FMN - 23. Pengungkapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍‍‍‍Setahun kemudian ...

Selamat atas kelulusanmu Nak, terlebih hasilnya sangat membanggakan. Untuk tawaran beasiswa itu, kamu bebas memilih salah satu dari keduanya. Kami akan mendukung keputusanmu.

“Terima kasih, Tante.”

Ivy menjawab dengan senyum mengembang di wajahnya. Gadis itu melihat pantulan bayangan dirinya di cermin. Seorang berhijab biru langit dengan gamis warna senada tengah riang gembira. Manik hitamnya juga memancarkan cahaya kebahagiaan.

Di detik kedua, suara tegas menyapanya. Perbincangan ringan seputar kelulusan Ivy mengawali percakapan mereka. Tawa kecil yang sempat mengiringi perbincangan hilang saat topik pembicaraan mereka mulai serius.

Om dengar, perubahan perilaku Yudha berkembang dengan baik?” tanya Tirta dengan nada penasarannya.

“Iya Om, kemungkinan besar Yudha tidak lagi membutuhkan Ivy di rumah ini.”

Sunyi. Tak ada respon dari Tirta.

Selama setahun ini, Ivy berusaha keras menuntun Yudha dan kini usahanya itu telah usai. Dia bukan lagi seorang pemuda penggemar alkohol, pecinta dunia malam, ataupun pemuda dengan perilaku kasar, buruk, dan tidak sopan seperti yang biasa ditunjukan pada Ivy. Yudha jauh lebih baik, jika dibanding dengan Yudha dua tahun lalu.

Nak, jika kamu mengambil beasiswa dalam negeri. Saya akan sangat bahagia, tapi semua kembali pada keputusanmu.”

Kalimat Tirta menyudahi perbincangan panjang mereka. Ivy membuka pesan yang masuk lima menit lalu. Gadis itu bergegas turun ke lantai satu.

“Vy, kamu jadi ambil beasiswa yang mana?” tanya seorang pemuda seraya meletakkan alat makannya.

“Entahlah.” Ivy mengendikkan bahu.

Di sinilah mereka, menikmati makan malam di halaman belakang rumah Prayata. Suara gemericik air mancur mengisi keheningan. Pancaran lampu kuning membuat airnya terlihat bersinar. Malam ini begitu indah, tak ada bintang dan bulan yang absen. Angin pun tidak berhembus terlalu dingin. Sekan-akan semesta tak tega mengganggu makan malam terakhir dua orang ini.

Jauh di dalam sana, jantung Yudha berdetak kencang. Berusaha tidak terlihat gugup. Ia harus mengutarakannya saat ini sebelum semuanya terlambat. Deheman pemuda itu berhadil mengamvil seluruh perhatian Ivy. 

“Ivy aku tahu ini terlalu mendadak untukmu. Maukah kamu menikah denganku?”

Pertanyaan yang keluar dari Yudha membuat tubuh Ivy kaku begitu juga bibirnya sangat sulit hanya untuk sekedar dibuka.

Menyadari hal itu, Yudha kembali bersuara, “Kamu bisa mengatakannya kapan pun saat sudah memiliki jawaban. Dan jika kamu bersedia menikah dengaku. Waktu pernikahan akan berlangsung kapan pun sesuai keinginanmu.”

“...”

“Lima atau tujuh tahun ke depan. Aku akan menunggu untuk dirimu. Tolong jangan buat ini menjadi beban.”

Yudha tersenyum kecil, ia mengusap pelan kepala berbalut hijab itu sambil berujar, “Sebaiknya kamu segera masuk dan tidur karena malam semakin larut. Aku permisi dulu.”

Setelahnya Ia berdiri, berjalan masuk. Yudha merutuki dirinya. Apakah ada seorang pria yang melamar lalu sederik kemudian meninggalkannya sendiri seperti tadi?

Pergi ke mana rasa percaya dirinya selama ini? Kenapa ia menjadi begitu asing saat melamar Ivy tadi? Ke mana keakraban yang biasa berada di tengah-tengah mereka?

Meski ia sudah memiliki perasaan lebih pada Ivy selama setahun terakhir. Tapi ia masih bisa menyimpannya sendiri. Yudha sempat berpikir untuk menyembunyikan perasaan itu entah sampai kapan, mungkin untuk waktu yang lebih lama.

Namun, ketakutan akan kehilangan gadis itu. Membuat Yudha mengambil kepusan untuk segera menjadikan Ivy sebagai milikinya. Setidaknya Ivy sudah tahu bagaimana perasaannya pada gadis itu.

***

Malam hari, seminggu setelah hari kelulusan Ivy.

“Baiklah. Kita langsung keintinya saja,” ucap Anne menghentikan gurauan yang sempat membuat dua keluarga tertawa, kecuali Yudha.

Pemuda itu sejak tadi hanya diam terfokus pada ponsel. Berulang kali ia mengirim pesan tak satu pun dibaca oleh Ivy. Berulang kali pula ia menghubungi gadis itu namun juga tak kunjung diangkat. Ia cemas, Ivy bilang akan pulang sebelum maghrib. Namun nyatanya ini sudah kelewat jam makan malam.

“Yudha.”

Si penikik nama menatap pada Anne yang seakan menyuruhnya untuk memerhatikan perbincangan dan meninggalkan ponselnya. Yudha bosan. Terlebih kehadiran Rachel semakin membuatnya ingin menyingkir saja, tapi tak bisa. Yudha tak ingin melihat ibunya kecewa.

“Jauh sebelum kalian dewasa, saat itu kami berdua membuat rencana itu. Betulkan Ryna?”

Kerutan muncul di kening Yudha. Rencana apa?

“Iya, Anne dan aku gak nyangka ini akan terwujud.”

Tawa bahagia menggema begitu saja dari dua wanita paruh baya. Ayah dan Om Tian hanya diam. Sedang Rachel si gadis sialan ....

Hei! ada apa dengan wajah malu-malunya yang menjijikan itu? Apa yang aku lewatkan saat memikirkan Ivy tadi?

Berbagai spesikulasi berputar di kepala, semuanya buruk. Lelah mengada-ada. Ia kembali berkutat pada ponsel dan memilih untuk tak peduli pada acara yang sungguh tak berguna baginya sama sekali.

Oh, kevmana Ivy? Ini udah jam setengah sembilan. Apa yang terjadi dengannya?

“Anne jangan membuatnya malu sampai dia menghindari percakapan ini.”

“Malu? kenapa aku harus malu?” sela Yudha tajam

“Tak apa, Nak. Sepertinya bukan kamu saja yang malu, tapi Rachel juga,” tawa jahil keempatnya menggema lagi.

Menyebalkan! berkali-kali yudha mengumpat dalam hati. Sebenarnya apa yang mereka semua bicarakan?

“Baiklah, karena semua sudah setuju. Jadi perjodohan ini berhasil dan kita tinggal menunggu Rachel lulus. Setelah itu kita bisa segera punya cucu yang sama.”

Yudha bingung siapa yang dijodohkan dengan Rachel. Menyadari ada keganjalan dari kalimat terakhir ibunya, saat itu juga emosi Yudha memuncak. Yudha paham, sangat paham arah topik pembicaraan ini.

“Gak. Batalin semua ini! Aku gak pernah menerima perjodohan ini.”

Tangan Yudha mengepal kuat hingga buku-buku jarinya sampai memutih. Dengan langkah lebar, ia meninggalkan ruang tamu, bergegas manaiki tangga disusul suara debuman kuat dari pintu kamar yang dibanting.

Dilemparnya semua benda yang ada di dalam kamar sebagai bentuk pelampiasan. Tak peduli jika menimbulkan keributan yang bisa terdengar sampai lantai bawah.

“Aku gak mau, Ma. Terlebih dengan gadis itu, dia bukan gadis yang baik.”

“Yudha jaga bicaramu! Dia anak sahabat Mama, calon istri kamu. Rachel gadis baik-baik, Yudha. Mama memberi calon istri yang terbaik untukmu.”

Tak peduli berapa kali Yudha menolak. Anne akan terus membujuk putranya untuk menerima perjodohan itu. Memandang langit malam, Yudha menghembuskan napas panjang.

“Dia munafik. Percayalah pada Yudha, Ma.”

“CUKUP YUDHA! jangan pernah menjelekkan calon menantu Mama. Kamu hanya perlu menurut, itu saja.”

Yudha masih berdiri di dekat jendela, menatap malam. Mengunci pandangan pada pagar rumah, berharap sosok Ivy yang ditunggunya segera pulang. Jujur saat ini emosinya sedang meletup-letup, hanya saja ia berusaha agar kekesalannya tak meledak begitu saja. Ia tak ingin menyakiti perasaan sang Ibu dengan ribuan kalimat kasarnya.

‍‍‍“Putramu ini sudah memiliki calon istri yang lebih baik dari Rachel Ma, aku juga mencintai gadis itu. Hanya saja pernikahan Yudha mungkin akan terlaksana setelah Yudha lulus kuliah”

Pengakuan Yudha membuat Anne kecewa. Ia berjalan mendekat, meraih bahu sang putra lalu membalikkan tubuh Yudha agar berhadapan dengannya.

“Kamu tetap tak mau menurut pada Mama, Yudha?” tanya Anne sedikit menurunkan nada bicaranya.

Yudha menggeleng mantap. "Aku mencintai gadis lain, Ma."

“Siapa gadis itu Yudha? Apa dia gadis baik?”

Jika gadis baik yang Mama cari. Aku yakin Mama akan menyetujuinya.

“Dia gadis yang telah membantu putra Mama keluar dari dunia kelamnya. Dia juga yang menjadi alasan Yudha untuk berubah menjadi pemuda baik.”

Penuturan tulus putranya tak cukup membuat Anne membatalkan perjodohan itu. Anne mengerti siapa gadis itu. Keinginannya menjadikan Rachel sebagai menantu di rumah ini lebih besar dibanding menuruti keputusan Yudha.

Tak ada kalimat yang keluar dari bibir sang ibu. Hanya senyuman kecil yang diberikan Anne sebelum melangkah pergi membuat Yudha salah paham.

Yudha mengira Anne menyetujui keputusan yang ia ambil. Namun, sepertinya tidak. Senyuman itu menyiratkan maksud lain, di mana Anne tetap pada keinginannya menjadikan Rachel sebagai menantu keluarga Prayata.

***

Selesai sarapan pagi, Yudha segera berangkat ke kampus. Tirta ke kantor pusat perusahaan miliknya. Sedang Anne di rumah karena tak ada pekerjaan apa pun hari ini. Begitu juga Ivy, gadis itu tidak akan ada kegiatan sampai dua bulan kedepan.

Ivy yang tengah melipat mukena sehabis menunaikan sholat dhuha, dikejutkan dengan suara ketukan pintu disusul sapaan dari Anne. Cepat-cepat ia membuka dan mempersilahkan wanita paruh baya itu masuk ke kamarnya.

“Ivy, tante tau kamu dilamar Yudha bukan saat hari kelulusan?”

Pertanyaan Anne membuat gadis berhijab hijau muda itu terduduk kaku. Lidahnya kelu hanya sekedar untuk mengiyakan ucapan Anne.

“Tante berharap kamu menolak lamaran Yudha, karena tante sudah menjodohkannya dengan anak sahabat Tante.”

Pengungkapan dari Anne sedikit menohok hatinya. Bukan gadis itu tidak tahu tentang hal ini, ia tahu semuanya.

Ivy berjalan tergesa memasuki pelataran rumah Prayata. Hari ini ia berkunjung ke rumah Bita untuk menceritakan tentang lamaran Yudha. Gadis itu seharusnya tiba di rumah sebelum maghrib.

Tapi karena terlalu asik berbincang dengan Bita, membuat dia terlambat pulang ke rumah. Berkat shalat istiqarah dan saran dari sahabatnya. Kini Ivy semakin yakin akan keputusan yang akan diambilnya.

Langkah kaki Ivy perlahan melambat saat netra hitamnya menemukan mobil asing terpakir di halaman. Sampai di dekat pintu utama, ia bersembunyi di balik daun pintu yang tertutup sebelah. Mendengarkan segala percakapan mereka.

Hingga bentakan dari Yudha membuatnya menjauh dan memilih bersembunyi di semak-semak. Tak lama keluarga Pak Tian pergi meninggalakan rumah ini. Setelah semua aman, dengan perlahan ia keluar dari persembunyiannya dan bergegas menuju kamar.

Saat sampai di depan pintu kamar. Lagi-lagi ia kembali mendengarkan perdebatan antara Anne dengan Yudha. Sadar telah berbuatan dosa karena menguping pembicaraan orang, Ivy segera melenggang masuk sebelum percakapan Ibu dan anak itu berakhir.

Anne kembali berujar, memecah lamunan ivy. “Kamu bisa menolak Yudha dengan alasan mengambil beasiswa di luar negeri.”

“Baik Tante,” jawab Ivy dengan senyum terbaiknya meski dipaksakan.

“Dan tante harap, Yudha tidak pernah mengetahui percakapan ini.” Senyuman terukir di wajahnya yang mulai menua lalu wanita itu melenggang pergi dari kamar Ivy.
.

Pagi yang mendung di musim kemarau ini. Angin bertiup kencang menggiring awan kelabu menuju langit ibu kota. Hari ini berbeda dengan biasanya, begitu dingin karena semilir angin tanpa kedatangan sang mentari.

Namun, cuaca tak berpengaruh sedikit pun pada aktivitas pagi penduduk metropolitan. Jalanan tetap saja bising dengan suara klakson ratusan motor dan mobil. Begitu pula dengan bandara, masih saja penuh dengan calon penumpang walau suhu di ibu kota tak seperti biasanya.

“Terima kasih sudah mengantarku,”ujar gadis bergamis coklat dengan hijab satin dan jaket denim berwarna putih.

Tak ada respon dari Yudha, pemuda itu hanya berdiri dengan koper di tangannya. Entah ke mana arah pandang pemuda itu. Ivy tak bisa mengetahuinya karena terhalang kaca mata hitam yang bertengger manis di hidung pemuda itu.

“Ah ya, tolong sampaikan maafku pada Kak Dana karena tak sempat menelponnya untuk berpamitan” imbuh Ivy. Masih tak ada sahutan dari Yudha.

“Selalu beri tahu aku, kalau kamu mengganti nomor ponsel.” Yudha menyerahkan koper coklat Ivy, sepersekian detik kemudian koper itu sudah beralih pada pemiliknya.

Aku tidak bisa, maaf. jawab Ivy dalam hati.

Tanpa mengiyakan ucapan Yudha. Ivy segera mmeberi salam dan berjalan menjauh dari pemuda itu sembari manarik kopernya.

“Wa'alaikum salam. Aku akan menunggumu kembali,” jawab Yudha lirih setelah tubuh mungil Ivy menjauh.

•-•
[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro