1* End of Autumn

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Musim gugur telah berakhir. Dan yang menyambutku setelah ini adalah masa-masa ujian try out dan UAS. Sebuah fase menegangkan bagai rollercoaster dalam kehidupan anak sekolahan sepertiku.

Tapi, ada yang lebih menegangkan.

"Makaira Momoki."

Ya, itulah yang situasi menegangkan yang kusebut barusan. Ketika nama murid dipanggil secara lengkap seusai ambil absen, itu artinya pertanda buruk. Sudah hampir dua tahun berjalan, aku masih tidak terbiasa dengan nama Jepang-ku.

Tanpa harus bertanya atau menerima kertas ulangan, aku yakin seratus persen nilai pada selembar kertas itu sangat mengenaskan. Aku bisa melihat tinta merah tembus di belakangnya.

"Sebentar lagi TO akan dimulai dan kau masih saja mendapat nilai jelek. Itu hanya persamaan dasar materi kelas satu yang diulas kembali. Sensei rasa kau harus mendaftar bimbel, Makaira."

Satu kelas tertawa kencang, kecuali beberapa orang kalem dan partner bangkuku, Toshimiro Sanyui.

Aku menghela napas singkat. "Baik, Sensei," kataku menerima kertas hasil ulanganku. Mataku silau dengan angka 15 tertera di atasnya. Aku hanya betul satu dan 5 nilai kasihan? Sakitnya.

"Pelajari lagi. Kita remedi sabtu depan. Belajar yang benar-benar belajar. Jangan menonton drakor di tengah-tengah pelajaran lagi!" katanya tajam.

Aku mengangguk lesu. Nilaiku sangat mengerikan, bikin sakit mata. Aku harus belajar dan memperbaikinya.

Tapi mengorbankan aktivitas fangirling... membuatku berpikir dua kali.

Grakk!! Perhatian semua penghuni kelas yang tadinya tertuju padaku, berganti haluan ke seseorang yang baru datang. Orang itu pasti sudah gila masih berani datang ke sekolah karena bel pulang akan berbunyi dalam lima menit lagi.

"Sakuni, kau kira sekarang jam berapa?"

Dia santai menatap jam dinding. "Pukul satu siang. Gomen, Sensei. Aku ketiduran."

"Sudah tahu kesiangan, lantas kenapa..." Kulihat beliau mematahkan pensilnya. Auranya meruncing seperti duri landak. "Kenapa kau masih pede masuk kelas?!"

Kuni cengengesan, tidak merasa bersalah. "Sensei kemarin bilang hari ini pertukaran bangku. Aku harus hadir."

Tuh anak nyalinya gede banget. Apa dia tidak peka akan wajah garang sensei yang hendak menerkamnya bulat-bulat?

Tahu ah. Aku mengedikkan bahu, menyurukkan kertas ulanganku ke tas.

Urat-urat leher beliau bertimbulan, tersenyum jengkel. "Oh, benar. Hampir saja saya lupa. Kalau begitu Yishitori dan Makaira duduk di barisan depan."

Yah, duduk di depan... Tunggu, apa?!

"Sensei! Kok saya dipasangin sama Kuni sih?" Aku berseru tak percaya. Pasti telingaku salah dengar barusan.

"Masih bertanya? Itu karena kalian berdua murid paling bermasalah di kelas ini! Yang satu sering kedapatan nonton Korea, satu lagi sangat PEMALAS. Bagus, kalian pasangan paling brilian di sini."

Aku meringis, terskakmat.

"Saya tidak menerima komplain bentuk apa pun. Dengan duduk paling depan, guru-guru bisa mengawasi kalian. Yang lain bebas memilih teman sebangku."

Beliau pun meninggalkan kelas beriringan dengan berbunyinya bel pulang.

Teman-teman sekelas mengemas tas mereka, bersiap-siap pulang. Aku masih merungut sebal di kursi baruku, meratapi ketidakadilan yang menimpaku.

"Sepertinya mulai besok kita akan jadi partner, Momoki." Kuni menceletuk, duduk di sebelahku. "Hmm, ternyata tidak buruk juga melihat papan tulis dari sini."

Aku diam saja. Aku masih mager untuk bergerak pulang. Lima menit lagi deh...

"Hei, apa kau tidak sesuka itu satu bangku denganku? Aku juga tidak mengerti apa yang dipikirkan sensei. Aku sudah nyaman di barisan belakang."

Aku menolehkan kepala. "Selamat."

Kuni mengernyit. "Selamat? Untuk apa?"

"Murid cerewet kedua telah lahir."

.

.

Aku dan Yui menunggu bus di halte seperti biasa. Kami lebih suka naik bus daripada kereta karena belakangan ini banyak berita pelecehan seksual terhadap pelajar di gerbong. Mau tak mau kami sedia payung sebelum hujan.

"Makaira-san, maksudku Verdandi," ralat Yui membuka topik obrolan. Temanku itu mengerti aku tidak suka dengan nama Jepang-ku. "Aku mau bertanya sesuatu. Tapi janji dulu kau jangan marah. Oke?"

"Baiklah, janji. Mau tanya apa?"

"Apa kau ada hubungan spesial dengan Kuni-kun? Akhir-akhir ini kulihat dia terus memperhatikanmu. Tidak fokus belajar, sibuk menulis apalah. Aku yakin dia senang sebangku denganmu."

Hah? Aku ingin tertawa keras demi mendengar pertanyaan absurd Yui. Aku sama si pembuat masalah itu punya hubungan something? Yang benar saja! Aku masih punya akal sehat supaya tidak bermain-main dengan Kuni.

"Tidak ada apa-apa di antara kami, Yui," ucapku dengan suara dan sorot mata datar. "Aku pasti gila berhubungan dengan si biang kerok. Amit-amit deh."

"Begitu? Tapi kalian pakai kalung rantai yang sama lho kayak orang couplean."

Aku buru-buru menyembunyikan kalung itu ke dalam seragam. "Kebetulan saja kami beli kalungnya di toko yang sama."

"Jadi begitu..." Yui mengulum senyum, malu-malu. Satu alisku naik ke atas, bingung dengan reaksinya. Kenapa kedua pipinya memerah? Tunggu, mungkinkah?!

"Yui, kau jangan-jangan... Tidak, kan?"

Harapanku sirna. Gadis itu mengangguk, menangkup mukanya yang makin merona. "Sebenarnya aku suka dengan Kuni-kun!"

"SERIUS? KOK BISA?!" Orang-orang di halte menatap kami sebal, terusik dengan suaraku yang terbilang keras. Aku menyengir kikuk, maaf, mengecilkan volume suara. "Sanyui-san, kita sedang membicarakan Yishitori Sakuni. Lelaki yang gemar cari perhatian dengan cara mau bunuh diri. Dia itu pembuat masalah. Bagaimana mungkin kau yang atas di rata-rata ini suka modelan kayak Kuni."

Yui menampakkan wajahnya kembali. "Kau tahu kan Dandi, Kuni-kun tidak lagi mencoba untuk bunuh diri. Dia... bersungguh-sungguh melanjutkan hidup. Sepertinya Kuni-kun sudah mendapatkan apa yang dia inginkan deh. Aku suka semenjak dia aktif dalam sekolah."

Apa? Mengajak preman pentolan berantem, tidak berpakaian rapi, kadang masuk kelas kadang membolos, membuat semua guru sakit kepala, itu yang dia sebut 'aktif sekolah'? Aku tidak paham bagaimana cara sistem otak Yui bekerja.

"Kau sudah dengar rumor Kuni-kun?"

Aku mengangguk. Bertebar desas-desus yang mengatakan kalau Kuni sebenarnya tidak bodoh sama sekali. Yui pernah melihat Kuni bertanya di pelajaran tertentu yang membuat guru-guru terdiam dengan pertanyaannya.

"Banyak rumor tentang Kuni-kun suka membuat boneka mainan yang dijejalkan perangkat elektronik dan sebagainya. Kuni-kun mencintai penelitian."

Aku menghela napas panjang, bangkit dari posisi duduk. Bus sudah datang. "Yui, apa pun rumornya, jangan terlalu percaya. Kuni hanya cowok yang suka mengajak ribut dengan para senpai."

"Eh, Verdandi. Tungguin aku dong!"

*

Kami pun berpisah di halte berikutnya. Rumah Yui jauh dari sekolah. Katanya, dia harus melewati tiga pemberhentian. Biaya ongkos perjalanan pasti mahal.

Astaga! Aku lengah. Pagar kayu rumah terbuka sendiri sebelum aku sempat menyentuhnya membuatku waspada menoleh ke sekeliling. Fiuh! Tidak ada yang memperhatikan. Hari ini sepi.

"Dandi pulang!" seruku melempar tas sekolah, membanting tubuh ke sofa. Tak ada tempat sebaik rumah tercinta.

Mama muncul dari dapur, bersedekap. "Kau ini kebiasaan sekali pulang tidak ganti seragam dulu malah rebahan."

Aku menyengir, salam dua jari, membuka Mestagram untuk melihat status terbaru biasku. "Maehwa sedang apa ya? Latihan untuk festival musik akhir tahun? Ufu~!"

"Nanti saja rebahannya." Mama menyodorkan sebungkus bento bertingkat. "Antar ini ke tetangga kita. Kasihan orangtuanya pulang larut malam mulu. Anak mereka pasti cuma makan makanan instan. Dia teman sekelasmu, kan?"

"Okie-dokie," sahutku segera berdiri. Kebetulan aku juga mau main ke sana.

Aku ganti baju dengan cepat, menguncir rambut putihku yang bergelombang. Tidak usah tampil terlalu bagus. Toh, aku bukannya mau menghadiri konser.

"Dandi pergi dulu."

Kehidupanku di bumi terus berlanjut.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro