Chapter 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#drc2021 #domesticromancecompetition2021 #naulimediaxkamaksara

Happy reading 🌹

*****

Surabaya, 2 tahun kemudian...

Aku sedang menunggu seseorang setelah selesai mengikuti kelas memasak saat ponselku berdering. Aku sudah mengganti pakaianku agar tidak ada yang mengenaliku sebagai peserta cooking class. Aku melirik layar ponsel, membaca nama si penelepon. Terpaksa aku mengangkatnya karena tidak punya kegiatan selain menunggu di sini.

"Ada apa, Mbak?" tanyaku begitu mengangkat telepon dari Mbak Nita.

"Kapan kamu mau pulang? Mama sama Papa tanya mulu," sahut Mbak Nita dari seberang telepon.

Aku tersenyum tipis di balik masker yang menutupi wajahku, "Nanti kalau semua udah siap, aku pulang."

"Dari dua tahun lalu jawaban kamu tetep sama. Masih pengen tinggal di Surabaya. Alesan mulu deh. Kita semua yang di Jogja kangen kamu, Fis. Kamu juga, nggak pengen lihat si kembar? Dari mereka lahir, kamu belum pernah lihat mereka," keluh Mbak Nita.

Ya, sejak aku bercerai dengan Mas Devan aku pindah ke Surabaya. Bahkan saat Mbak Nita hamil dan melahirkan, aku sama sekali tidak pulang ke Jogja. Sampai anak kembar Mbak Nita berumur satu tahun ini, aku tidak pernah menjumpai mereka. Aku hanya melihat perkembangannya melalui foto yang Mbak Nita kirim. Mbak Nita berharap, mengirim foto anak-anaknya mampu membuat hatiku luluh dan pulang ke Jogja. Tapi, aku belum mampu untuk itu. Aku baru saja berhasil menata hidup baruku di Surabaya.

"Iya, aku bakal pulang. Tapi nunggu kantorku jadi dulu," kataku.

"Bener ya? Kantor jadi, harus pulang," katanya. "Cesya apa kabar? Sehat kan?" tanya Mbak Nita.

"Alhamdulillah sehat, Mbak," jawabku.

"Wildan mana? Dia baru kelar acara sama kamu?" tanyanya.

Saat Mbak Nita menanyakan itu, sosok laki-laki yang dimaksud Mbak Nita muncul. Wildan berjalan mendekat seraya tersenyum padaku.

"Siapa?" tanya Wildan.

Aku menyodorkan ponselku padanya seraya menurunkan sedikit maskerku, "Mbak Nita."

Tanpa berkata apa-apa, Wildan menerima ponsel itu, "Ya, Mbak? Gimana?"

Aku menatapnya. Raut wajah Wildan terlihat santai, sesekali ia tertawa saat berbicara dengan Mbak Nita.

"Nanti kita ke Jogja, Mbak. Tunggu aja, ya. Kita juga baru nunggu kantor yang di Jogja jadi," kata Wildan. "Dikit lagi kok persiapannya."

Aku mengangkat alis saat mendengar ucapan Wildan. Ia tahu aku akan menanggapi, namun sebelum itu terjadi, Wildan sudah meletakkan jari telunjuknya di bibirku, memberiku kode agar aku menuruti ucapannya.

Aku hanya bisa mendesah pasrah saat tangan kiri Wildan terangkat untuk menepuk kepalaku perlahan, sementara tangan kanannya masih memegang ponselku. Aku segera memakai masker kembali untuk menutupi wajahku. Hanya menyisakan bagian mata. Bucket hat selalu menemaniku saat sedang bersama Wildan.

"Iya, Mbak. Siap. Fista baik-baik aja selama ada Wildan," katanya. "Oke, bye, Mbak."

"Mbak Nita bilang apa?" tanyaku saat Wildan mengembalikan ponselku.

Wildan tersenyum, "Biasa, disuruh cepet pulang. Tapi kan aku nunggu kamu aja. Kita juga masih nunggu kantor siap. Biar langsung ada kerjaan di Jogja."

Aku terdiam lalu menunduk, mataku terpaku pada ujung sepatuku.

"I know, you need more time."

Aku tersenyum tipis, "Nggak apa-apa, kalau kita di sini lebih lama?"

"Sure."

"Chef, thank you for today. Ada kelas lagi kapan Chef?" tanya seorang perempuan menyapa Wildan, yang ku tahu bernama Vika-salah satu peserta cooking class.

"You're welcome. Untuk kelas selanjutnya, nanti lihat pengumuman di sosial media, ya," jawabnya ramah.

"Oke. Thank you, chef," katanya lalu berlalu meninggalkan kami dengan tatapan menyelidik.

Wildan memang berprofesi sebagai Chef. Dua tahun ini juga aku belajar memasak darinya. Aku yang tadinya tidak bisa apa-apa, sekarang sudah bisa menguasai berbagai macam masakan. Indonesian, Asian, Western... semua cukup aku kuasai dengan baik.

Tidak hanya di rumah. Bahkan setiap Wildan ada kelas memasak di luar, aku sering mengikuti kelasnya. Ingin menambah ilmu di dunia kuliner.

"Mau ke mana habis ini?" tanya Wildan.

"Mau pulang aja, kangen Cesya. Lagian aku capek juga," kataku.

"Are you okay?" tanyanya khawatir.

Aku mengangguk, "I'm okay, Wil. Kan ada kamu."

Wildan terlihat lega, "Syukurlah kalau gitu. Oh ya, by the way, hasil masakan kamu tadi enak."

Mataku berbinar, "Oh ya?"

"Serius. Kamu udah banyak kemajuan. Aku kagum sama kamu. Kamu nggak bisa apa-apa tadinya. Sekarang udah pro."

Ku tonjok lengannya keras, "Bisa aja. Masih kalah kalau dibanding Chef satu ini."

Wildan tertawa keras, "Untuk orang yang bukan Chef, kamu udah bagus banget."

"Makasih, Wil."

"You're welcome, babe."

"Ayo pulang, aku udah kangen banget sama Cesya," rengekku.

***

Aku termenung di teras belakang rumah seraya menyeduh secangkir chamomile tea agar membuatku rileks sore ini. Mataku terpejam, menghirup aroma chamomile yang bisa menenangkan.

Udara Surabaya seperti biasa panas, angin yang berembus juga terasa hangat. Aku berusaha menikmati suasana seperti ini. Dan aku merasakan pijatan lembut di kedua bahuku. Aku menoleh ke belakang, tersenyum pada Wildan yang memijit bahuku dengan hati-hati.

"Kalau capek, istirahat dulu. Nggak perlu ikut aku pergi-pergi," katanya.

Aku menyentuh tangannya yang berada di bahuku, "Kata siapa capek? Aku seneng ikut kamu, juga ikut kelas masak kamu. Walaupun di rumah selalu dapet private, tapi seneng aja kalau ikut kelas kamu di luar."

Wildan meremas jemariku kemudian berpindah posisi menjadi duduk berhadapan denganku.

"Raut wajah kamu kelihatan capek. Kamu udah nggak pernah muntahin makan lagi kan?" tanyanya.

"Wil, aku..."

"Badan kamu udah bagus. Jangan lakuin itu lagi. Mau berisi, mau langsing, kamu tetep cantik, Fista. Nggak perlu terlihat sempurna di mata orang, buatku kamu udah sempurna."

Aku tersenyum tipis, "Thanks Will."

"Kenapa sih kamu mendadak murung begini?"

"Sebenernya," ucapanku terhenti sejenak. "Sebenernya aku nggak mau pulang, Wil."

"Kenapa? Kita udah sepakat sebelumnya. Kamu udah setuju kita buka usaha di Jogja. Kantor udah hampir siap."

Aku menggigit bibir dan menunduk, "Maaf. Pikiranku sering kacau akhir-akhir ini."

"Kamu takut ketemu mantan suami kamu?" Pertanyaan Wildan membuatku terdiam. "Kamu nggak akan bisa menghindari dia. Entah suatu saat nanti, kalian pasti akan ketemu lagi," kata Wildan. "Kamu nggak perlu takut. Ada aku."

"Menurut kamu, apa aku bisa, Wil?"

"Babe, look at me," titahnya dengan suara rendah. "You're the strong woman ever. Aku tahu itu, aku udah bareng kamu dua tahun ini sejak kamu pisah sama dia. Dan kamu tetep kuat. Bahkan kamu berhasil buat nggak minum obat sampai detik ini."

Aku tersenyum mendengar kata-kata itu. Wildan berusaha membesarkan hatiku.

"Kita tetep harus pulang, tapi kalau kamu belum siap untuk saat ini, aku akan kasih waktu. You need more time."

"Apa aku bisa, Will? Aku takut pulang ke Jogja bakal bikin kondisiku—"

Wildan menggeleng, "Ada aku, Fista. Kamu akan baik-baik aja selama kita sama-sama."

Apa yang dikatakan Wildan benar. Selama aku hidup bersamanya dua tahun ini, aku selalu baik-baik saja. Aku sudah tidak pernah minum antidepresan lagi dan lebih bisa menguasai diri. Terlebih ada bayi yang membutuhkanku.

"Kamu mau berenang?" tanya Wildan kemudian sambil berdiri. Aku mengangguk. "Take your time, biar aku yang jaga Cesya."

Aku tersenyum lalu berdiri, menanggalkan bathrobe dan menyisakan swim suit yang melekat di tubuhku. Ku peluk tubuh Wildan erat. Mencari ketemanganku di sana, di pelukannya.

"Kamu bener, Wil. I need more time. A little bit more," kataku lalu meninggalkannya untuk masuk ke dalam kolam.

*****

#drc2021 #domesticromancecompetition2021 #naulimediaxkamaksara

Ada Chef Wildan 😍 Wildan ini siapanya Fista ya? Hayoooo 😝

Follow akun wattpad @ichaaurahmaa

Follow instagram
Ichaaurahmaa

29-07-2021
With love, IU ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro