Bab 1: FOR

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mata kuliah Psikologi Konseling yang dibina oleh Ibu Daisy telah usai dari 15 menit yang lalu, namun tubuhku seakan enggan beranjak dari kelas yang mulai sepi ditinggalkan mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi. Bukan karena pelajarannya yang melelahkan, mempelajari kejiwaan dan tingkah laku klien yang sedang mengalami problem dalam kehidupannya sangatlah menarik, bukan dalam artian buruk, aku senang bisa menjadi tempat berkeluh kesah mereka. Diri ini merasa lesu karena mata kuliah itu harus usai.

Kepalaku masih menempel pada meja dalam keadaan miring menatap ke luar kelas, di sana mulai gerimis. Awan-awan kelabu menjadi pemandangan sendu, orang-orang mulai berlarian mencari tempat yang teduh. Tidak luput pula umpatan yang menghardik langit karena mereka harus kebasahan. Tapi bagiku, keadaan itu malah membuat diri ini merasa aman, aneh memang. Suara guntur tidak lantas menggentarkan hati, tubuhku tetap teguh mengindahkan kilatan cahaya yang membawa rintik menjadi hujan besar.

"Agatha, lo nggak pulang?" Suara bariton yang sangat kukenal menginterupsi lamunanku. Aku sedikit tersentak karena kaget, begini-begini aku cukup kagetan orangnya, tapi tidak sampai latah.

Pemandanganku seketika terhalang oleh sosok jangkung yang menunduk mensejajarkan wajahnya denganku, mata sipitnya berkedip tampak penasaran. Rupa laki-laki ini menawan, dengan alis tebal ditambah rahangnya yang tegas, dan bibir ranum yang sering buatku iri. Dasar wajahnya hampir sama sepertiku, kawan-kawan sering menyebutnya, bak bule lokal.

Aku lantas mengangkat wajah, kembali duduk dengan benar, senyum tipis kuperlihatkan. "Hujan, Ndra. Lo sendiri ngapain masih di kelas?"

Narendra Baskara, aku dan teman-teman sering memanggilnya Andra. Teman laki-laki satu fakultas yang sering menempel padaku sejak semester 3 kemarin, katanya, aku orangnya asyik. Yang kutahu tentangnya, dia tidak banyak bicara, sosoknya sangat sopan dan baik, pun rendah hati dan ramah, padahal anak dari rektor di kampus.

"Nungguin lo," ucap Narendra dengan ekspresi yang sulit kutebak seperti biasa, sambil memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana kain miliknya.

Aku pun berdiri, Narendra cukup keras kepala orangnya, percuma jika aku menyuruhnya pergi. Beruntung laki-laki setinggi 177 sentimeter itu bukan anak populer yang digandrungi mahasiswi di kampus. Aku tidak tahu apa mata gadis-gadis di sana bermasalah atau bagaimana, padahal kawanku ini juga pintar. Memang sih, sifatnya agak aneh, seperti sulit didekati dan pemilih dalam pertemanan, tapi yang jelas aku sedikit bersyukur bisa leluasa berteman dengannya.

"Mau ke kantin?" Ajakku sembari meraih tas. Narendra mengulas senyum sambil mengangguk, laki-laki itu selalu saja mengiyakan ajakanku, nyaris tidak pernah dia menolak.

Saat kami melangkah ke luar kelas yang sepi, keningku sontak mengernyit. Ada anak kecil laki-laki menghadang, yang aku yakin dia adalah anak dari Bu Asri yang berjualan mie ayam di dekat Fakultas Kedokteran Hewan. Anak itu tersenyum, sekilas melirik Narendra, lalu kembali menatapku, tangannya terulur memberikan sebuah amplop berwarna merah muda. Dengan bingung aku menerima kertas itu, karena jelas-jelas tertuju untukku, bukan Narendra. Adik kecil itu langsung berlari pergi meninggalkan kami tanpa mengatakan apa-apa.

"Eh, dek! Ini apaan sih, surat cinta?" Aku mendengus sambil membolak-balikkan surat, bahkan benda itu sangat harum! Entah parfum apa ini tapi sangat menyegarkan. Tanganku terhenti ketika hendak menarik kertas di dalam surat yang tidak terekat oleh lem. Ingatan kembali berputar sepuluh hari yang lalu, tepatnya tanggal 4, aku pernah mendapatkan surat cinta ini sebelumnya. Surat cinta berdarah.

Ini kali kedua. Tanganku mulai gemetar hebat, keringat dingin menjalar pada punggung, dengan susah payah aku menelan ludah, napasku pun mulai memburu, mungkin telah disadari oleh Narendra hingga dia menggenggam pergelangan tanganku.

"Lo kenapa ...?" Suara Nerendra terdengar khawatir, dia sampai maju menghadapku sambil menelisik rupa ketakutan yang aku agihkan.

Buru-buru aku tarik surat di dalamnya, bersamaan dengan itu sebuah bulu burung berwarna abu-abu jatuh ke lantai, benar, rasanya aku ingin menangis saat itu juga.

Sayangku, jika boleh kusobek dada burung merpati untuk kuberikan hatinya untukmu, sudah pasti kulakukan 'tuk buktikan rasa cintaku terhadapmu. Kalau perlu, seribu, puluhan ribu, ratusan ribu hati burung merpati pun rela kuburu hanya untukmu, atau dirimu inginkan apa selain hati burung merpati? Aku memiliki banyak hati hewan ... ah, hanya tinggal hatimu yang sulit kudapatkan.

Rasaku terhadapmu tidak akan pernah berubah Agatha, hingga kapanpun.

Aku mencintaimu, dengan sungguh.

Tulisan itu berwarna merah pekat dan tidak beraturan, terlihat mengerikan. Sudah gila! Aku melempar surat itu asal sambil memeluk diri sendiri. Fokusku pun terbagi ke arah bulu merpati yang entah itu betulan atau tidak. Menurutku, itu bukan surat cinta, melainkan surat teror. Aku mulai terisak karena ketakutan, Narendra terlihat tenang memelukku dari samping tanpa mengucapkan apa pun, hanya mengelus pundak menenangkan.

"Andra ... surat ini lagi," ujarku dengan lirih, Narendra seharusnya sudah tahu, karena waktu sebelumnya saat mendapatkan surat pertama, dia ada di dekatku juga seperti sekarang.

Bersamaan dengan itu, dari jauh, aku melihat sosok bertopi hitam yang sedang menatap ke arah kami. Karena hujan deras, jadi orang diseberang tidak terlalu terlihat, yang jelas, dia menatap ke arah kami dengan bibir yang ditekuk tidak suka, lagi-lagi penguntit sialan itu, jangan-jangan dia yang mengirim surat ini?

***

Beberapa hari ini aku tidak bisa tidur pulas, semenjak surat pertama yang aku dapatkan, hari-hari normalku seakan telah sirna, seperti terenggut oleh sesuatu. Hembusan napas berat kuhela, sambil menyeret kedua kaki menuju kelas yang jaraknya masih sangat jauh dari halaman depan kampus.

"Katanya kasus Frischa mau ditutup, kasihan ya orang tuanya," ujar salah satu mahasiswi yang sedang mengobrol dengan kawannya.

"Iya, ya. Tapi keluarganya nggak terima, iya sih jelas, masih memperjuangkan kebenaran dari kematian anaknya," timpal si kawan. Lalu keduanya pun berjalan melewatiku.

Frischa Amber, murid fakultas kedokteran hewan yang katanya meninggal karena bunuh diri, lompat dari atas gedung Fakultas Psikologi. Tapi keluarganya bersikukuh kalau anaknya dibunuh, entah mana yang benar masih menjadi misteri. Langkah kuhentikan, jika diingat-ingat, semenjak kematian gadis malang itu, kesialan mulai menimpaku juga. Frischa dikabarkan bunuh diri pada tanggal 24, bulan kemarin. Semenjak itu, penguntit yang membuatku resah mulai melancarkan aksinya. Berangkat kuliah, pulang ke rumah, saat aku ke kantin, ke toilet kampus pun jadi merasa diikuti oleh penguntit itu.

Kehadiran Narendra disampingku tidak lantas membuatku lega, malah muncul rasa was-was. Pasalnya, respon kawanku itu tampak terlalu biasa, dia memang selalu menghibur dan menenangkan saat aku bercerita soal kejadian ini, tapi tidak ada aksi berarti yang kulihat darinya. Kadang dia hanya menatapku bergeming dengan tatapan yang sulit kujelaskan, pun sesekali hanya usapan pada punggung sambil berucap menyarankan sesuatu. Katanya sih dia akan mencoba membantu.

Ah, baru juga dirasakan, dari jauh terlihat Narendra yang berjalan sambil mengulas senyum simpul. Baru ingin kubalas senyuman itu, miliknya seketika mengendur dan rautnya berubah tanpa ekespresi. Melihat pandangan Narendra, aku berbalik, mendapati seorang laki-laki yang tersenyum miring berjalan kearahku.

Dia adalah Gasendra Mahesa, laki-laki populer yang terkenal playboy, bibirnya saat berbincang dengan wanita bisa terdengar sangat manis, aku yakin bisa dibuat diabetes hanya karena mendengar ucapannya, cukup maklum sih karena anak Sastra Indonesia yang pintar merangkai kata. Pria itu lebih muda setahun, tapi kepopulerannya di kampus tidak perlu diragukan lagi. Siapa yang mau menyia-nyiakan anak orang kaya seperti Mahesa? Ayahnya saja seorang anggota legislatif yang berkuasa. Oke, itu pemikiran kebanyakan gadis di kampus ini, kecuali aku.

"Siang, manis." Mahesa merangkul pundakku, hampir saja bibirnya itu mendarat di pipiku kalau saja tendasnya tidak kuhalau dengan kedua telapak tangan.

"Hesa, lepas ah. Gue nggak mau ya kena labrak cewek lo lagi, yang keberapa coba itu, duh, bikin pusing!" Aku meloloskan diri dari rangkulan paksa laki-laki itu, dengan judes, aku berlalu begitu saja menuju kelas, tapi lengan atasku tertahan oleh cengkraman tangan Mahesa.

"Lo belum balas ucapan gue." Kedua manis hitam Mahesa menatapku tajam, suaranya merendah tidak ramah, sepertinya dia mulai tersulut emosi karena sikapku memang selalu begini setiap kali bertemu dengannya.

Sial sekali aku menjadi incaran Mahesa sejak kejadian di kantin dua bulan lalu yang membuatku harus berurusan dengannya. Siapa suruh seenaknya menyenggol bakso milikku sampai tumpah dan tidak meminta maaf, jadi waktu itu aku jambak saja rambutnya yang sedikit gondrong.

"Lepasin, Hesa." Aku pun menatapnya kesal, cengkraman itu mulai terasa sakit, Mahesa benar-benar sudah tidak bisa menahan perlakuannya.

Sebuah lengan menjulur dari belakang, aku menoleh mendapati Narendra yang melepaskan paksa tangan Mahesa. Dia setengah memeluk dan menjauhkanku dari laki-laki emosian yang kini memberikan tatapan nyalang kepadaku dan Narendra, dia tidak terima diperlakukan seperti itu.

"Jaga sikap lo, Hesa." Suara mengintimidasi Narendra memperingati laki-laki dihadapannya. "Lo nggak lihat kalau Agatha nggak nyaman sama perlakuan lo?"

Ekspresi Mahesa sedikit melunak saat melihatku mengelus lengan bekas cengkramannya. Asli, kemungkinan kulitku memerah sekarang. Mereka berdua saling adu tatap, di saat seperti itu, gawaiku dalam mode vibrate pun bergetar. Takut keadaan di sana menjadi keos karena beberapa orang sudah menatap kami curiga, jadilah aku menarik Narendra dari sana, meninggalkan Mahesa yang mematung tanpa berkata apa-apa.

***

Aku dan Narendra sedang di kantin. Suasana di sana sangat ramai, mungkin karena masih siang, jadi mahasiswi dan mahasiswa banyak yang nongkrong sambil menunggu jam mata kuliah selanjutnya. Sungguh iri, kebanyakan pada berbincang seru dengan cicle mereka masing-masing, sedangkan aku, tidak memiliki kawan dekat selain Narendra. Ada sih beberapa teman perempuan, tapi hanya sekadar berbincang basa-basi, tidak ada yang dekat sekali. Kemungkinan mereka enggan mendekat karena wajahku yang tidak ramah, bintang satu. Mau bagaimana lagi.

Aku pun duduk di bangku sambil menerima telepon dari teman masa kecil. Sedangkan Narendra sibuk mengantri membeli ketoprak sayur dan es kelapa tidak jauh dari sana.

"Iya Dika, nanti obrolin aja di rumah," ujarku sambil menatap sekeliling. Lagi-lagi hari ini mendung, seakan tidak diberi napas untuk merasakan cucian kering. Pulang ke rumah nanti pasti ibuku akan menggerutu. "Mau ketemuan sebentar? Yaudah nanti pulang kuliah aja ... terserah mau janjian di mana sih ... oke, oke bye."

Ketika panggilan itu usai, manikku menangkap petugas kebersihan yang melambai rendah kepadaku, dia membawa sebuah kotak cukup besar. Menoleh ke kiri dan ke kanan tidak ada orang yang dituju selain aku. Petugas itu menyuruhku untuk mendekat kepadanya dengan isyarat tangan. Kenapa tidak dia saja sih yang mendekat? Aku pun terpaksa beranjak untuk menghampiri petugas yang berdiri di dekat pohon rindang, sebelumnya kami berjarak sekitar 5 meter.

"Kamu Aghata kan? Ini ada titipan untuk kamu." Tanpa persetujuanku, dia buru-buru menyodorkan paket itu dengan ekspresi cemas, ada keraguan pada matanya. "Sudah ya, saya permisi dulu." Office Boy yang gusar itu langsung pergi begitu saja setelah aku menerima barang, menimbulkan tanda tanya besar bagiku.

Paket itu sebesar kotak sepatu dan cukup berat, dibungkus plastik hitam terlihat normal. Seketika muncul curiga pada benak, perlahan badanku merendah, menaruh paket itu di tanah. Sejenak kupandangi benda itu, karena mencuat perasaan ragu. Ada apa dengan tanggal 14, hari ini? Sudah dua orang asing yang memberikannya 'hadiah' cuma-cuma.

"Aghata, lo ngapain di sana?" Narendra berseru dari meja kami sambil menaruh dua mangkuk ketoprak sayur.

Aku pun menoleh lalu berdiri, sekilas menatap paket yang kutinggalkan di tanah. "Nggak apa-apa," jawabku setengah berteriak lalu berlari kecil meninggalkan kotak itu di sana.

***

Di rumah tidak ada seorang pun selain aku dan suara detikan jam dinding yang menemani. Mama dan Papa sedang ke rumah Nenek selama 3 hari, beberapa saat yang lalu aku mendapatkan pesan mendadak dari mereka. Aku anak tunggal, jadi di rumah sendiri begini sudah bukan masalah lagi bagiku. Tapi yang tidak kusuka, jika sudah mati lampu. Akhir-akhir ini, di malam hari sering sekali terjadi pemadaman listrik, bisa sampai 4 jam lebih, entah karena apa. Aku lupa menanyakan detailnya pada orang rumah.

Aku duduk di sofa ruang tengah sambil menghadap meja. Fokusku bukan pada meja, tapi pada benda yang tergeletak di atas sana. Pada akhirnya aku membawa paket berbungkus plastik hitam itu ke rumah, agak gegabah memang. Selain karena penasaran, aku tidak ingin orang lain yang tidak sengaja harus tertimpa musibah karena benda ini. Kita tidak tahu di dalamnya ada apa, kan? Semoga aku tidak merutuki aksiku setelah ini.

Bungkus polos paket itu kusobek dengan cutter secara perlahan, hingga menampakkan kotak plastik berwarna merah menyala. Jujur saja warna itu membuatku tidak nyaman. Peneranganku saat ini hanya cahaya dari rembulan yang tidak seberapa masuk melewati sela ventilasi rumah dan jendela yang gordennya sengaja kubuka lebar menampakkan pemandangan luar. Jendela rumahku bergaya khas belanda, lebar dan tinggi. Lalu dibantu dengan lampu emergency yang cukup menambah penerangan.

Bau amis.

Bener kan, gue bilang juga apa Aghata! Pasti isi paket ini sesuatu yang bisa menimbulkan bau anyir.

Aku menelan ludah dengan susah payah, tanganku gemetar tapi rasa penasaranku jauh lebih besar. Sialan memang. Mataku mengerjap tidak menentu sambil membuka wadah merah itu, dengan sangat perlahan. Sampai kudapati sebuah motif familiar yang langsung tertangkap oleh mata, lamat-lamat kuperhatikan bentuknya. Detik selanjutnya mataku terbelalak dan sontak berdiri menjauhi sesuatu yang kurasa adalah bangkai ular.

"AAAH ...!" Teriakanku menggema dengan histeris, terseok-seok berlari ke arah jendela sambil menutup mulut dengan kedua tangan yang mulai berkeringat dingin. Kedua mataku mulai berair menahan isakan tangis, napasku tersengal tidak beraturan. Belum juga selesai dengan keterkejutan karena isi paket mengerikan itu, di luar sana dengan pencahayaan minim, aku yakin sekali melihat sosok seseorang sedang berdiri di depan pagar rumah.

S-Stalker? Ya Tuhan.

Bersamaan dengan itu, gawaiku menyala dan bergetar, ada sebuah pesan masuk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro