FTSOL #24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DAMAR

Minggu siang itu adalah jadwal kunjungan Damar ke rumah orangtua Aruna. Sejak Aruna sembuh, ia dan Aruna telah menetapkan jadwal untuk berkunjung ke rumah orangtua mereka secara bergantian. Minggu lalu mereka menghabiskan waktu di rumah orangtuanya. Dan hari ini giliran kediaman keluarga Aruna. Mereka menggunakan kesempatan itu untuk lebih mengakrabkan diri dengan keluarga masing-masing. Semakin hari, hubungan silaturahmi yang terjalin menjadi lebih baik.

Saat ini, ia tengah bersama Aruna di dalam kamar Aruna, beristirahat sambil melihat-lihat album foto masa kecil Aruna. Dari foto-foto yang ia saksikan, begitu banyak perubahan yang terjadi. Satu hal yang ia perhatikan, ekspresi wajah Aruna di foto semakin tahun berubah semakin bahagia. Senyumnya semakin lebar dan ceria. Salah satu foto Aruna yang menjadi favoritnya, tengah memeluk papa dan mama di depan kue ulangtahun dengan hiasan lilin berbentuk angka 10. Kata Aruna, ulangtahunnya selalu dirayakan dengan meriah setiap tahun. Tidak ketinggalan, hadiah-hadiah mahal dan mewah yang selalu dihadiahkan untuknya. Hadiah ulangtahunnya waktu itu adalah berkunjung ke Disneyland Jepang, beramai-ramai sekeluarga. Foto-foto mereka di tempat tersebut lumayan banyak.

"Keluarga kamu sayang banget sama kamu," kata Damar.

"Iya," jawab Aruna singkat. Ia masih terlalu fokus memandangi deretan foto di salah satu halaman album. Sementara Damar sesekali memerhatikan wajah Aruna, dan mendapati ekspresi wajahnya yang selain terus tersenyum, juga terselip ekspresi muram. Mungkin mengenang masa-masa sulit yang ia hadapi sebelum ia diadopsi.

"Aruna?" Damar memanggilnya, membuat Aruna setengah tersentak. "Are you okay?"

"Iya. Aku nggak apa-apa," jawab Aruna cepat.

Damar mengusap rambut Aruna. "Saya tahu, kamu menjalani banyak hal sulit dalam hidup kamu. Tapi kamu juga perlu tahu, kalau kini kamu berada dalam lingkungan keluarga yang menyayangi kamu. Saya harap, kamu bisa pelan-pelan menghilangkan segala kebencian terhadap orang-orang yang dulu pernah menyakiti kamu, karena hal itu akan mengurangi kebahagiaan kamu di masa sekarang."

Aruna menatapnya. Kedua kelopak matanya berkedip sekali, kemudian ia menghela napas panjang. "Mungkin karena itu, watakku dulu jadi kasar ya? Aku jadi sosok yang suka menantang. Nggak mau dinasihati. Selalu mikir, nggak ada yang sayang sama aku."

"Waktu itu kamu dikendalikan oleh perasaan tidak aman. Kamu sering mensugesti diri kamu kalau kehidupan kamu akan selalu suram. Padahal kamu dikelilingi orang-orang yang menyayangi kamu."

"Aku cuma...terlalu takut semua kebahagiaan ini akan berakhir. Gimana kalau suatu saat nanti aku kembali ke kehidupanku yang dulu." Aruna membuang napas panjang, suaranya seolah tercekat. "Aku nggak mau ketemu lagi sama orang-orang yang pernah menyakiti aku."

"Kalau kamu percaya bahwa Tuhan akan selalu bersama kamu, saya yakin perasaan seperti itu akan berangsur lenyap. Serahkan semuanya kepada Yang Di Atas, maka hidup kamu akan jauh lebih tenang."

Damar menambahkan.

"Lagipula ada saya di sisi kamu, jadi apa lagi yang harus kamu risaukan?"

Aruna akhirnya tersenyum. "Tapi kamu tulus kan soal perasaan kamu? Bukan buat menyenangkan hati aku kan? Kamu beneran cinta kan sama aku?"

Damar mengerutkan kening mendengar rentetan pertanyaan itu.

"Kamu masih ragu?"

Aruna menggeleng pelan. "Nggak sih. Aku hanya masih nggak percaya sama kita yang sekarang."

Damar menutup album di tangannya kemudian bangkit untuk meletakkan album tersebut ke tempat semula, di antara deretan buku-buku di rak di salah satu sudut kamar. Ia kembali duduk di tempatnya semula, di tepi tempat tidur. Ia menengadahkan telapak tangannya menghadap ke atas, seolah memberi isyarat kepada Aruna untuk menyambutnya. Tanpa menunggu lama, Aruna menggenggam tangannya dan menyandarkan kepala ke bahu Damar beberapa saat sebelum memfokuskan diri menatap Damar.

"Aku masih nggak percaya kalau laki-laki yang mati-matian aku benci sekarang malah laki-laki yang sama yang aku cintai setengah mati."

"Bukannya Tuhan itu Maha Pembolak-balik hati manusia?" Damar tersenyum.

"Iya juga sih," balas Aruna. Ia mengusap pipi Damar dengan ibu jarinya. Menatap lekat dan dalam. "Aku selalu banyak mikir soal perasaan kamu, padahal seharusnya cinta itu kan nggak perlu meragukan kesetiaan pasangan."

"Saya sama kamu saling mencintai."

Aruna mengangguk. "Dam."

"Iya."

"Aku pengen balik lagi ke Jogja."

"Boleh. Nanti saya ajuin cuti dulu. Seminggu cukup?"

"Seminggu?"

Damar bersiap-siap mendengar protes Aruna mengenai durasi waktu. Namun ternyata Aruna langsung mengiyakan.

"Aku pengen bikin baby-nya di sana," ucap Aruna.

"Kamu yakin?"

"Yakin dong." Aruna tersenyum lebar. "Jogja itu tempat kelahiran kamu. Tempat kamu besar. Tempat pertamakali aku menyadari perasaan aku sama kamu. Pertamakali kamu cium aku. Pertamakali aku ngerasa cemburu. Pertama kali kamu jadi imam shalat aku..."

Aruna berhenti sejenak untuk menghela napas.

"Banyak hal bersejarah terjadi di sana. Rasanya anakku nanti pasti senang kalau aku ceritain tentang hal ini," lanjutnya.

Damar mengangguk ketika Aruna menanyakan kembali jika ia memang bersedia mengambil cuti untuk liburan kali ini.

"Kalo gitu, saya mesti ngatur dulu rute perjalanan kita nanti."

"Tapi hotelnya harus mewah ya? Jangan lupa."

"Iyaa."

Aruna langsung memeluknya. "Jadi berangkatnya kapan? Aku mau ngitung masa subur dulu biar langsung jadi kan?"

"Iya, kamu hitung aja dulu. Biar saya usahakan waktunya bisa pas." Rasanya Damar hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi sikap Aruna yang selalu penuh kejutan. Aruna membicarakan topik tersebut dengan sangat enteng, sementara ia sendiri masih merasa malu karenanya.

Bagaimana mungkin Aruna memikirkan untuk memiliki anak, sementara hingga saat ini mereka belum pernah melakukan hubungan suami isteri. Mungkin mereka bisa latihan dulu sebelum merencanakan memiliki anak?

"Dam, kok diam aja sih?" tanya Aruna tiba-tiba.

"Iya. Ada apa?"

Aruna memegangi tengkuk Damar dengan satu tangannya kemudian mencium bibirnya. Tidak lagi ada perkataan yang keluar, karena kini mereka disibukkan dengan kesibukan lain yang melibatkan bibir mereka.

"I love you."

Damar mengangguk, kemudian membalasnya. Ia membawa Aruna berbaring bersamanya dan memosisikan tubuh Aruna di atasnya. Mendekap pinggang Aruna erat sambil bercumbu, kali ini tanpa tergesa-gesa. Tanpa ekspektasi apa-apa.

"Tau nggak, Dam?"

"Soal apa?"

"Bibir kamu tuh candu banget tau nggak? Aku nggak bisa natap kamu tanpa pengen nyium kamu." Aruna menyelipkan rambut ke belakang telinganya, menatap dalam ke matanya. "Kamu nyadar nggak sih, kalau kamu tuh berbahaya karena bikin kecanduan?"

Damar bingung harus menjawab apa. Ia hanya bisa balas menatap mata Aruna sambil sesekali mengusap rambut Aruna. Sementara Aruna mengucapkan jika ia mencintainya sebelum menciumnya lagi. Ciuman kali ini lebih liar dan menuntut, membuatnya tanpa sadar menjalari punggung dan menyusupkan jemarinya ke sela-sela rambut Aruna yang terurai.

"I always want you, Sayang," bisik Aruna di telinganya, sebelum berbaring di sampingnya.

Me too.

***

ARUNA

"Minggu depan kita ke Jogja?"

***

Hai pembaca sekalian. Jadi, part depan #25 adalah part terakhir FTSOL. Aku cek jumlah words sudah menyentuh 55 ribu sekian. Dan menurutku itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi sebuah novel.

Maafin kalo aku akhir2 ini udah jarang ngepost. Padahal kalo mau konsisten, sesibuk apapun, paling nggak pastilah ada waktu senggang sejam dua jam :D Tapi masalahnya, aku nggak bisa nulis kalau pekerjaan masih numpuk. Taulah gimana ya kalo akhir tahun, kerjaan pasti banyak :D 

LMH masih bakal lanjut. Cuma aku masih kesulitan buat menggambarkan suasana pesta pernikahan Arion-Ayana. Jadi kepending mulu. Doain aja ya, biar inspirasi mengalir mulus terus.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage