6| Bunuh Aku

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku tidak pulang. Malam kuhabiskan di dalam gudang, merebahkan tulangku di atas sofa yang tidak lebih nyaman dari futon. Tidak ada alasan khusus untukku menetap di sana. Hanya keiingin tanpa dasar apapun.

Paginya, aku membasuh badan di kamar mandi gudang. Ya, meski tempat ini adalah benar sebuah gudang. Tempat ini sebenarnya lebih dari cukup untuk disebut sebagai rumah, karena fasilitasnya yang terbilang memadai. Kamar mandi kecil ini adalah salah satunya. Jamban jongkok serta bak mandi berada dalam satu ruangan tanpa sekat. Modelnya terbilang lama, terlihat jelas dari pemanas yang digunakan di sini. Ada tungku api di luar kamar mandi yang terhubung langsung dengan bak, sehingga ketika musim dingin datang, aku harus meminta seseorang untuk menunggu di depan tungku selagi aku berendam.

"Leganya..." desahan kecil kulepas, menikmati sejuknya air di tengah-tengah bulan Juni.

Bak mandinya tidak begitu besar, jadi aku harus menekuk kaki di dalam. Bahu kusandarkan pada permukaan datar bak, sebisa mungkin membuat diriku santai. Ada jendela kecil yang sengaja dipasang di samping bak, agar siapapun yang sedang di dalam dapat mengeluh soal panas air ke mereka yang susah-susah mengipasi perapian di bulan desember. Aku tidak terkecuali.

Kubuka jendela untuk sekadar melihat pepohonan dan menghirup embun pagi yang masih sejuk. Suasana begitu tenang dan nyaman, hampir merayuku untuk kembali terlelap. Nabe, Aki, dan Yuu yang menatapku pun seakan melebur dengan latar. Dengan polosnya, anak-anak itu...

"Tunggu... APA YANG KALIAN LAKUKAN DI SINI?!" teriakku spontan.

""Pagi Kak Hiro!!!"" seru mereka serentak, kecuali Nabe.

"Aku tidak butuh sapaan dari kalian! Kenapa kalian ada di sini?!"

Yuu seperti biasa menekan kacamatanya, lalu mulai bertutur dengan kesan 'cool'. "Kak Hiro, seperti biasa... Harusnya lebih waspada."

Ya, kamu benar. Keringatku dan bau sabun ini membuatku tidak menyadari kalian. Harusnya aku lebih hati-hati.

"Kak Hiro! Bisa ikut kami ke toko jajanan?" kali ini Aki yang bersahut.

"Boleh, tapi kenapa tiba-tiba?" tunggu dulu, kenapa dari tadi yang ribut justru mereka berdua? Nabe sedari tadi hanya diam. Rautnya bahkan tidak terlihat seperti biasanya.

"Sebenarnya, kak..." Yuu mengayunkan tangannya untuk mengisyaratkanku mendekat.

Aku pun menjulurkan sebagian badan untuk mendekatkan telingaku padanya. Bisikan yang kurasa tidak bisa didengar dari posisi Nabe berdiri saat itu pun berdengung. Kemudian, seperti pada adegan sebuah anime, aku pun terkejut aka napa yang baru saja dibisikkan Yuu, sedang Nabe hanya di sana menatap kami penuh kebingungan.

"Apa?" tanyanya singkat pada kami.

Seutas senyum kuberikan padanya, lalu kubalas pula singkat. "Tidak."


***


Kuikat rambutku dengan kain hitam polos hingga hanya rambut belakangku yang terlihat. Musim panas sudah dekat, jadi aku dan anak-anak pun berpakaian lebih santai dengan dominan kaos tanpa lengan dan celana pendek.

Yuu masuk lebih dulu dengan kacamatanya bersinar dan sapaan singkat, "Pagi." Nan cool.

Sedang aku, Aki, dan diikuti Nabe di belakang menyusul dengan 'lebih normal'.

"Pagi, nek..." sapaku reflek, hingga melihat siapa yang duduk di balik meja kasir dan menopang senyumnya padaku. Bodohnya aku sampai lupa.

"Pagi~♥" sapa si rubah, melempar hati padaku melalui kedip.

Kutepis hati itu seraya membalas, "Ada apa dengan senyum itu?"

"Senyum bisnis. Kudengar semakin banyak kamu tersenyum, pelanggan akan semakin banyak berdatangan." jawab rubah itu enteng.

"Yah, itu hanya berlaku di... Oh, ya." Aku pun teringat akan 'itu' dan melirik ke arah Nabe yang sedari tadi bertingkah angkuh dan memalingkan wajah ke luar toko.

"Di mana?" tanya si rubah kembali.

"Kak! Jadi kakak yang menggantikan nenek selama nenek di kebun?" tanya Aki mendahului aku.

"Tepat sekali! Siapa namamu?" uuuwah, sok akrab sekali.

"Akito! Panggil saja Aki."

Yuu tiba-tiba memotong seraya menekan kacamatanya, "Aku Yuu."

Si rubah tampak terbelalak melihat tingkah Yuu itu. Tawa pun lepas dari bibirnya, "Salam kenal Aki, Yuu. Nama kakak Morinaka Sakura. Panggil saja dengan nama, ya?"

""Baik! Kak Sakura!"" seru mereka serentak.

Perhatian si rubah pun akhirnya tertuju pada si anak yang sedari tadi terdiam gengsi di belakangku. Wajahnya angkuh dengan kedua tangan bersilang depan dada. Untuk sesaat, si rubah melirikku atas raut tidak biasa yang ditunjukkan Nabe itu. Aku hanya membalas dengan tersenyum dan mengangkat bahu.

Entah dia paham atau tidak. Setelah melirikku, dia pun bertopang pada satu tangan seraya melirik Nabe dengan raut yang kutangkap bermuatan usil. "Lalu, siapa si tampan yang ada di belakang itu?"

"Tam-?!"

"-PAN?!" Yuu dan Aki berseru dalam urutan yang demikian. Spontan membuat mengalihkan wajah hanya untuk tertawa.

Nabe di lain pihak, menunjukkan reaksi yang sangat mudah kutebak. Rahangnya seperti akan jatuh dengan sekujur muka yang merah padam. Dia berdiri tegap spontan menghadap si rubah, lalu mencoba memperkenalkan diri, meski terbata-bata.

"A-a-a-a-aku... aku... Namaku Watanabe! Ketua dari dua orang ini. Pa-pa-pa-pa... Panggil saja aku Nabe!"

""PEMBOHONG!!"" teriak Yuu dan Aki spontan bersama, mereka berdua bergantian mencoba meyakinkan si rubah jika apa yang dikatakan Nabe itu tidak benar. Nabe tentunya tidak diam saja dengan itu dan akhirnya memberanikan diri untuk menghadap si rubah dan membantah Yuu serta Aki.

Kasir spontan berubah menjadi panggung konser kecil untuk si rubah. Setidaknya itu tidak berlangsung lama, karena rombongan anak-anak lain pun datang setelahnya.

"Kak Sakura, kami... Wah-!" suara Hacchan memanggil dari balik pintu dan tertahan begitu melihat kerusuhan yang terjadi.

"Hacchan, ada apa? Waaah-!" Yuri pun hadir dan reaksinya jauh lebih heboh.

Hacchan mendekatiku, lalu bertanya seraya tersenyum seperti bukan apa-apa "Kak Hiro, ada apa dengan Nabe dan kawan-kawan?"

"Entahlah..." kujawab setengah-setengah, lalu kuberi kode pada satu-satunya anak yang waras di sana dengan bergantian melirik Yuri dan Nabe.

Hacchan pun menangkap itu, "He..."

"A-a-ap-apa yang kalian lakukan, laki-laki?! Bikin malu tahu tidak?!" seru Yuri.

Kerusuhan di depan kasir pun akhirnya reda secara spontan. Ketiga anak lelaki di sana beserta si rubah pun mengalihkan perhatian mereka ke arah sumber suara. Si rubah masih dengan senyumnya, mengayunkan tangan pada Yuri seraya menyapa, "Pagi, Yuri. Pagi, Hacchan."

"Pagi Kak Sakura." balas Hacchan.

"K-kak Sakura. C-cepat jauh-jauh dari mereka bertiga, terutama Nabe itu. Mereka... dia..." kalimatnya kemana-mana dan terbata-bata, "Ah-! Mereka terjangkit T-Virus!"

Perutku sakit, bukan karena timun yang selama beberapa hari ini kumakan. Hacchan hanya bisa tersenyum canggung di sebelahku, sedang si rubah terbelalak sekali lagi dengan senyumnya yang tidak juga pudar. Tawa lantang lepas dari bibir si rubah, lalu seperti pinta Yuri tadi, si rubah pun menggeser tempatnya duduk sedikit mundur.

"Baik-baik... Untung saja kamu mengingatkan aku."

"Hei, Yuri! Apa maksudmu berkata begitu?!" sahut Nabe paling lantang.

"Benar! Itu benar!" tambah Aki.

Yuu seperti biasa, menekan kacamatanya sebelum berkomentar singkat. "Tidak keren."

"A-a-aku hanya mengatakan yang sebenarnya! L-laki-laki kan memang begitu." dengan arogan dan terbata-bata, Yuri mencoba menguatkan bualannya yang tidak masuk akal itu.

Spontan, jari Nabe pun menunjuk padaku. "Lalu bagaimana dengan Kak Hiro?!"

"Jangan libatkan aku." komentarku singkat.

"Ta-tapi kan..." Yuri nampak panik. Atensinya berpindah-pindah dari aku ke Nabe secara bergantian untuk beberapa saat. Aku bisa melihat bagaimana matanya perlahan-lahan terlihat berkaca-kaca. Jika begini terus, dia akan menangis karena malu.

Helaan nafas pun kubuang, "Yah, yang dikatakan Yuri itu memang tidak benar. Tapi, bukan berarti salah."

"""APA?!""" ketiga bocah lelaki itu pun terkejut.

"Karena virus yang menjangkitiku sudah berevolusi menjadi Virus-D. Jika kalian tidak memakan paprika kalian hingga habis. Maka kalian akan berubah menjadi ular setiap malam. Heeekkhh!!!" aku tidak tahu apa yang baru saja kukatakan.

"Kak Hiro aneh!"

"Aneh! Kak Hiro aneh!"

Sepasang kacamata pun bersinar, "Tidak keren."

Mereka jelas bukan anak-anak yang bodoh. Sebagai akibatnya, busana bagian bawahku pun ditarik-tarik oleh ketiga bocah itu. Untung saja celanaku tidak mudah melorot.

"Oi-oi-oi... hentikan sudah! Aku hanya bercanda."

Tawa si rubah memecah keributan, membuat kami memalingkan atensi kembali padanya. "Sudah-sudah, aku yakin nenek tidak akan senang jika melihat kalian ribut sampai sejauh ini. Jika ingin beli ya beli, jangan lihat-lihat saja. Itu kan yang dikatakan nenek?"

Hacchan si anak paling normal pun akhirnya maju mendekat ke kasir. "Itu mengingatkanku! Kak Sakura, yang kemarin kami cari ada?"

"Um, ada. Tunggu sebentar, ya?" si rubah pun beranjak dari tempatnya duduk dan masuk lebih dalam ke toko. Tidak butuh waktu lama hingga dia kembali dengan sekatung plastik penuh Oishibo. Tebakanku, itu adalah seri khusus yang berisi Oishibo berbagai varian. Legenda mengatakan, ada Oishibo rasa upil atau apalah itu yang sekiranya patut dipertanyakan di mana lagi kata 'Oishi' (enak)-nya.

Si rubah melirikku lurus, lalu mengatakan yang tidak ingin kudengar. "Mau?"

"Tidak."

Di lain pihak, Hacchan justru terlihat bersemangat begitu melihatnya. Dasarnya saja dia belum tahu apa yang ada di sana. Atau jangan-jangan...

"Yuri... ayo ke rumahmu dan tinggalkan mereka di sini. Terima kasih Kak Sakura! Sampai jumpa Kak Hiro!" sahutnya seraya menarik tangan Yuri begitu mengambil seplatik isi makanan berasa tanda tanya itu. Sekarang aku paham apa yang ingin dia lakukan. Dasar Hacchan, tidak jauh beda dengan kakaknya.

"Oi! Apa-apaan tiba-tiba pergi begitu saja? Kami juga mau coba." Nabe akhirnya kembali seperti biasanya yang berisik, lalu mengejar Hacchan dan Yuri keluar.

"N-nabe! Tunggu aku... Ah, sampai jumpa kakak-kakak!" ujar Aki mengikuti ketuanya itu.

"Kita akan bertemu lagi." Dasar otaku.

Dan begitulah, bagaimana cara toko jajanan ini kembali sunyi seketika. Aku tidak tahu dengannya, tapi aku kehabisan topik karena anak-anak itu yang datang dan pergi begitu saja. Lucu memang, tapi menyebalkan juga. Kulirik di sekilas, saat itu juga pandangan kami bertemu. Dia menopang senyumnya dengan kedua tinjunya, sedang mata lurus padaku yang tengah berdiri.

Kualihkan kembali pandang, "Mau turun?"

"Pff-...!" dia pun terkekeh mendengar tawaranku yang mentah, "Apa itu hanya untuk mengisi waktu atau memang bualan?"

"Mau kamu?"

Dia bergedik, "Carikan tempat yang murah saja. Kemarin malam aku sudah bilang, kan? Aku tidak mau menambah banyak hutang padamu."

"Jam tujuh malam ini kalau begitu." tuturku seraya mengambil langkah keluar.

"Hiro..." potong si rubah sebelum aku melangkah lebih jauh. Aku agak terkejut, karena selama ini dia dan aku selalu bertukar panggilan dengan 'aku' dan 'kamu' saja, "...sengaja menghindar karena mereka, ya?"

"Pertemuannya sore ini, bukan malam."

"Bohong." ketika aku kembalikan pandang padanya, mata serta telinga rubahnya tampak jelas tanpa merusak rupanya yang jelita. Aku terdiam, menunggu dirinya menyambung, "Tolong, jangan bunuh aku dengan kebaikanmu."

Aku berdecik spontan, lalu membuang muka keluar toko, "Aku justru mencari cara agar kamu tidak mati." begitu saja kuakhiri perbincangan dengan canggung, meski aku sendiri memintanya untuk bertemu malam ini juga. Tidak pernah sekalipun aku bisa memahami hati seorang perempuan, jadi aku pun tidak tahu apakah dia akan datang atau tidak nanti. Yang pasti, paling tidak aku berharap dapat menghindari kecurigaan pihak pembasmi modern dari keberadaan dia yang akhirnya terbebas setelah ratusan tahun menderita.


***


Rencanaku sederhana saja, aku meminta izin pada ayah untuk mengantar si rubah yang dikenalnya sebagai penghuni apartemen ke kota untuk melamar kerja. Selain karena jauh, terlalau bahaya untuk perempuan seorang diri melamar kerja di tempat yang tidak diketahuinya, sehingga alasan ini seharusnya cukup untuk membatalkan pertemuan setidaknya hingga lusa.

Selama aku dan si rubah mengulur waktu, aku akan membicarakan cara terbaik agar dia bisa setidaknya kabur seorang diri dari mereka. Tapi, tentu jika orangnya itu sendiri mau. Karena ini adalah rencana egois yang aku sendiri tahu.

Kutekan bel apartemennya dua kali. Dengan hanya bermodal jaket kulit dan dompet lumayan tebal, aku bersiap-siap untuk melewati malam dengannya selama dua hari ke depan. Motor sudah terpakir di pintu belakang kuil guna menghindari kecurigaan. Sisanya tinggal menyiapkan hati dan orangnya itu sendiri.

"Tunggu sebentar!" sahutnya dari balik pintu. Tidak makan waktu lama hingga dia muncul dengan kuncir kuda dan jepit rambut berbentuk kelopak Sakura. Perhatianku langsung tertuju pada rok ¾ yang dikenekannya, membuatku mempertanyakan itu spontan.

"Kamu tahu kita akan naik motor, kan?"

"Aku bisa duduk menyamping sambil berpegangan padamu. Selama kamu berhati-hati, aku tidak perlu terbang dengan ekorku berputar. Ayo!" serunya mendahuluiku menuruni tangga.

Cemasku pun mereda sedikit. Dia memang hebat, tetap ceria setelah aku membuat atmosfer di antara aku dengannya canggung seperti tadi siang. Apa dia selalu seperti itu sebelum dirinya tersegel? Jika iya, atas dasar apa mereka merencanakan pembunuhan padaya hingga dia mati dan tersegel? Aku tahu dirinya diisukan perlahan-lahan melahap kehidupan seorang kaisar yang memperselirnya, tapi lebih dari itu aku tidak tahu. Ceritanya tidak selalu konsisten, walaupun itu dari tanah asli cerita itu sendiri datang.

Sebagai rubah, dia juga diceritakan sebagai sosok licik yang sangat lihai menipu orang. Bukan tidak mungkin, saat ini aku tengah ditipunya untuk memainkan roda sandiwara yang membuatnya bertahan selama mungkin, tapi...

"Kita akan ke mana?" tanyanya di tengah lamunanku.

Aku menarik senyum yang jarang, lalu dengan enteng menjawab "Pelabuhan."

Dia terpana untuk sesaat, sebelum akhirnya naik dan merangkul pinggangku. Motor aku lajukan, menerpa angin malam dan mengejar remang-remang pelabuhan yang sudah seperti kota modern pada umumnya. Suasana di sana lebih hidup, dengan lampu kerlap-kerlip dan kehidupan malam yang lebih berwarna. Dalam banyak arti, ini bukan suasana yang ingin kamu tunjukkan ke anak-anak.

Kedai minum, Karaoke, hingga hotel cinta semuanya ada di sini. Aku tentunya bukan ke sini untuk menikmati itu dengan membawa si rubah. Aku hanya berpikir, ini adalah tempat terakhir yang kamu cari saat seorang biksu taat kabur dari tanggung jawabnya. Tapi, dibilang wilayah hiburan malam pun rasanya agak kurang tepat untuk distrik ini. Bagaimana pun kita masih di desa, jadi yang ditawarkan pun tidak seramai seperti yang kamu lihat di kota besar seperti Tokyo.

Aku memarkir motor di basement salah satu hotel murah di sana. Saat aku turun dan menangkap raut si rubah, dia jelas-jelas memberiku muka 'Serius? Di sini dari semua tempat?' yang segera kubalas dengan senyum menampakkan gigi. Alhasil, pinggangku dicubitnya. Cukup sakit.

"Kamu salah paham..."

"Salah paham apanya?! Jelas-jelas kamu membawa seorang gadis ke hotel begini!"

"Kamu masih gadis?" aku ditamparnya spontan, "Baik-baik... Akan aku jelaskan semuanya sambil berjalan. Pertama-tama, aku akan memesan kamar dulu..."

Dia bersiap menamparku lagi.

"...dengan dua single bed."

Tangannya kembali turun.

"Baru kita cari tempat untuk makan dan mengobrol. Ini soal ekormu."

Dia pun akhirnya turun dari motor, membawa raut cemberutnya padaku. "Kamu selalu tahu cara untuk menggulai omonganmu."

"Aku tidak pernah merasa pandai akan itu. Ayo." sempat terpikir untukku meraih tangannya dan menarik dia mengikutiku. Tapi, niat itu urung sekilas tanpa alasan yang jelas.

Si rubah mungkin melihat itu, akan tetapi aku terus berpura-pura untuk hirau hingga kunci kamar kupegang. Tidak banyak hal penting yang kami tukar lewat bibir selama itu, meski sebelumnya aku sendiri yang bilang, jika kami akan membicarakannya dalam perjalanan kami. Waktu yang kuhabiskan dengannya, meski sesaat, terlalu sayang untuk kuanggurkan dan kusisihkan ke tepi jalan untuk sesuatu yang aku sendiri khawatir untuk sampaikan padanya.

Aku paham jika itu salah. Setiap langkah yang kulalui bersamanya malam ini dan malam berikutnya pun, aku tahu itu akan menjadi sebuah kesalahan yang ke depannya akan selalu kusesali. Tapi jika bukan langkah ini yang aku ambil, tidak salah lagi, Sakura akan mati menyesal untuk yang kedua kalinya.

"Apa biksu sepertimu juga tetap minum?" di tengah perbincangan, si rubah tiba-tiba menanyakan itu begitu kami sampai di hadapan kedai Oden yang dinding dan atapnya terbuat dari terpal transparan.

"Bertanya begitu pun, waktu itu kamu sendiri bukan? Yang menyuruhku untuk tidak mabuk agar tidak tiba-tiba berubah."

"Hm? Aku pernah mengatakan itu?"

Dengan malas, kugulirkan mata dan melangkah mendahuluinya memasuki kedai. Uap panas nan harum langsung menerpa wajahku, mengundang naga dalam perut untuk bergejolak.

Pada dasarnya, kedai ini adalah yang turis asing sebut sebagai street food, karena kedainya semi permanen dan berlokasi di wilayah publik. Aku pribadi lebih menyukai suasana yang seperti ini. Diksiku tidak cukup variative untuk memuji makanan kelas atas yang disajikan secara hati-hati.

Tidak banyak yang masuk ke mangkukku. Sebagian besar adalah non-vegetarian, kecuali untuk lobaknya. Si rubah sendiri menolong dirinya sendiri dengan mencicipi satu-satu dari Tako Sashimi hingga Kirimochi. Satu-satunya hal yang kami bagi adalah Ozeki Nigori yang kupesan utuh satu botol. Aku tahu resiko apa yang bisa saja kuterima begitu sebagian otakku terbengkalai karena alkohol. Untuk kali ini saja aku mengecualikan diri dan mendekatkan diriku pada kesalahan, hanya karena aku tahu si rubah bisa mengembalikan aku yang lepas kendali dengan sentuhannya.

Satu jam lebih kami berbincang di sana bersama pemilik kedai dan pelanggan lainnya. Begitu topik habis, kami pun angkat kaki dengan mata dan telinga yang masih lurus. Satu botol untuk dua orang memang rupanya tidak cukup untuk membuat kami lunglai.

"Aku harus mencatat itu dan membuatnya lain waktu." tutur si rubah ketika kami terhenti sesaat di jembatan penyebrangan, sekadar memperhatikan kendaraan yang melaju pelan di bawah lampu lalu lintas.

"Kita bisa melakukannya lagi seperti saat membuat Nabe kemarin."

"Terima kasih, tapi sebisa mungkin aku ingin mencobanya sendiri."

"Kenapa?"

Langkahnya diteruskan mendahuluiku, "Mau saja."

Malam musim panas pun mulai menunjukkan warnanya pada kami. Gemerlap malam di antara pelabuhan dan bukit pedesaan, bulan yang malu-malu di balik awan, dan bintang-bintang yang kalah terang dengan lampu lalu lintas. Sunyi malam membawa kami berbagai tempat, sebelum langkah kami terhenti kembali ke hotel.

Usai membersihkan diri, kami merebahkan diri di atas kasur masing-masing tanpa menghadap satu sama lain.

"Hiro..."

Bahkan ketika dirinya bersahut di balik selimutnya, aku pun tetap enggan untuk menoleh ke belakang. "Apa?"

"Kamu sudah boleh menceritakan yang ingin kamu sampaikan tadi."

Dia benar dan dia peka akan bagaimana aku sedari tadi mengundur-undur untuk menyampaikan yang seharusnya kusampaikan sedari menjadi tujuan kami pergi. Tidak lagi terlintas dalam benakku, alibi untuk terus lari tanpa berkata. Memang sudah waktunya untukku menyerah dan mengatakan semuanya.

"Ka-..." kutahan sesaat untuk menarik nafas dalam, lalu dengan mantap kusambung, "Ingin kabur denganku?"

Pernyataanku itu seperti air panas yang membanjiri ruang di antara aku dengannya. Baik aku ataupun dia, tidak satupun dari kami bersuara untuk beberapa saat, meratapi udara kosong dengan hati yang berguncang canggung. Suara kain yang saling berpadu menarik minatku untuk melirik ke belakang, mendapati sosok si rubah yang menatapku serius seraya merangkul selimutnya sendiri.

"Kenapa?" lepas dari bibirnya seketika pandangan kami bertemu.

Aku pun ikut membalikkan badan menghadapnya, meski canggung menyertai. "Seperti kataku tadi. Kamu ingin kabur denganku?"

"Kemana?"

"Kemana saja. Ke China pun tidak apa jika untuk menghindari incaran pembasmi lainnya."

Senyumnya pun kembali, tapi aku tahu itu bukan karena respon positif akan apa yang aku katakan, "Begitu kamu berkata, meski kamu sendiri belum yakin dengan rencanamu sendiri."

Aku tidak merespon dan hanya memalingkan pandang ke langit-langit.

"Inilah yang aku bilang dengan jangan membunuhku dengan kebaikanmu."

"Aku bukannya tidak paham..."

"Aku tahu. Kamu hanya khawatir dan..." Jeda yang agak panjang membuatku penasaran untuk kembali melirik padanya. Matanya terbelalak dan jantungku seketika berdegup kencang melihat dirinya yang sedikit menutupi senyumnya dengan selimut, "...kamu pun belum mau jujur dengan dirimu sendiri."

Perkataan dan senyumnya itu spontan membuatku berpaling kembali. Kekehannya yang lembut pun mengikuti, memperparah konflik batin yang seketika itu aku rasakan.

"Terima kasih untuk khawatir padaku. Terima kasih untuk menyimpan kejujuranmu seorang diri. Kamu sudah terlalu baik untukku. Sudah saatnya aku meringankan bebanmu dan memberi apa yang telah aku ambil darimu."

Aku memalingkan pandang darinya. Jadi ketika dirinya menyelusup ke balik selimutku, responku sedikit tertunda.

"Terima kasih sudah menerima sebagian dariku, Hiro..."

Aroma Sakura pun menyerbak dari arahnya. Begitu kualihkan pandang, dirinya sudah dalam wujud setengah rubahnya dengan rambut putih dan lima ekor putih melatari. Sesaat itu juga, aku bisa merasakan sesuatu perlahan-lahan ditarik keluar dari tubuhku ke arahnya. Ekor si rubah pun tiba-tiba bertambah satu, menyadarkanku akan apa yang berusaha dia lakukan padaku. Dengan cepat, kubalikkan badan dan memeluknya erat. Perasaan ditarik perlahan itu pun berhenti seketika itu juga. Rupanya dugaanku itu benar.

"Mau sejauh apa kamu membunuhku?" tuturnya lirih.

Aku tidak merespon dengan kata-kata, sekadarnya membiarkan si rubah melimpahkan apapun yang ada di dalam hati. Kedua tangannya mencengkram bajuku erat, sedang kepalanya membenam dalam dekapan.

Batinku tenang karenanya. Air matanya membasuh dadaku bersih dari konflik yang kubungkam. Dan meski tidak kututurkan secara langsung padanya, aku yakin. Perasaanku ini pasti tersampaikan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro