Bab 2 - Why Human?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam sebelumnya

Kenapa harus menjadi Manusia?

Kenapa harus menjadi manusia?

Kenapa harus menjadi manusia?

Berulang kali pertanyaan itu terus bergaung di kepala Faylinn yang berdenyut-denyut.

Seiring tiap langkah yang terpincang-pincang, ia tidak tahu sudah berapa lama hari telah berlalu.

Tanah yang basah terasa dingin ketika bersentuhan dengan telapak kakinya, serta angin malam yang berembus kencang membuat tubuh telanjangnya menggigil kedinginan.

"Aku butuh air," kata Faylinn lirih. Suaranya bahkan lesap karena kelelahan.

Dia yang dahulu senang bernyanyi, bersenandung dan bergembira bersama penghuni hutan, kini semua telah terenggut. Tidak ada lagi suara-suara menenangkan dan menggembirakan. Tidak ada lagi tarian-tarian meriah yang menyenangkan. Semua itu telah hilang bagai asap yang terbawa angin, pergi menjauh dan tidak akan kembali.

Faylinn mengusap-usap leher. Kulitnya terasa kering dan kasar seakan tidak pernah diberi air dan kelembapan. Padahal semalam turun hujan cukup deras hingga membasuh tubuhnya yang penuh lumpur, tetapi tubuhnya kini menggigil dan terasa panas.

Faylinn tidak mengerti dengan semua kejanggalan yang terjadi pada sistem tubuh barunya. Tulang yang dilapisi daging dan kulit, darah yang mengalir setiap kali kulitnya tergores dan tertusuk ranting tajam. Fisiknya kini terasa lebih kenyal dan tidak kokoh. Tidak seperti batang pohon yang dulu dia tempati.

Faylinn tidak tahu jika menjadi manusia ternyata selemah ini.

Beberapa waktu sebelumnya, Faylinn masih sesosok Dryad. Manusia terkadang memanggilnya dengan sebutan dryad, druid, nymph, atau spirit alam khususnya hutan dan pepohonan.

Anggapan itu memang tidak semuanya salah, tetapi tidak pula sepenuhnya benar. Faylinn memang Dryad yang menghuni pohon beech dan dia termasuk bangsa Nymph.

Bangsa Nymph sendiri biasa disebut dengan roh atau spirit alam. Nymph itu ada banyak jenisnya. Dryad adalah salah satu dari jenis Nymph yang merupakan roh pohon. Ada sebutan yang berbeda terhadap roh pegunungan atau sungai. Semua itu berbeda karena punya tugas masing-masing.

"A-aaa...." Faylinn mencoba mengecek suaranya. Susah payah ia membuka mulut, tetapi yang keluar hanya bunyi mengerikan—keras, kasar, dan berat.

Di hutan, kebanyakan dyrad senang bernyanyi dan menari. Memeriahkan hutan dengan penuh kegembiraan. Semua instrumennya berasal dari alam. Suara-suara yang terbentuk bisa dari suara daun yang tergesek angin, rintik hujan, petir yang menggelegar di langit, bahkan burung yang bersiul. Semuanya selalu berasal dari alam yang asri.

Faylinn pun senang sekali bernyanyi dan menari ketika hutan masih baik-baik saja. Dia dan para roh hutan lainnya akan saling berbagi energi untuk tetap menyeimbangkan alam.

Akan tetapi, baginya sekarang tidak perlu menuturkan sebuah lagu, mengeluarkan suara demi berucap saja sangat sulit dilakukan. Ia juga tidak lagi mampu menari, apalagi dengan wujud fisiknya yang menyedihkan : Seorang manusia yang kakinya terenggut satu. Meninggalkan luka mengerikan usai pertarungan yang telah berlalu.

Suaranya nyaris habis, dia tersesat dan berubah menjadi manusia tunadaksa.

Bukankah lengkap sudah penderitaannya?

Faylinn menggenggam erat sebatang kayu panjang dengan tangan kanannya. Kayu itu ia jadikan sebagai tongkat untuk membantunya berjalan. Meski hanya dengan satu kaki, ia terus berusaha melangkah, berharap ada pertolongan yang akan mengakhiri penderitaannya.

"A-aku ingin kembali menjadi dryad," bisiknya dengan suara bergetar. Namun, Faylinn menyadari jika dia tidak tahu caranya kembali bersatu dengan esensi pohonnya.

Faylinn teringat dengan pertempuran yang telah usai beberapa waktu sebelumnya. Dia dan para Nymph berusaha mencegah Kegelapan untuk menguasai hutan. Pertempuran itu memang sudah berakhir, tetapi sekarang semuanya terasa hampa.

Kegelapan memang telah disegel. Namun, Faylinn yakin itu tidak akan bertahan lama, sebab Kegelapan selalu punya cara untuk kembali.

Sayangnya, sekarang Faylinn tidak tahu bagaimana nasib para nymph yang ikut berjuang dalam pertempuran itu. Apakah mereka ikut tersegel bersama Kegelapan? Atau berubah menjadi sosok lain seperti dirinya?

Faylinn tidak terlalu bisa mengingat. Dia juga tidak bisa bertanya kepada penghuni hutan atau merasakan alam sebagaimana saat dia menjadi dryad. Semua kemampuannya telah terenggut saat dirinya berubah menjadi manusia.

Langit malam yang mendung tanpa bulan menjadikan suasana semakin suram. Faylinn terisak dalam tangis ketika akhirnya tiba di perbatasan hutan, berhadapan langsung dengan padang rumput nan luas dan berbukit-bukit. Lebih jauh lagi, dia bisa melihat cahaya-cahaya kecil yang bersinar terang. Seperti kunang-kunang yang tidak dapat digapai hanya dengan sekali uluran tangan.

Faylinn yakin itu pasti rumah-rumah penduduk desa. Menurut cerita yang pernah dia dengar, manusia kebanyakan hidup berkelompok dan membangun tempat berlindung di suatu tempat. Mereka saling membantu dan hidup dengan rukun. Faylinn sangat berharap bahwa akan mendapat pertolongan jika bisa sampai ke tempat itu.

Satu kakinya yang lelah luar biasa tidak bisa lagi menumpu lebih lama. Pertahanan Faylinn pun runtuh, membuat tubuhnya terjatuh dan terbaring di atas rumput yang basah.

Kepalanya terasa berdenyut-denyut, dan pandangannya terasa berputar-putar. Semua itu membingungkan dan membuat Faylinn merasa tidak nyaman.

Dia sangat ingin semua penderitaannya berakhir. Dia berharap semua ini hanya mimpi dan akan menjadi ingatan belaka ketika terbangun nanti. Suara-suara yang tadi didengarnya mulai hilang pelahan-lahan. Pandangannya mulai memburam hingga terpaksa memejamkan mata untuk menahan sakit.

Tubuhnya bergetar hebat karena kedinginan. Faylinn lantas bergelung dan memeluk badannya demi mendapat kehangatan. Namun, itu ternyata tidak terlalu berhasil.

Siapa pun ... Tolong!

Jeritan terus disuarakan dalam hati. Rasanya menyesakkan.

"Meow."

Suara ngeong kucing yang kencang adalah hal terakhir yang dia dengar. Faylinn membuka matanya sejenak dengan bersusah payah. Dia melihat bulu-bulu halus kucing itu menggesek kulitnya. Panas tubuh hewan tersebut merambat padanya saat makhluk berbulu itu berbaring di sampingnya.

Faylinn tersenyum dengan sangat lemah. Mungkin, dia masih memiliki harapan untuk tetap hidup. Namun, ketika bayangan sesosok manusia tinggi datang mendekat padanya, Faylinn tidak lagi bisa berpikir dengan baik. Kesadarannya telah terenggut.

***

Faylinn berhasil duduk di tepi ranjang. Kini dia mampu mengingat salah satu kepingan memori mengerikan malam itu. Tangannya seketika bergetar, tetapi Chessy membuatnya lebih baik saat mendekatkan tubuhnya di samping perut Faylinn.

"Terima kasih," bisik Faylinn.

Chessy mengeong senang saat Faylinn mengelus bulu-bulu putih halus kucing itu. Satu-satunya warna selain putih yang ada di tubuh kucing itu ada di bagian kakinya, berwarna abu-abu seperti kaos kaki yang menempel di keempat kakinya.

Benar kata Dieter, Chessy ternyata hewan penurut. Bahkan, Faylinn jadi menyangka jika mungkin sebetulnya Chessy lebih dapat memahaminya secara emosional daripada dirinya sendiri. Kucing itu, seolah tahu apa yang Faylinn rasakan.

Chessy mengeong, lalu Faylinn tersadar bahwa dia perlu memakan sesuatu. Lantas diambilnya semangkuk sup yang telah Dieter sediakan sebelumnya. Sup itu masih hangat, terdapat asap samar yang mengepulkan panas.

Faylinn menyantap sup itu dengan penuh kebahagiaan. Kondisinya kini jauh lebih baik dibanding malam sebelumnya. Ia menghabiskan sup itu tanpa tersisa, lalu mencicipi sekerat roti yang ada di atas piring.

Berjam-jam kemudian, Faylinn dengan sabar menanti kepulangan Dieter. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Namun, pemuda itu tidak kunjung datang sampai malam tiba dan Faylinn jatuh mengantuk.

Keesokan harinya, Faylinn terbangun di tempat yang sama. Ia seolah mengulangi hari yang sama, tetapi tanpa ada Dieter yang menantinya terbangun.[]

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro