Sembilan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dika masih memperhatikan saat guru-guru menggendong Kara ke klinik. Wajah sahabatnya itu tampak damai dan tenang, sama sekali tidak seperti Kara yang dikenalnya. Namun, ada kerutan sedikit di wajahnya, kerutan yang merusak kesan bahwa dia tertidur dengan bahagia tanpa harus mengkhawatirkan apa pun.

Tugasnya, tugas mereka berdua, belum selesai. Dika harus menghadapi Austin. Sekarang juga. Mungkin dia masih memiliki waktu untuk menyelamatkan sahabatnya yang satu lagi.

Dika sudah merindukan kehadiran sahabat-sahabatnya ketika dia berjalan kembali ke kelas setelah dimintai sedikit keterangan mengenai Kara. Tampaknya para guru mengira Kara mengidap anemia, yang lumayan cocok kalau dilihat dari kulit pucat dan tampang kelelahannya beberapa minggu terakhir. Mereka panik dan menyuruh Linda mengambil barang-barang Kara di kelas.

Tidak, Kara akan baik-baik saja. Dika berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dia pasti dapat menemukan cara untuk menolong Kara setelah semua ini selesai. Entah kapan itu.

Sisa pelajaran diikutinya dengan tatapan kosong tidak fokus. Kebanyakan guru tidak peduli sama sekali. Dika boleh saja membolos pelajaran berhari-hari dan masih mendapat nilai sempurna saat ujian.

Dika merasa gatal. Dia tidak tahan duduk dan diam menunggu sementara seorang temannya sekarat dan dua lagi menunggu untuk diselamatkan. Dia harus berbuat sesuatu. Namun, Dika juga tahu dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Kekuatan Kara tidak boleh diketahui dunia meski kekuatan itu hampir menghancurkannya dan kemudian yang akan membantu menyelamatkannya.

Satu-satunya cara adalah menunggu Austin sendirian. Itu tidak akan sulit. Pemuda itu tidak akan diam saja. Dia masih akan mencari cara agar Kara menuruti perintahnya.

Saat semua itu melintas dalam pikiran Dika, mendadak semuanya terguncang. Dika menekankan kedua tangannya ke meja, memandang sekitarnya nanar. Anak-anak lain masih mengikuti pelajaran matematika Pak Anton dengan kalem.

Gempa bumi, pikir Dika heran. Apa yang terjadi?

Namun, sepertinya tak ada orang yang mennyadari gempa tersebut. Dika mengangkat tangannya, meminta izin untuk pergi ke toilet. Pak Anton mengangguk.

Setibanya di luar, pemuda itu langsung melaju ke klinik. Dia berlari secepat mungkin, lebih cepat dari yang pernah dilakukannya sepanjang hidupnya. Austin ... Austin hendak berbuat sesuatu dengan Kara.

Napas Dika terengah-engah ketika dia sampai di koridor tempat klinik berada. Tak ada orang terlihat sama sekali. Dika mengetuk pintu dengan perlahan, menjenguk masuk sedikit bingung. Seharusnya ada guru yang berjaga di klinik.

Kara berbaring di salah satu ranjang klinik yang tersisa. Napasnya teratur meski wajahnya nyaris tidak memiliki rona. Dan di sebelahnya, Austin berdiri dengan tenang, mengamati Kara dengan wajah dingin.

"Menjauh dari Kara," kata Dika langsung, tajam. Dia dapat merasakan api kemarahan menggelegak dalam dirinya. Pemuda ini ... bukan pemuda asli bahkan, telah memporak-porandakan kehidupan mereka. Dia mengisap kehidupan Kara. Dia merampas kehidupan Lunar dan Viola.

"Dika." Suara Austin tidak berbeda dari yang biasa. "Kamu kenapa? Sakit juga?"

"Aku tahu segala kebusukanmu, Austin. Menjauh dari Kara atau aku akan membunuhmu di tempat."

"Oh, bocah genius kita tersayang." Suara Austin mengejek. "Apa yang akan kau lakukan, menjelaskan rumus-rumus matematika padaku sampai aku mati kebosanan? Hmm?"

"Menjauh sajalah darinya, Austin." Dika merasa tubuhnya hampir meledak karena kemarahan. "Kau tidak berhak berdekatan dengannya."

"Jadi, dia memutuskan untuk membagi semuanya denganmu?" tanya Austin, masih dengan gaya meremehkan nan menyebalkan itu. "Itu tidak kusangka. Harus kuakui Kara mengejutkanku kali ini. Kukira dia terlalu takut."

"Jangan bicarakan Kara seolah-olah dia adalah pengecut!"

"Dia memang pengecut, Dika." Austin tersenyum sedikit, memalingkan wajahnya pada Dika. "Kau tahu sudah berapa lama kami menjalankan hubungan sebelumnya? Dia bahkan tak ingin memberitahu kalian semua tentang itu."

Dika semakin marah. Dia tahu Kara masih ada meski cara dia dan Austin membicarakan gadis itu seperti Kara sudah tiada, tapi Kara sebenarnya masih ada. Mungkin tidak lama, tapi masih ada.

"Kau tahu apa yang Kara lakukan begitu dia tahu apa keinginan terbesarku? Dia kabur dariku. Begitu saja. Tak ada selamat tinggal, tidak ada keterangan apa-apa. Dia menyiksaku dengan rindu yang tak tertahankan. Jangan bilang kau tak tahu betapa penakutnya Kara."

"Jangan bicarakan Kara seperti itu!" amuk Dika. "Dia masih anak-anak. Kita semua masih anak-anak. Jangan harapkan kita menguasai segalanya dan bertindak sempurna!" Dika diam sesaat, lalu mendesis, "Sekali lagi, Austin, kuminta kau menjauh dari Kara."

"Kau punya perasaan juga padanya," kata Austin, seperti tersadar. Senyum licik menghiasi wajahnya dan matanya yang gelap.

"Aku tidak mengerti maksudmu," Dika menjawab. "Tidak penting. Aku tetap akan membunuhmu sekarang juga kalau kau tidak menjauh dari Kara."

"Tahukah kau keadaan teman-temanmu di dunia imajinasi Kara?" Austin seperti tidak peduli sama sekali. "Kara sendiri sedang tidak berada di sana. Dia menyelamatkan dirinya sendiri, pengecut seperti biasa. Seperti dia memilih untuk mengorbankan teman-temannya dalam genggamanku dari pada menyerahkan dirinya sendiri. Dia tak peduli pada orang lain, kau tahu."

"Menjauh," geram Dika. "Dari. Kara." Dia tak dapat merasakan apa pun selain kemarahan. Austin tidak peduli pada Lunar dan Viola, dua orang yang sangat akrab dengannya. Mungkin dia masih jatuh cinta pada Kara, tapi cintanya beracun. Pemuda ini pantas dilenyapkan.

"Dia punya kepercayaan diri kau akan berhasil membunuhku," Austin melanjutkan. "Dan dia tahu imajinasinya bukan miliknya lagi. Dunia imajinasinya akan hancur bersamaan denganku, dan dia pergi dari sana meninggalkan teman-temannya."

"Apa?!" Dika terkejut. Dia tak pernah berpikir bahwa imajinasi Kara sudah tidak dimilikinya lagi karena besarnya kekuasaan Austin. "Kara ... tidak, Kara tidak akan melakukannya."

"Kau ragu." Austin menyeringai. "Itu bagus." Dia meletakkan tangannya di rambut Kara, mengelus lembut. Gempa itu terjadi sekali lagi.

"Kau mencoba merampas kekuatan Kara sepenuhnya," kata Dika muak. Gempa itu terjadi karena Austin mencoba melakukan pemindahan kekuatan yang nyaris sekuat dunia itu sendiri. "Langkahi dulu mayatku kalau kau mencoba melukainya."

"Itukah yang kau pikirkan? Yang Kara pikirkan? Bahwa aku sanggup melukainya?" Austin tampak agak sedih. "Aku ingin menguasai dunia. Aku akan membuat Kara menjadi ratuku. Aku tak akan melukainya. Sama sekali." Dia menatap tajam Dika. Sinar matanya sinting. "Tidak seperti kau. Dan teman-temanmu. Kefanaan kalian-lah yang melukai Kara-ku."

Pembicaraan ini tak akan pernah berakhir, Dika tersadar. Tidak akan pernah, kecuali dia mengakhirinya.

Dika mencoba menfokuskan diri untuk merasakan kekuatan Austin. Dia tak tahu bagaimana caranya, dia hanya melakukannya, membayangkan hal yang sama seperti yang ditunjukan Kara padanya. Lalu, dia mulai melihat benang-benang cahaya yang sama mengelilingi tubuh Austin. Benang-benang itu mengalir padanya sebagian, tapi tidak cukup cepat.

Dika! Suara Kara dalam benaknya begitu samar. Hitam dan putih!

Dika terperangah untuk beberapa saat. Austin tidak memperhatikan. Dia fokus pada Kara.

Entah terpengaruh ucapan Kara atau apa, Dika mendadak dapat melihat cahaya-cahaya energi Austin lebih jelas. Hitam dan putih, saling berjalinan sehingga tampak kuat. Energi itu berputar dengan lambat dan diisap oleh kekuatan Dika dengan lambat juga.

Hitam dan Putih, ulang Dika takjub dalam hati. Dia mengerti. Keduanya saling menyokong. Keduanya dibutuhkan untuk berada di dunia.

Kara memintanya fokus pada satu. Hitam dan putih.

"Austin. Menjauhlah dari Kara."

Austin menoleh sedikit padanya. "Kau mau tahu bagaimana dunia terlihat bagiku sebelum Kara mulai?" Dia mendekati Dika, mencengkeram tangannya.

Dunia menggelenyar. Dika merasa gamang. Austin masih di sebelahnya, terus berceloteh dengan menyeramkan. "Kau hanyalah fiksi. Kau dapat melihat dunia nyata hanya sejauh yang diizinkan pembuatmu."

Di sekeliling mereka masih klinik yang sama, tapi pusaran energi tampak lebih jelas lagi bagi Dika di sini. Dia melihat cahaya milik Kara yang terisap padanya dan Austin, sebagian cahaya hanya mengambang di udara kemudian lenyap. Dika tak sempat memikirkannya terlalu jauh karena Austin mengalihkan pikirannya.

"Kau tahu betapa menakjubkannya dunia nyata terlihat?" Austin terdengar setengah bermimpi.

Perlahan, Dika memanggil kekuatan Austin. Rasanya sulit memisahkan jalinan erat hitam dan putih itu, tapi dia dapat melakukannya. Dia memerintahkan mereka untuk datang padanya, dan sinar hitam dengan senang hati melakukannya. Mereka datang, lebih cepat dan lebih cepat.

"Apa yang kau lakukan?" Austin bertanya ngeri.

Dari sudut matanya, Dika dapat melihat Kara bangun. Kara tak melihat mereka. Austin tampak hendak meraih Dika bersamaan dengan kembali ke dunia nyata, tapi Dika mencekiknya terlebih dahulu.

Austin melotot, tangannya menjulur untuk balas mencekik. Mereka berdiri seperti itu, lama sekali, saling mencekik tanpa ada yang berani melepas. Austin jelas lebih unggul. Tubuh atletisnya terlatih dan tenaganya besar.

Cengkeraman Austin di leher Dika semakin kuat. Dia ingin mengerang, tapi tak memiliki udara cukup di paru-parunya untuk itu. Austin semakin marah dan Dika semakin lelah.

Dika hanya perlu waktu. Saat berada sedekat ini dengan Austin, dia bahkan tidak perlu berusaha untuk engisap kekuatan pemuda itu sama sekali. Cahaya-cahaya hitam memisahkan diri dengan sendirinya dan masuk untuk menjadi bagian dari dirinya dengan sukarela.

Beberapa lama lagi, Dika berpikir dengan susah payah. Sebentar lagi.

Tak jauh dari mereka, Kara sedang menulis. Entah menulis apa, cepat sekali. Dika merasakan kekuatan Austin menyurut dari lehernya dan segera membebaskan diri. Entah mendapat tenaga dari mana, Dika berhasil membanting Austin ke bawah. Pemuda itu terluka, kekuatannya mengalir lebih cepat lagi saat dia berusaha memulihkan diri, sekaligus dikonsumsi oleh Dika lebih cepat lagi.

Austin bergerak sedikit. Dika yang panik mengarahkan sedikit energinya dan Austin langsung terkapar. Pukulan itu tidak kuat, tapi dampaknya langsung terasa. Austin kalah. Cahanyanya terurai dengan sangat cepat, hitam menuju padanya dan putih terus mengelilinginya, tapi terlihat begitu lemah.

Saat semua energi Austin sudah terurai, pemuda itu pergi.

Dika berdiri sendirian selama beberapa saat, lelah dan ketakutan. Lalu, dia menoleh pada Kara.

Gadis itu duduk dengan tenang. Senyum kecil menghiasi ujung bibirnya. Perlu waktu beberapa lama bagi Dika menyadari cahaya kehidupan Kara bergerak pada buku tulisnya. Cahaya terakhir Kara.

Kisah di dalamnya menjadi hidup, Dika dapat merasakannya. Dia tidak peduli kisah apa yang sebegitu berharganya sampai Kara rela memberikan energi terakhirnya untuk itu.

Dika tak berbicara apa pun lama sekali. Austin sudah dikalahkan. Kara pergi selamanya. Mungkin Lunar dan Viola juga.

Austin salah. Dia tak punya perasaan romantis apa-apa pada Kara. Dia adalah sahabatnya. Mereka semua adalah sahabatnya. Bahkan Austin.

Air mata menggenangi matanya sesaat sebelum Dika menyerah pada kegelapan yang mengukungnya.

31 Maret 2020

Rye

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro