11. Nadine's Boyfriend

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nadine bareng Kak Sangga."

Aku melepas earphone dan menutup binder bersampul cokelat. Kulirik beberapa teman sekelas yang mulai berbisik-bisik, tetapi cukup keras. Itu pasti karena mereka menangkap sesuatu yang enggak biasa pagi ini.

Senyum lebar pun enggak ragu-ragu kuperlihatkan ketika Nadine muncul dari balik pintu. Gadis itu masih memamerkan wajah datar, seakan enggak mau merespons tatapan heran beberapa mata yang sempat menciduk dirinya berangkat ke kampus bareng Kak Sangga.

"Gimana? Keren enggak rencanaku?" Tentu saja rencana itu disusun olehku. Semalam aku mengirim pesan untuk Kak Sangga, memintanya menjemput Nadine. Padahal aku agak sangsi karena Kak Sangga pasti enggak bakal langsung manut, tetapi perkiraanku melesat jauh.

"Keren apa? Kamu ini niat bantu aku enggak, sih? Aku bilang kalau aku enggak mau dijemput. Kak Sangga dateng ke rumahku pagi-pagi banget, mama sama papa sampai kaget tau!" Nadine malah mengomel dan duduk di sampingku.

"Bagus, dong. Tadi ketemu Renaldi enggak? Orang-orang pasti mikir kalau sekarang kamu dan Kak Sangga lagi deket. Enggak lama lagi, Renaldi bakal kebakaran jenggot," tuturku.

Nadine mengibaskan tangan di depan wajah. "Minggu depan Renaldi ada acara camp sama temen-temennya di Kerandangan. Kita ke sana."

"Kok, kamu tahu?"

"Aku udah ngitung harinya. Ini sebenernya rencana dari bulan lalu, tapi ditunda terus. Semalam juga aku tanya Tika, temennya Renaldi. Utari juga mau diajak, tuh, katanya."

Sementata Nadine sibuk berceloteh, aku memandangnya lamat-lamat. Apa perasaannya sebesar itu kepada Renaldi, sehingga meskipun dia tampak ceria seakan-akan sudah bahagia, tetapi sebenarnya hanya berpura-pura dan masih mencinta?

Enggak ada yang tahu isi hati seseorang. Namun, sebagai orang yang cukup dekat dengan Nadine dan sebagai sesama perempuan, aku tahu Nadine masih menyayangi Renaldi. Walaupun aku enggak paham tetek-bengek percintaan, tetapi seengaknya aku bisa merasakan patah hati seorang Nadine.

"Nad, kamu baik-baik aja, kan?" tanyaku.

"Enggak tahu. Semalem aku enggak bisa tidur, Al. Kejadian di Bale Coffee bikin aku benci sama Renaldi. Dia teriak-teriak di depanku, bilang kalau aku enggak usah muncul lagi di hadapan dia. Minta aku buat berhenti ganggu dia. Tahu apa yang paling bikin aku ngerasa sakit?

"Renaldi bertingkah seakan kami enggak pernah sedekat itu. Seolah-olah aku kayak stalker yang ganggu dia di sosial media dan kehidupan pribadinya. Aku emang enggak semenarik itu, Al? Bedanya aku sama Utari apa, sih? Emangnya Renaldi mampu kalau enggak sama aku? Uang indekos sama uang SPP aja sempat aku yang tanggung."

Sementara Nadine bersuara, aku kembali memikirkan perkataan Utari tempo hari. Nadine memang terlalu baik dan membantu kami. Bukan hanya kami sebenarnya, tetapi Nadine tipe orang yang suka membantu orang lain. Aku menjadi takut kalau kebaikan Nadine dimanfaatkan dan lama-lama Nadine juga akan pongah, terus mengungkit-ungkit kebaikannya.

"Al, coba lihat aku! Apa beda aku sama Utari? Sampai Renaldi sekarang lebih milik bocah itu."

"Nadine ... jangan membandingkan diri kamu sama orang lain." Aku menatapnya beberapa detik, lalu mengulas senyum hanya agar Nadine enggak lagi bersikap seperti itu. Bahwa Nadine hanyalah, Nadine. Bukan Utari. Begitu juga sebaliknya. "Fokus sama tujuan kamu sekarang, katanya mau bikin Renaldi menyesal. Lagian, kamu udah ada pacar ...."

"Kamu punya pacar, Nad?"

Suara seseorang membuat kalimatku mengawang. Seorang cowok bertubuh kurus berkaos hitam baru saja melintas dan memandang heran ke arah kami.

"Enggak," balas Nadine cuek.

"Masa, iya? Katanya pagi ini kamu berangkat sama Bang Sangga. Pacarmu Bang Sangga, ya?" tanya Asa, cowok yang baru saja melintas di hadapan kami.

"Jangan sembarangan ngomong, ya." Nadine meraih binder-ku dan memukul Asa yang menggeleng, kemudian berlalu mencari kursi kosong.

"Bagus, Nad. Bentar lagi Renaldi pasti sadar kalau kamu lagi deket sama Kak Sangga. Sering-sering bareng aja, biar Renaldi ketar-ketir," bisikku dan hal itu membuat Nadine melotot murka.

//Boyforrent.com//

"Al, berkas laporan sementaranya udah kamu kirim?" Seorang cewek mendekat ketika aku baru saja menjatuhkan bokong di kursi selasar gedung rektorat yang adem.

Siang itu aku sedang menemani Nadine yang kebetulan ada urusan di sana. Aku enggak tahu pasti, tetapi ada cowok bertubuh kurus dengan kulit putih bersih baru saja menemani Nadine berjalan menuju ruang SPI. Cowok yang tadi sempat diperkenalkan Nadine sebagai Kak Danny.

"Iya, tadi aku udah kirim, kok. Cuma belum direspons Kak Sangga. Tunggu aja, nanti aku kabari."

Rima, perempuan berambut ikal itu mengulas senyum sambil mengangguk. "Ehm, boleh minta tolong enggak, Al?" Dia berucap tampak ragu-ragu.

"Iya, gimana?"

"Kamu satu kelompok sama aku juga buat yang minggu depan di Bu Diyah, kan? Ehm, bentar lagi aku ada acara ORASI BASMI, kamu bisa ini enggak, bikin makalah sama power point-nya." Rima memandangku dengan wajah penuh harap. Jelas sekali kalau dia sebenarnya takut merepotkan, tetapi mungkin karena memang aku yang enggak pernah bisa membatasi diri dan mengiyakan ucapan orang lain, semua orang menjadi begitu enggak segan.

"Eh, emang perginya kapan?" tanyaku.

"Besok. Enggak lama, kok. Paling tiga hari."

"Oh, oke. Nanti aku yang buat, tenang aja."

Rima hampir saja berteriak dan meraih tanganku karena kesenangan. Setelah mengucapkan terima kasih berkali-kali, Rima berlalu meninggalkanku menuju area parkir di samping gedung FKIP. Aku memandang tubuhnya yang semampai dan ramping. Dalam hati, ada yang meringis miris.

Lagi-lagi begini.

Enggak mau memikirkannya, aku membuka aplikasi WhatsApp untuk mengecek balasan Kak Sangga. Namun, sudah setengah jam berlalu sejak kukirim berkas, enggak ada balasan apa pun. Tumben.

"Biasanya juga enggak begini. Paling lama juga juga tiga puluh menit. Apa Kak Sangga sibuk?" gumamku.

Sambil mengecek ponsel, aku enggak sengaja melihat story WhatsApp Utari. Tampak adik tiriku itu mengunggah sebuah foto bersama Renaldi. Cowok berambut gondrong itu dengan enteng merangkul Utari sambil tersenyum bahagia.

"Kamu kelihatan bahagia, Tar. Tapi, aku terlalu takut kamu kenapa-kenapa."

"Ala?"

Sebuah suara menginstruksi tatapanku untuk mengarah ke sana. Kontan saja ponsel yang tadi menyala langsung kumatikan. Entah sejak kapan Nadine berdiri di sana, bersama cowok yang kukenal sebagai Kak Danny. Tampaknya teman satu UKM Nadine. Wajah Nadine terlihat ketus, bisa kupastikan bahwa dia melihat apa yang tadi ditampilkan pada layar ponsel.

"Em, udah kelar?" tanyaku.

"Udah. Ayo, balik. Mau aku antar ke kos atau kita makan dulu?" Nadine melirikku dan sesekali menoleh pada Kak Danny yang sibuk menggulir ponsel sambil menahan beberapa lembar kertas di tangannya agar enggak terjatuh.

"Balik aja, deh. Abis ini mau benerin revisi dari Kak Sangga. Dari pacarmu." Aku menggoda Nadine sambil terkekeh. Ucapan yang sukses menyita perhatian Kak Danny.

"Oh, kamu pacaran sama Sangga, Nad?" tanya Kak Danny.

"Enggak. Ih, Ala suka bercanda, kok." Nadine menyenggol lenganku yang sebenarnya enggak peduli karena aku suka menggoda Nadine.

"Pacaran, kok. Orang tadi berangkatnya bareng," cetusku sambil menaik-turunkan alis.

Kak Danny menatap Nadine. Makin menjadi-jadi tatapanya, meminta penjelasan. "Sangga itu anaknya jarang mau cerita masalah pribadi. Tau punya cewek aja, enggak. Jangan-jangan bener apa kata Ala?"

"Kak Danny kenal Kak Sangga?" tanyaku.

"Kami satu kos. Nanti kapan-kapan kamu ikut main ke kos sama Nadine. Sekarang Nadine tujuannya bukan buat main dan ketemu anak-anak BASMI aja, tapi ketemu pacarnya." Aku nyaris tergelak karena Kak Danny ikut-ikutan menggoda Nadine.

Sementara Nadine terus mencak-mencak enggak terima. "Bukan! Aku bilang bukan, bukan, ih. Ayo, Al. Kita pergi aja, lama-lama kamu sama Kak Danny kalau disatuin jadi ngeselin," kata Nadine sambil menarik tanganku untuk menjauh dari sana.

Aku tergelak puas setelah kami berhasil menjauh dari Kak Danny. Nadine hanya bisa cemberut sambil memanyun-manyunkan bibir. Tawaku reda ketika kami berpapasan dengan Utari di selasar gedung fakultas.

Kontan saja Nadine membuang muka, melewati Utari begitu saja. Enggak seperti dulu, ketika kami berpapasan, Nadine dan Utari akan saling menyapa. Sekarang, semua berbeda. Hanya karena satu cowok. Hanya karena pengkhianatan Utari dan Renaldi.

"Kak Ala, Kak Nadine benaran pacaran sama Kak Sangga?" tanya Utari.

"Kenapa? Mau kamu embat juga?"

Utari menggeleng, "baguslah. Kak Nadine enggak perlu lagi ngejar-ngejar Kak Renaldi."


SPI (Satuan Pengawasan Internal): organ universitas yang melakukan pengawasan non akademik untuk dan atas nama rektor.
ORASI BASMI: Orientasi dan Apresiasi Seni, kegiatan rutin (orientasi) untuk anggota muda.

cmiiw😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro