16) Di Balik Pesta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Tepat pukul sebelas malam, pestanya berakhir. Tapi Renita dan Gama masih ditahan pemilik pesta sampai tidak sadar tinggal para pelayan dan OB sedang membereskan peralatan makan. Renita berpamitan pada kedua orang tua Gama dan Indah. Namun, saat melewati pintu masuk Gedung , Renita memutuskan untuk tidak langsung kembali. "Hotel ini terlalu indah untuk diabaikan," gumamnya.

Ketika Renita berjalan di koridor lantai tiga, dia mendengar suara gebukan dan pecahan kaca dari sisi kiri. Buru-buru gadis itu menempelkan badan pada dinding, dia menarik tali tasnya hingga jadi selempang, mencopot sepatu hak tingginya, lalu berjalan diam-diam. Suara itu makin keras dan sekarang ketambahan dentingan pisau.

Renita mengintip dari kaca bedaknya, dan ternyata salah satu dari mereka sudah pingsan dekat meja counter. Rasanya dia mengenal tubuhnya, tapi itu bukan fokusnya sekarang karena Indah terlihat kewalahan menangani dua orang berpakaian serba hitam ala mafia itu. Gadis itu mengembalikan kotak bedak ke dalam tas lalu satu pasang sepatu hak tingginya Ia angkat tinggi-tinggi. Pergerakannya cepat sekali, Renita langsung melempar alas kaki itu sekuat mungkin. Dia tersenyum seraya mengepalkan tangan saat lemparannya tepat sasaran pada salah satunya.

Indah dan Renita saling bertatapan dari kejauhan.

Seringai Indah dan pandangan terarah pada lawan terakhirnya adalah pertanda bagus bagi Renita. Dia berlari kencang, dan memfokuskan pada punggung kemudian melompat berputar dan satu kakinya mendarat mulus pada punggung lawan dengan tekanan tinggi. Berhasil, lawannya kehilangan fokus sampai bertumpu pada meja panjang berhias vas bunga ukuran besar.

Lawannya menoleh dengan gembira, "Wah lawanku ternyata ...."

"Eh, lo mau nasib lo berakhir kayak temen lo di samping gue nih," sambar Renita menatap jijik target pelemparannya yang masih pingsan, "Tenang aja, sepatu gue ini tahan banting. Paling tinggal bersihin debunya besok udah kinclong lagi."

Indah menutup tawanya dengan kepalan tangan. Gadis itu melangkah mundur sebentar, mencari-cari benda tajam di balik gaunnya.

Ejekan Renita tadi sukses memprovokasi lawannya sehingga serangannya sangat terbaca oleh Renita. Gadis itu menghindar sambil berjalan bungkuk agar tidak terkena sabetan pisau. Renita tersenyum miring dengan dua tangan mengibas, "Ayo maju, ah cemen lo. Katanya kuat."

Renita menggunakan jurus melindungi diri, dia tidak mau banyak membuang tenaga karena lawannya sudah kehilangan energi duluan. Melihat pertahanannya yang terbuka pada bagian perut, Renita langsung memajukan bogemnya dua kali diiringi tendangan lurus dan tepat pada bagian berharganya. Sang Lawan terpental menabrak dinding dengan kepala miring dan pingsan. Pigura di atasnya hanya bergoyang sedikit.

"Lo emang selalu datang di saat tepat." Indah berkata sambil mengambil posisi ruku sambil mengatur napas. Ada raut sesal dalam dirinya telah meninggalkan benda tajam andalannya di kamar hotel dan cepat letih saat melawan pakai tangan kosong.

Renita mengulurkan tangan, "Stamina lo harus ditingkatin, untung aja lo pelajari Teknik dasar bertahan diri."

Indah menerima uluran itu, "Biar nggak melulu bergantung sama senjata." Mereka melakukan tos persahabatan.

Suara erangan menghentikan aksi tosnya. Indah pergi lebih dulu untuk membangunkannya sambil mengalungkan lengan pada pundaknya. Saat melihat wujud sang pria yang masih setengah nyawa, mata Renita terbelalak. Dia yang mulai bisa mengendalikan diri hanya bisa berkedip sekaligus tertegun. Kebingungan melandanya.

"Kalian ... saling kenal?" Renita menatap keduanya bergantian dengan telunjuk tangan.

Pipi Reno yang masih lebam berusaha keras mengeluarkan jawaban, "Aku ... nggak kok, kebetulan menolong dia saja."

Indah gemas tapi tidak bisa menjawab apa-apa.

"Oh gitu," Renita mengangguk paham, berusaha menetralkan pikirannya yang hampir saja muncul tidak-tidak. Sungguh tidak tahu situasi, "Udah kenalan, kan, tapi?"

"Oh, sudah tentunya. Ya, kan?" sambar Indah sehalus mungkin walau nadanya agak tinggi.

Reno meringis sambil memegang perutnya.

"Ya sudah, tapi gue nggak bisa lama-lama nih. Gue harus pulang nih. Dada." Renita buru-buru beranjak dari mereka berdua. Tidak lupa memungut sepasang sepatunya lalu memakaikannya kembali sambil jalan. Hatinya terbakar saat melihat kedekatan mereka yang begitu nyata. Tidak, tidak, Indah tidak mungkin berpacaran dengan Reno, dunia mereka sangatlah berbeda.

Renita kembali mengsugesti dirinya sendiri bahwa mereka memang baru bertemu dan saling menolong. Dadanya bergemuruh dan membiarkan sesak untuk menguasai dirinya. Kata dokter Isha, jangan terlalu banyak memendam biar luka batin itu tidak hadir kembali. Gadis itu juga melakukan Teknik pernapasan ala meditasi, bibirnya berkata tanpa suara berkali-kali bahwa semua akan baik-baik saja.

***

Indah memapah Reno keluar dari koridor lantai tiga. Dia mengambil jalur tangga darurat agar bisa sampai ke parkiran basement. Selama menuruni tangga, gadis itu terus menahan sebalnya. Jika Reno tadi tidak sembarangan bogem, pasti semua akan baik-baik saja. Suara batuk dan memegang bagian kiri tubuhnya, tidak lupa dengan senyum terima kasih patut disyukurinya. Pria itu berada di antara ambang kesadaran tapi tenaganya masih lemah.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" Indah berkata sinis ketika berhenti melangkah sebelum turun pada tangga terakhir. Badan Reno sangat berat jadi dia mengatur napasnya sebentar.

Reno menepuk pelan pundak Indah. "Terima kasih sudah membantuku."

"Iya, tapi nggak usah pakai bogem-bogem kayak tadi bisa nggak?" protes Indah di mana suaranya mengandung amarah.

Tatapan kalem dan menusuk itu seharusnya bikin semua orang takut, tapi tidak dengan Reno. "Mereka bikin kesel, Yang. Seenaknya natap kamu mesum gitu, gimana aku nggak emosi?"

Gadis itu tertegun sedetik, tapi tetap saja terlalu gegabah. "Kamu sabar dulu kek, aku lagi cari kelemahan mereka sambil cari jalan keluar." Suara Indah meninggi, sudah lelah dan masih harus menggotong Reno yang terluka. Ingin sekali rasanya dia menggetok kepala kekasihnya ini.

Keduanya menuruni tangga terakhir dan sampai di basement. Untungnya Reno bawa mobil dan Gugun tidak ikut. Mobil Reno termasuk SUV besar seperti Toyota Fortuner. Indah merogoh jas bagian dalam pria itu untuk mengambil remot kunci mobil, kemudian menidurkan Reno di jok belakang, Kali ini, Indah mengemudi. Walau Reno punya ego tinggi, tapi dia tidak pernah malu disetirin perempuan.

Pikirannya kembali berlana saat mengarungi jalanan ibu kota yang mulai sepi. Reno tertidur pulas di belakang ketika Indah melirik dari kaca tengah mobil. Mengapa tatapan Reno begitu terkejut dan berbeda pada Renita seakan mereka udah saling kenal lama? Apa mereka pernah pacaran? Apa mereka diam-diam saling berhubungan? Bisa saja karena Renita punya relasi di mana-mana.

Indah mengenyahkan pertanyaan-pertanyaan aneh dari otaknya. Sebaiknya begitu dari pada nanti berubah jadi pikiran negatif. Saat ini speedometer mobil Reno mendekati delapanpuluh kilometer di jalan tol. Reno harus mendapat pertolongan di IGD segera sebelum luka lebam dan luka-luka lainnya berubah jadi infeksi.

***

Tiba di lobi hotel, tubuh Renita kaku ketika melihat sosok yang sedang duduk santai di sofa dan sedang memainkan ponsel. Wajah yang selalu Ia benci, wajah yang selalu ada dalam ingatannya sampai kapanpun, wajah yang membuat Renita ingin mencakar pipi dan rahangnya yang sok kegantengan itu. Posisi Renita yang keluar dari koridor lift sangat mudah mematai-matainya karena tidak akan ketahuan.

Dari semua tempat, mengapa harus bertemu lagi dengan Bapak-Bapak laknat itu?

Tidak hanya kaku, sekarang kepalan pada kedua tangannya makin kuat, deru napasnya tidak beraturan ditambah dengan matanya yang menyipit.

"Kamu mengenalnya?"

Suara itu bikin Renita melunakkan pandangannya dan menoleh, menyembunyikan tangan terkepalnya di balik punggung. "Sangat mengenalnya, pria tua yang menculikku dan temanku dulu di mana dia membutuhkan darahku."

Renita merasakan aura serius dari Gama dan itu bukan pertanda baik. "Dia juga yang bikin aku kembali dari Jerman saat karirku makin menanjak."

"Menarik," Renita mendengkus seraya tersenyum miring, "Sepertinya kita punya masalah yang sama dengannya. Sayangnya sampai sekarang aku tidak tahu siapa namanya. Padahal tiap pebisnis sukses pasti ada wawancara khusus. Atau akunya saja yang malas baca majalah bisnis, mungkin?"

Gama mengamati pria itu yang sekarang berjalan ke luar hotel sambil menerima telepon. Dia berbicara tanpa memandang Renita saat ini. Suaranya ringan tapi dalam, sungguh menenangkan. "Namanya Anggodo Ismail, komisaris utama PT Cakra Pharmaeuticals, perusahaan saingan kami. Sampai sekarang tidak ada wartawan yang berani mengusik kehidupan pribadinya. Tapi kami tahu semua kebusukan yang disusun sangat rapi itu. Mereka mencuri formula obat vaksin kami dan dijual atas nama perusahaannya sampai saham Mahendra turun drastis, itu benar-benar kecolongan. Detik itu juga Papa memanggilku dan minta pulang cepat untuk membereskan masalah ini. Tidak hanya itu, mereka secara illegal mengembangkan manusia kloning dan melakukan penjualan manusia untuk dijadikan senjata."

Gadis itu menutup mulutnya, ini sebuah cerita yang diperbaharui.

"Awalnya kupikir itu rumor belaka, sampai-sampai aku menyaksikan sidang saksi dokter dan ilmuwan yang bekerja sama dengan mereka dari televisi. Ada binar takut di matanya, tapi aku salut dengan kejujurannya. Melihat Anggodo bebas, sepertinya tidak lama lagi proyeknya akan dimulai." Gama menurunkan raut seriusnya.

"Dokter ...," Renita menggumamkannya sambil berpikir, "Kira-kira sidang itu terjadi kapan?"

"Dua ribu empat belas."

Renita tidak bisa menyembunyikan raut terkejut. Itu tahun yang sama dengan penculikannya. Apa jangan-jangan itu dokter yang menyuntikkan sesuatu pada tubuhnya saat itu? Sial, harusnya Renita waktu itu bikin dia langsung babak belur saja dari pada begini. Dia ingat waktu itu tidak diperbolehkan nonton televisi sama Mama, sepertinya karena ini.

"Renita?"

Gadis itu tersentak. "Apa? Oh maaf, tadi kamu ngomong apa?" Bayangan setelah kabur dari penculikan itu kembali datang sampai-sampai tidak sadar sudah ganti topik. Apalagi Anggodo sudah tidak tampak wujudnya.

"Mau kuantar pulang? Ini sudah mau tengah malam," tawar Gama.

Renita melirik arloji kecilnya, "Oh, nggak usah deh. Aku udah pesan taksi daring. Tuh kayaknya sudah datang."

Gama mengigit lidahnya, dia ragu. Jika maksa nanti tidak nyaman tapi kalau enggak dia malah takut Renita kenapa-napa di perjalanan nanti. "Baiklah kalau begitu, nanti kabari saja kalau sudah sampai, ya."

"Tenang saja, Gam. Aku pulang dulu dan salam buat orang tua kamu. Sampai jumpa di lain waktu." Renita menepuk pelan bahu Gama dengan senyum ramah sebelum menghilang di balik pintu lobi hotel. Aroma parfum bunga-bunga sempat mampir dalam deru napasnya.

Gama menghela napas, dia mengingatkan diri sendiri bahwa pesta sudah berakhir. Ini bukan cerita Cinderella, tapi dunia nyata di mana besoknya pasti komunikasi mereka makin jarang. Baru kali ini dia melihat kemarahan Renita yang tidak sampai keluar begitu. Bukannya mengerikan justru ada kenyamanan lain yang Ia rasakan saat ini.

Dear BSWClub untuk Day 54, 55, and 56.
1500++ words
Happy Reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro