Chapter 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#drc2021 #domesticromancecompetition2021 #naulimediaxkamaksara

Happy reading 🌹

*****

Pekerjaanku bertambah berat sejak Papa jarang datang ke Daisy Hotel dan lebih sering mengunjungi proyek barunya di Kulon Progo.

Jam kerja yang tadinya hanya sampai pukul 4 sore, sekarang bisa mundur hingga pukul 7 malam. Aku sering merasa bersalah pada Mas Devan, tapi untungnya dia mengerti. Malah dia sering datang ke hotel memakai jasa gojek, lalu pulang bersamaku dengan dia yang mengambil alih stir mobil dengan alasan aku harus istirahat karena lelah bekerja seharian. Sering juga terjadi, Mas Devan kembali ke gedung atau venue pernikahan setelah mengantarku pulang dan baru pulang kembali lewat tengah malam.

Padahal kalau dipikir, kami sama. Mas Devan juga belerja seharian. Pekerjaannya malah jauh lebih berat karena sering terjun langsung ke lapangan. Sementara aku hanya duduk manis di dalam ruangan ber-AC. Tapi kembali lagi, seperti itulah suamiku, yang selalu mementingkanku di segala keadaan.

"Sayang," sapaan lembut itu selalu mampu membuyarkan lamunan yang ada.

"Ya, Mas?" tanyaku.

"Ngelamunin apa sih sampai nggak sadar udah sampai rumah Papa?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Nggak kok. Yuk masuk."

"Ada tamu? Atau Mbak Nita ganti mobil?" tanya Mas Devan saat menunjuk sebuah CRV hitam di halaman rumah, yang terparkir tepat di samping mobil kami.

Aku mengangkat bahu. Setahuku, Papa tidak pernah mengatakan ingin mengganti mobilnya. Mbak Nita juga masih setia dengan Brio-nya.

Mbak Nita memintaku dan Mas Devan untuk datang ke rumah malam ini. Entah akan ada pembahasan apa. Urusan bisnis? Bukankah bisa dibicarakan besok pagi saat kami bertemu di hotel? Tapi, kenapa harus mengajak Mas Devan? Terlebih ada mobil asing yang ku yakini sebagai tamu malam ini.

Entah kenapa, pikiranku selalu jelek jika harus datang ke rumah, bertemu Mama dan Papa terlebih ada Mas Devan yang ikut bersamaku.

"Assalamu'alaikum," sapa kami saat memasuki rumah.

"Waalaikumsalam," jawab mereka hampir serempak.

"Nah ini dateng juga mereka. Ayo langsung duduk aja," kata Papa.

Aku berpandangan sejenak dengan Mas Devan. Agak terkejut juga melihat Mas Arkan di sini. Jadi mobil CRV hitam itu milik Mas Arkan? Karena terakhir kali kami bertemu di Kalluna, Mas Arkan masih menaiki Pajero Sport miliknya. Tanpa banyak bicara, aku dan Mas Devan mengambil tempat duduk di samping Mbak Nita.

"Ada apa nih?" bisikku pada Mbak Nita.

"Dengerin aja," balasnya sambil berbisik juga.

Aku tak bertanya lagi. Menunggu obrolan yang akan menemani malamku. Semoga saja bukan obrolan berat yang membuat kepala nyaris pecah.

"Saya dan Nita sudah memutuskan, bahwa kami akan menikah," ucap Mas Arkan tenang setelah kami berbasa-basi beberapa saat.

Oh, oke. Apaaa???? Aku tidak salah dengar, kan? Mas Arkan mengatakan akan menikah dengan Mbak Nita? Ini nyata, kan?

Wajah sumringah tercetak jelas di wajah Mama dan Papa. Respon yang sangat berbeda saat aku dan Mas Devan meminta ijin untuk menikah tiga bulan yang lalu.

"Om tidak salah dengar, kan, Ar?" tanya Papa memastikan.

"Tidak, Om. Kami sudah serius membicarakan ini. Mungkin terkesan buru-buru untuk Om dan Tante. Tapi, kami sendiri juga tidak percaya bahkan akan memutuskan secepat ini."

"Nita sama Arkan nggak pacaran, Ma, Pa. terjadi gitu aja setelah sering ketemu, ngobrol dan ternyata nyambung. Rencana menikah aja baru kita obrolin dua hari yang lalu," sambung Mbak Nita.

"Betul, Om. Saya sudah berumur, Nita juga. Kami pikir, apa lagi yang akan dicari di usia tiga puluh ini? Lalu secara tiba-tiba saya mengatakan ingin berkomitmen dengan Nita. Ingin membawanya ke sebuah ikatan pernikahan. Takjubnya, Nita menerima komitmen itu."

Mama tersenyum puas, "Om sama Tante nggak perlu alasan kamu sevara detail begitu, Ar. Kalau kalian punya niat baik, ya disegerakan. Betul kan, Pa?"

Mataku memanas. Rasa bahagia dan sedih bercampur menjadi satu. Bahagia karena kakakku satu-satunya akan menikah. Sedih karena mengetahui bagaimana Mama dan Papa merespon dengan sangat baik. Apalagi ada Mas Devan di sini. Apakah Mama dan Papa sengaja melakukan itu?

Setelah ini apa lagi? Membandingkan kemapanan mas Arkan dan Mas Devan? Menyudutkan Mas Devan lagi? Ah rasanya aku tak sanggup jika mendengar Mama selalu melontarkan kata-kata pedas nan sinis pada Mas Devan. Padahal, apa sih salah Mas Devan? Dia tidak pernah membuat Papa dan Mama kecewa. Dia juga sudah berusaha sekeras mungkin untuk menjadi layak di pandang di dalam keluarga ini.

"Dan kami juga ingin meminta tolong pada Devan. Apakah bersedia menjadi wedding organizer pernikahan kami?" pinta Mas Arkan kemudian.

Mas Devan tersenyum, "Tentu. Dengan senang hati. Mas Arkan sama Mbak Nita bisa dateng ke kantor kapan aja."

"Tapi, kita rencana menikah sebulan dari sekarang. Apa bisa?" tanya Mbak Nita.

"Sebulan?" tanyaku kaget.

Mbak Nita mengangguk, "Biar cepet beres, Dek. Jadi kita mau serba cepet aja."

"Nanti aku rapatin dulu sama manajemen ya, Mbak," kata Mas Devan.

***

Mootiara benar-benar menyanggupi untuk mempersiapkan acara pernikahan Mbak Nita dan Mas Arkan dalam waktu singkat. Jujur, aku takjub saat melihat sendiri bagaimana kerja keras mereka.

Kebetulan juga mereka belum ada event bulan ini. Apalagi Mbak Nita dan Mas Arkan bukan orang yang ribet mau ini itu. Mereka adalah tipe orang yang simpel, tapi tentu saja acara pernikahan mereka bukan main-main. Berbeda dengan acara pernikahanku dan Mas Devan dulu yang diselenggarakan dengan sangat sederhana.

Kalau dibilang iri? Dengan berat hati aku harus menjawab ya. Siapa yang tidak merasa iri jika diperlakukan berbeda. Pernikahanku yang sangat sederhana, hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan diselenggarakan di venue outdoor hotel milik Papa. Sangat berbeda dengan Mbak Nita yang acara pernikahannya diselenggarakan di hotel bintang 5 dan undangannya pun mencapai seribu lima ratus undangan.

Namun aku berusaha memaklumi. Keluarga Mas Arkan termasuk jajaran orang penting di Yogyakarta. Koleganya juga tersebar di setiap sudut kota. Tamu yang datang juga pasti orang terpandang. Sudah pasti acaranya mewah. Dan aku tidak bisa membantah fakta itu.

Saat aku melihat Mas Devan, aku selalu bersyukur. Memiliki suami yang begitu baik, berani meminta maaf dan mengakui kesalahan saat melakukan kesalahan. Mas Devan yang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik, tidak pernah menyerah dengan segala keadaan. Aku benar-benar berterimakasih pada Tuhan karena itu.

"Makan dulu, Pak Manajer," kataku saat membuka pintu ruang kerjanya.

Mas Devan yang tengah sibuk dengan laptop, sontak menghentikan aktivitasnya karena kedatanganku.

"Hei," sapanya seraya melepas kacamatanya.

Aku tersenyum lalu menutup pintu. Ku langkahkan kaki dengan riang menuju meja kerjanya dan langsung memeluknya dari belakang.

"Kangen," kataku manja.

"Sini," kata Mas Devan sambil menarik lenganku agar berpindah posisi duduk di pangkuannya.

"Sibuk banget, ya?" tanyaku.

"Banget. Acara Mbak Nita sama Mas Arkan harus pecah. Aku sama Mas Iqbal bikin konsepnya nggak kaleng-kaleng. Kayaknya ini acara pernikahan termewah yang dikerjain sama Mootiara," katanya.

"Gimana persiapannya?" tanyaku.

"Alhamdulillah sejauh ini lancar. Cuma agak ngos-ngosan di undangan sih. Nggak pernah garap di waktu super mepet gini. Tapi kelar juga. Baru proses tempel nama, besok pagi udah bisa disebar."

"Wah, jadi yang di ruang tengah itu undangan Mbak Nita?" tanyaku takjub. Aku melihat tim Mootiara sedang sibuk dengan ribuan undangan saat masuk ke sini. Tapi aku belum sempat bertanya karena takut mengganggu. Ternyata itu adalah undangan milik Mbak Nita dan Mas Arkan. Pantas saja look-nya terlihat mewah.

"Yup. Bagus nggak?" tanya Mas Devan.

"Aku nggak lihat secara detail. Tapi sekilas kelihatan bagus banget, mewah. Top markotop deh Suamiku!"

"Bukan cuma aku. Mas Iqbal juga. Nanti dia ngamuk kalau namanya nggak disebut," guraunya.

"Okedeh. Mas Devan and Mas Iqbal team. Gitu, ya?"

Mas Devan terkekeh lalu menjawil pucuk hidungku. Aku mengalungkan kedua tangan di lehernya. Sementara tangan kiri Mas Devan terangkat merapikan poniku. Kami saling melempar senyum dan mendekatkan wajah kami.

"Ooppss!!! Maaf, maaf..., aku kasih revisian nanti aja deh. Silahkan dilanjutkan!"

Suara Mas Iqbal benar-benar mengagetkan kami. Kami berpandangan sejenak. Aku tertawa, sementara Mas Devan menggerutu dengan sukses.

"Ganggu bae!"

*****

#drc2021 #domesticromancecompetition2021 #naulimediaxkamaksara

Follow akun wattpad @ichaaurahmaa

Follow instagram
Ichaaurahmaa

20-07-2021
With love, IU ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro