𝒜𝓀𝒽𝒾𝓇

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pipinya terasa panas dan nyeri akibat tamparan Darina. Kepalanya menengadah ke langit-langit, bersandar di daun pintu sambil terus mengusap luka memar di pipi menggunakan tangan kirinya. Dalam posisi duduk, Leon menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Leave me alone!" Setelah mengucapkannya, Leon tidak sanggup untuk membendung air mata.

"Berani kamu mengusir ibu?! Kurang ajar!!!"

Tanpa pikir panjang Darina melukai hati anak semata wayangnya dengan berbagai macam umpatan kasar. Willem yang berada di samping Darina langsung menampar salah satu pipi isteri nya.

"Cukup, wanita gila!"

Apa yang terjadi saat ini disebabkan karena Leon tidak segera mengangkat telepon dari Darina. Saking khawatirnya, Darina bersikap berlebihan. Begitu Leon sampai di rumah, ia bersikap tak acuh meskipun Darina sedang memarahinya. Leon merasa omelan ibu nya tidak terlalu penting untuk di dengarkan.

Lebih tepatnya, tidak jelas.

Jendela kamarnya terbuka karena hembusan angin malam. Begitu menyejukan raga. Ia berjalan terhuyung-huyung sambil membawa beberapa tambang.

Setelah itu, Leon membuat sebuah simpul untuk menurunkannya dari lantai atas. Ia rajin ikut pramuka sejak kelas 4 SD sehingga tahu berbagai macam simpul, meskipun KDRT dan brother conflict yang dialami Ristha lebih sering ia temui.

Simpul untuk turun sudah jadi. Tinggal satu sentuhan terakhir yaitu kata-kata perpisahan. Satu lembar kertas berhasil tersobek. Menggunakan pulpen kenko tinta hitam, ia menulis surat. Isinya singkat saja.

Maaf ibu, ayah. Aku pergi.
-Leon.

🌹

Jam di layar ponsel telah menunjukkan bahwa sekarang hampir larut malam. Cuaca kurang bersahabat mengingat di mana Leon merebahkan tubuhnya saat ini. Satu kursi panjang di taman cukup besar untuk diisi satu anak dalam posisi berbaring. Kursinya terbuat dari kayu yang sudah di amplas sehingga cukup nyaman untuk tidur hingga esok hari.

Tadinya kepikiran untuk menginap di rumah Ristha, tapi sekarang sudah larut. Pastinya penghuni rumah Ristha sudah terlelap.

Mungkin besok. Leon memasukkan ponsel nya ke dalam tas lalu mengambil selimut tipis yang sebenarnya belum cukup melindungi tubuhnya dari sengatan udara malam yang cukup menusuk itu.

Semoga gue masih hidup sampai besok. Dalam hitungan detik, Leon memejamkan matanya.

🌹

"Hei kamu ..."

Hmmh, kok berisik ya?

"Wajahnya pucat."

Suara samar-samar seorang anak perempuan terdengar. Leon mulai mengumpulkan kesadarannya.

"Look at him! Dia masih hidup." Suara ceria itu membangunkan Leon. Kini ia duduk memandang dua orang yang sedang berdiri di hadapannya.

"Kalian siapa?" Leon bertanya kepada mereka namun yang menyahut adalah anak perempuan yang sedari tadi mengganggu tidurnya.

"Namaku Charlotte. Ini grandpha. Nama kamu siapa?"

Charlotte mengulurkan tangannya. Leon menatap tangan kurus nan pucat itu sebentar lalu menyambut uluran tangannya.

"Leon."

Charlotte tersenyum, demikian pula Jeremy. Leon menatap mereka bergantian lalu membalas dengan senyuman sederhana.

"Mengapa kamu tidur di sini?" tanya Jeremy.

"Kabur dari rumah," jawab Leon jujur. Ia tidak peduli isi pikiran Jeremy tentang Leon.

Tiba-tiba, Charlotte mendekatkan wajahnya ke Leon. Kini mereka saling bertatapan. "Sepertinya berat ya, hidupmu."

Mulutnya tetap mengatup tidak bisa berkomentar. Leon saat ini membeku melihat bola mata Charlotte yang bulat dan indah seperti safir biru. Serasa terhipnotis, Leon tidak berkedip sampai Charlotte membuyarkan semuanya.

"Ada apa?" Charlotte bertanya. Leon kembali fokus ke pernyataannya tadi.

"A-ah ... Iya, memang berat." Sekarang Leon mendadak gagap.

Charlotte terdiam sejenak kemudian menawarkan Leon untuk berkunjung ke rumahnya.

"Gimana, mau?"

Leon berpikir sesaat kemudian menjawab tanpa ragu. "Mau."

🌹

Kesan pertama Leon saat menginjakkan kakinya di rumah Charlotte ... Unik!

Bola matanya menyusuri setiap sudut ruang tamu. Kebanyakan perabotannya terbuat dari kayu. Di sudut kanan ada sebuah lemari kaca berisi pajangan kayu yang beragam bentuknya. Selain itu, ada beberapa tanaman indoor di sisi-sisi membuat rumahnya terlihat seperti cagar alam minimalis.

Sebenarnya rumah Charlotte kecil, namun terasa lega dan sejuk karena perabotan di dalamnya sedikit, apalagi ditambah tanaman yang menghiasi luar maupun dalam rumah.

Andai gue tinggal di sini. Pikiran Leon mulai mengada-ngada. Ia mengingat rumahnya yang seperti neraka. Semakin meneliti setiap sudut rumah Charlotte, semakin ogah Leon pulang ke rumahnya.

"Silakan diminum." Jeremy menyuguhkan secangkir teh hangat untuk Leon, sedangkan Charlotte meminum coklat panas kesukaannya.

"Thank you," ucap Leon. Jeremy tersenyum kemudian kembali ke dapur untuk melanjutkan masakannya.

Hening tak ada topik pembicaraan. Charlotte terlihat santai meneguk coklat sampai habis, tapi setelah itu sadar bahwa ia sedang diamati. "Hei!"

Leon mengalihkan pandangannya. "Sorry."

Kini Charlotte menaruh mug favorit nya. Gilirannya yang memperhatikan cara Leon meminum teh hangatnya.

Canggung.

"Tadi itu kakek kamu?" tanya Leon memecah keheningan.

Charlotte menggeleng. "Dia pelayan. Aku memanggilnya kakek karena aku merasa dekat dengan kakekku."

Leon sedikit bergidik. Charlotte menyamakan sosok Jeremy dengan sosok kakek kandungnya yang pasti sudah meninggal.

"Mr. Jeremy lembut dan sangat sayang padaku, sama seperti kakekku." Charlotte menjelaskan. "Kakek meninggal saat musim dingin di London. Rumah kami jelek, jadi tidak bisa menghangatkan tubuh kakek."

"Tunggu dulu. Kamu pernah tinggal di London?" tanya Leon.

"Iya. Aku asli keturunan Eropa, bukan blasteran seperti kamu."

Memang wajah Leon mirip seperti orang luar karena ras Willem menjadi dominan dibandingkan ras Darina. Hanya warna rambut yang bisa mewakili ras Darina, yaitu hitam.

"Sejak kapan pindah ke sini?" tanya Leon mulai penasaran.

"Semenjak kakakku meninggal, four years ago." Charlotte melipat tangannya di atas meja. "Aku diadopsi oleh keluargaku sekarang. Mereka asli orang Indonesia."

Charlotte menguap. Ia mulai mengantuk setelah bercerita banyak kepada Leon. "I wan't to take a nap."

Jeremy mengantar Charlotte ke kamarnya. Sepuluh menit telah berlalu. Jeremy keluar dari ruangan sebelah tempat Charlotte tidur siang. Ia menghampiri dan duduk di sebelah Leon.

"Mengapa kamu memutuskan untuk kabur?" tanya Jeremy.

Leon menunduk. "Rumahku seperti neraka," ucapnya dengan suara rendah.

"Mengapa kamu berpendapat begitu?"

"Ayah dan ibu bertengkar terus. Aku capek mendengar ocehan mereka." Leon menggerutu. "Dan aku baru mengetahui bahwa ibu mengidap penyakit bipolar. Aku diberitahu oleh ayah."

"Penyakit dua kepribadian yang saling tolak belakang?"

Leon mengangguk. "Dia memarahiku karena tidak menjawab teleponnya. Dia gampang emosi ketika dalam fase mania."

Saking asyik mengobrol, mereka tidak menyadari hujan turun begitu deras. Jeremy lupa mengambil jemuran di halaman belakang. Ia berlari untuk misi penyelamatan baju-baju yang sudah terlanjur basah.

Satu-persatu baju dikibaskan hingga cipratan air mengenai lantai. Leon juga ikut membantu. Ia memeras baju lalu diletakkan ke ember satunya. Setelah semuanya lumayan kering, Jeremy kembali menyibukan diri di belakang. Ia menyuruh Leon untuk bersantai sambil menonton TV.

Hawa dingin saat ini benar-benar membuat matanya berat. Leon tertidur dalam posisi duduk di sofa menghadap TV yang kini menayangkan kartun Scooby-doo.

"Lihat, wajah lugu ini. Sangat terlelap dalam dunia mimpi," gumam Jeremy.

🌹

Beberapa hari saling mengenal, kini Leon mulai mengenalkan Charlotte kepada Ristha. Mereka langsung akrab.

Cuitan burung melengkapi sejuknya taman. Pohon berembun dijadikan tepat bersantai oleh ketiga anak sepulang sekolah.

"Kamu kok nggak sekolah?" tanya Ristha kepada Charlotte.

"Aku home-schooling. Fisikku lemah, tidak boleh capek."

Ristha dan Leon saling berpandangan. Memang, dari fisiknya sudah terlihat. Charlotte selalu memakai sweater baik siang maupun malam hari.

Ristha membuka bekal yang belum sempat ia makan. Mereka membawa bekal masing-masing dari rumah dan asyik berbincang sampai sore hari.

Hari mulai petang. Langit jingga mulai menyapa. Leon menggulung tikar lalu mereka beriringan pulang bersama. Ristha berpisah dengan Leon dan Charlotte–karena mereka tinggal serumah mulai sekarang.

"Bye!" Ristha melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.

Kini hanya Leon dan Charlotte. Keheningan di antara mereka tertutupi oleh deru motor berseliweran. Tidak terlalu ramai karena daerah itu termasuk perumahan.

"Huh, panas. Beli es krim yuk."

Leon mengajak Charlotte ke kedai es krim, namun dengan tegas Charlotte menolak. "Aku tidak suka es krim." Leon mengangguk sambil memajukan bibirnya. Ia melengos membeli satu cone es krim rasa coklat.

"Enaknya Indonesia ..." gumam Charlotte. "Di Eropa makan es krim pun tidak kuat."

Leon menoleh ke arah Charlotte.

"Dulu aku hanya tinggal berdua bersama kakakku setelah kakek meninggal. Tidak punya rumah yang layak. Setiap salju turun, rumahku tertimbun. Bagiku, musim dingin merupakan bencana."

Mendengar hal itu, Leon menyimpulkan, "itu yang menyebabkan kamu nggak suka es krim?"

"Maybe, haha."

"Sekarang kakakmu dimana?" tanya Leon mulai penasaran.

Charlotte menunjuk ke arah hatinya sendiri. "He lives in my heart."

Kini Leon semakin mengerti. Kakaknya meninggalkan Charlotte setahun yang lalu karena sebuah penyakit yang menyerang masyarakat bawah. Charlotte menghidupi dirinya sendiri. Ia tetap ingin mendapat lebih banyak uang dengan cara jadi pengantar koran di perusahaan tempat kakaknya bekerja. 

"Selama ini aku terbiasa hidup sendiri, meskipun fisikku terbilang lemah." Charlotte memandang langit senja. "Tapi aku masih tetap hidup berkat hatiku yang mengatakan, 'semuanya akan baik-baik saja'." Ia tersenyum merasa benar.

Sikapnya yang optimis menjalani hidup dikarenakan hatinya tulus terhadap semua cobaan. Semua yang ia lakukan sampai sekarang adalah usahanya yang tidak instan. Bertemu keluarga baru, dan tinggal di negara surga duniawi, adalah anugrah yang diberikan kepadanya.

"Tolong berbaikanlah sama ibu kamu. Aku yakin, sikapnya yang kasar itu sebenarnya melindungi kamu."

Mungkin itu merupakan pilihan terbaik daripada menambah masalah karena Leon tidak pulang-pulang ke rumah karena selama ini ia tinggal di rumah Charlotte.

"Ibuku sakit. Sikapnya tetap sama meskipun aku meminta maaf." Leon berpikir secara realistis.

Leon pamit pulang ke rumahnya, meninggalkan Charlotte yang masih duduk di kursi kedai es krim. Mereka saling melambai kemudian berpisah.

"Sebagai persiapan, aku harus memperkuat hatiku, sama seperti Charlotte."

🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro