22. Do You Know?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Memangnya kapan negara ini akan terpecah?" tanya Myron bingung.

"Bukan mengenai masa depan!" seru Revia yang kesal tetapi ia harus menahannya.

"Lalu ... masa lalu?" tanya Myron dengan tatapan tajam.

Revia tersentak lalu menganggukkan kepalanya tetapi tidak berani melihat Myron.

Myron menghela nafasnya pelan. Ia berjalan menuju satu buku. "Sebenarnya negara ini sudah makmur tanpa ada embel-embel dari negara sebelah." Revia mencengkram gaunnya takut. "Tetapi memang awalnya aku berpikir ada sesuatu yang janggal."

Revia mengangkat wajahnya dan melihat sebuah buku yang disodorkan Myron. Tangan Revia menerima buku itu tetapi matanya menatap Myron, yang sedang tersenyum pasrah, dengan tatapan tidak percaya.

"Tidak akan ada yang menyalahkanmu kalau ingin mencari tahu," kata Myron yang kembali menunjukkan senyum manis.

Revia merasa lega seketika, bahkan bisa menunjukkan senyuman lebar sambil memeluk buku yang diberikan oleh Myron.

....

Revia kembali saat langit sudah mulai berubah warna menjadi merah. Ia sudah merasa mendapat cukup banyak informasi. Hal yang masih mengganggu pikiranya adalah kenyataan bahwa diantara kedua negara ini dan negara yang ia tempati dulu, keduanya menuliskan bahwa negara lawan-lah yang membawa perang. Pikirannya terlalu sibuk sendiri sampai ia tidak menyadari Myron yang mengantarnya melihatnya bingung.

Hampir saja Revia melewati tokonya tetapi Myron langsung menahan pundak Revia yang sekaligus membuyarkan pemikirannya.

"Tokomu di sini," kata Myron saat Revia melihat sekeliling dengan bingung.

"Oh, maafkan aku," kata Revia gugup dengan tawa pelan.

"Apakah kau terus memikirkan buku yang kau baca tadi?" tanya Myron khawatir.

"Begitulah. Tetapi tenang saja. Aku tidak apa-apa kok," kata Revia dengan wajah yang meyakinkan.

"Sungguh?" tanya Myron yang merasa tidak percaya dengan perkataan Revia.

Revia mengangguk. "Karena dirimu juga aku bisa kembali. Terima kasih," kata Revia yang kembali tersenyum.

"Baiklah, kalau begitu masuklah. Mungkin anak itu sudah mencarimu," kata Myron yang menepuk punggung Revia.

"Tidak ingin masuk dulu dan bertemu Ethan mungkin?" tanya Revia.

"Tidak perlu, terima kasih. Aku akan kembali sekarang," kata Myron dengan senyuman manis. Untung saja ia sudah memakai penutup kepala dari jubah yang ia kenakan, jika tidak ia akan menjadi perhatian di sana.

"Baiklah, terima kasih sudah mengantarku dan menemaniku hari ini," kata Revia yang sedikit menunduk.

"Terima kasih kembali. Nah, masuklah," kata Myron yang mengarahkan kepalanya ke pintu toko Revia.

"Baiklah aku masuk dulu," kata Revia dengan senyuman manisnya.

Myron mengangguk dengan senyuman. Ia masih berdiri di tempatnya sampai Revia masuk ke dalam tokonya. Lalu Myron berbalik, kembali menuju rumah—istana—nya. Myron langsung membaca kembali beberapa buku yang tadi dibaca oleh Revia. Matanya tidak merasa ada kesalahan dari susunan tulisan yang ada di buku itu.

"Myron? Ada apa?"

Myron menoleh dan mendapati ayahnya sedang berjalan ke arahnya dengan ekspresi bingung. "Tidak, hanya sedikit ... penasaran," kata Myron yang sedikit gelagapan.

"Penasaran? Bukankah itu adalah buku pertama yang kau baca saat masih kecil? Apa karena gadis roti tadi yang kau bawa ke sini?" tanya sang ayah yang masih merasa bingung.

Myron menghela nafasnya. "Revia. Namanya adalah Revia, ayah," kata Myron yang menunjukkan wajah yang sedikit tidak suka.

"Kenapa tidak kau panggil sayang, begitu?" tanya ayahnya dengan ekspresi ceria di wajahnya.

"Ayahanda!" seru Myron dengan wajah yang memerah.

Sedangkan yang dipanggil hanya tertawa. "Jadi, penjelasan apa yang ingin kau katakan hm?"

Myron menarik lalu menghembuskan nafasnya pelan, untuk menenangkan dirinya sendiri. "Menurut ayahanda, apakah isi yang ada di buku ini terasa aneh?" tanya Myron yang mengangkat buku di tangannya sampai sebahu.

"Terasa aneh? Memangnya aku memakannya?" tanya ayahnya dengan wajah polos.

"Ayahanda," panggil Myron dengan wajah datar.

Sang raja menutup mulutnya dengan sebelah kepalan tangannya, menutupi tawanya di depan Myron. "Selama ini rasanya tidak ada yang aneh dari apa yang ada di buku itu. Kenapa tiba-tiba bertanya?"

Myron melihat kembali buku di tangannya. "Tadi dia terlihat kaget melihat isi di buku ini," kata Myron dengan nada sendu.

Sedangkan ayahnya hanya melihatnya dengan bingung.

....

Revia menatap etalase yang berisi roti dengan tatapan kosong. Untung saja toko sudah tutup, jadi Taka tidak begitu panik dengan keadaan Revia. Taka menghela nafas setelah ia sudah selesai menyapu tempat itu. Matanya melihat Revia yang masih diam di tempatnya.

"Kak Revia," panggil Taka tetapi Revia tidak membalasnya. "Kakak!!" seru Taka yang mulai melangkah maju. "KAK REV!" seru Taka lebih keras. Ia bahkan sampai menghela nafasnya lelah.

Kakinya melangkah menuju ke depan etalase. Taka menyandarkan sapu di etalase lalu menepuk tangannya di depan wajah Revia. Ternyata usahanya tidak sia-sia, Revia tersentak dan akhrirnya menyadari kehadiran Taka di depannya.

"Iya, kenapa Taka?" tanya Revia yang gelagapan.

"Apa yang kakak pikirkan sedari tadi? Saat kakak kembali sepertinya ada yang menganggu pikiran kakak," kata Taka dengan wajah sendu.

 Revia menatap wajah Taka sembari  menyusun kata-kata di pikirannya. "Apa yang kau pikirkan mengenai negara sebelah?" tanya Revia dengan suara pelan.

Taka memejamkan matanya sembari berpikir. "Entahlah. Selama ini tidak ada yang membicarakan mengenai negara sebelah," kata Taka acuh.

"Sama sekali kau tidak pernah mendengar apapun dari negara sebelah?" tanya Revia tak percaya dan dibalas gelengan kepala oleh Taka. Revia kembali berkutat pada pikirannya.

"Kenapa kak?" tanya Taka bingung.

"Tidak. Kau boleh mengambil membungkus roti, aku akan mengambil jatahmu hari ini," kata Revia yang mulai beranjak dari tempatnya.

"Baik. Jangan melamun lagi kak," seru Taka saat Revia mulai membuka pintu yang menghubungkan toko dengan rumah.

"Baiklah," kata Revia dengan senyuman manis.

....

Taka telah pulang, Revia kini duduk di pinggir kasurnya. Kembali menerawang mengenai tulisan-tulisan yang baru saja ia baca. Ethan meletakkan kaki mungilnya di atas lutut Revia. Sadar dari lamunannya, Revia tersenyum lalu mengelus bulu-bulu putih Ethan.

"Aku harus menyampaikan ini," kata Revia lalu beranjak menuju laci mejanya dan mengambil sebuah batu dengan bentuk primas yang ujungnya tidaklah lancip. Berwar biru jernih seakan-akan sedang melihat sebuah lautan.

Batu tersebut diberikan oleh Lora kepada Revia sebagai alat komunikasi. Mungkin sedikit menyeramkan tetapi batu tersebut membutuhkan setetes darah dari dua orang yang yang ingin berkomunikasi dengan batu tersebut.

Revia kembali duduk di kasurnya. Jempolnya mulai menyentuh sebuah hiasan bundar yang berada di batu itu. Tak lama ia bisa melihat bayangan Lora di sana.

"Hai Rev, bagaimana kabarmu?" tanya Lora dengan senyuman manis.

"Masih baik-baik saja, apalagi ada orang baru yang membantuku," kata Revia dengan senyuman lebar.

"Aah, anak itu ya? Lalu usahamu lancar?" tanya Lora dengan wajah khawatir.

"Sejauh ini aku tidak kekurangan, jadi tidak masalah. Kak, ada yang ingin aku katakan padamu," kata Revia dengan ekspresi serius.

Lora cukup kaget melihat ekspresi Revia tetapi ia memilih untuk mengikuti suasana yang dibawa Revia. "Apa yang kau temukan?"

"Keanehan. Entah mengapa saat aku melihat buku di perpustakaan istana, negeri putih'lah yang menjadi pelapor kebencian. Sedangkan menurut buku yang pernah aku baca, malah sebaliknya," terang Revia.

"Hm ... istana? Kamu masuk istana Revia?" tanya Lora tak percaya.

"Oh iya, aku di bantu oleh pangeran Myron," kata Revia dengan ekspresi polos.

"Ho ho, orang dalam rupanya. Kalau begitu coba kau tanyakan, apakah boleh melihat catatan harian milik raja pertama atau tidak," kata Lora.

"Benar juga, aku akan mencobanya," kata Revia yang disertai anggukan.

"Jangan memaksa. Jika tidak diperbolehkan maka kita cari cara lain," kata Lora dengan tatapan khawatir.

"Baik kak, aku mengerti," kata Revia yang sekali lagi mengangguk.

"Baiklah kalau begitu, sekarang kamu harus beristirahat. Bukankah kau sudah banyak beraktifitas hari ini?" tanya Lora dengan senyuman manis.

"Iya kak. Kalau begitu selamat malam," kata Revia dengan senyuman manis.

"Selamat malam juga, Revia." Sambungan itu terputus.

Revia langsung bersiap untuk beristirahat dengan Ethan yang tidur di dekat kasurnya. Sedangkan Lora memandang gusar tabung-tabung di depannya. Entah sudah keberapa kalinya ia gagal.

"Bukan, bukan ini. Jika hanya ini Revia tidak bisa ... aku harus mencoba lagi," kata Lora yang kembali menegakkan tubuhnya dan mengambil tabung yang lain.

.
.
.
.
.
.

Saya akan langsung menjawab "NO" saat membaca judul chapie ini. wkwkwkwk.

Judulnya boleh kalian abaikan, tetapi cerita dan clue jangan di lewatkan. Jadi saya akan memberi satu pertanyaan sebelum cerita ini habis di up ataupun baca.

Apa yang akan hilang dari Revia?

Berikan jejak kalian, maka itu bisa menjadi semangat saya dalam melanjutkan cerita. Terima kasih sudah mampir~

-(13/05/2019)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro