FTSOL #5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

FTSOL #5

"Ira? Lo ngapain di sini?"

Semalam, Aruna mengendarai mobilnya sendirian menuju Viola setelah menghabiskan waktu di rumah Lebak Bulus. Rumah itu dijenguknya setiap dua minggu atau paling lama sebulan sekali. Berjam-jam dihabiskannya dengan minum di mini bar, karaoke-an sampai bosan, memesan beberapa makanan secara online. Sampai timbul ide di benaknya untuk menghabiskan waktu di Viola.

"Lo tuh udah ngilang sejak semalam. Gue telepon tapi nomor lo nggak aktif."

"Trus ngapain lo di sini?"

"Ya gue nyariin lo lah sampai ke sini."

"Buat apa dicariin??"

Ira menempelkan punggung tangan ke kening Aruna. "Lo emang lagi sakit ya? Atau lagi amnesia? Sampai-sampai lo pergi nggak bilang-bilang sama suami lo."

Aruna menurunkan tangan Ira yang masih menempel di keningnya.

"Maksud lo?" Aruna melihat ke sekeliling.

Suasana kamar yang berbeda, pikirnya.

Atau ia memang berada di kamar yang berbeda.

Warna ungu mendominasi kamar tidur sempit yang memang dulunya sengaja ia buat saat membangun kelab ini, untuk tempat beristirahat kalau-kalau ia capek dan malas menyetir pulang ke rumah di waktu dinihari.

Aruna memukul-mukul pelan kepalanya. Sisa-sisa hangover hasil drunk semalam belum sepenuhnya hilang. Ia lupa, sudah minum berapa banyak. Lagipula ia hanya sendiri, tidak ada yang mengingatkan, jadi ia bisa bebas.

"Lo bau alkohol banget sumpah, Run." Ira bertingkah berlebihan, menutup hidungnya dengan dua tangan. Ira tidak pernah bisa menoleransi aroma minuman. Sahabatnya itu pernah sampai muntah saat mencicipi Hawaii Summer, padahal varian itu yang paling ringan di Viola. Sejak itu, Ira tidak pernah lagi mencoba minum. Kalau lagi nongkrong, palingan pesan red bull atau Evian.

"Biasa aja." Arun mengibaskan tangan dengan malas.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh seperempat. Entah saat ini malam atau pagi. Dari dalam kamar itu ia tidak bisa melihat keadaan di luar. Tidak ada jendela yang menjadi akses melihat keluar.

"Udah jam tujuh pagi. Lo kalo udah enakan, kita pulang. Biar gue yang nyetir mobil lo."

"Gue nggak serapuh itu buat nggak nyetir sendiri." Aruna tersinggung bila ada yang menawarkan diri menyetirkan mobil untuknya. Apalagi mobil kesayangannya. Tidak sembarang orang boleh memakainya. Termasuk Ira.

"Ya udah. Mending lo bersih-bersih aja dulu. Gue tunggu di luar."

Aruna mengangguk. Baik ia maupun Ira tadinya masih bergelung di bawah selimut yang meng-cover tubuh mereka dari dingin. Ira tidak merasa kedinginan karena Ira mengenakan pakaian lengkap di bawah selimut ; kelihatannya seperti kaus dan jins, sementara ia hanya mengenakan kamisol dan celana pendek tipis berbahan satin.

Pantas saja, ia menggigil.

"Sial, AC-nya dingin bener," umpat Aruna, membuang waktu melihat angka di remote AC. "Lo setel 16 derajat ya?"

"Soalnya kan lo abis minum, biar badan lo nggak kepanasan." Ira beralasan.

"Lo ada-ada aja deh. Ntar gue mati kedinginan, gimana?"

Ira nyengir. "Seorang Aruna Pramuditha nggak akan mati kedinginan gara-gara AC. Alasan lo mati bisa jadi cuma dua. Rokok dan alkohol."

Aruna melemparkan bantal kepala ke arah Ira yang ditangkap Ira, lalu memberikan ejekan dengan lidah terjulur.

"Lo nggak mandi, Ra?"

"Nanti aja di rumah. Lo buruan, makanya. Jangan sampai Damar kelamaan nunggu lo di luar."

Aruna pasti salah dengar.

"Damar? Di sini?"

***

Damar nyaris tidak tidur sejak Subuh. Atau kalau terpejam selama limabelas menit bisa dikatakan tidur. Ia berbaring di sofa marun yang rupanya tidak seempuk yang ia bayangkan. Punggungnya sakit, matanya perih, dan terlebih lagi sekujur badan terasa pegal luar biasa. Seharian kemarin ia nyaris tidak beristirahat. Ia berangkat kantor pagi-pagi sekali, pulang ke rumah sore hari, malamnya ia memeriksa laporan bulanan, lalu jam sepuluh sampai Subuh tadi ia berkeliling selama berjam-jam untuk mencari Aruna yang ternyata sedang berada di sini.

Damar mengusap mukanya yang basah setelah dibasuh air. Ia berkumur-kumur dengan mouthwash setelah menyikat gigi. Ira berbaik hati menunjukkan tempat penyimpanan perlengkapan mandi dan semacamnya di sebuah cabinet di dalam pantri kelab. Ia sempat salah alamat, menarik dus berisi kondom yang ia sangka kemasan vitamin C. Entahlah, saat kurang tidur, ia kadang mencari vitamin C.

Kondom.

Apakah Aruna menyiapkan kondom itu untuk dirinya sendiri?

Damar seorang laki-laki dewasa, tentu saja ia mengetahui tentang hal-hal yang berkaitan dengan seks termasuk apa itu pengaman, bentuk dan tujuan penggunaannya, jadi meskipun pengetahuannya tentang seks belum diterapkan sampai saat ini, ia juga mengetahui soal itu. Jaman sekarang jangankan orang dewasa, anak ingusan saja tahu soal pengaman.

Sebenarnya ia tahu tentang pengaman di usia SMP, karena saat itu sekolahnya pernah mendatangkan seksolog dan ahli kandungan yang membahas tentang penyimpangan pergaulan di kalangan pelajar.

Sekarang setelah mengetahui tempat itu ternyata menyediakan pengaman di cabinet mereka, ia jadi bertanya-tanya apakah tempat itu sebebas seperti yang ia pikirkan.

Aruna sudah terbiasa dengan pergaulan malam, jadi Damar tidak akan terkejut jika suatu saat nanti mengetahui kenyataan soal itu.

Ia bukan tipe laki-laki yang mempermasalahkan tentang keperawanan seorang perempuan. Mungkin kedengarannya pikirannya terlalu terbuka soal itu, sebab meskipun saat ini pergaulan semakin bebas, ia yakin masih ada orang dewasa yang tetap mempertahankan keperawanan dan keperjakaan dan baru melepasnya saat menikah. Kultur adat Timur yang tertutup dan tabu soal seksual pastinya masih dipegang hingga saat ini. Termasuk dirinya. Keluarganya bisa dibilang juga masih tergolong berhati-hati tentang pergaulan. Sekalipun orangtuanya tidak pernah secara langsung memintanya berhati-hati, namun kesadaran itu muncul sendiri dari dalam dirinya. Ia akan menjaga dirinya sampai menemukan orang yang tepat.

Jadi, pilihan Aruna adalah hak atas tubuhnya sendiri. Dan hal itu bukan menjadi urusannya. Peluang mereka untuk berhubungan seks juga nol persen.

Mungkin ada peluang, apalagi mereka sudah menikah.

Tapi tidak.

Ia tidak mau membayangkan terlalu jauh.

Seharusnya ia tidak terpikir hal itu, tapi otaknya sedang berlibur, jadi sekian persen kewarasannya hilang dan malah melantur ke mana-mana.

Damar membasuh wajahnya sekali lagi sebelum keluar dari wash room.

Saat masuk kembali ke dalam ruangan, di atas meja sudah terhidang sekotak bakery ditemani secangkir kopi hitam. Sebotol air mineral tersegel juga diletakkan di atas meja.

Baru saja ia duduk, Ira dan Aruna secara berurutan keluar dari kamar tempat beristirahat. Aroma Vanilla sabun mandi mengusik indera penciumannya. Ia bahkan belum sempat menikmati aroma kopi tersebut, namun aroma sabun mandi sudah cukup mengganggunya.

Bukannya ia tidak menyukai Vanilla.

Aroma tersebut terasa sangat familiar.

Terasa sangat menenangkan. Seperti aromaterapi. Aroma yang persis sama seperti yang biasa ia hirup di rumah.

"Diminum kopinya, Dam." Ira mempersilahkan dengan ramah, sementara Aruna menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.

Oh pantas aromanya sangat familiar.

"Ah gue lupa ikat rambut gue," kata Ira. "Sekalian gue rapiin dulu tempat tidurnya."

"Nggak usah dirapiin," cegah Aruna. "Ambilin deh bed cover-nya biar sekalian di- laundry."

"Kalo gitu, sprei sama sarung bantalnya juga?"

"Iyalah, Ra. Masa sih nyuci bed cover doang?"

Aruna melihatnya sekilas, kemudian berjalan menuju kulkas kecil, mengambil jus kemasan ukuran kecil yang bisa langsung diminum menggunakan sedotan.

"Lo nyusulin ke sini karena khawatir atau apa?"

"Jangan GR dulu. Saya ke sini nyusulin kamu, karena orangtua kamu cemas kamu ada di mana."

"Harusnya nggak usah di cari. Gue cuma butuh waktu sendiri."

"Dan harusnya kamu ngasih kabar, kamu lagi di mana biar mereka nggak khawatir." Damar mendapati tatapan Aruna menyiratkan kekesalan.

Seharusnya yang pantas merasa kesal itu, dirinya. Kalau saja Aruna bisa menyadari sikapnya ini sangat menyusahkan.

"Gue nyusahin, emang."

Seolah bisa membaca pikiran, Aruna mengatakan persis seperti apa yang ingin ia ucapkan. Sempurna, jika Aruna menyadari sendiri tanpa perlu diingatkan.

"Mm. Gue ganggu nggak nih?" Suara Ira memecah kesunyian. "Gue keluarin dulu ini yang mau di-laundry. Laundry-nya dekat-dekat sini kan?"

"Nunggu Suci datang dulu. Nanti dia yang jemput," ucap Aruna.

Kopi yang diminum Damar terasa sedikit kemanisan. Mungkin Ira yang membuatnya, karena rasanya Aruna tidak akan punya waktu membuatkan minuman untuknya.

"Gue lupa, harusnya gulanya ga banyak-banyak."

Aruna seolah mengetahui pikirannya.

Ada angin apa, Aruna membuatkan kopi?

Hal itu tidak akan membuat Damar melupakan kenyataan jika ia masih marah karena ia harus bersusah payah mencari Aruna semalaman. Kopi ini bukan tanda permintaan maaf, kan?

"Jadi sebelumnya, gue mau bilang kalo gue lagi marah waktu gue mutusin pergi ke sini." Aruna menyesap jus, berbicara dengan suara yang begitu datar. "Jadi sebelum lo marah ke gue, paling nggak gue udah jelasin."

"Saya nyari kamu sejak malam sampai menjelang Subuh." Damar bersiap-siap ingin marah. "Kamu tau, kamu udah bikin saya capek nyariin kamu?"

Raut wajah Damar tidak bisa menyembunyikan perasaan kesal.

"Apa gue harus minta maaf?"

"No, thanks." Damar berhenti sejenak untuk menghirup kopi.

"Lo nggak khawatir?"

***

"Lo nggak khawatir?"

Aruna merutuk. Seharusnya ia tidak menanyakan pertanyaan bodoh itu.

Damar siapanya sampai harus khawatir? Laki-laki itu tidak pernah peduli apapun yang ia lakukan, makanya tadi Damar cepat-cepat menjelaskan jika ia mencari Aruna karena papa dan mama mengkhawatirkannya.

Bukan karena Damar memang ingin mencari karena mengkhawatirkannya.

Mengapa ia berharap Damar mau menghabiskan waktu untuk memikirkan tentangnya?

Semua orang mematahkan hatinya berulang-ulang.

Mengapa tidak ada seorang pun yang sayang padanya?

"Saya sudah bilang tadi, saya nggak khawatir, tapi papa sama mama kamu yang khawatir. Bisa nggak kamu tuh mikirin mereka setiap mau kabur-kaburan seperti ini?"

Hati Aruna sakit mendengarnya.

Bahkan sekarang Damar menyalahkan dirinya.

"Dari dulu juga, gue emang cuma bisa nyusahin semua orang."

Aruna membuang kemasan jus yang isinya sudah habis ia minum. Ia mengingat-ingat di mana ia menyimpan kunci mobil. "Lain kali, kalo gue pergi, nggak usah nyariin gue."

***

Damar memerhatikan mobil Aruna yang berbelok ke jalan besar. Sekarang Ira sudah berpindah posisi ke mobil Aruna, jadi ia mengikuti dari belakang.

"Udah, jangan nangis lagi, Run. Gue masih ada di sini buat lo."

"Lo pergi aja, Ra. Tinggalin gue sendiri."

"Run, gue sayang sama lo, Run. Please, lo jangan bilang nggak ada yang sayang sama lo. Aduh, malah gue ikutan nangis."

Aruna menangis?

Damar tidak pernah sekalipun melihat Aruna menangis sebelumnya. Benar-benar tidak pernah sekalipun. Saat sesi sungkem kepada orangtua di hari pernikahan mereka, momen haru di mana semua orang menitikkan airmata, ia malah tidak pernah terlihat menangis. Damar berpikir hati Aruna terbuat dari batu.

Pemikiran itu memang bodoh. Tidak ada manusia yang hatinya terbuat dari batu. Tidak ada manusia yang tidak mempunyai emosi.

Tapi berbulan-bulan hidup bersamanya, Damar menyaksikan sendiri bagaimana perilaku Aruna terhadapnya dan orang-orang di sekitarnya. Ia sangat keras kepala, pemarah, dan tidak segan mengumpat jika ada sesuatu hal yang mengganggu pikirannya.

Apakah ia telah mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaan Aruna?

Harus diakuinya, ia memang dalam keadaan emosional, hingga sempat berucap ketus padanya.

Seharusnya ia memahami, kondisi mental Aruna tidak sedang baik saat itu.

Ia baru saja kabur dan menghilang semalaman. Tentu saja ada alasan kuat mengapa ia sampai menghilang dan tidak memberi kabar.

Aruna tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia memang sesekali pulang saat dinihari.

Tapi, ia pasti pulang.

Damar masih sibuk dengan kecamuk pikirannya, saat mobil yang dikemudikan Aruna melambat. Mobil itu sempat menepi dan berhenti. Ia pun ikut menepikan mobil.

Ira keluar dari mobil dengan tergesa-gesa. Wajahnya penuh kepanikan.

"Dam, tolongin Aruna. Dia nangis-nangis sejak tadi."

Damar melepaskan sabuk pengaman dan secepatnya keluar dari mobil. Saat menghampiri mobil di sisi kemudi, ia menemukan Aruna tengah menangis sambil menutup mulutnya. Damar membuka pintu.

Belum sempat ia menghindar, Aruna berbalik memeluknya.

Dan memuntahi pakaiannya.

Astaga. Apa-apaan ini?

***

"Maaf."

Damar mendengar suara lemah Aruna yang tengah terbaring di sofa. Mereka baru sejam lalu tiba di rumah setelah sempat tinggal berjam-jam di klinik, menunggu sampai kondisi Aruna cukup kuat untuk pulang. Aruna tidak mau berlama-lama berbaring di atas brankar, ia ingin cepat pulang. Jadi setelah memastikan obat-obatan sudah lengkap, Damar pun membawanya pulang.

Sesaat setelah Aruna memuntahi pakaiannya, Damar langsung melepaskan kemeja. Untungnya, kaus putih yang ia pakai tidak sampai ikut kotor. Perasaan kesalnya kepada Aruna tergantikan perasaan khawatir.

Ya, jelas sekarang ia mengkhawatirkan Aruna, ia suka atau tidak.

"Mmh," gumam Damar. Ia sempat tertidur saat menunggui Aruna. Ia berdiri untuk mengambilkan air mineral yang ia tuangkan ke gelas.

"Ira di mana?" tanya Aruna saat Damar menyodorkan gelas berikut sedotan putih.

"Dia ke swalayan, katanya mau beli bahan makanan," jawab Damar singkat.

Wajah Aruna sudah terlihat lebih cerah, tidak lagi begitu pucat. Menurut dokter, penyakit GERD Aruna kambuh, dipicu kondisi lambung yang terlalu asam ; Aruna mengakui beberapa hari ini ia jarang makan dan puncaknya kemarin ia banyak minum alkohol, ditambah stress yang juga semakin memperparah kondisinya.

Dokter menganjurkan Aruna untuk menjaga lambung dengan makan teratur dan beristirahat. Ia mendengar dokter meminta Aruna untuk berhenti minum minuman beralkohol dan merokok. Aruna mengiyakan dengan anggukan pelan.

Damar mempertimbangkan apakah ia juga harus meminta maaf, sebab mungkin saja karena sikapnya selama ini juga turut berkontribusi terhadap penyakit Aruna. Ia memang memilih mengabaikan Aruna, namun akhir-akhir ini mereka beberapa kali terlibat perdebatan. Mulai sekarang ia akan mencoba menahan dirinya mengatakan sesuatu yang bisa menyakiti perasaan Aruna.

"Saya minta maaf." Damar akhirnya berhasil mengucapkannya.

Aruna menggeleng pelan.

"Gue lebih senang bertengkar sama lo. Jadi nggak perlu minta maaf. Lagian lo minta maaf kan karena gue lagi sakit aja. Kalau gue udah sehat, lo pasti nyuekin gue lagi."

"Saya nyuekin kamu, karena nggak mau terlibat lebih jauh sama hidup kamu."

Aruna mendesah. "Ahh. Gue lupa kalo hubungan kita cuma sementara."

Damar mengiyakan dalam hati. "Jadi, seharusnya saya nggak perlu terlalu baik sama kamu."

Aruna mengangguk. "Akan lebih aman buat kita."

Damar memandangi wajah Aruna beberapa saat. Menelusuri bayangan hitam di bawah kedua matanya. "Eryk pasti sosok yang sangat baik dan perhatian."

"Hmm, ya." Aruna mengiyakan. "Gue abis ketemu sama dia kemarin. Dia nanyain kabar, dia bilang kangen sama gue."

Damar tersenyum. "Good for you two."

Aruna memandangi langit-langit. "Lo punya pacar?"

"Saya nggak bisa punya dua hubungan dalam waktu yang sama," jawab Damar.

"Jadi, nasib lo sepenuhnya bergantung sama keputusan gue nanti?"

Damar terdiam beberapa saat lalu mengangguk. Menyangkal pun percuma, karena kenyataannya memang seperti itu. Ia tidak lebih dari sebuah pion catur yang bisa dimainkan oleh Aruna sesuka hatinya.

Jika saja dari awal ia mengetahui rencana busuk Aruna, ia tidak akan pernah menyetujui perjodohan mereka. Tidak alasan rasional untuk menyetujui pernikahan yang harus diakhiri dalam waktu singkat.

"Saya hanya ingin menikah sekali seumur hidup saya, Aruna. Tapi rasanya, harapan saya itu terlalu muluk untuk jadi kenyataan."

Sebenarnya rencana post part 5 di hari Sabtu, tapi berhubung idenya lagi agak lancar, jadi part 5 bisa selesai hari ini. Dan karena aku rasa pas aja kalo cut-nya di bagian ini.

Jadi semoga saja part 6 bisa dipost hari Sabtu yaa...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro

#marriage