09 : Keputusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

SELAMAT MEMBACA
FORTIDEN
09 : Keputusan

Semua yang indah kini perlahan sirnah tergantikan dengan kepedihan hati yang mendalam.
—:—:—:—

FOLLOW :
@kdk_pingetania
@aboutpinge
@arizona.vernanda
@aileen.adhitama

—:—:—:—

AILEEN pulang ke rumahnya dengan mata yang sembab. Gadis itu hendak langsung masuk ke dalam kamarnya untuk menenangkan diri. Akan tetapi mobil-mobil polisi yang terparkir di depan rumahnya membuat gadis itu buru-buru masuk untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.

Matanya melotot melihat tangan ayahnya diborgol oleh polisi dan dibawa menuju mobil polisi. Buru-buru Aileen menghentikan hal tersebut.

"Pa, Papa mau dibawa ke mana?" tanya Aileen panik.

Anton tersenyum ke arah anaknya. "Maafin Papa ya Ai."

Mata Aileen menatap Anton tak percaya. Gadis itu menggeleng, "Pa, ini ada apa? Jelasin dulu sama Ai!" teriak Aileen tak terima.

"Maaf ya Dek, kamu bisa ke kantor kami jika ingin mendengar penjelasannya," ujar polisi yang memegangi lengan ayah Aileen.

Aileen menggeleng. Airmata gadis itu jatuh membasahi pipinya. "Nggak! Ngapain bawa Papa aku ke kantor polisi? Dia orang baik!"

"Permisi ya Dek," kata polisi itu sambil menarik ayah Aileen pergi.

"Nggak! Nggak boleh!" Aileen mengejar ayahnya, akan tetapi tubuhnya ditahan oleh polisi lainnya. "Lepasin! Kalian mau bawa Papa aku kemana?!"

"Tolong kamu tenangin diri dulu. Kamu bisa ajak Mama kamu buat dateng ke kantor kami," kata polisi tersebut. Lalu setelah itu mereka semua pergi meninggalkan Aileen sendiri.

—:—:—:—

AILEEN mematikan televisi dengan memecet tombol merah yang ada di remote TV. Gadis itu melempar asal remote tersebut. Telinganya sudah panas mendengar berita penangkapan ayahnya yang disiarkan.

Ia masih tak menyangka hal seperti ini akan terjadi.

Gadis itu memeluk lututnya dan berdiam di pojok kamar. Aileen menangis dalam diam saat itu. Bahkan lampu kamar pun tak dinyalakan oleh gadis itu. Dia tidak lagi takut akan kegelapan. Karena kini ketakutan yang lebih besar telah menjumpainya.

Ketakutan kehilangan semua orang yang ia sayangi.

Tean. Ayahnya. Lalu apakah Aileen akan kembali kehilangan lagi?

—:—:—:—

TEAN menatap ayahnya tak percaya. "Papa mau nikah lagi?" tanya lelaki itu.

Pria paruh baya tersebut menganggukkan kepalanya dengan yakin. Seakan menyiratkan bahwa keputusan pria itu sudah bulat.

"Papa sudah memikirkannya dengan baik. Dan keputusan Papa sudah bulat," ujar pria bernama Kris itu.

Bukannya Tean tidak ingin ayahnya bahagia. Tapi baru setahun ayahnya berpisah dengan ibunya. Dan hal itu sudah membuat Tean sangat sulit untuk membiasakan diri tanpa keluarga yang utuh. Lalu sekarang ayahnya ingin menikah lagi. Akan sulit bagi Tean untuk kembali membiasakan diri dengan istri ayahnya nanti.

"Kenapa Papa nggak bicarain dulu ke Tean? Apa Papa nggak nganggep Tean anak Papa?" tanya Tean sambil menatap mata ayahnya.

"Papa udah nyaman sama dia Tean, dan itu udah cukup jadi alasan untuk Papa nikahin dia," ujar Kris.

Tean tersenyum miris. "Jadi yang penting itu cuma Papa nyaman sama dia gitu? Nggak penting buat Papa kalau Tean nyaman atau nggak sama calon ibu tiri Tean?"

Kris terdiam.

"Ya udah kalau emang itu keputusan Papa, Tean nggak bakalan ngelarang. Tapi Papa juga nggak bisa larang Tean buat nyusul mama ke Canada," ujar lelaki itu lalu keluar dari rumahnya.

"Tean! Tean!" panggil Kris.

Tetapi Tean sama sekali tidak menggubris panggilan itu.

—:—:—:—

GADIS itu terbangun dari tidurnya saat matahari masuk ke dalam kamarnya. Perlahan-lahan ia mengangkat kepalanya dan mengerjapkan matanya.

Aileen tertidur di pojok kamarnya dengan posisi yang sama seperti saat ia menangis. Ia merasa kepalanya berat karena menangis terus-terusan kemarin. Ia berharap semua berita buruk yang ia dengar kemarin hanyalah mimpi.

Gadis itu mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai tak jauh dari dirinya. Ia melihat layar ponselnya. Aileen tersenyum miris ketika nama yang ingin ia temui tidak ada di layar ponsel.

Aileen tahu dia terlalu berharap bahwa Tean akan mengirimi pesan setelah semua yang terjadi. Jangankan mengirimi Aileen pesan, mengangkat telpon dari gadis itu saja Tean sudah enggan.

Gadis itu bangkit dari duduknya. Ia melakukan peregangan pada lehernya yang terasa sakit karena salah tidur. Tiba-tiba saja pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Dari ambang pintu terlihat wanita paruh baya yang menatap Aileen khawatir.

"Ai," panggil Ariana.

Melihat ibunya datang, Aileen segera berlari kepelukan Aileen. "Mama," kata Aileen sambil menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Arina. "Mama kemana aja?" Tangisan gadis itu kembali pecah. Aileen menyandarkan kepalanya di bahu ibunya.

Ariana mengelus kepala anaknya berusaha menenangkan anak gadisnya itu. "Ai, kamu jangan nangis ya," kata wanita itu.

"Mama tau kan kalau Papa ..." Aileen tak sanggup untuk melanjutkan perkataannya karena isak tangis yang kian mengeras.

Ariana segera mengelus punggung anaknya. "Udah kamu tenang dulu ya Ai," ujar wanita itu.

Setelah Aileen berhasil menghentikan isak tangisnya, Ariana melepas pelukannya dan menatap anak gadisnya itu. "Ai, Mama mau bawa kamu ke Bali," ujar wanita itu.

Mata Aileen melotot, "maksud Mama?"

"Di sana Mama ada temen yang mau nampung kita," kata Ariana.

"Tapi kan sidang Papa belum dimulai Ma," kata Aileen. "Kita masih bisa nyewa pengacara."

"Papa kamu sudah seratus persen bersalah Ai, kita pasti kalah di pengadilan nanti. Dan rumah ini akan disita," ujar Ariana.

"Maksud Mama, Mama mau ninggalin Papa gitu?" tanya Aileen tak percaya.

"Bukan gitu, Mama cuma nggak mau kamu nggak ada tempat tinggal lagi," ujar Ariana.

"Emang Mama punya temen di Bali? Seinget Ai Mama nggak punya temen di sana," ujar Aileen tak percaya.

"Waktu Mama ke Bali kemarin, Mama kenalan sama dia," ujar Ariana.

"Cowok?" tanya Aileen.

Ariana mengangguk.

"Sedekat itu kah Mama sama laki-laki itu sampai dia ngijinin kita tinggal di sana?" tanya Aileen. "Atau jangan-jangan Mama mau nikah sama dia?" tuduh Aileen.

Ariana terdiam.

Mata Aileen melotot karena Ariana tidak membantah perkataannya. Itu berarti semuanya benar kan?

Aileen memegang kedua bahu ibunya. "Mama nggak bakalan nikah lagi kan?"

"Mama emang mau nikah lagi Ai," ujar Ariana.

Badan Aileen mundur perlahan. Gadis itu menjatuhkan pantatnya di atas kasur. Tangisnya kembali pecah. Telapak tangannya menutup mulutnya yang menandakan gadia itu benar-benar terkejut.

"Ma, Papa baru aja ditangkep polisi, bahkan belum satu hari, tapi Mama ..." Aileen tak bisa menatap Ariana lagi.

"Mama bisa je—"

"Mama keluar dari kamar Ai! Ai mau sendiri," usir Aileen.

"Ai—"

"Plis Ma!"

Ariana pun mengikuti permintaan anak gadisnya. Ia keluar dari kamar Aileen dan menutup pintu kamar tersebut pelan.

Dan kini Aileen kembali menangis dalam diam. Ia tak habis pikir dengan ibunya. Ayahnya baru saja terkena musibah, tetapi Ariana malah berencana untuk menikah dengan seorang pria di Bali. Aileen meraba-raba permukaan kasur untuk mencari ponselnya.

Gadis itu ingin pergi dari rumah ini. Ia tidak ingin ikut Ariana ke Bali. Dan satu-satunya orang yang bisa ia hubungi adalah Tean.

Untuk kesekian kalinya Tean tidak mengangkat telpon dari Aileen. "Plis, angkat Tean," gumam gadis itu. Tetapi sama saja, Tean tidak mengangkat telponnya.

Aileen menjatuhkan ponselnya pasrah. Gadis itu menangis meratapi nasibnya yang benar-benar tidak ia duga. Semua yang indah kini perlahan sirnah.

Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Aileen mengambil ponselnya malas. Tetapi senyumnya sedikit mengembang ketika melihat nama Tean tertera di layar ponselnya. Segera Aileen membuka dan membaca isi pesan itu.

Tean : mulai sekarang sebaiknya lo nggak usah hubungin gue lagi. Gue nggak bakalan ngasi lo kesempatan kedua Ai. Lo udah ngehancurin gue sehancur-hancurnya, jadi cukup segitu aja. Gue udah ikhlasin lo sama cowok lain, dan gue juga udah maafin lo. Besok gue bakalan ke Canada, jadi sampai jumpa lagi dilain waktu! Gue sayang lo.

Airmata Aileen jatuh sangat deras membaca pesan tersebut. Buru-buru gadis itu menelpon Tean setelah membaca pesan itu. Akan tetapi ponsel Tean sudah dimatikan.

Tidak. Kalau tidak ada Tean, siapa lagi yang menjadi pegangan dia. Siapa lagi yang menjadi penyangganya yang kuat disaat dirinya sedang hancur begini? Apakah dia benar-benar harus mengikuti kemauan ibunya ke Bali?

Tidak!

Aileen tidak akan meninggalkan ayahnya begitu saja. Jika memang pegangannya kini telah hilang semuanya, maka hal yang harus Aileen lakukan adalah memperkuat diri agar bisa berdiri sendiri tanpa berpegangan pada siapapun. Memang susah, tetapi Aileen akan berusaha untuk mencobanya.

Gadis itu menghapus airmatanya dan memantapkan dirinya untuk mengambil langkah yang benar-benar diluar pemikirannya dulu. Aileen akan mencoba untuk hidup sendiri.

*Flashback Off*

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA

***

Sori baru bisa update. Jangan lupa buat vomment ya! Selanjutnya peran Arizona bakalan muncul, jadi kalian harus lanjut baca!

Btw selamat hari natal dan hari raya galungan dan kuningan ya bagi yang merayakan!

Next? 300 komen!

#GrasindoStoryInc
25-12-2108

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro