada rasa bersalah karena dia sudah membuat kulit wajah lelaki itu bernoda.

"Aku cuma pengin tahu. Tapi...." Ina mengerjap. Dia baru menyadari bahwa ini kali pertama dia bicara berdua dengan Alistair. Tanpa Vicky, Juno, atau orang tua lelaki itu. Ina sempat melirik kantong berlogo merek kemeja yang ditenteng Alistair.

"Ya? Pengin tahu apa?"

"Kuharap kamu mau menjawab jujur," kata Ina terus terang. "Kamu ... hmmm ... serius mau menikah denganku?"

Alistair mengernyit, mirip seseorang yang terkena serangan penyakit tertentu. Ina sampai cemas, tiba-tiba terpikir jika kata-katanya mungkin membuat kanker otak lelaki itu menyebar hingga ke tumit. Pemikiran bodoh yang buru-buru dibuangnya jauh.

"Itu pertanyaan yang tidak bisa ditanyakan sambil berdiri di tengah lalu lalang pengunjung mal, Ina," balas Alistair dengan suara halus.

Ina merasa bersalah, tapi saat ini dia tidak punya waktu untuk itu. "Aku punya masalah pelik. Kuharap kamu mau bekerja sama. Aku cuma pengin tahu," cetus Ina cepat. Dia memandang berkeliling lagi, cemas jika Milly memergokinya sedang bicara dengan Alistair. Akan ada interogasi panjang yang menantinya jika itu benar-benar terjadi.

Alistair merespons dengan tenang. "Tapi, hal-hal seperti itu tidak bisa ditanyakan dengan cara kasual. Kita harus duduk se...."

Ina mengangkat bahu, antara kecewa dan tidak peduli. "Ya sudah, kalau kamu tidak bersedia menjawab. Selamat sore," Ina berbalik dan meninggalkan Alistair. Namun pergelangan tangan kanannya telanjur dicengkeram seseorang. Tidak kencang, tapi seolah mengalirkan hawa panas yang membuat kuku kaki Ina pun terasa hangat.

"Kok malah pergi, sih? Ayo, kita bicara dulu!" ucap Alistair.

Ina pun berbalik dan kembali berhadapan dengan Alistair. Tanpa sadar tatapannya berhenti di pergelangan tangan kanannya, area di mana jari-jari Alistair melingkar.

"Aku sedang terburu-buru dan harus segera pulang," Ina setengah berdusta. Aku cuma ingin tahu." Matanya mengerjap lagi. "Hmmm ... mungkin aku mengajukan pertanyaan yang salah. Apa ... kamu tahu apa yang ... diminta orang tuamu padaku?" tanya Ina hati-hati. "Soal... menikah..."

"Ya, aku tahu."

Ina mengembuskan napas. "Syukurlah, aku lega mendengarnya. Jadi, apa pendapatmu? Kamu memang bersedia atau tidak? Dipaksa?" Ina melupakan rasa malu yang menghantamnya di saat itu. Lalu, cegukannya yang tidak tahu diri itu pun mendadak muncul.

Alistair menatap Ina selama beberapa detik yang terasa panjang. Gadis itu tidak berani mengerjap atau bernapas karenanya. Dia sangat ingin meninggalkan Alistair, menyadari bahwa mengajak pria itu bicara adalah kesalahan besar. Namun Ina tidak mampu bergerak. Bahkan sekadar melepaskan tangannya dari jari-jari panjang milik lelaki itu.

"Aku tidak dipaksa atau diancam. Aku memang bersedia." Alistair akhirnya menjawab. Mata biru esnya menatap Ina dengan intens. Membuat bulu tangan Ina seolah berdiri. Gadis itu bertanya-tanya sendiri, mengapa lelaki ini bisa membuatnya bereaksi aneh? Padahal, biasanya Ina adalah orang yang kebal untuk hal semacam ini. Dia bukan orang yang gampang terpesona pada pria-pria berwajah menawan, tak seperti Zora.

"Kenapa?"

"Kenapa?" Lelaki itu menyipitkan mata. "Aku anak yang ... patuh. Orang tuaku ingin punya menantu kamu. Dan rasanya aku tidak punya alasan untuk menolak."

Respons Alistair memberi Ina keberanian baru, meski pilihan katanya membuat Ina nyaris mengerang. Anak yang patuh? Tidak punya alasan untuk menolak? Ya ampun, ini tahun berapa ya?

"Memangnya kamu tidak punya pacar? Kok mau saja diminta untuk menikah dengan orang yang nyaris tak dikenal?" tanya Ina dengan berani.

"Kalau punya pacar, aku tak mungkin menerima tawaran orang tuaku. Lagi pula, aku percaya kalau mereka berusaha memilihkan yang terbaik untukku. Paling tidak, orang tuaku mengaku kalau mereka sudah memastikan tentang keluargamu. Minimal, masalah bibit, bobot, dan bebet, kamu sudah memenuhi kualifikasi mereka. Dan aku percaya pada penilaian orang tuaku," sahut Alistair tanpa ragu.

Ina termangu sesaat. Namun dia buru-buru bicara lagi.

"Aku berandai-andai nih. Kalau memang kita jadi menikah, kamu tidak akan ... melakukan hal-hal jahat padaku? Memberiku kebebasan? Yah ... tentunya dalam batas yang wajar. Tidak akan melakukan segala bentuk kekerasan?" Ina membayangkan Martin dan semua kebiasaan mengerikan yang baru diketahuinya. Melirik gadis-gadis, berusaha meraba tubuh Ina. Meski tidak termasuk kategori "kekerasan", tetap membuat Ina bergidik ngeri.

"Kamu yakin mau membicarakan semua itu di sini?"

Ina mengibaskan tangan kirinya yang bebas. "Jawab saja!"

Mungkin Alistair merasa iba melihat gadis di depannya berdiri tidak nyaman dengan wajah memerah dan suara cegukan yang mengganggu. Ina juga memindahkan bobot tubuhnya dari kaki kanan ke kaki kiri dengan canggung. Akhirnya, Alistair bersedia bicara.

"Aku bukan manusia biadab. Aku tidak akan melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai. Aku juga bukan laki-laki otoriter. Apa itu jawaban yang cukup memuaskan."

Mendadak, Ina merasakan tungkainya lemas. Entah karena kata-kata Alistair atau tatapannya yang menghunjam.

Lagu: Menikah (Java Jive)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro