Chapter 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

#drc2021 #domesticromancecompetition2021 #naulimediaxkamaksara

Happy reading 🌹

*****

Sikap Mas Devan mendadak berubah. Ada kobaran api di kedua matanya. Sialnya, ada satu waktu di mana aku harus bertanya padanya secara langsung soal teknis acara terkait pergantian shift tamu undangan. Dan respon Mas Devan sangat ketus. Sangat berbeda dengan sikap sebelum dia melihat Wildan menciumku. Bahkan sejak melihatku dan Wildan tadi pagi, ku lihat Mas Devan beberapa kali meluapkan emosi pada timnya.

"Si Bos lagi PMS tuh."

"Si Bos kenapa sih? Marah-matah mulu dari tadi. Nggak kayak biasanya."

"Kayak abis diputusin pacar deh."

Aku beberapa kali mendengar celetukan itu dari mulut timnya. Semua terlihat bingung melihat sikap Mas Devan yang berbeda. Hari ini, Mas Devan sedang bad mood. Hanya aku yang tahu alasan kenapa sikap Mas Devan seperti itu. Karena akulah penyebabnya. Mungkin?

"Tamu udah habis. Catering bisa mulai diberesin," kata Mas Devan dengan suara kaku saat menghampiriku di dekat stand prasmanan.

"Oke. Aku beresin dulu sama tim," sahutku.

"Fis," panggilnya.

"Ada apa?"

"Aku rasa, kita perlu bicara soal kita."

Aku menghela napas lalu menatapnya, "Mas, kita baru kerja. Aku nggak mau campurin urusan kerjaan sama pribadi. Lebih baik Mas Devan urus pengantin yang mau makan siang. Aku juga harus beresin catering."

Aku segera meninggalkannya untuk membereskan semua perlengkapan catering dan memeriksa loading barang ke mobil box. Aku bersyukur, diluar masalahku dengan Mas Devan, acara pernikahan klien hari ini lancar. Aku sempat berkeliling dan mendengar banyak celetukan yang mengatakan bahwa rasa masakan cateringku enak. Rasanya puas dan bangga jika hasil kerjaku tidak mengecewakan.

"Fis."

Aku sudah berusaha membereskan barang lebih cepat agar bisa kabur lebih dulu dari Mas Devan. Sialnya, semesta tidak memihakku. Mas Devan sudah berada di hadapanku saat aku membuka pintu ruang loading barang dengan menenteng tas.

"Apalagi, Mas?" tanyaku.

Oke, kamu berdua sudah gila Mas Devan memanggilku dengan nama langsung, sementara aku memanggilnya dengan sebutan Mas, bukan Pak seperti biasanya. Padahal di dalam ruangan masih banyak pegawai kami yang sedang beristirahat. Jelas saja mereka bingung dengan interaksi kami yang berbeda dari biasanya.

"Kita perlu bicara. Kita emang udah cerai, tapi apa salah aku ngajak kamu bicara?"

Mas Devan gila! Membongkar status kami di hadapan para pegawai. Bahkan aku mendengar ada yang tersedak mendengar pengakuan Mas Devan.

"Bicara apa lagi? Aku udah tegasin sama Mas Devan, kalau aku nggak mau kita bahas masa lalu kita. Hubungan kita cuma sebatas rekan kerja, Mas. Nggak lebih!"

"Buat aku, hubungan kita nggak sesederhana itu," katanya.

Aku menghela napas, "Bahas apa lagi sih, Mas? Kisah kita udah selesai dua tahun yang lalu. Kita udah cerai secara hukum dan agama. Apa lagi yang perlu dibahas?"

"Aku sayang sama kamu, Fista. Aku masih sayang sama kamu."

Tuhan tolong!

"Kamu pikir, aku bisa dengan mudah hapus kamu dari hidupku setelah kita bareng-bareng selama itu? Tujuh tahun, Fista. Tujuh tahun!" katanya.

Aku hanya bisa mencengkram kenop pintu erat seraya mengedipkan mata beberapa kali untuk menahan air mata yang jatuh.

"Sejak ketemu kamu, aku berusaha nahan semua rasa yang masih aku pendam. Tapi, sejak aku lihat kejadian tadi pagi, aku nggak bisa lagi nahan semuanya."

"Aku cemburu waktu lihat kamu sama Wildan, dan Wildan gendong anak kalian. Aku selalu memimpikan hal itu sama kamu. Saat kamu minta cerai, kamu bilang nggak siap punya anak. Kamu masih mau berkarir. Kamu bilang aku alasan kamu jadi terbebani karena selalu bahas anak. Tapi sekarang?" tanya Mas Devan.

"Setelah kita cerai, kamu pergi ke Surabaya. Kamu nikah sama Chef terkenal itu dan punya anak. Kalian bahagia tanpa tahu aku berusaha keras untuk lupain kamu. Aku sakit, Fis. Rasanya sesak harus lihat kamu bahagia sama orang lain," kata Mas Devan dengan suara bergetar.

Aku berusaha menelan saliva dengan susah payah. Tolong berhenti, Mas Devan.

"Aku selalu berusaha buat lupa sama kamu, tapi nggak bisa! Terlalu banyak hal yang udah kita lewati sama-sama. Terlalu banyak yang udah terpatri di dalam sini. Tapi kamu? Kamu dengan teganya buang aku kayak sampah. Kamu bahagia, kamu ketawa sama keluarga baru kamu."

Air mataku kini bercucuran. Rasanya sakit sekali saat Mas Devan mengutarakan perasaannya.

"Aku tahu kamu sengaja pamer kebahagiaan kamu di depan aku. Tapi tolong, jangan pernah tunjukin kebahagiaan kamu di depanku, saat aku belum bisa lupain kamu. Aku masih terseok-seok, sementara kamu udah berlari jauh. Aku nggak bisa, lihat kamu yang tadinya jadi istri yang paling aku sayang, sekarang udah jadi milik orang lain bahkan udah punya anak. Dalam waktu dua tahun kita berpisah! Aku harus bilang kalau—"

"Wildan bukan suami aku dan Cesya bukan anak aku, Mas Devan!"

***

Setelah berteriak tepat di depan mukanya, suasana ruangan makin hening. Mungkin para pegawaiku menahan napas mendnegar teriakanku. Setelah itu, Mas Devan langsung menyeretku keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Ia langsung menelepon Mas Ferdi untuk membereskan semuanya. Akupun mengetik pesan pada Fani agar membereskan urusan catering.

Aku juga sudah memberi tahu Wildan kalau dia tidak perlu menjemputku. Tentu saja karena Mas Devan mantan suamiku ini memaksaku untuk berbicara.

Dan di sinilah aku. Berada di rumah Mas Devan. Bukan rumah yang kami tempati saat kami menikah dulu. Tapi rumah baru dua lantai tipe modern minimalis di lingkuran perumahan elit. Mas Devan telah membuktikan ucapannya. Ia telah meraih kesuksesan. Dalam waktu dua tahun, Mas Devan bisa membeli rumah dan sebuah Pajero Sport. Apakah aku kecewa? Ya, aku kecewa bukan karena dia sukses setelah kami bercerai. Tapi aku kecewa karena Mas Devan meraih semua itu sendirian, tanpa ada aku yang menemaninya dan mensupportnya dari belakang.

"Mau minum apa? Teh, kopi, sirup?" tawarnya.

"Air putih aja," sahutku. Mas Devan tersenyum lalu berjalan menuju dapur, mengambil segelas air putih untukku.

"Silahkan," katanya setelah kembali dan meletakkan segelas ajr putih di atas meja.

"Makasih."

"Kamu hutang penjelasan sama aku, Fista."

Aku terdiam, lalu meraih gelas itu dan langsung meneguknya hingga setengah. Tenggorokanku mendadak terasa kering saat Mas Devan memintaku bercerita.

"Fis, kamu bilang, Chef Wildan dan Cesya bukan suami dan anak kamu. Tapi kenapa berita di media..." Mas Devan menggantung ucapannya seperti ragu. "Dan aku lihat kamu tadi pagi ciuman sama dia."

Aku tersenyum tipis. Entah darimana aku harus bercerita. Ternyata aku selemah itu jika berhadapan dengan Mas Devan. Hal yang ingin ku tutupi kebenarannya, ku bobgkar begitu saja saat Mas Devan berasumsi yang tidak-tidak.

"Panjang ceritanya, Mas," lirihku.

"Aku bakal dengerin, Fis."

"Wildan itu saudara sepupuku dari pihak Mama, anaknya Tanteku," kataku mengawali cerita. "Kami mendadak deket walaupun sebelumnya nggak pernah ketemu karena Wildan sama keluarganya tinggal di Amerika. Wildan baru pulang ke Indonesia tepat sebelum kita pisah."

"Dia yang nolongin aku waktu aku dateng pertama kali si Surabaya. Aku numpang tinggal di rumah dia. Aku berusaha hibur diri dengan memasak. Belajar masak dari Wildan."

"Terus... Cesya?" tanya Mas Devan hati-hati.

"Cesya emang anak kandung Wildan. Tapi bukan anakku. Wildan punya anak sama pacarnya, tapi setelah melahirkan, pacarnya pergi. Ninggalin anaknya," lirihku saat mengingat kilas balik bagaimana dulu Cesya bisa berada di rumah bersama kami.

"Wildan nggak bisa rawat bayi karena harus kerja. Akhirnya aku menawarkan diri buat ngurus anak Wildan. Bisa dianggap hubungan kami sebatas menjadi sosok orang tua buat Cesya. Bahkan Wildan mengajari Cesya dari bayi untuk memanggilku Mama untuk menghargaiku karena udah mengasuh Cesya dari bayi, karena nggak ada lagi sosok Ibu buat Cesya."

"Dan aku cukup seneng, bisa menjadi orang tuanya secara nggak langsung. Aku belajar banyak hal selama ada di Surabaya dan membuat aku cukup berkembang sekarang."

Aku berhenti bercerita ketika melihat tatapan Mas Devan berubah sendu. Ia pasti tidak menyangka akan mendengar cerita seperti ini dariku.

"Fis, kamu bilang... status kamu sama Wildan cuma sebatas jadi sosok orang tua buat Cesya. Tapi kenapa... aku lihat kamu sama Wildan—"

"Ciuman?" tanyaku membuat Mas Devan terdiam mati kutu. "Banyak hal nggak terduga terjadi, Mas. Setelah aku rawat Cesya beberapa saat, perasaan Wildan berubah. Dia secara terang-terangan bilang kalau dia sayang sama aku. Aku paham, sangat mungkin hal itu terjadi. Karena dia setiap harinya lihat aku aama Cesya yang beneran kayak Ibu dan Anak pada umumnya."

"Walaupun Cesya bukan anakku, tapi sejak dia bayi aku yang rawat dia. Dia udah kayak anakku snediri, Mas," jelasku dengan sesekali menyeka sudut mata dan hidungku yang berair.

"Kamu pikir, kenapa Wildan selalu menutupi identitasku dan Cesya dari media? Karena aku emang bukan istrinya. Sementara Cesya adalah anaknya. Kalau aku emang istrinya dan Cesya adalah anak kami, Wildan nggak akan nutupin kami dari media, Mas. Hubungan kami terlalu rumit. Belum lagi soal pacar Wildan yang sampai sekarang nggak ada kabar setelah ninggalin Cesya gitu aja."

Mas Devan menggenggam jemariku. Aku bersumpah, tatapan matanya mampu membuat tubuhku lemas seperti jelly.

"Hubunganku sama Wildan...," kataku menggantung. "Aku beberapa kali coba buat buka hatiku buat dia. Tapi selalu ada penolakan dari hatiku."

Aku menatap Mas Devan lembut, "Mas udah nikah lagi, kenapa Mas berani ajak aku ke rumah?"

"Kata siapa aku udah nikah?"

"Aku pernah lihat ada foto pernikahan di ruang kerja kamu, tapi aku nggak bisa lihat dengan jelas soalnya silau."

"Itu foto pernikahan kita," jawab Mas Devan.

Aku menunduk. Mas Devan masih menyimpan foto pernikahan kami? Bahkan memajangnya di ruang kerjanya di kantor? Pantas saja waktu itu Mas Ferdi mengamati wajahku dengan serius.

"Mas, boleh aku tanya sesuatu?"

"Tanya apa?"

"Sebelum kita pisah, kamu masih bangun Mootiara sama Mas Iqbal. Kenapa tiba-tiba sekarang kamu buka usaha sendiri? Mootiara gimana kabarnya?"

Mas Devan menegakkan punggungnya, "Mas Iqbal kena kasus. Dia nggak transparan sama dana bisnis. Akhirnya aku memutuskan mendirikan WO sendiri. Mootiara udah collapse."

Aku terkejut mendengarnya. Mas Iqbal tersandung kasus? Pantas saja sejak aku datang ke sini, aku tidak pernah mendengar nama Mootiara.

"Fis, gantian aku yang tanya ke kamu."

Aku mendongak, menatap kedua mata Mas Devan yang kini menatapku lembut, "Kamu nolak kehadiran Wildan di hati kamu, apa karena kamu masih cinta sama aku, Fis?"

*****

#drc2021 #domesticromancecompetition2021 #naulimediaxkamaksara

Eaaaa ambyar nggak jadi Fista? Udah cerai, tapi foto pernikahan masih dipajang dong 😝

Follow akun wattpad @ichaaurahmaa

Follow instagram
Ichaaurahmaa

31-07-2021
With love, IU ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro