FMN - 35. Fakta Baru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hal yang paling misterius adalah masa lalu yang ditutup rapat-rapat. Dan masa depan setiap manusia."
•-•

‍‍Di hari yang sama Pukul 20.30 WIB

"Ada apa, Pa?"

Pria berkemeja biru donker masuk ke ruang kerja ayahnya dengan wajah lesu. Dia mengeluh dalam hati, "Apa aku harus membahas bisnis disaat seperti ini?"

Lelaki berkacamata yang dipanggilan ayah itu menggeser laptop ke samping, membagi ruang agar kedua tangannya bisa diletakkan di atas meja.

"Bagaimana rencanamu malam ini, lancar?"

Yudha mengeluarkan kotak hitam dari saku celana, menaruhnya dengan kasar di meja hingga menimbulkan suara ketukan kuat. Tirta melirik kotak yang masih legkap dengan isinya. Benda itu sudah cukup membuatnya mengerti penyebab wajah muran sang putra.

"Kenapa?"

Yudha bernapas panjang. "Ivy lagi gak di Jakarta, Yudha gak sempet ketemu. Pas Yudha ke RS, kata temennya dia pergi ke Surabaya sejak sore."

Kedua lelaki itu tak sadar tengah diperhatikan melalui celah pintu yang tak tertutup sempurna. Seorang wanita berambut coklat sebahu, masih berdiri tegak membelakangi pintu memikirkan percakapan dua pria yang dikasihinya.

Apa yang Tirta sembunyikan dariku. Kenapa tiba-tiba Tirta menolak keputusanku?

Seluruh pikiran itu menyita perhatian Anne, membuatnya lupa bahwa dia masih termangu di depan ruang kerja suaminya.

"Ma, ngapain?" Tepukan dari Yudha membuat Anne berbalik menghadap sang putra.

"Eh, udah selesai ya? Itu ... mama mau ngomong sama papa kamu."

"Oh, iya Ma, aku udah selesai. Yaudah, Yudha mau ke kamar dulu ya." Sepeninggal anaknya. Anne masuk ke kamar sebelah, kamar tidurnya bersama Tirta.

Dilain tempat diwaktu yang sama. Pria berseragam security ditaksir berumur empat puluhan lebih. Bergegas membuka gerbang saat sebuah taksi yang membawa tuan mudanya pulang, berhenti di depan sebuah rumah megah.

Terakhir kali putra semata wayang tuannya singgah di sini adalah saat lebaran tahun kemarin. Ada apa gerangan Tuan Mudanya ini berkunjung ke rumah? Sejak delapan tahun tinggal di ibu kota, anak semata wayang keluarga Bagaskara hanya pulang ke Surabaya di saat lebaran saja.

Ivy memandang halaman tempat mainnya bersama Fandi dulu. Rerumputan hijau yang luas. Bunga mawar putih dan merah merekah di pinggiran tembok pagar. Ada satu kursi panjang warna coklat di bawah pohon mangga. Dulu saat matahari sedang terik, ia dan Fandi pasti akan bermain di bawah pohon itu.

Semua masih sama, tak ada yang berubah setelah empat belas tahun lamanya. Dulu mereka berlari ke sana ke mari, duduk di bawah sinar matahari, tawa, dan canda mereka berdua masih terasa segar diingatan Ivy.

Kakinya melangkah menaiki beberapa anak tangga setinggi dua meter untuk sampai di depan pintu utama rumah ini. Sedangkan kopernya terpaksa ia jinjing.

Sampai di anak tangga teratas, netra hitamnya disuguhi taman bunga mini. Ivy tersenyum. Dulu kala, saat bunga kesayangan tante Fani di taman itu bermekeran, Ivy dan Fandi lah yang memetiknya hingga habis.

Selain taman bunga, halaman bawah samping rumah yang dipenuhi rerumputan hijau adalah tempat favorit Ivy dan Fandi saat bermain dulu. Hanya di sana mereka bebas bermain apapun. Tempat yang teduh-karena bayangan dari bangunan-membuat mereka betah berlama-lama di bawah.

Apa Fandi masih ingat ya, batin Ivy.

Sapaan hangat seorang wanita membuat mengakhiri lamunan Ivy. Gadis itu berdiri canggung di hadapan ibu dan anak yang tengah berpelukan melepas rindu. Meski dulu sering melihat wanita itu, tetap saja ia merasa kikuk. Bayangkan saja setelah lama tidak berjumpa, saat ini ia datang bukan sebagai teman, melainkan calon istri dari putra satu-satunya.

"Tante Fina, gimana kabarnya?" sapa Ivy seraya meraih tangan wanita paruh baya itu lalu menciumnya.

Dengan senyum pias, terkesan dipaksakan itu. Fina mengangguk disusul jawaban dari bibir tuanya. "Alhamdulillah. Tante sehat."

Fina mendongakkan wajah menatap Fandi dengan banyak pertanyaan di kepalanya."Jadi ...."

Fandi mengangguk tak sedikit pun melunturkan senyum pada ibunya. "Wanita ini calon istriku, Bu." Senyum bahagia terukir di wajah Fina, meski ada sedikit kilatan cemas lewat matanya.

"Fina, itu siapa di depan?" Dari dalam, seorang pria tua lengkap dengan piyama tidur berwarna coklat berjalan mendekati ketiganya.

"Ah ... Cucuku. Kemarilah! Kakek kangen kamu."

Ia menerjang memeluk sang cucu. Aura kebahagiaan menyelimuti lelaki tua yang sepertinya sudah hendak tidur tadi. Tiba-tiba saja ia melepas pelukannya, memilih mencari jawaban atas kedatangan sang cucu yang mendadak.

"Azka, kenapa kamu pulang? Bukannya kamu cuma bisa pulang saat lebaran. Ada apa ini?" Lelaki senja itu terus saja bertanya. Tak sedikit pun merasakan keberadaan wanita lain di samping menantunya.

"Ayo kita bicarakan di dalam saja. Ayah, kenapa ayah belum tidur?" tanya Fina lembut pada ayah mertuanya.

"Tadi aku mendengar bel, tentu saja aku ingin tahu siapa yang bertamu malam-malam," jawabnya tanpa susah-susah berbalik manatap Fina. Ia hanya terfokus pada cucu kesayangannya.

"Loh, emangnya bel rumah kedengeran sampe ke kamar kakek?" sahut Fandi yang di respon cemberut dari wajah kakeknya.

Lelaki tua itu memilih berjalan masuk sambil melontar jawaban pada cucunya. "Meski tahun depan kakek berumur delapan puluh lima. Kesehatan kakek ini belum menurun. Kakek masih mau nunggu kamu nikah, terus ngasih cicit buat kakek."

Kalimat sindiran halus di telingan Fandi, terdengar seperti sebuah godaan yang membuat Ivy bersemu malu.

Lipatan di dahi keriput itu tercetak jelas dengan wajah penuh tanya. Tangan kanannya menunjuk ke arah Ivy. "Dia ...."

"Iya, kek. Dia sahabat perempuan yang Azka cari selama ini."

Sulas senyum terbit di wajah tua itu. Ia merasa mendapatkan semangatnya lagi. Pantas jika tahun ini cucunya pulang ke rumah tanpa menunggu lebaran. Sejak teman perempuannya itu pergi, Azka tidak lagi seceria dulu. Cucunya kembali murung seperti tahun yang sudah-sudah ia lihat di wajah kecil Azka di masa pertumbuhannya.

Bella, cucu kita, Azka. Dia kembali menemukan hidupnya.

Mereka berempat terlibat percakapan panjang, bertanya banyak hal tentang Ivy.

"Kek, ini calon istri Azka."

Ruangan terasa hening saat Fandi mengucapkan kalimat itu. Ivy memejamkan mata, tak sanggup jika saat ini ia akan melihat amarah kakek yang seketika terdiam mendengar kalimat Fandi.

Haruskah ia berlari keluar menghindari amukan kakeknya Fandi. Ia sangat kenal pria tua ini, jika hendak marah ia selalu menampakkan reaksi seperti saat ini. Dulu Ivy melihat langsung kakek itu memarahi Fandi penyebab pingsannya Ivy saat itu. Meski amarahnya tidak ditujukan untuk Ivy. Tetap saja ia takut mendengar kemarahan yang luar biasa dari seorang pria.

"Lihat! Kamu, membuat calon ibu dari cicitku kelelahan Azka. Kenapa tak hubungi Kakek, agar mengirimkan heli untuk kalian. Ayo, Kakek antarkan ke kamarmu." Bagaskara Hoedaningmoer, menarik bahu Ivy lalu menggiringnya menuju kamar.

"Azka, Kakek sangat setuju jika kamu bahagia dengan Halivyna. Ibu mu juga setuju. Benar kan, Fina?"

Sepasang mata grey Fina menatap kakek tua yang mulai menapaki anak tangga. Fandi terkekeh mendengar suara sahutan ibunya yang juga setuju. Selama menjadi putranya, tak sekali pun ia mendapati ibunya berbicara sambil berteriak dari kejauhan seperti saat ini.

"Fandi, bagaimana jika ayahmu tidak merestui-"

Fandi menatap wajah sang bunda, ia segera memotong kalimat yang tak ingin ia dengar. "Dengan atau tanpa persetujuannya aku tetap akan menikahi Ivy. Doa ibu dan Kakek sudah cukup bagi kami."

Seukir senyum Fandi berikan. Meyakinkan Fani bahwa semua akan berjalan dengan baik. Terjawablah sudah mengapa ada pancaran cemas dari manik sang ibu. Terlepas dari hal tersebut, ibu dan anak itu tenggelam dalam obrolan ringan mereka.

Sementara itu...
Ivy membuka sedikit pintu kamar. Kepalanya melingok, mengamati keadaan rumah yang ternyata masih terang benderang. Ivy mulai melangkah keluar, mungkin Fandi masih di bawah bersama Ibunya.

Sesaat setelah menarik engsel pintu, tubuhnya dibuat meremang mandapati sosok yang berdiri di puncak tangga sambil mengamatinya.

***

Gelap langit malam ini begitu indah karena sinar bulan purnama. Dari halaman belakang yang terasa seperti balkon kamar ini. Benar-benar memanjakan mata saat menatap taburan lampu di bawah sana. Telapak kaki Ivy yang tak beralaskan apa pun menyapu lembut rerumputan hijau yang menjadi lantainya.

Wanita itu kembali meneguk air mineral dalam botol untuk yang ketiga kali, hingga menandaskan isinya. Niat Ivy keluar kamar tadi hanya untuk melegakan dahaga. Setelah diantar ke kamar oleh kakek. Hampir satu jam ia bergelung di dalam selimut, tapi kelopak matanya tetap menolak untuk menutup.

"Ingin kuambilkan satu gelas lagi?" tawar seorang pria yang duduk di samping, bersebrangan dengan meja bulat di sisi kanan Ivy. Wanita berpiyama soft blue panjang itu menoleh, tersenyum pada pria bersetelan jas diiringi gelengan kepala.

"Ivy, kamu pasti bingung dengan semua ini bukan?" Helaan napas panjang keluar dari mulut pria di sampingnya.

"Sebenarnya aku adalah anak sulung keluarga ini. Fandi bukanlah satu-satunya putra di keluarga Bagaskara."

Pengakuan yang sampai di telinga Ivy menyedot segala perhatian wanita itu. Ia hanya diam menunggu kenyataan selanjutnya dengan menatap tak percaya atas apa yang didengarnya.

"Ibuku, Selia Neswari dan ayahku, Zanno Bagaskara, mereka bersahabat. Dulu sekali ayah sedang patah hati, cintanya ditolak. Kakek bersorak senang saat itu. Ia memang tak pernah setuju dengan wanita pilihan ayah, karena kakek sudah menjodohkan ayah dengan gadis lain. Ayah yang tak terima dijodohkan dengan Ibu Fani, mencari segala cara untuk membatalkan perjodohan itu.

Ibuku selalu jadi tempat curhat ayah. Satu pun masalah yang dihadapi ayah tak pernah luput dari telinga ibuku. Hanya karena untuk mencapai keinginannya membatalkan perjodohan, ayah menghalalkan segala cara. Ia memanfaatkan cinta ibuku." Pria di samping Ivy mengusap pipinya yang basah, sambil berusaha mengontrol suaranya yang mulai serak.

"Ayah meniduri dan manghamili ibuku. Meski ia mengaku pada kakek telah melakukan perbuatan itu, tetap saja tak mampu membuat kakek membatalkan keputusannya. Ayah terkejut, saat Kakek malah memerintahkan ibuku untuk menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Ibuku jelas menolak melakukan itu."

"Karena kakek terus mendesak ibu. Akhirnya Ibuku meminta agar ayah tak memberitahu kakek kalau anak yang ada di dalam kandungannya masih hidup dengan jaminan, bahwa ibuku tak akan meminta pertanggung jawaban apa pun pada ayah. Dan ia berjanji tak akan mengganggu kehidupan ayah. Akhirnya perjodohan tetap terlaksana."

Ivy tak lagi bisa membendung cairan di pelupuk matanya. Ia tak pernah menyangka ada kisah sepedih ini di balik senyumn pria itu yang seolah takkan pernah pudar.

"Namun, hati yang semula menyanyangi hanya sebatas sahabat. Atas izin Allah, ayah menyanyangi ibuku sebagai wanita yang mengandung anaknya. Cintanya datang sudah sangat terlambat.

Hingga takdir mempertemukanku dengan ayah di sepuluh hari kelahiranku. Di rumah wanita tua sebatang kara, orang yang membantu ibuku dalam proses persalinan. Karena keterbatasan biaya, ibu memilih melakukan proses bersalin di dukun beranak itu. Hingga ibu harus meregang nyawa sesaat setelah melahirkanku."

"Dia enggang menyerahkan bayi tersebut walau pun pada ayahnya. Permintaan ibuku membuat dukun beranak itu berjanji bahwa ia tak akan menyerahkanku pada siapa pun. Aku tinggal di rumah ini sejak dukun beranak itu meninggal di umurku yang baru tiga bulan."

"Kakek jelas tak menyukai kehadiranku. Tapi aku beruntung bisa tetap tumbuh dengan baik di rumah ini berkat cinta dari Ibu Fina. Tak ada yang tahu identitasku yang sebenarnya.

Tak ada nama belakang Bagaskara untuk seorang Dana, karena memang dia tak pernah diinginkan. Yang orang tahu tentang Dana hanyalah, anak dari sepupu Zanno Bagaskara."

Meski tak merasakan langsung, dada dan hati Ivy sudah cukup perih mendengarnya. Ternyata seberat ini kehidupan Dana. Sejak lahir ke dunia pun, ia tak di ijinkan merasakan kasih sayang seorang ibu.

Air mata Ivy meleleh di pipi, matanya bengkak dengan hidung yang memerah. Tangisan dalam diamnya kini menjelma menjadi isakan-isakan yang menarik perhatian Dana.

"Hei, ngapain nagis Vy? " Dana terkekeh kecil.

"Sebenarnya seberapa besar khayalanmu itu, hingga mampu menangis karena ceritaku meski hanya bermodalkan telinga?

Oh Allah ... aku melupakan sesuatu kalau wanita ini memang cengeng seperti bayi yang e'ek memenuhi popoknya."

Tawa gelegar dari Dana tak sedikit pun menghentikan isakan Ivy, namun cukup membuat gadis itu kesal karena Dana terus saja mengolok-olok dirinya cengeng.

"Ivy kamu ini seperti bayi, ya? Lebih baik sekarang kamu cerita sama abangmu ini. Kamu ke mana aja? Kenapa nomor ponselmu sulit dihubungi? Kamu sangat tega membuat abangmu ini rindu berat sekaligus khawatir padamu."

Ivy yang merasa bersalah pada Dana. Akhirnya mulai menceritakan segala kejadian selama Dana tak di sampingnya. Yah, meski tak semua. Peristiwa yang dianggap Ivy penting saja.

"Ohb... jadi selama ini kamu di Amerika bersama Agian, ya. Memutus komunikasi denganku hanya karena takut jika Yudha menemukanmu? Bagus, keputusanmu tepat.

Yah, meski terasa sakit. Tapi setidaknya aku tak perlu berbohong pada Yudha saat aku mengatakan bahwa aku tak mengetahui keberadaanmu. Atau mungkin aku akan mengecewakanmu karena memberi alamatmu pada Yudha saat itu."

Tawa keduanya mengisi keheningan malam. Ivy seakan kembali merasakan tawa yang sangat bahagia seperti dulu, meski hanya dengan lelucon bodoh yang Dana lontarkan.

"Tapi, aku ingin bertanya satu hal."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro