FMN - 6. Satu Rumah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

‍‍‍‍‍"Cewek mana pun termasuk lo, gak akan bisa nolak pesona gue."

- Yudha -

•-•

Ivy berdiri mematung melihat isi lemari penuh dengan gamis, celana, rok, dan baju yang semuanya panjang.
Jangan lupakan hijab bermerk dengan bermacam warna. Sepertinya Ivy salah masuki kamar. Lihat semua ini. Di sebelah lemari, sebuah buffet kaca memamerkan koleksi tas selempang dan sepatu high hills. Ada televisi di hadapan ranjang pink. Meja belajar dan meja rias di sisi pintu balkon. Juga ada kamar mandi di sini.

Menghembuskan napas pelan, Ivy memilih melupakannya. Toh jika memang ia salah masuk kamar, akan ada yang memberitahunya lalu Ivy pindah ke kamar lain. Beres sudah.

'Tok tok tok'

Melihat sekilas ke arah pintu yang diketuk. Dengan langkah terburu-buru, Ivy membuka pintu kamar. Tuan Prayata di sana, berdiri dengan senyuman dan sebuah benda di tangannya.

"Nak, boleh saya bicara sebentar dengamu?"

"Tentu saja. Silakan masuk, Pak." Membuka pintu lebih lebar, Ivy mempersilahkan lelaki paruh baya itu masuk. Keduanya langsung duduk di sofa.

"Saya ingin berterima kasih karena kamu telah menyetujui penawaran saya."

Dua sudut bibir Ivy terangkat. "Saya juga berterima kasih atas pertolongan bapak."

"Tujuan saya hanya ingin memberi tahumu, hari ini sampai seminggu ke depan. Saya dan istri saya tidak akan di rumah karena ada perjalanan ke luar negeri."

Pria itu menyodorkan paper bag yang sejak tadi dibawanya. "Nah, ini untukmu."

"Tapi-"

"Jangan menolak, kamu akan butuh benda itu." Tak ada yang bisa dilakukan Ivy selain menerima pemberiannya.

"Oh, iya. Nama saya Tirta, istri saya Anne. Yudha, meski dia sudah 18 tahun. Kamu cukup panggil Yudha saja. Biar cepat akrab." Ivy mengangguk kecil.

"Yudha, dia belum bisa berpikiran dewasa. Dia juga sulit sekali menghindari hal buruk. Selagi suka, ia pasti akan melakukannya."

"Saya yakin kamu bisa mengawasinya. Tolong jaga Dia."

Selama Pria bernama Tirta itu bicara, Ivy hanya diam mendengarkan. Ia jadi teringat dengan sesuatu.

"Kalau saya boleh tahu, ini kamarnya siapa?"

Sebelah alis di balik kacamata itu terangkat. "Tentu saja kamar kamu."

"Tapi di lemari sana ada-" Tirta mengikuti arah pandang Ivy yang tertuju pada lemari coklat.

"Semuanya pakaian milikmu nak, kamu tidak boleh menolak. Bisa mubazir. Mereka semua tak akan muat jika dipakai istri saya." Ivy lagi-lagi hanya bisa tersenyum membalas ucapan pria itu.

"Saya sangat berterima kasih untuk semua kebaikan bapak."

Tirta tersenyum. "Baiklah, saya harus segera pergi sekarang." lalu mengusap kepala Ivy dan melenggang pergi dari kamar gadis itu.

***

"Yudha, mama berangkat." Anne memeluk dan mengecup sekilas pipi sang anak.

"Oke Yudha, jaga diri kamu. Papa dan mama akan kembali seminggu lagi. Assalamu'alaikum." Kali ini Yudha mengangguk mengiyakan ucapan Tirta.

Kedua orang tuanya berjalan memasuki mobil. Sampai Pajero putih menghilang dari pandangannya, barulah kaki berbalut celana hitam selutut Yudha melangkah menuju ruang keluarga. Ia berniat melanjutkan acara menonton film yang tadi sempat terjeda.

Tidak sedih ataupun takut karena sendirian di rumah. Seperti biasa, dia bahkan menikmati kebebasannya. Di rumah megah itu, benar-benar hanya ada Yudha. Tak ada siapa pun yang bisa memata-matai apa yang dilakukannya.

Beruntunglah Yudha karena ayahnya tak suka jika ada orang lain termasuk pekerja yang berseliweran di rumah. Yup, termasuk dua pembantu, seorang satpam, seorang tukang kebun, dan tiga supir. Mereka semua tidur di kamar belakang, terpisah dengan rumah ini.

Ini kepala gue kenapa pusing, ya?

Belum sempat duduk di depan TV. Yudha barbalik menuju kamar mandi yang ada di dapur. Perutnya bergejolak, seperti ada yang memaksa keluar. Tangan kanan Yudha membekap mulut, sedang tangan lainnya menutup pintu kamar mandi.

Aduh laper lagi, batin Ivy memegang perutnya.

Ia baru selesai mandi, sesaat setelah perutnya memeberontak minta diisi. Ivy jadi teringat dengan puding coklat yang disimpannya di dapur tadi pagi. Tangannya membuka pintu kulkas sebelah kanan, lalu membuka sisi pintu yang lain. Matanya mencari-cari sesuatu di dalam sana.

Loh, kok gak ada?

Ivy masih sibuk menelusuri setiap sudut kulkas. Berharap kudapan itu terselip diantara banyaknya makanan di dalam sana. Ia sampai tak sadar ada orang lain di sana.

Itu kulkas kenapa bisa kebuka?

Mengendikkan bahu acuh. Tanpa rasa curiga, Yudha berjalan mendekati kulkas berniat menutupnya kembali. Ia membelalakkan mata, ada penyusup di rumahnya.

"Eh, siapa lo!" teriak Yudha.

Ivy terpenjat, menegakkan kembali punggung yang sedari tadi membungkuk. Gelagatnya persis seperri maling yang ketahuan mencuri. Dia gelagapan, tak tau harus berkata apa.

"Elo!"

Yudha menelusupkan jari-jari tangannya di saku celana. "Ngapain lo di rumah gue? Lo, penguntit ya? Atau ... jangan-jangan lo naksir gue, terus ngikutin gue sampai ke sini?"

Ivy melotot, sednagkan Yudha mendengus. "Cewek mana pun termasuk lo, gak akan bisa nolak pesona gue."

Huh ... naksir dia," cibir Ivy dalam hati.

"Sorry, gue gak hobi nguntit. Mulai hari ini gue tinggal di sini. Dan apa tadi? Naksir lo? Cowok kaya lo bukan tipe gue."

Yudha terkekeh menaruh satu tangan di dagu. "Oh, gue tau. Lo ke rumah orang tua gue, cerita tentang kejadian ke maren malem, terus lo ngaku gue tidurin."

"Dan taraaa ... akhirnya keinginan lo tinggal di sini terkabulkan. Begitu kan? Selain pembohong lo juga pinter akting ternyata. Ikut casting jadi artis aja gih, lo berbakat banget."

Ivy terkejut, dahi melipat. Ngomong apa sih orang ini. "Gue gak serendah yang lo pikir. Halu banget sih, lo," kata Ivy penuh penekanan.

Dapur hening seketika. Sampai tiba-tiba, tawa gelegar Yudha membuat Ivy ingin segera menjauh dari orang itu. Dia aneh, seperti orang gila.

"Lo yang halu karena berpikir bisa tinggal di rumah ini."

Yudha berjalan melewati Ivy. Hanya beberapa langkah saja, ia berhenti. "Satu lagi. Kerudung itu, gak pantes dipake sama penipu kaya lo."

"Semua cewek yang pernah bertindak serendah ini, gak ada yang semunafik kaya lo. Mereka berpakaian layaknya bitch, gak nutupin sifat aslinya. Tapi lo menutupi kebusukan dengan penampilan gadis suci. Cih!" Kali ini Yudha benar-benar meninggalkan dapur.

Ivy tak mengerti dengan apa yang pemuda itu katakan. Semua kalimatnya melantur seperti orang mabuk.

Tapi tadi dia kaya baik-baik aja.

Sementara di lantai dua...

Yudha membanting pintu kamar.
Itulah mengapa ia benci dengan kaum yang satu ini. Mereka akan melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya. Sekalipun dengan cara rendahan.

Kaum perempuan itu sama saja, dialah buktinya. Dan apa kata dia 'Gue gak serendah yang lo pikir' hah bulshit.

Yudha mendudukkan dirinya di tepi ranjang. Ia menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Berusaha untuk menenangkan diri.

Kenapa ia menjadi berbeda jika di dekat gadis itu? Keinginannya untuk bicara mendadak meledak. Sangat bertolak belakang dengan dirinya yang cenderung diam.

Dia memang jago menyulut emosi orang.

Rasa mual kembali menyerang Yudha. Mulutnya tiba-tiba saja sudah penuh dengan bubur yang naik dari lambungnya. Ia berlari cepat ke kamar mandi.

Sial, gue kenapa?

Ivy sekarang berada di dapur. Dengan telaten, ia menata nampan makan siang untuk Yudha. Semangkuk bubur, air putih, juga obatnya sudah Ivy siapkan. Meski masih sakit hati dengan segala perkataan sekaligus perbuatan Yudha. Ivy tetap saja harus mengurus pemuda itu. Ini amanat dari Tirta, lagi pula ini juga pekerjaannya.

Sesampainya di depan pintu kamar Yudha. Ivy mengintip diam-diam melalui celah pintu, melangkah masuk perlahan. Ia celingukan mencari pemuda bengal itu, kamar ini kosong.

Menaruh nampan di meja nakas samping tempat tidur. Ivy yang awalnya hendak memeriksa kamar mandi. Akhirnya berbalik arah ketika mendengar dengan jelas suara gemricik air dari sana.

Ceroboh banget sih, pintu kamar mandi gak ditutup.

Ivy tentu bergegas keluar, bisa jadi pemilik dia sedang mandi. Namun, kakinya berhenti saat mendengar suara orang muntah-muntah. Irisnya menatap pintu coklat yang terbuka lebar.

Apa dia sakit? Ivy beranjak dari sana, ia harus melakukan sesuatu.

"Halo," suara seorang pria dari telepon.

"Dokter Reno, apa dokter bisa kesini? Lelaki i- Eeem ... maksud saya Yudha sejak tadi mual-mual."

"Tentu, saya akan ke sana."

'Klik'

Ivy sedikit tahu tentang keluarga ini dari cerita Bi Sari. Dialah-orang yang biasanya memasak untuk Yudha-wanita yang memberi tahu perihal nomor dokter pribadi keluarga ini kalau-kalau ada keadaan darurat. Bersama Bi Sari jugalah, Ivy membuat puding yang rencananya akan ia makan siang hari.

Tapi ... sampai saat ini gadis itu juga tak kunjung menemukan camilan itu.

•-•

[Revised]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro