27. Edelweis (END)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing lagunya ayangku, ya^
Lauv -All 4 Nothing (I'm so in Love)
Lagunya bikin aku terueueeueueueue😭

😎😎😎

Samar-samar aku membuka mata, aroma pengharum ruangan langsung menyapa hidung. Kipas angin kecil menyala di sudut ruangan, gorden hijau di jendela kecil tampak menari-nari dibelai angin. Sudah berapa jam aku tertidur? Aku mengusap-usap perut. Sudah enggak sakit lagi, tetapi aku tahu kalau ini pertanda masa haidku sudah tiba.

"Udah bangun?"

Seorang wanita berambut setengah memutih memasuki ruangan sambil membawa segelas teh hangat. Daster semata kaki yang dikenakannya tampak cocok di usia yang enggak lagi muda.

"Gimana perutmu, udah enakan?"

"Nggih."

Dia menyerahkan teh hangat dan tentu saja segera kuminum. "Ini hari pertama, ya?"

"Iya, Nek."

"Panggil Mbah aja."

Aku mengangguk sekenannya, merasa suasana ini sangat canggung. Lagi pula, ke mana perginya Kak Sangga sampai membiarkan aku berbicara berdua dengan neneknya?

"Sangga ada di luar," kata wanita itu seolah tahu isi pikiranku. "Oh, ya, Mbah sampai lupa mengenalkan diri. Nama Mbah, Maryam. Kamu?"

"Ala, Mbah."

"Cantik sekali, ya." Mbah Maryam tersenyum simpul sambil berdiri dan aku cuma membalas dengan senyuman kikuk.

Pembicaraan dengan Mbah Maryam usai begitu saja saat Kak Sangga tiba-tiba berdiri di depan pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Mbah Maryam tersenyum kecil dan berlalu meninggalkan kami.

"Udah baikan?" tanya Kak Sangga. Dia menarik kursi di dekat meja dan duduk di sana.

"Udah. Tadi pake air anget, ya?"

"Iya. Mbah bantuin."

"Jadi, ini kampung Kak Sangga?"

"Iya. Ini rumah bapak, saya jarang dateng ke sini, tapi tiba-tiba saya kepikiran untuk ngajak kamu."

Aku menoleh ke arahnya sejenak, lantas mengedarkan pandang ke penjuru ruangan. Ruangan itu enggak terlalu luas. Hanya diisi meja belajar, satu kamar kecil tanpa dipan di pojok ruangan dan lemari setinggi pinggang orang dewasa.

Ada beberapa poster di dinding. Bukan poster band atau artis ngetop, tetapi panorama alam. Ada dua lukisan kecil yang bergabung di samping jam, serta poster seorang aktivis ternama di Indonesia, Soe Hok Gie.

"Biar saya tebak, ini pasti kamar Kak Sangga?" Dia hanya tersenyum kecil dan mengangguk sekenanya. "Kak Sangga sesuka itu sama alam, ya?"

"Ada yang lebih saya suka selain alam."

"Oh, ya? Apa?

Dia berdeham sebentar dan ucapan berikutnya membuatku terkejut sekaligus ingin tertawa. "Alam tanpa huruf m."

Mungkin karena sadar aku menahan tawa, Kak Sangga bangkit dari kursi dan melirikku, kelihatan kalau dia salah tingkah. Kalau saja Nadine lihat bagaimana ekspresi Kak Sangga saat ini, perempuan itu pasti enggak akan menyangka bagaimana seorang Sangga Aji Janadi sedang salah tingkah, menahan malu, atau entahlah.

"Sangga, ayo ajak Ala makan dulu." Untunglah suara Mbah Maryam menyelamatkan kami dari suasana ini.

//Boyforrent.com//

Perjalanan yang kami butuhkan dari desa Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, menuju Pantai Sire adalah sembilan menit dengan kendaraan pribadi. Setelah melewati waktu sembilan menit lebih sedikit, kami tiba di kawasan itu. Pantai Sire, salah satu objek wisata di daerah ini. Sebenarnya, masih ada pantai lain, tetapi pantai ini yang terdekat dari rumah Mbah Maryam. Pandanganku disapa hamparan laut lepas, ombak yang terempas menyapu pasir, pohon-pohon kelapa yang menjulang, dan rumput hijau yang luas.

Aku berlari menenteng sepatu untuk mendekati laut. Sudah lama aku enggak liburan, apalagi ke pantai. Tempat yang paling kusukai.

"Hati-hati," tegur Kak Sangga ketika aku berjalan lebih dekat ke pantai. Ucapannya hanya kurespons dengan senyuman yang dibarengi anggukan singkat.

Dari tempat berdiri, aku melihat sisa-sisa terumbu karang, cangkang kerang, dan beberapa jenis Kelomang. Kak Sangga mendekat dan menangkap satu makhluk mungil itu.

"Wah, saya beneran baru lihat yang bisa ditangkap langsung begini!"

"Nikmati aja dulu lautnya. Sebelum saya tanya-tanya." Dia meraih sepatu yang kutenteng sejak tadi dan berjalan menjauh.

Aku mematung, memandang punggung lebarnya yang tertutup kemeja flanel dengan kancing terbuka dan memperlihatkan kaus abu. Sedikit heran, aku mendekatinya.

"Kak Sangga mau tanya apa?"

"Nanti. Kamu senang-senang dulu."

"Sekarang aja. Nanti keburu sore, tadi kata Mbah Maryam enggak boleh balik terlalu sore apalagi sampai Magrib, bisa kemaleman balik ke Mataram."

"Oke, deh. Kita duduk dulu."

Semarak barisan awan yang mengotori langit sebentar lagi akan memandu hilangnya mentari. Beberapa pengunjung pantai mulai excited untuk menangkap gambar semburat oranye di cakrawala. Deburan ombak menjadi pengiring matahari kembali ke peraduan, beristirahat sejenak dari tugasnya.

Kami duduk di pinggir pantai, memandang jauh-jauh lautan lepas seolah dibatasi pulau di ujung pantai. "Gimana kamu dan Nadine? Kalian udah baikan?" tanya Kak Sangga membuka pembicaraan.

Aku mengangguk dan menceritakan pembicaraanku semalam dengan Nadine. Bisa kulihat raut kelegaan di wajahnya.

"Kamu merasa baik-baik aja sekarang?"

"Jauh lebih baik dari biasanya. Kak Sangga gimana? Baik-baik aja, kan?"

"Mau jawaban jujur?" Tentu saja aku mengangguk suka cita. "Enggak terlalu. Beberapa waktu lalu, saya diajak kerja di tempat les privat anak SMP dan belum dapat kabar sampai saat ini. Kedua, saya kepikiran karena sebentar lagi akan KKN, padahal jadwal main ke alam masih banyak. Ketiga, akhir-akhir ini saya terganggu karena kamu belum membalas perasaan saya, dan terakhir ...."

Dia menjeda sambil beralih menatapku setelah cukup lama melihat laut. "Kamu akan pulang ke Jakarta. Itu artinya selama hampir sebulan kita nggak akan ketemu. Kamu liburan, saya KKN."

Seketika aku seakan merasakan apa yang mengganggu pikiran Kak Sangga.

"Tapi, masa saya mau cegah kamu pulang dan bertemu keluargamu. Memangnya saya siapa?"

"Kak Sangga, maaf. Saya udah bohong. Enggak cuma bohongin diri sendiri, tapi bohong ke Kak Sangga juga."

"Jadi, gimana perasaanmu?

Aku mengangkat kepala yang sempat tertunduk. Kak Sangga ini! Memang selalu to the point atau bagaimana, sih? Aku ingin sekali menghindari dari kedua mata sipitnya yang menatap lamat-lamat, tetapi seolah pandanganku terkuci di sana.

"Nadine bakal benci sama saya kalau sampai detik ini saya bilang nggak suka sama Kak Sangga." Dia enggak merespons, memberikanku kesempatan untuk berbicara. "Untuk itu saya enggak mau bohong lagi. Saya enggak mau menyakiti diri sendiri dan menyakiti Kak Sangga. Saya juga punya perasaan yang sama kayak Kak Sangga."

"Beneran?"

Aku mengangguk takzim, tanpa keraguan, tanpa ketakutan, dan memang inilah perasaanku.

"Kalau saya ajak pacaran sekarang, mau?"

Please, ini tiba-tiba sekali. Aku mengerjap sesaat, tetapi dia masih memandang serius.  "Apa harus dijawab sekarang?"

"Iya. Kamu cuma punya dua opsi, iya atau enggak."

Kak Sangga mengulurkan tangan terbuka di hadapanku dan tanpa merasa sangsi lagi, aku meletakkam tangan di atas telapak tangannya. Lalu jemari-jemari panjang itu merangkum jemariku dengan hangat.

"Oke, karena Kak Sangga suka Alam tanpa huruf m, jawaban saya, iya."

Dia tertawa singkat sambil menyentil dahiku dengan tangannya yang bebas. "Awas aja kalau saya lihat kamu nangis lagi atau bertindak seperti yang sebelum-sebelumnya."

"Iya, mulai sekarang saya, kan, wanita super ...."

"Oh, berarti kamu punya kelebihan kromosom X? Jadi total kromosnya 47. Itu kelainan ...."

Aku memukul pundaknya dan berdecak sebal. "Ih, belum selesai ngomong. Super mandiri, kuat, terus apa lagi, ya? Pokoknya bakal jarang nangis, deh. Kak Sangga kenapa jauh banget mikirnya?"

Dia hanya menyengir sesaat.

"Oh, ya!" Aku merogoh sejumput bunga edelweis kering di tas selempang. Bunga itu memang selalu kubawa ke mana-mana. "Saya enggak bodoh, ya. Katanya bunga ini susah rusak atau layu. Di mana Kak Sangga dapet ini? Jangan bilang ...."

"Saya beli dulu pas pergi ke Bromo. Banyak warga setempat yang membudidayakannya. Ini legal, kok." Dia mengambil bunga yang dilapisi plastik tersebut dari tanganku. "Karena katanya ini bunga abadi, saya harap perasaan saya bisa tetap seperti ini."

Aku mengulas senyum lagi. "Saya juga berharap yang sama." Dia makin mempererat genggaman tangan kami. "Kak Sangga, janji nggak akan gabung situs aneh itu lagi, ya?"

Dia mengangguk setuju. "Janji. Ngapain temenin orang kencan, kalau saya punya pacar yang bisa diajak kencan?"

-TAMAT-


Special thanks to writingdreamtogether writingdt_

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro