Pasangan Pilihan (Darurat) [3]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gadis itu memperhatikan dengan saksama saat Alistair membolak-balik satu demi satu album foto dengan perhatian penuh. Sesekali bibir penuh kemerahan milik Alistair tersenyum tipis dan matanya berhenti di potret tertentu. Ina tidak pernah tahu ada orang yang ternyata cukup berminat pada album foto orang yang baru dikenalnya. Apakah ini kelainan yang coba disembunyikan Alistair dan tak terdeteksi oleh Avvian? Jika iya, apa nama kelainan ini? Perlukah Ina merasa khawatir?

"Apa ada yang aneh di wajahku?" Pertanyaan itu mengejutkan Ina dan membuat gadis itu pun ternganga mirip orang bodoh.

"Hah?" Ina terlalu kaget untuk melisankan kalimat lain yang lebih elegan atau cerdas.

Alistair mengangkat wajah, tatapan matanya seakan menusuk hingga ke dalam tulang Ina. "Kamu sejak tadi melihatku, kan? Seakan aku ini manusia aneh yang memiliki anatomi yang nggak biasa. Makanya kutanya, apa ada yang aneh di wajahku?" Alistair mengulangi pertanyaannya tadi.

Ina tersenyum, setengah malu dan setengah kesal. Malu karena Alistair menangkap basah apa yang dilakukannya. Kesal karena dirinya begitu ceroboh hingga ketahuan. Mungkin lain kali dia akan megnenakan kacamata super gelap saja supaya lelaki ini tak tahu arah pandangan Ina.

"Aku baru menyadari kalau kamu suka melihat foto," respons Ina asal-asalan.

"Seiring berjalannya waktu, nanti kamu akan menyadari hal-hal lainnya."

Lalu Alistair kembali menekuri foto-foto di depannya. Tidak tahu harus berbuat apa, Ina berpura-pura menyibukkan diri dengan ponselnya. Dia bukan penggemar media sosial, Ina bahkan tidak memiliki akun di Facebook atau Instagram. Namun dia tergolong suka berselancar di dunia maya. Terutama untuk melihat tren sepatu yang sedang diminati.

Selama belasan menit kemudian, Ina diserbu pertanyaan dari hati nuraninya. Mengapa dia membiarkan dirinya terikat pada sesuatu yang tidak diinginkan? Mengapa Ina membiarkan orang lain mengatur hidupnya, terutama pernikahan? Padahal dia menolak mati-matian perjodohan yang ditawarkan sang ayah. Namun takluk pada permintaan Binsar.

Ah, tapi percuma saja menyesali hal-hal itu. Bahkan nasi pun tak cuma berubah menjadi bubur, karena itu sudah terlalu mainstream. Mungkin, dalam kasus Ina, nasi sudah berubah menjadi batu apung. Benar-benar tak ada lagi yang bisa dilakukan gadis itu untuk mengubah semuanya. Dia seakan menandatangani vonis hukuman seumur hidup saat terlibat insiden dengan Alistair di jalan raya.

"Kamu suka bergumam tak jelas atau sedang mengomel diam-diam, sih?" Alistair bersuara lagi. "Atau sedang menyumpahiku?"

"Aku nggak melakukan semua yang kamu tuduhkan itu," sahut Ina. Dia baru menyadari kalau sejak tadi sudah bergumam pada diri sendiri. "Aku sedang bersenandung," sahutnya, berdusta.

Navid dan Binsar bertemu beberapa kali lagi setelah hari itu. Ina berterima kasih karena ayahnya tidak mencereweti si sulung saat tahu Ina memang serius ingin menikah dengan Alistair. Navid hanya pernah mengajaknya bicara satu kali, dengan mata berkaca-kaca yang membuat Ina merasa bersalah setengah mati.

Navid meminta Ina berjanji untuk bahagia. Berjanji untuk menghubungi ayahnya jika sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Navid juga meyakinkan Ina jika Alistair akan membahagiakan putrinya. Karena dia sudah mengenal Binsar dan Claire puluhan tahun, yakin dengan kebaikan, kejujuran. dan ketulusan pasangan itu. Navid berharap Alistair mewarisi hal itu. Tampaknya, Alistair sudah merengkuh hati Navid demikian besar.

"Iya, Pa. Doakan aku semoga memang nggak salah pilih pasangan," sahut Ina.

Kehebohan terbesar yang harus dihadapi Ina justru berasal dari Milly dan Uci. Keduanya mengajukan protes keras karena merasa dikhianati. Sebab, Ina tak memberi tahu mereka tentang hubungannya dengan Alistair.

"Bagaimana bisa kamu tiba-tiba pengin menikah tanpa ada gejala apa pun? Kalaupun akan menikah, kukira bersama Martin, bukan laki-laki setengah bule," omel Milly lugas.

"Ini bukan penyakit, Milly. Mustahil ada gejala," balas Ina kalem.

"Tapi Na, ini memang kelewatan. Kamu merahasiakan sesuatu yang haram untuk disembunyikan. Ini kan kabar bahagia, kok malah diam-diam, sih? Atau ... kamu takut kalau ada di antara kami yang juga berminat sama pacarmu itu?" Itu komentar Milly yang menunggu giliran untuk menyerang Ina.

Pipi Ina menghangat mendengar kata "pacarmu" yang diucapkan dengan nada penuh tuduhan itu.

"Kalian berdua, percuma mengomel. Aku, saudara kembarnya, juga tidak tahu apa-apa. Jadi, jangan terlalu heran," Zora menimpali. "Aku sebenarnya pengin mencekik Ina. Tapi berhubung cuma dia saudaraku satu-satunya ... apa boleh buat. Aku belum siap ditinggalkan sebatang kara di dunia yang kejam ini."

Milly menggeleng dengan sikap membangkang, tanda tidak menyetujui kalimat Zora. "Ini ... tidak masuk akal. Terlalu ... entahlah. Tapi rasanya aku sulit percaya kalau salah satu sahabatku akan menikah secepat ini. Ina, apa kamu yakin kalau kalian sudah cukup saling kenal?" Milly kini malah tampak cemas.

Perhatian yang tercermin lewat kata-kata Milly itu meremas hati Ina. Menegarkan diri, dia cuma menepuk bahu sahabatnya dua kali. "Doakan saja aku. Oke?"

Ketika mereka hanya berdua, Milly buru-buru memberondong Ina dengan banyak pertanyaan. Terutama, kaitan antara tugas yang diberikan Alvian dengan sosok Alistair. Gadis itu curiga jika keduanya memang berhubungan. Namun, sudah pasti Ina menolak mati-matian meski untuk itu tabungan dosanya kian bertambah. Dia terlalu sering berbohong sejak megnenal Alistair dan keluarganya.

"Aku minta tolong Alvian itu untuk urusan lain. Sudahlah Mill, jangan nanya melulu. Pokoknya, bukan sesuatu yang membahayakan, kok!" sahut Ina. Dia lega karena akhirnya Milly terkesan percaya dengan kata-katanya.

Segala "kekacauan" yang diakibatkan oleh sebuah pernikahan, tidak sempat benar-benar menyita konsentrasi Ina. Katering, tempat resepsi, gaun, cincin pengantin, bunga, semua sudah diurus. Ina cuma perlu menyiapkan mentalnya. Padahal, justru itu yang paling berat untuk gadis itu.

Betapa waktu seperti terbang begitu saja. Ina seakan tidak benar-benar menjejakkan kaki di tanah, semua yang terjadi mengabur di depan matanya. Ina lebih mirip sedang berada di balik tirai lumayan tebal. Dari tempat itu dia mengamati apa yang sedang terjadi. Tidak merasa benar-benar terlibat.

Gadis muda yang sedang memakai gaun pengantin indah itu bukan dirinya. Alistair mengucapkan janji di depan manusia dan Tuhan, janji untuk perempuan lain yang bukan dirinya. Resepsi yang kemudian digelar di satu ballroom hotel milik keluarga Damanik itu bukan keriaan yang dipersembahkan untuk dirinya. Intinya, hari pernikahan itu bukanlah hari bahagianya.

"Papa harap, kamu benar-benar bahagia, Inanna Grace. Jadilah istri yang baik, kurangi keras kepalamu, Nak. Jangan selalu membantah pada suamimu. Banyak bersabar karena menikah itu nggak pernah gampang. Orang butuh banyak waktu untuk menyesuaikan diri setelah menjadi suami istri. Kamu harus berubah lebih dewasa, Na. Kamu nggak boleh lagi keluyuran seenaknya," petuah Navid yang diulangi entah berapa puluh kali.

"Iya, Pa," sahut Ina. Meski dia begitu sedih karena akan meninggalkan ayah dan adiknya serta menjadi istri pria yang nyaris tak dikenalnya, Ina harus menelan tangisnya.

Harusnya Ina merasa tersinggung karena sudah dimanfaatkan, sengaja atau tidak. Semestinya Ina juga melihat jalan keluar yang tidak akan menyeretnya ke dalam pernikahan itu. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Apa pun alasannya, dia sudah mengikatkan diri pada hubungan yang tidak benar-benar dikehendaki.

Ina dengan sangat sadar sudah menjemput dunia asing yang berisiko tinggi akan memberikannya banyak kepahitan dan kekecewaan. Yang paling fatal dari semua itu adalah, Ina akhirnya tanpa keberatan berarti sudah membubuhkan tanda tangannya di sebuah perjanjian pranikah. Perjanjian yang mengharamkan perpisahan di antara kedua mempelai. Kecuali maut yang menjadi biang keladinya. Jika tidak, potensi kerumitan akan menenggelamkan hidup Ina.

Gadis itu memaknainya seperti itu karena dokumen itu memastikan jika Ina tidak akan mendapat keuntungan apa pun jika menginginkan perceraian. Tidak hanya di bidang finansial. Jika pernikahan mereka membuahkan anak, maka hak asuh jatuh di tangan Alistair.

Ina menilai dirinya bukan tergolong kelompok cewek materialistis. Dia terbiasa dengan uang, tidak mudah silau. Yang menyilaukan bagi matanya cuma sepatu. Logikanya, Ina akan merasa tersinggung. Begitu banyak yang dipaksakan kepadanya. Juga persiapan serbacepat yang membuatnya sempat dituding menikah karena sudah hamil. Namun di sisi lain Ina menilainya sebagai bentuk kasih sayang pasangan Damanik kepada Alistair. Mereka ingin memastikan putra tercintanya ditemani hingga napas terakhirnya.

"Alistair itu luar biasa beruntung karena memiliki orang tua yang sangat menyayanginya. Bukan bermaksud mengeluh, Papa juga sangat menyayangiku. Bahkan agak berlebihan dalam memanjakanku dan Zora. Tapi, Alistair masih memiliki orang tua lengkap. Sementara aku, cuma satu. Andai aku masih punya Mama, mungkin aku nggak perlu menikah tanpa cinta kayak begini. Mama pasti akan membelaku walau harus berhadapan dengan Papa," gumam Ina pada dirinya sendiri.

"Atau saat aku digosipkan menikah buru-buru karena hamil. Duh, betapa jahatnya orang-orang ini. Mama pasti akan membungkam mulut mereka kalau masih ada. Bagaimana bisa hamil kalau aku dan Alistair nggak pernah melakukan apa pun? Kecuali saling pandang dengan Alistair sama seperti proses reproduksi."

Kadang Ina sangat ingin membela diri dan membungkam mulut-mulut sinis yang tidak akan pernah puas sebelum lelah bergosip. Namun kemudian Ina memilih mengabaikan itu semua. Termasuk kecurigaan dari Zora. Gadis itu cuma memelototi adiknya tanpa bersedia memberi konfirmasi.

"Silakan kamu hitung, kapan aku menikah dan kapan aku punya anak nantinya," cetusnya galak. Meski Ina sangat yakin kalau dia tidak akan pernah memiliki buah hati. Apa yang diketahuinya tentang mengasuh seorang anak? Apa yang diketahuinya tentang ketertarikan antara pasangan suami dan istri? Tidak ada. Nol raksasa.

Ada banyak "seharusnya" yang mampu membuat Ina mundur sebelum pernikahan. Namun dia tidak melakukan itu. Bahkan Ina sendiri pun curiga, jangan-jangan dia memang tidak merasa terpaksa menjalani itu semua. Apakah karena mata berwarna biru es itu? Entahlah, jawabannya belum berhasil ditemukan.


Lagu : Semua Jadi Satu (Malyda)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro