18. Jealous, huh?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kami berkeliling. Kak Sangga ngajak makan di angkringan dekat kampus sebelah. Terus apa, ya?" Nadine bertepuk tangan sesaat ketika mungkin otaknya menemukan sesuatu setelah menelusuri kencan mereka kemarin. "Al, kamu enggak akan tahu kalau Kak Sangga itu gentelman!"

Aku melirik jam tangan, sudah sekitar dua menit berlalu dan Nadine terus membahas acara kencannya dengan Kak Sangga. Entah dari mana rasa bosan itu tiba-tiba menyergapku.

"Kami pergi pakai motor Kak Sangga, Al. Kak Sangga juga bantuin aku naik. Ih, pokoknya gitu ...."

Ekspresi Nadine kelewat ceria. Sungguh kontras dari biasanya, maksudku ketika dia membicarakan Kak Sangga. Nadine yang suka ngotot setiap kali membahas pemuda itu, kini malah sebaliknya. Sesuatu mengusik pikiranku, apa benar Nadine telah melanggar aturan? Aku ingin menanyakan kepada gadis itu, tetapi enggak enak. Takut Nadine tersinggung.

"Kok, diam aja dari tadi? Kayaknya kamu enggak bersemangat denger ceritaku."

"Aku cuma sedikit heran." Aku dan Nadine berhenti di depan pintu masuk perpustakaan bagian arsip. Siang itu kami berencana untuk melihat-lihat hasil tugas akhir alumni-alumni kampus. "Biasanya kamu enggak begini. Ada apa?"

"Oh, ya?" Nadine menampakkan wajah terkejut yang dibuat-buat, lantas menyengir heran. "Ah, enggak tahu, deh. Sejak pergi ke acara camp, aku jadi mikirin kata-kata Kak Sangga."

"Yang mana tepatnya?"

"Secara enggak langsung, aku udah kalah dari Renaldi karena berusaha bikin dia menyesal dengan cara kampungan kayak gini. Kak Sangga juga bilang sebenarnya aku harus bersyukur bisa lepas dari cowok kayak Renaldi. Satu lagi, kenapa harus capek-capek melakukan hal konyol sampai sewa jasa pacar segala. Kalau bukan Renaldi orangnya, itu berarti aku bakal ketemu orang yang lebih baik lagi, Al. Jangan kejauhan, pasti yang deket ada."

Nadine terkekeh-kekeh setelah mengucapkan kalimat tersebut. Orang terdekat? Kak Sangga maksudnya? Mendadak aku memikirkan banyak hal? Apa Kak Sangga menyukai Nadine?

"Kencanku sekali lagi, nih. Enaknya ke mana, ya? Kak Sangga minta aku yang ngatur rencananya," ujar Nadine membuyarkan lamunan tentang mereka. Membayangkan bagaimana pembicaraan Nadine dan Kak Sangga yang bahkan kulihat sejak di Bale Coffee, pun tampak begitu mengasyikkan.

"Em, enggak tau," jawabku singkat sambil mendorong pintu ruangan.

Nadine baru akan melangkah, tetapi ponselnya bergetar. Perempuan berambut pendek menutupi leher itu menerima telepon sejenak sampai aku urung memasuki ruangan itu. Nadine kembali, lantas memamerkan wajah lesu.

"Sori, Al. Aku enggak bisa temanin kamu lihat-lihat tugas akhir. Kak Danny rewel banget, hari ini rapat akhir buat pentas. Enggak apa-apa, kan?"

Aku mengangguk sekenanya, lagi pula Nadine punya urusan yang lebih penting. Nadine berbalik dan menghilang dari pandanganku. Aku memasuki ruang arsip tugas akhir almuni. Udara dingin artifisial dari pendingin ruangan langsung menyapa kulit. Ruangan itu cukup sunyi, hanya diisi beberapa mahasiswa di bangku pojok.

"Ala?" sapa seseorang yang belakangan ini suaranya sering kudengar. Aku menoleh, lantas menemukan Kak Sangga duduk bersila dan bersandar di salah satu rak.

Senyum pemuda itu menyapa, tetapi aku merasakan otot bibirku malas untuk membalasnya. Sehingga aku hanya melirik seklias dan kembali mencari beberapa referensi tugas akhir. Aku hendak pindah ke lorong-lorong yang lain, tetapi suara Kak Sangga kembali terdengar.

"Ada yang mau saya bicarakan, duduk!" titahnya sambil menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya. Heh, siapa dia berani menyuruhku? Aku tetap abai. Bahkan enggak tahu mengapa aku mengabaikan cowok ini. "Enggak mau?"

"Ada apa?"

"Duduk dulu. Jangan bikin saya bicara keras-keras."

Meski agak sedikit sangsi, aku mendekat dan duduk, tetapi bukan di tempat yang dia inginkan. Aku duduk cukup jauh, perisis di tempatku berdiri tadi.

"Di sini, bukan di sana," tegurnya.

Aku manut menggeser tubuh beberapa langkah. Untuk pertama kali, aku enggak mau melihat wajah Kak Sangga. Aku mengedarkan pandang, berupaya mencari-cari tugas akhir pada rak di depanku hanya untuk menghidar dari tatapannya.

"Kamu rajin, ya. Sudah ada inisiatif buat cari judul," ucap Kak Sangga.

"Langsung aja, Kak Sangga mau ngomong apa."

"Kamu enggak bareng Nadine?"

Gerakan tanganku yang tengah mengambil berkas tebal salah satu judul skripsi lantas terhenti. Dia memanggilku untuk menanyakan Nadine?

"Enggak."

"Tumben, biasanya kamu sama dia."

"Kak Sangga sebenarnya mau bicara apa? Tanya Nadine?" Kuberanikan diri melirik pemuda itu, "Kak Sangga punya nomor Nadine, kan? Tanya aja sendiri. Saya juga enggak ke mana-mana harus bareng Nadine, kok."

"Oh ...," gumamnya, tetapi kulihat kedua alis pemuda itu bertaut. Astaga! Mungkin kata-kataku kelewat ketus? Pikiranku mendadak kacau. "Ini udah sore, kamu enggak pulang?"

"Enggak." Aku menoleh ke arah Kak Sangga dan lelaki itu sedang sibuk memainkan ponsel. "Kak Sangga, saya boleh tanya?"

Kak Sangga menoleh dan menyimpan ponsel. Aku cukup kagum karena Kak Sangga selalu menyingkirkan benda itu ketika lawan bicaranya mulai mengeluarkan suara. Apa dia memang selalu seperti itu?

"Apa alasan Kak Sangga kerja di situs itu? Kak Sangga enggak takut sama resikonya? Maksud saya, di sana ada aturan, kan? Kalau Kak Sangga atau pelanggan di sana melanggar salah satu aturan, apa Kak Sangga enggak takut?"

"Aturan yang mana tepatnya?"

"Em ...," ucapku sedikit ragu-ragu, "kalau misal, pelanggan itu menyukai ...."

Kalimatku terpangkas karena Kak Sangga mengulas senyum sebentar, sampai ketika ia berdiri dan merentangkan tangan ke hadapanku. "Ayo, ikut. Saya kasih tahu alasan saya bergabung di sana."


//Boyforrent.com//

Wajah Kak Sangga enggak setenang tadi. Kami berlari di koridor rumah sakit kota. Melewati beberapa orang yang berlalu lalang. Sepanjang jalan, aku enggak bisa berpikir jernih ke mana agaknya Kak Sangga akan membawaku. Ternyata, rumah sakit kota. Kami tiba di sana sekitar pukul tujuh lebih.

Aku memperhatikan punggung lebar Kak Sangga yang berlari kecil di hadapanku. Kami tiba di ruang rawat inap. Seorang perempuan menunggu di depan salah satu ruangan. Wajahnya enggak kalah panik dari Kak Sangga, begitu melihat kami, perempuan itu berdiri dan menghampiri Kak Sangga. Raut wajahnya tampak diselimuti kekhawatiran, matanya berhias kantung mata dan bibir yang cukup pucat.

"Ji?" panggil perempuan itu.

"Bagaimana? Apa kata dokter?"

"Syukurlah ibu baik-baik aja. Kakak khawatir banget, tapi katanya ibu enggak boleh bolos cuci darah atau enggak ...." Perempuan itu menahan kalimat seraya memandang Kak Sangga dengan mata berkaca-kaca yang lelah.

Kak Sangga meraih bahu perempuan itu dan menepuk-nepuknya sejenak. Ada ekspresi lega di wajah Kak Sangga yang sempat kulihat. Kini, aku cuma bisa diam dan menyimak mereka.

"Saya mau lihat ibu dulu," kata Kak Sangga, lalu melirikku yang masih berdiri kaku di sampingnya. "Tunggu sebentar, Al." Aku hanya mengangguk dan membiarkannya memasuki ruangan.

Ketika Kak Sangga memasuki ruangan itu, aku melangkah sedikit ke arah pintu. Dari kaca kecil yang ada di daun pintu, aku melihat Kak Sangga menghampiri seorang wanita berjilbab di ranjang rumah sakit. Wanita itu terbaring memejam dengan wajah pucat dan letih, di tangannya terpasang selang infus.

"Kamu temannya Aji?" Suara itu mengalihkan fokusku. "Saya Anggi, kakaknya Aji."

"Aji? Oh ... iya, Kak. Saya ... adik tingkatnya Kak Sangga." Aku baru tahu nama panggilan lain Kak Sangga adalah Aji.

Kak Anggi menyuruhku duduk di bangku panjang depan ruangan tersebut. "Sudah berapa lama?" tanya Kak Anggi.

"Maksudnya, Kak?"

"Kamu pacaran sama Aji ... Sangga maksudnya. Agak aneh manggil dia Sangga karena saya terbiasa manggil Aji."

"Bukan, Kak. Enggak seperti itu."

"Oh, ya? Saya pikir Sangga sudah berhasil move on," sambil terkekeh, Kak Anggi memperhatikanku yang tampak kebingungan. "Duh, dia enggak cerita tentang Gisya, ya? Kalau Sangga tahu bisa kena marah saya."

Gisya? Pacar Kak Sangga?

"Kak Anggi?" Kak Sangga berdiri di sana dengan tangan terlipat di depan dada. Dari ekspresinya yang sinis, tampaknya dia mendengar obrolan kami.

"Enggak cerita banyak, Ji. Dikit aja." Kak Anggi membela diri.

"Saya antar Ala dulu. Nanti balik lagi." Kak Sangga memberi kode lewat mata agar aku segera mengikutinya. Aku berdiri dan berpamitan pada Kak Anggi.

Kami berjalan dalam diam karena aku masih sibuk dengan pikiran sendiri. Ada banyak yang ingin kubicarakan, tetapi enggak tahu harus mulai dari mana. Sampai kami akhirnya tiba di halaman depan rumah sakit, tetap enggak ada suara. Barulah ketika sampai di tempat parkir, Kak Sangga yang lebih dahulu mengeluarkan suara.

"Ini alasan saya, Ala. Saya butuh uang untuk pengobatan ibu. Saya jujur ketika bilang baru pertama gabung, itu karena teman saya yang memberi saran. Sebenarnya, Nadine harus kencan sama Juna, tetapi karena saya butuh uang, saya terima tawaran Juna untuk menggantikannya."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro