13. Beautiful Alamanda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alamanda Madya.

Katanya, namaku terinspirasi dari si cantik Allamanda chathartica. Aku enggak tahu pasti, tetapi kata Ayah, dahulu rumah kami banyak dihiasi bunga Allamanda. Warnanya yang kuning tampak cantik di mata almarhumah Ibu. Kata Ayah juga, Ibu sangat suka melihat bunga Allamanda. Katanya, Allamanda punya banyak manfaat. Entah dari bunga, daun, akar, dan hal sekecil getahnya yang putih.

Aku enggak banyak tahu tentang ini. Tentang mengapa Ibu begitu mencintai bunga Allamanda. Namun, setelah aku mencoba memasuki 'dunia ibu', ternyata memang alam adalah sesuatu yang menjanjikan keindahan. Ketika aku memutuskan untuk mengikuti jejak Ibu sebagai seorang yang bergelut di bidang pendidikan dan sains, aku memahami sesuatu, bahwa mempelajari makhluk hidup itu sesuatu yang sangat menyenangkan.

Beralih pada bunga Allamanda. Kata Ibu, si cantik berwarna kuning memiliki banyak manfaat. Maka, dari sanalah terpikir sebuah nama untuk putri kecil mereka, Alamanda Madya. Berharap agar kelak seorang Alamanda bisa bermanfaat bagi orang lain. Tumbuh menjadi sosok yang cantik, ceria seumpama warna kuning bunga Allamanda.

Lalu, berdirilah aku. Alamanda Madya yang kini berusaha agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Melewati segalanya dengan ceria. Meski beberapa bulan telah lewat dari kabar duka. Luka itu masih ada, kehilangan masih terasa, tetapi aku Alamanda, sosok yang tetap ceria.

Baiklah. Sedih enggak perlu diumbar, bahagia juga jangan terlalu berlebihan. Aku di sini duduk sebagai pengamat, kadang-kadang enggak paham dengan posisiku. Apakah aku seorang karakter utama dalam skenario Tuhan? Atau hanya piguran yang numpang eksis dan enggak punya peran?

Katanya, kita adalah pemeran utama dalam hidup yang dijalani. Namun, kini aku merasa seperti tokoh pendamping yang siap menemani sang tokoh utama dalam keadaan apa pun.

Siapa dia?

Ya, sosok yang sekarang mengomel di depanku.

"Niat kerja enggak, sih? Kalau tahu begini, sia-sia aku buang uang buat nyewa jasa rental pacar sialan." Nadine menggerutu sepanjang hari.

Hari ini harusnya dia kencan sama Kak Sangga, tetapi sudah empat hari terlewat dan Kak Sangga belum kembali dari kegiatannya. Hari ini rencananya Nadine akan meminta Kak Sangga mengantarnya ke Taman Budaya karena ada acara pentas seni. Nadine bersikukuh untuk pergi karena Renaldi juga akan datang.

Aku enggak tahu pasti dari mana Nadine tahu jadwal Renaldi. Namun, bisa dipastikan bahwa Nadine memang masih sering stalking mantan.

"Nanti aja ngomelnya sama Kak Sangga. Jangan di depan aku. Mana aku lagi pusing," sambil memijat-mijat kening, aku melirik Nadine dengan sewot.

Sejak kedatangannya, lembar kerja Ms. Excel di layar laptop masih kosong melompong tanpa data. Tugas Statistika yang kutargetkan jadi hari ini, mendadak molor karena Nadine yang datang misuh-misuh. Aku menyingkirkan laptop, merasa bahwa memang tugasku enggak akan selesai kalau Nadine masih di sini.

"Ini udah empat hari lewat, mungkin dia udah balik. Coba kamu telpon," ucapku memberi saran.

"Ogah! Emangnya dia sepenting itu?"

Aku menghela napas, kalau sudah begini, aku enggak tahu harus membujuk Nadine dengan cara apa. Kalian perlu tahu juga kalau Nadine itu cukup memiliki gengsi yang menggunung.

"Ya, udah. Nanti aku yang temenin ke Taman Budaya, deh."

"Ih, harusnya dia. Nih, bukannya aku kepengin banget pergi sama Kak Sangga. Cuma ... cuma ini tugas dia, kenapa lalai banget, sih? Kalau sibuk kenapa harus kerja di situs itu coba?" Nadine mengomel lagi setelah memoles bibirnya dengan liptint dan parfum beraroma vanilla miliknya langsung menguar di seluruh ruangan. Aku sampai terbatuk-batuk. "Ala, coba kamu aja yang telpon."

"Aku? Enggak enak, ah. Masa aku yang telpon Kak Sangga."

"Ya, karena kamu sekarang makin akrab sama dia. Aku minta tolong, ya. Please, please!" Nadine bahkan sampai memohon-mohon dengan cara menempelkan kedua telapak tangannya.

Aku terdiam sejenak. Permintaan yang entah ke berapa kali. Hatiku berteriak enggak, tetapi bibirku berkata iya. Tepat ketika Nadine memanyun-manyunkan bibir sambil menatap penuh harap.

Senyum semringah pun tak pelak hadir dari bibirnya yang kemerahan. Dengan gerakan super malas, aku mengambil ponsel yang terbaring di dekat laptop. Aku agak ragu-ragu menekan nomor Kak Sangga, tetapi Nadine terus mengawasi. Akhirnya, aku meruntuhkan segala gengsi cuma buat Nadine. Aku menelepon Kak Sangga untuk pertama kalinya.

"Enggak diangkat. Aku matiin ...."

"Ih, baru juga ditelpon. Bentar, tunggu dulu," sergah Nadine.

Padahal aku sudah ingin segera mengakhiri panggilan. Namun, beberapa detik kemudian, panggilan tersambung. Suara ribut-ribut terdengar dari seberang sana. Suara gitar dipetik, seseorang bernyanyi, dan klakson-klakson kendaraan yang bikin sakit telinga.

"Kenapa Ala?" Suara Kak Sangga terdengar. Aku mematung sebentar dan menyerahkan ponsel kepada Nadine, tetapi gadis itu menolak. Sial. Aku lagi, aku lagi!

"Kak, maaf mengganggu. Tapi, Nadine ... eh, maksudnya, Kak Sangga enggak lupa kalau malam ini ada acara sama Nadine, kan?"

"Saya lupa. Ganti sama acara minggu depan aja, ya? Saya enggak bisa hari ini. Baru pulang juga, agak capek. Enggak masalah?"

Wajah Nadine auto cemberut dan sudah jelas tampak ingin mengumpat dan mengomeli Kak Sangga, tetapi entah apa yang membuat Nadine menahannya.

"Gimana, Ala? Nadine ada di sana? Sini biar saya yang bicara."

Nadine membentuk tangannya seperti huruf X. Artinya dia menolak. "Enggak ada, Kak. Besok aja ngomongnya."

"Oke. Besok saya yang ngomong sama Nadine. Kalau begitu saya tutup, mau istirahat."

Sambungan terputus. Nadine dan aku sama-sama saling pandang. Mau istirahat di tengah-tengah suara ribut? Nadine makin kesal karena menganggap Kak Sangga enggak profesional.


//Boyforrent.com//

"Nadine mana?" tanya Kak Sangga.

"Enggak bisa ikut ada acara keluarga."

Kedua alis rapi Kak Sangga tampak menyatu karena heran. Wajah 'cantik' miliknya masih seperti biasa, tetapi kali ini kantung mata tampak jelas menghiasi. Kak Sangga memakai helm, enggak peduli ketika beberapa mahasiswa Pendidikan Biologi terlihat berlalu lalang dan melirik kami.

Sore itu aku, Nadine, dan Kak Sangga janjian untuk membahas rencana minggu depan. Namun, Nadine malah mangkir karena ada acara lamaran sepupunya.

"Nadine emang suka begini, ya? Ijin seenaknya, padahal udah bikin janji. Emang dari kemarin ngapain aja sampai lupa kalau ada acara keluarga?"

"Enggak tahu, deh. Kita bahasnya nanti aja kalau ada Nadine, Kak."

"Bahas sama kamu aja."

Kak Sangga menyerahkan helm kepadaku. Aku sempat ragu karena biar bagaimana pun, seharusnya aku enggak terlibat dalam hal ini. Namun, makin ke sini kenapa seakan-akan akulah si penyewa itu? Oh, sekarang aku malah berpikir yang enggak-enggak ke Nadine. Apa dia masih kesal dan berusaha menghindari Kak Sangga?

"Ala?"

Aku terkesiap dan refleks meraih helm, meski agak ragu-ragu. Sesaat setelah mengikuti ajakan Kak Sangga dan kami keluar dari gedung area kampus menaiki motor King-nya yang berisik. Aroma Kak Sangga enggak pernah berubah. Kopi. Aroma parfumnya selalu begini. Sejak aku sering terlibat dengannya dari semester satu

"Kak Sangga, kita mau ke mana?" tanyaku.

"Tempat saya."

"Ngapain?"

Enggak ada jawaban. Mungkin karena pertanyaanku kelewat tolol. Padahal tadi sudah jelas-jelas mau bahas rencanan konyol Nadine untuk mengikuti acara camp-nya Renaldi.

Motor Kak Sangga berbelok ke arah utara kampus. Enggak jauh sebenarnya, hanya berjarak beberapa langkah dan dipisah dua toko kelontong. Bahkan tembok universitas masih bisa dilihat ketika kami memasuki gang kecil. Beberapa warga tampak berjalan hati-hati, anak-anak kecil ditegur karena berlarian seenaknya.

"Udah sampai," kata Kak Sangga ketika kami tiba di depan sebuah gerbang bercat hitam dan sedikit mengelupas.

Aku menurut ketika Kak Sangga membawa motor memasuki halaman. Mataku mengerjap beberapa kali, enggak percaya dengan apa yang kulihat. Tanaman bunga Allamanda cathartica atau bunga terompet emas tumbuh berderet dengan beberapa bugenvil. Ada bangunan kecil di sana dan sebuah gerbang terbuka di dekat tembok pembatas. Aku mendekat ke arah gerbang dan bisa kulihat beberapa fasilitas UKM MAHAPALA di baliknya. Ternyata tempat ini masih satu lingkungan dan terhubung dengan area belakang FSRD.

"Ayo, masuk!" ajak Kak Sangga.

"Ee ... Kak Sangga, itu yang tanam bunga terompet emas siapa, ya?" Kuikuti langkah lebar pemuda jangkung tersebut.

"Saya sama senior-senior dulu. Kamu suka bunga itu?"

Aku mengangguk antusias, "Iya. Ibu saya ngasih nama Alamanda karena suka bunga itu. Dia ngasih julukan buat bunganya, Si Cantik Alamanda."

"Benar, memang cantik." Kak Sangga melirikku sekilas dan berdeham, "bunganya."

Aduu mlyeot ngetik sangga, ka jii sweet amad ga baiqqq untuk jantung:)))

Keep smile walaupun mleyot:)))))))

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro