18) Kerja Sama dan Pengaktifan Tubuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Kelopak mata Indah terbuka lebar, Ia menumpu badan pada siku. Cahaya di sekitarnya dua kali lipat lebih bersinar dari biasanya. Saat Indah menoleh, ternyata langit sudah terang. Pandangannya tertuju pada laptop berlayar hitam dan jam dinding di atas televisi. Ternyata masih pukul setengah tujuh pagi.

Badannya masih berat akibat kemarin, tapi setidaknya bayangan kelam itu telah pergi. Indah duduk bersandar pada kaki sofa, meluruskan kaki, kemudian menyilangkan kedua tangannya pada masing-masing bahu. Terakhir memejamkan mata sembari tepuk pelan kedua bahunya. Bibirnya merapalkan kalimat-kalimat penenang ajaran psikiaternya dulu, semua baik-baik saja dan tidak akan ada hal buruk yang terjadi.

Deburan ombak buatan menggema ketika ritualnya berakhir, gadis itu bangkit dan meraih ponselnya di barstool.

"Halo, kuharap kamu membawa kabar baik." Khusus penerima satu ini, Indah mempercepat sapaan basa-basinya. Ternyata si detektif swasta langganan itu.

"Posisi Ibu Tia saat ini ada di Amsterdam bersama keluarga angkatnya. Dia diasuh dengan baik, dan Beliau mengetahui tentang saya juga sehingga meninggalkan akun skype-nya. Saya kirim segera."

"Oke, terus gimana dengan Agus?"

"Masih belum, Bu. Dia benar-benar menghilang tanpa jejak."

Indah belum merespons, tapi dia yakin pasti Agus ada di suatu tempat. "Tolong lanjutkan pencariannya dan langsung kabari saya jika keberadaannya diketahui. Nanti saya kirimkan sketsa wajah terakhir yang lihat."

"Baik, Bu." Indah menutup panggilan.

Gadis itu menyalakan laptopnya lagi, sebelum itu dia menutup laman web khusus setelah menangkap layar catatan lama milik Anggodo Ismail. Kursornya bergulir pada aplikasi skype lalu mencari ID Tia pada kolom pencarian. Setelah menekan tombol minta pertemanan—ternyata cepat sekali terimanya, koneksi panggilan dimulai. Butuh tiga kali nada sambung sampai wajah Tia muncul di layar.

Keduanya menutup mulut dengan mata lebar.

"Apa kabar ... Indah?" Tia berucap lamat-lamat dengan dua jari melambai.

Rasa haru menyelimuti gadis itu. Ini benar-benar sahabatnya—sahabat masa kecil yang suram, di mana saat ini wajahnya jauh lebih cantik tapi tertutup oleh gaun compang camping dan rambut berantakan ala pengemis. Dia dulu tahu titik-titik jalan keluar penjara gila, sehingga jadi dalang ketika mereka kabur pertama kali. Tapi dari neraka gila itu Indah merasakan kehadiran teman sejati, di mana perasaan-perasaan negatifnya berkurang satu persatu.

"Baik," Indah berdehem untuk menutupi raut terharunya, "Bagaimana Amsterdam? Kudengar kamu baru lulus, ya, dari Utrecht?"

Tia mengangguk tipis. "Seminggu lalu, Ndah. Oh, ya, orang itu beneran orang suruhan kamu? Pasti kamu diadopsi keluarga kaya, ya?"

Sahabatnya satu ini terhitung peka, padahal baru hadapan layar saja. "Kamu kebanyakan nonton film deh," elak Indah.

"Ah kalau bukan orang kaya ngapain repot-repot sewa detektif swasta buat nyari aku, Ndah?"

Indah tidak menjawab karena membenarkan semuanya dalam hati. Indah pikir, lama tidak berhubungan dengan teman lama bakal canggung. Nyatanya tidak, Tia masih tetap bersahaja sekaligus menyenangkan. Gadis yang dulunya lemah dalam fisik sekarang memaksimalkan potensi akademisnya. Apalagi dari cerita terbaru, keluarga angkatnya mendukung semua yang dilakukannya.

***

Tablet duabelas inci menampilkan koran digital bikin Bos tersenyum miring dari kursi kerjanya. Senyuman itu berubah jadi tawa lebar, penyebabnya adalah artikel mengenai peresmian Yayasan Perempuan Hebat di tempat baru, lokasinya di area Puncak tapi masih berbaur dengan keramaian. Jarinya membuka laman berita tentang wawancara dari dua pendirinya.

"Anak itu ...," gumamnya dengan tatapan kalem dan mematikan bersamaan, "Ragamu memang tiada, Lia. Tapi jiwamu masih utuh hingga kini, itu sungguh menakutkan."

Dia menaruh tablet tadi lalu meninggalkan ruangan kantornya menuju lift khusus. Tiga tombol khusus yang ia tekan membawanya turun. Suasana terang itu lambat laun berubah jadi remang-remang. Kotak besi itu terbuka, dan melanjutkan langkahnya pada pintu otomatis berdaun lebar setelah melewati dua perempatan model labirin.

Tabung raksasa di sebelah kiri dan kanan dengan dominasi warna abu-abu menyegarkan pandangannya. Namun, fokusnya tetap pada tabung di tengah yang terhubung dengan kabel warna-warni pada bagian atasnya. Dia tahu itu terhubung pada empat layar dan perangkat komputer di ruangan sebelah yang tersambung oleh pintu kecil warna coklat tua.

Bos melewati kubikel dan meja uji coba yang penuh dengan kerangka besi , mur, dan sekrup serta botol-botol dan pipet kaca—tanpa penghuni—untuk mengetuk pintu coklat itu. Putaran pada gagangnya bikin pintu tertarik dan menampakkan dua orang pria tegap dengan model rambut beda, satunya terpotong rapi, satunya gondrong melewati bahu.

Dia mengenal dua orang ini, anak buah setianya.

"Kalian akhirnya bebas juga. Selamat datang, Sugeng dan Hadi," sambut pria itu.

Keduanya membungkuk hormat. "Terima kasih, Bos. Senang bisa berkumpul denganmu, walau saat ini tanpa Agus," sahut Sugeng. Usianya mendekati angka lima, tapi wajahnya terbilang nihil kerutan dan badannya masih fit. Potongan rambut pendek dengan sedikit aksen poni membuatnya tampak delapan tahun lebih muda.

"Masih belum ada kabar juga dari dia?"

Hadi—pria gondrong—menggeleng, "Saya pikir dia sudah dibunuh sama anak-anak tengil itu."

Sugeng menggeleng cepat, "Bila sudah mati, aku yang akan menguburkannya dengan hormat."

"Perkenalannya bisa dilanjut nanti," potong Bos, "Bagaimana dengan perkembangan manusia kloning ini?"

"Delapanpuluh persen, Bos," Hadi mendekati komputer diikuti si Bos, "Pemecahan kode DNA-nya sukses. Percobaan-percobaan melelahkan ini akhirnya terbayar." Walau dalam penjara, Sugeng dan Hadi tetap melanjutkan proyek percobaan manusia kloning melalui bawahan setianya yang sudah membawa DNA si Chamomile dan Mawar Merah. Alhasil, susunan DNA Mawar Merah ternyata menarik perhatiannya, sungguh unik. Ini juga yang bikin mereka takjub, pemecahan kode DNA biasanya berlangsung tahunan, ternyata itu tidak berlaku baginya.

"Kira-kira si Mawar Merah apa uniknya?" Bos memfokuskan pada layar yang menampakkan kondisi organ vital manusia kloningnya yang stabil. Iya, tabung besar tadi terdapat Mawar Merah di dalamnya.

"Sebelum percobaan obat dokter Yunus, anti bodinya sudah benar-benar kokoh," jawab Hadi, "Tapi kelemahannya adalah bergantung pada obat, jadi kita ubah tiga kode di sini agar anti bodinya bisa tahan lama tanpa efek samping yang dialami Mawar Merah asli. Begitu juga saya masukkan beberapa kemampuan dalam sel-sel otaknya." Dari semua pembuatan manusia kloning untuk pesanan militer luar negeri, raut bangga dan puas bersatu padu dalam ekspresi Hadi.

"Bagaimana dengan bunga Chamomile?" tanya pria tua itu pada Sugeng.

Sugeng yang fokus pada layar sebelah kiri dalam merancang chip menoleh. "Bunga Chamomile susunan DNA-nya normal. Tapi saya bawa berita bagus untuk Anda."

Bos menunjukkan raut tertarik. "Kuharap kali ini lebih baik dari pada berita Mawar Merah."

"Itu bahkan lebih baik," Sugeng mendekati Bos lalu mengeluarkan benda persegi empat kecil dari kantongnya. Saat menekan salah satu tombol, layar bagian kiri berubah jadi chip yang berkedip-kedip dalam area otak kecil dekat tengkuk, "Selama ini, chip pengendali yang tertanam dalam tubuh Chamomile alias OT025 ternyata tidak rusak dan bisa diaktifkan kembali."

Mata Bos jauh lebih bersinar. Kemudian mendendangkan tawa bercampur teriakan bahagia, percobaannya selama ini ternyata berhasil. Dia pikir selama ini peledakan rumah Sugeng beserta alat-alatnya ikut rusak, ternyata tidak.

Sugeng memberikan satu remot berukuran sama tapi terdapat motif garis-garis di pojokannya. "Itu saja sumbernya dari diska keras kiriman mantan pekerja kita, dan memang benar. Saat ini saya menyerahkan benda ini pada Bos, untuk uji coba."

Bos mengambil langsung benda itu dengan mudah. "Kita lihat, Chamomile akan seperti apa jadinya?"

Keduanya tertawa bersama.

***

Dasar dokter Yunus, dia suka sekali mempermainkan Renita seperti ini. Tinggal bilang saja apa susahnya, mana pakai alasan tantangan segala. Renita tidak habis pikir mengapa Mamanya betah bersahabat dengan orang itu? Dia tidak suka rahasia-rahasiaan, menurutnya bersikap seperti itu bikin beban hidup bertambah padahal isinya tidak penting sama sekali.

Setelah berdiskusi dengan Ronald tentang riset untuk  hukum pajak ekspor impor mobil mewah, gadis itu mengeluarkan lembar lusuh dari dompetnya. Rahangnya tegas, hidungnya tidak terlalu mancung tapi penyangga kaca matanya mampu bertahan di situ, rambut gondrongnya tersibak rapi, bibirnya tipis. Argh, ini terlalu sulit, tidak ada ciri khas yang melekat pada orang itu. Renita membanting foto itu di sebelah komputer sampai-sampai terdengar gebrakan meja. Tatapan semua rekan kerja terfokus padanya.

Cukup dengan senyum lebar Renita mereka sudah kembali pada pekerjaan. Renita sudah mencoba berbagai cara, mulai dari bongkar album foto lama Mamanya, bertanya pada Papa—tapi Beliau sendiri tidak mau jawab, sampai mencocokkan pakai perangkat lunak pengenalan wajah yang Ia unduh dari toko aplikasi. Semua hasilnya nol besar. Hanya ada satu hasil, Ia merasa familiar dengan bentuk rahang itu, tapi lupa di mana?

Nama Gama muncul di notifikasi ponselnya.

Pesannya kali ini menggugah semangat, kesibukan bikin mereka jarang bertemu tapi masih sempat-sempatnya kirim stiker beruang sok imut gini. Tiba-tiba, Renita merasa ada lampu pijar dari atas kepalanya, segera dia ketikkan balasan. Kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, kapan lagi manfaatkan teman pintar teknologi seperti dia? Minimal dia punya teman lain deh yang bantuin cari sosok rambut gondrong ini.

Teman?

Renita meringis sendiri. Walau dalam hati ada rasa pahit saat mengucapkan kata itu. Tapi memang nyatanya seperti itu. Hatinya tetap untuk Reno, titik. Namun, apa iya rasa itu masih ada? Perubahan Reno selalu mengusik Renita. Ah, pusing, masalah itu bisa dibicarakan lain kali jika bertemu Reno. Ingat, ada jikanya, mentang-mentang jadi artis terus pesannya sekarang hanya terbaca dan tidak ada balasan dari pertemuan mereka di warung itu.

Sepulang kerja, Renita diminta Gama mengunjungi suatu alamat. Ternyata gedung tinggi yang kira-kira tigapuluh lantai dengan lobi seluas lapangan sepak bola. Binar Renita menebak-nebak, pasti sudah menyentuh harga milyaran. Gadis itu mendarat pada sofa berukiran lengkungan manis sambil mengabari kehadirannya lewat pesan teks, yang dijawab sebentar lagi akan turun.

Benar saja terdengar dentingan lift nyaring menampilkan Gama yang berjalan padanya. Cuma turun saja masih pakai kemeja putih dan celana kain coklat sudah berasa seperti nempel di ubin masjid. Mereka bersapa sebentar lalu Renita berdiri dan membuntuti pria itu. Ternyata bukan sewa unit, tapi rumah atap alias penthouse.

"Mantap sekali," gumam Renita saat interior serba putih dan hitam menyambutnya. Lantainya saja terbuat dari marmer berkualitas, jendela kaca jumbo dengan pemandangan Gedung-gedung ibu kota memperindah hunian ini. Astaga, bahkan adegan matahari tenggelamnya sungguh cantik.

"Kamu suka?"

Renita tersentak dan menoleh ke Gama yang ternyata sudah duduk di barstool, desainnya persis seperti dapur rumahnya Indah. Hanya beda warna, yaitu campuran putih hitam, sedangkan milik Indah serba putih.

"Wah kayaknya aku harus nabung sampek Kakek Nenek biar bisa beli hunian kayak gini." Renita duduk di sofa ruang televisi saat Gama meletakkan dua gelas air mineral di meja kopi persegi.

"Ada-ada aja kamu." Gama menyesap air mineral lebih dulu. Sejujurnya dia senang dengan pujian Renita.

"Oh, ya, kamu minta bantuan apa?" tanya Gama langsung ke topik setelah Renita puas merekam suasana penthouse-nya.

"Ah, ini," Renita mengaduk isi tas lalu mengeluarkan secarik kertas foto, "Kamu, kan, anak teknologi, ya? Mungkin perangkat lunak mengetahui wajah milikmu lebih canggih. Boleh aku pinjam alatnya? Karena aku penasaran sama orang ini." Gama menerima sodoran kertas foto milik gadis itu.

Gama mengamatinya lima detik lalu berdiri dan berkata ya. Dia menyuruh Renita untuk duduk di stool sementara pria itu mengambil laptop dan alat pemindai berbentuk tongkat. Gama membuka laptop di atas meja beralaskan batu teraso hitam, menyambungkan alat pemindai melalui Bluetooth lalu alat itu bergerak sejajar menyinari foto lawas tersebut.

Renita mengamati itu semua sambil bertopang dagu, dia menyukai gaya Gama saat beraksi di depan laptop. Entah dorongan dari mana, gadis itu berdiri dan sudah berada di sampingnya. Kepalanya menunduk sejajar pada kepala Gama. Laki-laki itu terlalu asyik dengan pengaktifan perangkat lunak pemindai wajah itu, tangannya menari-nari di atas kibor dengan bunyi nyaring.

Tubuhnya mematung saat Gama menggigit bibir dalamnya, rasanya seperti dalam ruangan sauna. Bagaimana rasanya bila bibir mereka bertemu?

"Ah ketemu."

Kali ini, Renita bersyukur pikiran liarnya terusik.

Layar perangkat lunak itu memunculkan tiga jendela dari posisi foto, masing-masing memuat identitas diri dilengkapi pas foto kartu tanda penduduk dan pengalaman hidup. Namun, fokus keduanya adalah jendela bagian kanan.

Keduanya saling menatap tanpa jarak dengan raut terkejut.

"Anggodo Ismail," Renita membaca semua identitas pria tua itu. Gadis itu meneliti wajahnya lebih jeli, Itu rahang tegas dan bekas luka garis di dekat jambang, iya Renita ingat itu saat kejadian sepuluh tahun lalu. Jadi, dia adalah pria yang menculiknya dulu. Sahabat Mamanya sendiri. Satu tangan Renita mengepal kuat-kuat.

"Tunggu ini ada artikelnya." Kursor laptop Gama memperbesar kliping artikel berjudul 'Sidang Putusan Anggodo Ismail Penyumbang Terbesar Aksi Perdagangan Manusia.'

Isi artikelnya adalah Anggodo Ismail adalah dalang dibalik tindak pidana perdagangan manusia berkedok aksi kemanusiaan. Tiga orang bawahannya yaitu Sugeng, Hadi, dan Agus sudah dapat vonis penjara lebih dulu. Hasil sidangnya memutuskan vonis sepuluh tahun penjara, sedangkan tiga antek-anteknya sebelas tahun penjara. "Korban terbanyak yang di bawah umur dijual untuk ..."

"... senjata manusia," sambung Renita di akhir artikel.

"Memang rumor," gumam Gama dengan usapan dagu, "Pantas saja dia selalu bikin Mahendra Biomedic waspada lima kali lipat."

"Ini, senjata manusia yang kayak gimana maksudnya?" Renita bingung.

"Kamu pernah nonton film Robocop, Renita?" tanya Gama.

Renita menggeleng, dia bukan penikmat film lama.

"Film tentang tubuh manusia yang rusak direparasi dengan alat-alat elektrik sebagai penopang hidup. Sehingga Ia terlahir sebagai manusia setengah robot dengan tujuan mensejahterakan masyarakat," jawab Gama sambil menunjukkan rancangan tangan bionic milik perusahaannya dalam bentuk gambar digital utuh tanpa warna, "Nah, persis seperti itu cuma beda kegunaan kalau di sini. Senjata manusia itu selain dari sebagian tubuhnya bermesin mekanik, tubuh mereka dilengkapi kemampuan bertarung terbaik. Bahkan dari tangannya saja bisa keluar pistol macam-macam. Rumor itu berkata bahwa aktivitas illegal ini menjual mereka pada kelompok militer bayaran di luar negeri."

"Wah," Renita tidak bisa berkata apa-apa, "Gambar ini persis yang ada di dokumen Mama yang kupotret."

"Begitulah. Ini hasil rancangan yang kolaborasi sama dokter Yunus," tukas Gama menaikkan kacamatanya. Dia tertarik dengan kalimat Renita sebelumnya, "Coba sini aku lihat gambarnya, Ren."

Gama menaikturunkan gambar dalam layar ponsel Renita sambil berdiskusi, tidak lupa menyebutkan keterangan dari dokter Yunus. "Ini memang sketsa kerangka tangan dan kaki bionik draf pertama. Yang dibilang dokter Yunus bener, kok. Eh, tapi kok ini kayak ada sisa sobekan, ya."

"Ha?" Renita terperanjat seraya merebut ponselnya kembali, mengkonfirmasi ucapan pria itu sambil menjauhkan kepalanya. Sobekannya terhitung rapi, pasti pakai cutter dan gerakannya halus. "Bener ini mah. Ya ampun kenapa nggak kepikiran sih?" Renita mengerang.

"Kenapa kamu nggak tanya ke dokter Yunus langsung?" Gama membalikkan badan dengan siku bertumpu pada meja konter.

Renita cepat-cepat menggeleng. "Suruh cari sendiri, katanya. Nyebelin emang tuh orang. Tunggu dulu, apa dokter Yunus dan Anggodo Ismail sedang merencanakan sesuatu selain bikin cyborg dan vaksin?"

Gama berpikir sejenak. "Entahlah, kalaupun dokter Yunus punya ide bagus atau lainnya pastinya aku tahu."

"Ini tuh ada sobekan, Gama. Logikanya kalau mereka cuma bikin tangan dan kaki bionik doang, pasti kertasnya utuh," Renita memijat dahi, "Besok-besok aku daftar jadi detektif aja kali, ya, kan ada tuh SIPSS. Aku yakin nih si dokter aneh itu udah ketawa kayak Joker di balik ini semua."

Gama terhibur dengan omongan asal Renita, ada saja celetukan unik yang keluar jika mood Renita lagi begini. Gadis itu mondar-mandir dari dapur ke jendela dengan ekspresi berpikir yang kentara. Tahu-tahu saja dia sudah duduk lagi dan menumpu kepalanya di siku, menghadap Gama seutuhnya yang sedang mematikan laptop. Mata Renita mengibaratkan sebuah gagasan. "Kamu mau bantuin aku nggak untuk mecahin misteri ini, Gama?"

Aktivitas Gama di atas kibor berhenti seketika. "Bantuin ... kayak gimana?"

"Ya kamu tahu lah, hal-hal berhubungan dengan teknologi begini aku mana paham. Jadinya aku butuh yang lebih ahli, kebetulan yang bisa kupercaya itu kamu." Tangannya yang tadi di kepala berpindah ke rahang. Gama makin tidak berkutik, tengkuk Renita tampak jenjang dan mulus dan menggoda.

Gama menelan ludah, mengalihkan pandangan ke dapur yang masih bersih. Jangan sampai Renita tahu imajinasi liarnya suka mendadak muncul gini. Tawarannya menarik, tapi dia ragu. Perempuan seperti Renita bakal benar-benar pergi meninggalkannya jika misi bantuan ini berakhir. Apa Gama sanggup dengan hal ini? Bagaimana jika Renita tahu rahasia besar yang jadi penyebab semua wanita menjauh darinya? Seperti Ayu dulu.

"Gimana?" ulang Renita.

Jawaban Gama adalah pertanda akan adanya perubahan besar.

Dear BSWClub. Day 60, 61, 62, 63.
2500++ words
Happy Reading!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro