FMN - 32. Terbongkar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍Di sebuah ruang kerja bernuansa putih disamarkan semburat jingga, di sanalah seorang pria berkemeja maroon tengah mengurut pangkal hidungnya. Ia meraih figura yang tertata manis di meja kerja, mengelus kaca figura seraya menyuarakan isi hatinya.

"Ivy, aku merindukanmu. Apa kamu akan menghindar lagi dariku setelah hampir tujuh tahun di luar negeri?" Yudha terdiam sejenak, menatap lamat-lamat gadis berumur tujuh belas tahun yang ada di foto.

"Aku selalu dibuat bingung olehmu. Bahkan keyakinan yang ada di hati mulai ku ragukan kebenarannya. Sebenarnya kamu ini mencintaiku atau tidak?"

Matamu mengatakan bahwa kamu mencintaiku. Tapi tak sedikit pun terlihat gelagat bahwa kamu memang mencintaiku.

Ia membuang napas panjang mengecup figura itu dan bergumam, "I love you". Yudha menata figura di tempat semula, bersaman dengan itu, engsel pintu dibuka tanpa permisi.

"Yudha, kamu mau kan ikut aku ke Paris menghadiri pernikahan rekan kerjaku?" tanya Rachel tanpa basa basi setelah menutup rapat pintu ruangan. Wanita dengan pakaian ketat itu, saat ini sudah berada di samping Yudha.

"Aku sibuk," jawab Yudha dengan suara tertahan. Ia kembali memijat pangkal hidungnya sambil memejamkan mata.

"Tapi, Mama kamu bilang harus ada yang nemenin calon menantunya ke Paris," kata Rachel dengan manja sedangkan Yudha masih diam. Malas berkomentar tentang hal lain.

"Ayolah ... Yudha. Kamu mau kan?" bisiknya di telinga Yudha dengan nada suara yang dilembutkan. Tak mendapat respon, ia memeluk leher Yudha dari belakang, wajahnya ia dekatkan ke pipi pria itu.

Pria itu terlonjak, lantas mendorong Rachel yang mencoba memeluk dan menciumnya.

"Menjauh dariku! Dasar JALANG! beraninya kau."

Yudha kalap wajahnya memerah, ia mendorong kuat wanita itu. Kursi kebangga yang tadi di duduki Yudha, kini terbalik karena ulah emosinya. Ia berdiri menjulang, maniknya menyala tajam menatap wanita yang bersimpuh menahan sakit di punggung.

"Ada apa denganmu Yudha? Aku hanya ingin kau ikut denganku ke sana, lagi pula Tante Anne mengharuskanmu ikut denganku."

"Ingat Yudha aku ini calon istrimu. Karena Mamamu hanya menginginkanku sebagai menantunya." Rachel tersenyum miring, merasa puas mengatakan seakan ia sudah menang karena Anne.

Yudha membalasnya dengan tatapan merendah. "Aku tidak akan menikahi wanita JALANG juga KASAR sepertimu."

"Apa maksudmu berkata begitu, Yudha?"

"Hanya karena pria yang kau cintai mencintai wanita lain. Dengan kasarnya kau menyakiti wanita itu. Aku tau semua kebusukan yang kau lakukan terhadap Ivy di parkiran malam itu."

"Apa wanita penggoda itu mengadu padamu?"

"CUKUP! Tutup mulut busukmu itu! Sampai kapan pun jalang sepertimu tak akan pernah aku nikahi, camkan itu! Sekarang, keluar dari ruanganku!"

"Tidak mau," tolak Rachel mencoba berdiri dan mendekati Yudha.

Jengah berada di satu ruangan dengan rachel, Yudha mulai melangkah menuju pintu. Niatnya keluar dari ruangan batal saat ponsel di sakunya berdering.

"Halo"

"Pak, kami sudah mendapatkan alamatnya."

"Bagus, kirimkan sekarang juga." Yudah memutus panggilan, melanjutkan langkah kakinya.

Tapi, Wanita itu rupanya bergerak lebih cepat. Rachel kembali memeluk Yudha erat-erat dari belakang, menghambat langkahnya. Tapi jangan lupakan bahwa tenaga Yudha lebih kuat, jika dibandingkan dengan seorang wanita.

Ia melepas tangan mulus itu dan mendorong tubuhnya kuat-kuat hingga wanita itu tersungkur di lantai. Persetan, dengan memperlakukan lembut seorang wanita. Rachel, bukanlah wanita yang pantas diperlakukan lembut.

"Menjauhlah dariku. Seindah apa pun tubuhmu itu, aku sama sekali tak tertarik. Jangan menggodaku, karena itu akan sia-sia. JALANG sepertimu, tak akan mampu membakar sedikit pun hasratku."

Ucapan Yudha sudah sangat melukai hati Rachel. Tak kuasa menahan sesak, wanita itu menangis mengeluarkan air matanya. Selain Yudha, tak ada yang pernah menyebutnya seorang jalang. Dari sekian banyak pria yang dikenalnya. Tapi, kenapa harus Yudha yang membencinya?

"Aku mencintaimu Yudha. Kamu hanya akan menikah denganku," pekik Rachel mengiringi kepergian Yudha.

Sementara itu Yudha terus saja melangkah dengan mantap. Malam ini ia akan menemui Ivy di apartemen gadis itu.

***

Hari yang sama, pukul 18.30 WIB di sebuah restoran di ibu kota. Seorang pria tengah menikmati makan malamnya setelah penat berkutat seharian dengan kertas-kertas. Tujuannya ke sini pun bukan untuk sekedar makan malam, namun juga menunggu seseorang.

"Agian, maaf membuat anda menunggu." Seorang pria berhoodie hitam menegur pria yang sudah duduk manis dengan makan malamnya.

"Tak apa. Seharusnya saya yang meminta maaf karena mengganggu waktu istirahat anda." Agian lalu melahap lagi spagetinya.

Fandi mengangkat tangan pada seorang pelayan. "Tidak mengganggu sama sekali. Apa yang akan anda bicarakan dengan saya?" ujarnya sembari menunggu pelayan mendekat ke meja.

"Coklat panas satu."

"Ada lagi, Mas?" Fandi menggeleng.

"Begini, kemarin malam. Saya lihat anda mengantar Ivy pulang, lalu tadi pagi menjemput Ivy berangkat kerja. Memangnya ada apa dengan mobil Ivy?" tanya Agian memulai topik pembicaraan.

"Mobilnya tidak bermasalah, kemarin saya hanya ingin mengatarnya ke apartemen."

Jawaban dari Fandi, membuat Agian menghentikan kunyahannya. Sejak Ivy meminta Agian menemani gadis itu membeli mobil, tepatnya seminggu setelah Ivy mengetahui berita sialan itu. Sejak itulah Ivy selalu menolak tawarannya untuk mengatar kemana pun gadis itu ingin pergi. Ia sangat tahu maksud Ivy sebenarnya. Dalam hati Agian terus merutuki gossip murahan itu.

Agian Sekarang tahu, pria berprofesi dokter yang
sedang duduk di hadapannya bukanlah hanya sekedar sahabat kecil Ivy. Tapi, juga orang yang dipercayai gadis itu. Dia hapal betul tabiat Ivy yang tak pernah mau satu kendaraan dengan sembarang orang.

"Jadi, ada apa sebenarnya."

Celetukan Fandi membuat angan Agian terpecah. Fandi menyelesaikan kalimatnya tepat saat pramusaji membawa pesanan ke meja mereka.

"Maaf sebelumnya ada hal yang bersifat pribadi dipembicaraan ini, saya harap anda bersedia membahasnya"

Diamnya Fandi membuat Agian melanjutkan kalimatnya. "Saya tahu anda mencintai Ivy. Beberapa minggu lalu saya melamar Ivy, tapi ditolak olehnya. Kemungkinan karena ada berita miring yang beredar kalau saya sudah punya calon selainnya. Sejak itu pula Ivy menjauhi saya."

Agian menjeda kalimatnya. Ia meneguk coffe latte hingga tandas. Pembicaraan ini sungguh membuat tenggorokannya tercekat kering.

"Saya sarankan anda segera mengkitbah Ivy."

Kalimat yang kelewat santai dari Agian, membuat Fandi mendelik tak percaya. Ada apa dengan pria itu, mengapa dengan mudahnya ia menyuruh pria lain menikahi wanita yang di cintainya? Apa dia sudah gila?

Raut wajah ragu terbingkai amat kentara di wajah Fandi. Membuat pria yang masih lengkap dengan setelan jas kantor itu tersenyum kecut.

"Aku juga tak percaya akan melakukan ini pada wanita yang kucintai," batin Agian bicara.

Namun Agian merasa bahwa Fandi memanglah pria yang baik untuk Ivy. Meski baru bertemu dua kali, saat ini dan saat Ivy mengajaknya makan malam bertiga bersama Fandi sekitar tiga minggu lalu.

‍‍ "Saya yakin dengan keputusan saya. Kitbahlah Ivy!" ulang Agian agar Pria di hadapannya percaya dengan apa yang ia ucapkan.

"Tapi, Ivy tidak mencintai saya. Dia mencintai Yudha," jelas Fandi dengan suara datar tanpa terselip emosi sedikit pun, begitu juga raut wajahnya.

"Saya tahu. Ivy mencintainya sejak SMA. Tapi saya yakin Ivy tidak akan menerima pinangan pria itu atas dasar apa pun. Karena Ibu Yudha tidak akan merestui hubungan mereka. Pria itu sudah dijodohkan dengan wanita lain bernama Rachel."

Penjelasan Agian membuka titik cerah untuk Fandi mengenal Ivy di masa yang sempat terlewat olehnya. Tapi, tunggu dulu.

"Rachel? bukankah dia wanita yang menyerang Ivy dengan membabi buta malam itu?" ulasan potongan rekaman di parkiran RS malam itu kembali berputar di kepalanya.

"Saran saya, bergegaslah sebelum Yudha mendahului Anda."

.

Sudah lima belas menit-sejak pukul tujuh malam-Yudha berdiri di depan pintu apartemen Ivy. Ia masih ragu apakah saat ini waktu yang tepat untuk menemui gadis itu.

"Okey... lebih cepat, lebih baik," yakinnya dalam hati.

Pria itu menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Tangan kanannya terangkat meraba benda bulat yang ada di sisi samping kusen pintu lalu memencetnya sekali.

Sepuluh detik berlalu, sampai pintu terbuka menampakkan wanita berhijab peach lengkap dengan baju tidur panjangnya. Yudha memberikan senyum terbaik untuk Ivy.

Ivy terkejut? Tentu saja. Ia buru-buru menutup kembali pintu apartemen. Tapi Yudha lebih dulu menahannya dari luar agar tetap terbuka.

"Vy, tunggu. Jangan ditutup, kumohon! Aku hanya ingin meminta maaf padamu atas perlakuan Rachel." Rentetnya cepat dengan kedua tangan yang masih menahan pintu.

Tak kuasa melawan tenaga Yudha, wanita berhijab itu memutuskan mengalah dengan membuka lebar pintu apartemen. Ivy membisu.

Merasa tak dipersilahkan masuk, Yudha mulai membuka mulutnya. "Aku minta maaf atas perlakuan Rachel padamu."

"Aku sudah memaafkannya. Selesai, dan kamu bisa pulang." Lagi-lagi Yudha menahan pintu saat Ivy hendak menutupnya.

"Bisakah kita berteman seperti dua bulan terakhir?" tanya Yudha terdengar seperti sebuah permohonan bagi Ivy.

"Itu tidak baik bagi aku juga kamu. Lebih baik kita tak lagi berhubungan."

"Kenapa? Apa karena Rachel? Aku dan dia tak terikat hubungan apa pun, jadi berhenti bersikap seperti ini. Sudah cukup selama tujuh tahun orang yang kucintai menghidariku seperti menghindari sebuah wabah yang berbahaya.

Apakah kehadiranku begitu menyusahkan hidupmu? Apa aku begitu brengseknya hingga kamu menjauhiku?"

Semua pertanyaan yang terbelenggu di tenggorokan Yudha selama ini, akhirnya tercurah juga. Pria itu menunduk. 'Ya' adalah satu jawaban dari Ivy yang pati akan membuatnya lemas.

"Aku hanya tak ingin lagi berurusan denganmu. Anggap saja kita tidak pernah bertemu seperti tujuh tahun terakhir. Lebih baik sekarang lepaskan tanganmu. Dan biarkan pintunya tertutup." Final Ivy yang dijawab gelengan kuat dari yudha.

"Tidak akan ku biarkan pintu ini tertutup sebelum kamu memberikan jawabannya. Kenapa kamu begitu menghindariku, Ivy?"

Gadis itu hanya bungkam memasang wajah panik. Ia masih berusaha menutup pintu. Berharap segera terbebas dari percakapan ini.

"Tolong biarkan aku istirahat. Lebih baik kamu pulang," pinta Ivy sambil terus mendorong pintu. Tapi tak berdampak apapun. Yudha jelas lebih kuat dibandingkan Ivy.

"Jawab dulu pertanyaanku Ivy!" usaha Ivy menghindar hampir saja sia-sia, jika seseorang itu tak datang tepat waktu.

"Alhamdulillah Allah menolongku," batin Ivy saat Agian melintas di depan pintu apartemennya.

Pria itu terlihat sangat kusam dengan setelan kerja lengkap masih melekat di tubuhnya. Rambut berantakan, jambang yang di tumbuhi rambut halus juga kedua mata yang berkantung dengan lingkaran hitam.

"Ada apa ini, Ivy?" Yudha membalik badan. Menurunkan tangan dari pintu yang menahan dorongan dari Ivy.

"Agian, beri tahu pria ini untuk pergi dari sini dan jangan kembali. Karena aku tak ingin lagi berhubungan dengannya walau hanya sekedar pertemanan." Setelah itu Ivy menutup pintu menyisakan kehening. Tak ada satu pun dari kedua lelaki itu yang bersuara.

Mata bulat Ivy tak lagi mampu manahan rasa panas. Ivy merosot bersandar dibalik pintu, kakinya yang tertekuk ia jadikan tempat membenamkan seluruh wajahnya. Isak tangis tak dapat terkontrol, begitu juga dengan hatinya yang sesak seakan ditekan.

"Aku memang mencintai Yudha. Tapi, janjiku lebih penting dari cinta itu."

Ivy meneguhkan hatinya untuk tetap berada dalam keputusan awalnya. Ya, ia akan menjauh sejauh mungkin dari hidup Yudha. Meski nyatanya terasa begitu berat.

Di koridor depan apartemen Ivy. Yudha dan Agian terlibat percakapan panjang, sampai pada titik terpenting di mana Yudha mulai terdiam dan mengerti sedikit-demi sedikit akar masalahnya.

"Lo masih mau tau alasan Ivy?" Agian menjeda sejenak kalimatnya.

"Sejak lo melamarnya. Ivy mulai diberi peringatan dari Tante Anne untuk tidak mendekati, lo. Tante Anne nyuruh Ivy ambil beasiswa ke luar negeri agar Lo bisa ngelupain Ivy.

Tante Anne hanya ingin anaknya yang keras kepala seperti lo ini bisa nurut dan menikah dengan wanita pilihannya. Dia juga yang membuat Ivy berjanji akan hal itu.

Jangan tanya kenapa gue tau semua ini, karena dulu gue satu kampus dengannya. Dan juga gue adalah orang yang selalu bersamanya selama tujuh tahun terakhir."

Agian tak peduli jika ia membocorkan rahasia ini. Ia hanya ingin agar Yudha tak lagi mengerjar Ivy. Agian ingin agar Yudha bisa membantu Ivy menunaikan janjinya.

Ia pikir Yudha akan menurut pada sang Bunda seperti masa dimana agian mengenal sosok Yudha saat masih berseragam biru hingga abu-abu. Namun, diluar dugaan, semua harapan itu pupus kala Yudha berkata.

"Makasih untuk infonya. Karena itu gue gak akan meninju lo lantaran udah nyembunyiin Ivy dari gue. Akan lebih mudah bagi gue mendapatkan Ivy setelah tau kebenaran ini.

Lo emang sahabat yang baik. Gue sedikit kecewa persahabatan gue ama lo harus hancur gitu aja cuma karena cewek." Keadaan hening.

Setelah memikirkan apa yang selanjutnya akan dilakukan. Dengan langkah lebar, Yudha meninggalakan apartemen Agian. Sepanjang jalan tangannya mengepal kuat stir mobil, giginya bergemelutuk berperang didalam. Sedangkan mulutnya ingin sekali meluapkan segala gejolak amarah yang masih dipendamnya.

•-•
[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro