FMN - 13. Peduli

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo suka sama dia."

•-•

Cahaya oranye sang surya menyusup masuk ke dalam kamar. Sang empunya ruangan masih saja meringkuk di lantai dekat kaki ranjang. Ivy dengan isakan kecilnya mencoba duduk dengan tubuh yang terasa sangat lemas. Ia lelah menangis. Ia hanya bisa berdoa, semoga tak ada yang berubah setelah kejadian subuh tadi.

Menarik nafas dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Ivy memaksakan diri untuk bangkit, berjalan menuju balkon kamar.  "Udah mau malam."

Ting tong ... Ting tong ... Ting tong

Seseorang berdiri di depan pintu utama rumah Prayata sambil memencet bel dengan tidak sabarnya. Orang itu membalikkan badan,

"Pak Jon, apa di dalam ada orang?" tanyanya dengan berteriak pada satpam di dekat gerbang rumah ini.

"Ada kok Dan, hari ini Nak Ivy sama Den Yudha gak keluar sama sekali," jawab satpam bernama Jono dengan berteriak juga.

Ia kembali memencet bel berulang kali. Oh... sungguh menyebalkan, batinnya.

Apa perlu ia membakar rumah ini agar pemiliknya keluar? Ah... bukan ide yang buruk, tapi itu konyol. Saat hendak menekan bel lagi, seseorang membuka pintu dengan raut tak kalah geram.

"Paan sih lo Dan, mencet-mencet bel rumah orang bolak-balik. Emang lo pikir gue budek apa? Sabaran dikit kek," semprot Yudha sambil mengunyah kripik singkong yang ada di tangannya.

Dana yang sejak tadi menahan amarah, dengan wajah merah dan rahang mengeras, mendorong Yudha. Hampir saja pemuda itu terjungkal.

"Eh ... Dana apaan sih lo. Dateng- dateng udah marah aja, pms lo? Kalo toples ini jatoh gimana? Soalnya ini cemilan terakhir yang tersisa " Yudha jelas tak terima pada Dana yang telah seenak udel mendorong mundur tubuhnya untuk bisa masuk ke dalam.

"Gue udah berdiri di depan rumah lo lima belas menit sambil mencet-mencet bel kek rentenir nagih utang. Terus lo dengan santainya ngomong gitu sambil buka pintu, tanpa mempersilahkan gue masuk. Gada akhlak emang."

Masih sibuk mengunyah kripik singkongnya Yudha pun menjawab dengan santai. "Alah, biasanya lo juga langsung masuk aja sih, kagak usah ritual pencet bel segala."

"Itu dulu, sebelum ada seorang gadis yang tinggal di rumah ini." Nada suaranya melembut seketika saat membicarakan Ivy.

Yudha langsung berhenti menguyah, nafsu makannya mendadak lenyap mengingat gadis itu.

Dari pagi dia belum makan. Ah bodo, bukan urusan gue.

Yudha memutuskan untuk tak peduli. Dia melangkah menuju dapur, meninggalkan Dana seorang diri di ruang tamu. Dia melihat ada nasi goreng di atas kompor.

"Itu masakan Ivy?" gumamnya lalu berjalan mengambil air di kulkas dan bergegas kembali ke ruang tamu.

"Lo, kenapa gak sekolah?"

"Gue kesiangan," jawab Yudha malas.

"Terus kenapa lo gak bisa dihubungi?" tanya Dana lagi yang masih berkutat dengan ponsel.

Yudha merebahkan tubuh di sofa panjang, melipat tangan kanan di atas dahi dan memejamkan mata sejenak. "Batere ponsel gue habis."

"Terus, Ivy kenapa gak masuk juga?"

Pertanyaan yang terlontar dari Dana kali ini sukses menarik perhatiaan Yudha. Ia menurunkan tangan lalu menoleh pada sahabatnya di sebrang sofa panjang yang ia tiduri.

"Gue gak tau," ucap yudha setenang mungkin.

"Lo suka sama dia." Pernyataan yang keluar dari mulut Yudha sukses membuat Dana menoleh padanya.

"Lo tau kan, kalau gue bukan penganut pacaran masa SMA."

"Tapi ... gue gak bohong kalo suka sama kepribadian gadis itu," imbuhnya lagi.

Yudha mendecih, "Lo udah masuk perangkap. Dia itu penipu ulung, licik. Jangan percaya sama covernya. Hati-hati aja dah lo sama dia."

Dana menyatukan kedua alisnya. "Gue yakin dia cewek baik."

"Dan gue yakin lo pasti bakalan jatuh hati sama dia," lanjut Dana dalam hati.

"Yaudah gue pulang dulu, Assalamu'alaikum."

Dana langsung bangkit dari duduk, mengayunkan kaki menuju ke pintu utama. Sedangkan Yudha melangkah ke dapur lalu meraih piring, mengisinya dengan nasi goreng.

"Jangan dimakan, nasi itu sudah basi."

Yudha menoleh bersamaan dengan gerakan sendok yang berhenti di udara. Ia belum sempat memasukkannya ke dalam mulut. Pemuda tersebut menaruh piring, menggeser tubuhnya menjauh dari meja pantri.

"Maaf udah buat lo telat makan karena gue gak masak."

Ivy membuka kulkas. mengambil semua bahan makanan. Yudha tak berkata apa-apa hanya berjalan menuju meja makan, duduk menunggu di sana. Entah setan apa yang membuatnya duduk di sini, menunggu Ivy sampai selesai masak bahkan sekarang makan malam bersama. Biasanya ia lebih memilih makan di kamar ketimbang harus satu meja dengan Ivy.


***

"Ivyyy gue kangen ama lo." Bita berteriak dari ambang pintu lalu memeluk Ivy dengan posisi duduk.

"Lo, kemaren ke mana? Terus kenapa lo gak angkat panggilan gue dan gak bales chat gue?" tanya Bita dengan wajah yang ditekuk dan bibir yang dikerucutkan.

"Gue gak enak badan kemarin. Terus daya ponsel gue habis, dan sampai sekarang gue belum sempet ngecas. Maaf ya, Ta." Ivy tersenyum di akhir kalimat. Tak mungkin jika ia menceritakan yang sebenarnya pada Abita.

"Vy, gue mau cerita sama lo. Kemarin Kak Agian ke sini tau nyariin elo. Terus ada lagi kakel, anak 12 IPS 1 nyariin elo juga. Katanya si Amel sih, mereka berdua itu most wanted di sekolah ini.”

Bita menumpukan satu tangan di meja disusul telapaknya menyangga dagu. Bibirnya melengkung, mayanya berubah sayu. “Ganteng bangeeet tau.”

Bita menoleh cepat, menatap manik Ivy. “Lo beruntung, Vy!”
.

"Vy, lo mau makan apa?" Bita menepuk pundak gadis itu membuyarkan lamunannya.

"Samain aja."

Bita laku berjalan menjauh, menghilang di antara kerumunan siswa untuk memesan makanan mereka. Mencoba menghilangkan bosan karena menunggu. Ivy melanjutkan membaca novel. Lama sekali sampai habis lima lembar Ivy membaca. Barulah Bita kembali.

Tanpa mengalihkan atensi dari novel, Ivy langsung menyemprot orang yang sejak tadi ia tunggu kedatangannya. "Bita, sahabat imutku. Lo itu lagi antri beli makanan apa lagi tidur sih, lama amat, lumutan gue nunggunya."

Ivy menoleh ke kanan, memasang wajah kesal. Alih-alih ingin meluapkan kekesalann, gadis itu justru terkejut karena makhluk yang sejak tadi ia ajak bicara bukan yang memakai rok, melainkan celana.

"Hei, lo lagi nungguin temen lo, ya?" Nada sok akrab itu, membuat Ivy muak mendengarnya

"Mungkin lo salah meja," ujar ivy memilih kembali membaca novelnya.

"Enggak gue gak salah meja, cuma ini meja yang tersisa."

Tanpa dia bicarapun, Ivy tahu kalau hanya meja ini saja yang belum penuh. Namn haruskan bertemu lagi. Ah, belum puaskah dia membuat Ivy muak setiap detiknya berada di sarag emas Yudha. Tak cukup di rumah, di sekolah pun dia bertindak semaunya.

Pergi sajalah. Ivy berdiri, manik hitamnya mencari keberadaan Bita. Belum sempat mengambil langkah, Yudha tiba-tiba memegang tangan kanannya mencegah gadis itu pergi dari meja ini.

"Temenin gue makan, Vy."

"Gak akan pernah."

Ivy mencoba melepaskan genggaman tangan Yudha. Sulit, tapi setelah berhasil. Secepat mungkin ia menggerakkan kaki mencari keberadaan Bita.

"Bagus, rencana gue berhasil lagi," gumam Yudha dengan pandangan yang mengikuti arah tubuh mungil itu pergi.

"Vy, lo kenapa sih tadi ninggalin meja kantin gitu aja dan akhirnya kita jadi makan di gazebo deh."

Bita berjalan dengan sedikit tergesa, berusaha menyamakan langkahnya yang tertinggal jauh di belakang Ivy. Sikapnya mendadak berubah muram dan lebih banyak diam saat tiba-tiba saja menyusulnya ketika tengah mengantri makanan. Bita sangat yakin pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini.

Tak ada jawaban dari Ivy, yang ia lakukan hanyalah mengambil alih mangkuk di tangan Bita. "Bu ini mangkuknya, terima kasih. Kalau gitu saya permisi."

"Iya sama-sama, Nak."

"Yuk, Bit."

Tak kunjung mendapat respon dari sahabtnya, Ivy menggandeng tangan Bita dan membuat gadis itu mengikuti langkahnya.

"Vy, ada apa sih, dari tadi lo aneh tau gak. Ada yang gangguin lo? Bilang ama gue? Siapa? Renata, huh?" ucap Bita dengan nada tinggi yang lantas membuat langkah Ivy terhenti.

Lagi. Ivy hanya diam menatap iris Bita. Gadis itu menurunkan pandangan menghela napas perlahan, menarik tangan temannya untuk melanjutkan langkah mereka.

"Gak ada yang gangguin, kok. Yuk ah, buruan masuk kelas. Pastinya lo gak mau kan dapet hukuman untuk yang kedua kalinya?"

Bita memilih untuk mengikuti langkah Ivy menuju kelas mereka. Mungkin saat ini dia tak ingin cerita apapun, maka Bita tak akan memaksa Ivy menceritakan semuanya.
.


Seorang gadis berpakaian seragam SMA berjalan di salah satu area kompleks elit. Suasananya sangatlah sepi. Hanya puluhan pagar tinggi yang bisa dilihat dari jalan, tak ada satupun orang yang berjalan di sana selain dirinya. Semua penghuni selalu menggunakan kotak besi mewah itu untuk beraktifitas.

Seharusnya mulai hari ini Ivy pergi ke sekolah ataupun keluar rumah dengan Pak Pras, supir yang dipekerjakan Tirta untuk mengantar Ivy ke mana pun gadis itu pergi. Namun, ia bersikeras tak memerlukan seorang supir.

Akhirnya Tirta hanya bisa berkata, "Minta antar Pak Pras ya. Jika kamu membutuhkannya, Pak Pras tetap stay di sini untuk mengantarmu."

Karena terlalu larut dalam pikiran, Ivy yang sedang berjalan dengan lesu terjingkat kaget karena suara klakson mobil putih dari arah belakang. Dengan seenaknya mobil itu berhenti di depan Ivy dan menghalangi jalannya. Menghiraukan si pengemudi mobil, Ivy berjalan ke sisi kiri mobil-yang menyisakan jalan setapak-berniat untuk mendahului mobil putih yang berhenti itu.

"Ahk ... lepasin gu- em ... em...." Pekikan Ivy tertahan. Saat tiba-tiba saja seseorang menarik tubuhnya.

"Diem lo, ayo ikut kita."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro