20) Saling Berhadapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


•••

Renita memutuskan untuk lembur. Selain merancang tentang ulasan perjanjian kerja sama antara anak perusahaan milik keluarga Anggara yang di bidang properti sama perusahaan distributor alat bangunan yang ada di luar Jawa. Kemudian, dia memfotokan semua komentar-komentar dan pesan kebencian nan penuh ancaman dari media sosial. Renita sengaja tidak buru-buru menonaktifkan akunnya agar nanti ketika wartawan melihatnya di kantor polisi, Renita mampu jawab semua pertanyaan mereka.

"Ah laporan bisa dilanjutin besok, sudah jam sepuluh lebih. Awas saja kalian semua." Kedua tangannya bertaut di atas kepala, menggerakkannya ke kanan dan kiri. Selanjutnya, Renita mematikan komputer, mencangklong tas kerjanya lalu ikut Nira turun melalui lift setelah absen. Kantor sudah sepi ketika mereka berdua mengitari lobi menuju pintu otomatisnya.

Ternyata Papa lagi-lagi tidak ada di rumah ketika Renita menutup pintu rumahnya. Renita mengernyit, saklar lampu-lampunya kenapa tidak menyala? Gadis itu mengatur napas sambil mengulang-ulang kalimat jangan panik.

Renita menyalakan senter dari ponselnya dan melangkah perlahan-lahan. Ada angin semilir yang melewati tengkuk belakangnya, tapi anehnya semua jendela tertutup sempurna. Matanya melirik ke semua perabotan rumah, tidak ada hal aneh-aneh. Namun, tetap saja insting waspadanya belum hilang sama sekali.

Tanpa Renita ketahui, ada bayangan gelap yang berjalan dari belakangnya sedang meregangkan tali. Sekajap tali itu mendarat pada leher Renita, membuat gadis itu menggeliatkan tubuh seraya meronta-ronta. Sedangkan, sosok itu makin mengencangkan ikatan talinya. Tangan Renita memegang tali sambil mengikuti langkah mundur si bayangan gelap.

Renita langsung menghantam tubuh bayangan gelap itu pada jendela penghubung taman belakang rumahnya hingga hancur berkeping-keping. Dia berjuang antara napasnya yang mengecil dan kekang talinya yang makin sulit lepas. Sosok itu berpindah lagi, dan Renita balas dengan menubrukkan tubuhya pada meja marmer dapur. Bayangan itu berteriak kesakitan, gadis itu menyikut perutnya dengan keras sehingga pertahanannya kendur. Renita langsung membebaskan diri dari lilitan tali itu, dia terbatuk sambil berjalan sempoyongan ke area dapur dan mencari benda tajam di antara laci-laci itu.

Lawannya juga ikutan berdiri tepat Renita mengambil gunting besar dari laci tengah sisi kanan meja dapur. Dalam gelap, mereka saling mengacungkan benda tajam masing-masing. Deru napas dan sisa batuk Renita bagaikan percakapan tidak langsung. Namun, Renita diam-diam mengeluarkan sesuatu dari sakunya, dalam hati Ia berhitung mundur dari angka tiga.

"Kejutan." Senter mini Renita menyilaukan mata lawannya. Namun, itu juga bikin dia terkejut.

Dua benda tajam itu beradu, Renita kewalahan di awal karena dia terbiasa bertarung dengan tangan kosong. Gadis itu tahu sekali semua pergerakannya, padahal hanya mengandalkan bias sinar bulan purnama sebagai cahaya, lawannya terus menggoyangkan pisau dapur dengan target lehernya. Namun, ujung pisau menebas lengan kanan Renita ketika bergeser ke kanan. Renita balas dengan tendangan lurus sehingga lawannya oleng sambil berlari. Sang lawan berbalik, menerjang Renita dengan erangan layaknya singa. Renita membalasnya dengan ayunan gunting, tangan kanannya mendorong perut lawan sampai kursi ruang makan terbuka dan punggungnya tertabrak pinggiran kayu meja.

Keduanya berjalan mundur dan maju, Renita berguling maju melewati lawan, bermaksud menyerang dari belakang. Namun, sang lawan menangkap tangannya dan melempar dirinya kembali di hadapannya. Renita langsung melompat pakai gaya salto dan mendarat di atas sofa.

Lawanya berjalan perlahan dengan pisau teracung. Cahaya bulan memantul pada ujung benda tajam itu.

"Lo kenapa jadi mendadak berubah gini?" protes Renita sambil melepas ankle boots-nya lalu terlempar ke sembarang arah, "Sadar woy, sadar. Nggak gini caranya, kalau ada masalah tuh bicarain baik-baik anjir. Lo itu robot apa manusia sih?"

Lawan bicaranya tetap membisu.

Renita melompat dari sofa, pergerakannya kali ini lebih bebas apalagi model rambutnya sudah berubah jadi gelungan rendah. Si lawan berlari menerjang leher Renita yang langsung dihalau dengan gunting. Jarak yang menipis bikin lawan mendorong Renita, tapi gadis itu bertahan pada posisinya. Beban yang makin lama makin kuat menguras energi Renita membuat gadis itu terdorong mundur membentur pilar. Lawan itu makin mendekatkan ujung pisau pada leher.

Renita melirik dari sudut matanya bahwa pertahanan bagian kaki terbuka, gadis itu tidak melewatkan kesempatan dengan mendorongnya jauh dengan cara menendang selangkangannya. Sang lawan oleng, dan Renita tidak melewatkan kesempatan itu dengan memutar tubuh membelakangi lalu memukul tengkuknya.

Sang lawan pingsan.

***

Bias cahaya matahari membangunkan Indah. Butuh waktu beberapa menit untuk meregangkan tubuh dan mengerjapkan mata agar bisa menyingkirkan kotoran mata dengan sekali gosok. Mata gadis itu melebar, seingatnya kemarin habis rapat dengan para ketua divisi langsung pulang dan tidur. Mengapa sekarang berada di rumah Renita? Apalagi ada serpihan kaca dari jendela, laci-laci dapur terbuka, terakhir ada pisau dapur di bawah sofanya.

Apa yang terjadi Sebenarnya?

Tengkuknya nyeri ketika membuka memori kejadian kemarin. Indah merabanya, dan beberapa detik kemudian pipinya terasa dingin. Gadis itu mengangkat kepala, menemukan Renita dengan wajah tidak terbaca.

"Minum dulu, biar waras seutuhnya." Nada suara Renita mengandung perintah.

Renita mendarat di sofa samping Indah sampai sedikit terpantul, sampai Indah terbatuk sedikit ketika air melewati kerongkongannya. Selama beberapa detik, mereka saling bertatap, Indah memutusnya dengan meneguk air esnya cepat-cepat.

"Lo mau bilang sesuatu gitu, sama gue?" Renita bersandar sambil melipat tangan seperti melempar kail pancing dalam kolam.

Jari telunjuk Indah mengetuk pelan gelas kaca bening tanpa pegangan. Dia tahu itu pancingan sahabatnya agar mau ngomong, tapi dia sendiri benar-benar tidak tahu apa-apa. Gadis itu menggeleng pelan-pelan dengan wajah takut. "Ada apa sama gue?" lirih Indah.

Renita menjelaskan kronologi kejadian kemarin malam. Indah yang dilihatnya benar-benar berbeda, dia bagaikan mesin pembunuh. Kemampuan mengayun senjata limaratus persen meningkat, seperti pemain anggar professional tapi pakai pisau dapur. Wajah Renita yang dari tadi matanya melotot dan memperagakan tusuk-tusuk pisau bikin bulu kuduk Indah berdiri. Apalagi tidak ada cahaya sama sekali, sehingga Renita mengandalkan ketukan sepatu dan bunyi denging pisau. Indah menutup mukanya, pernyataan Renita tentang membunuh sahabat adalah teori terkonyol.

"Gue nggak ngada-ngada, Ndah," Renita mengakhiri ceritanya, "Makanya gue sampai nanya lo ada dendam sama gue atau apa? Kalaupun ada, kan, gue bakal minta maaf duluan. Lo sendiri juga orangnya nggak kayak gitu, bunuh semut aja mikir seribu kali kecuali buat main bedah-bedahan. Apa mungkin lo cemburu gue deket sama artis di Lambe Tempe?"

"Ha?" Indah menganga, "Gue kayak nggak ada kerjaan sama sekali untuk cemburu model gitu." Indah meletakkan gelasnya di meja kopi seraya merapatkan cardigannya.

"Syukur deh," Renita menepuk pelan pundak sahabatnya, "Lo tahu, kan, Reno itu ..." kalimat Renita menggantung.

"Itu apa?"

Renita tersenyum malu-malu kucing, senyum yang Indah hafal. Apa mereka memang beneran pernah pacaran? Indah tidak mau berburuk sangka, bisa saja mereka memang kenalan lama atau teman lama. Jawaban yang dilontarkan Renita walau melegakan tetap saja bagaikan mercon, "Reno itu kawan lama sekaligus cinta pertama yang sering gue certain ke lo."

Daya ledak kecil itu bikin senyum Indah pudar, tapi buru-buru Ia ubah dengan tatapan kalem. Ingin rasanya langsung ngaku bahwa mereka pacaran, tapi tidak mungkin karena karir Reno pasti langsung anjlok. Dia tidak tega melihat Kekasihnya menderita lagi. Indah mengatur napas sambil menyilakan kedua kakinya di atas sofa. "Nanti gue ganti jendela lo sama barang-barang lainnya," gadis itu celingak-celinguk lalu mendekatkan wajahnya pada telinga Renita, "Bokap lo nggak tahu, kan?"

"Alah, dari kemarin Beliau kagak pulang. Kalau Tante Bunga lagi di Indonesia pasti ngekor mulu," jawab Renita dengan senyum tengilnya.

"Sudahlah pokoknya, lo kudu siap-siap. Hari ini ke kampus, kan, mau ambil toga." Renita mengingatkan kegiatan Indah hari ini, tahunya dari alarm pengingat kalender dari ponsel sahabatnya yang terus berbunyi.

Indah berterima kasih kemudian numpang mandi di kamar mandi lantai bawah. Bersyukur tidak ada serpihan kaca selama kakinya beradu pada lantai keramik krem. Saat air pancuran mengenai wajah dan rambutnya, Indah kembali pada pertanyaan ketika bangun tidur tadi. Belum lagi dia kesal gara-gara jawaban Renita tentang Reno tadi.

***

Pengambilan undangan orang tua, toga, dan jubah wisuda berlangsung dua menit saja karena masih hari kerja dan jam sebelas siang di mana antriannya sudah sepi. Indah bergegas semangat kerja.

Rasa kesal dan pertanyaan-pertanyaan tadi hilang sejenak ditelan kesibukan Indah yang menyusun inovasi-inovasi toko buku, terutama memfasilitasi acara bincang penulis dan pengaturan rak-rak buku penjualan terbaik yang Ia perpendek jangka waktunya dari enam jadi empat bulan. Buku-buku baru terus berdatangan, dan jika ada satu buku yang penjualannya tidak sesuai target maka harus rela pindah ke rak belakang atau tengah sesuai tujuan.

Bel pintu berdering, kedatangan pelanggan baru disambut oleh Lana yang memeluk buku menu. Pekerja berambut panjang itu terpana, karena baru kali ini ada Bapak-Bapak tua berkunjung ke toko buku. Perkiraan usianya hampir enampuluh tahun tapi terlihat lima tahun lebih muda.

"Silakan, Pak," Lana menunjuk meja bundar dengan satu kursi tidak jauh dari posisi Indah. Pria tua itu menuruti arahan Lana.

Indah yang berjarak dua kursi dari Beliau melirik dari laptopnya. Senyumnya berubah jadi pelototan dengan tangan mengepal kuat di atas meja. Sejak kapan targetnya ada di situ? Orang yang membuat Indah tersiksa di neraka buatan saat masih jadi gadis cilik.

"Anggodo Ismail," lirihnya.

***

Pada jam pulang kerja, Renita berkonsultasi dengan Nira dan temannya dari firma hukum lain untuk menganalisis bukti-bukti sambil mendiskusikan Undang-Undang yang cocok di ruang pertemuan. Sepuluh menit mereka saling mengeluarkan argument lengkap dengan penjelasan, hasilnya yaitu bukti-bukti semua sudah siap dan didominasi oleh tangkapan layar. Mulai dari komentar, pesan pribadi, sampai riwayat panggilan. Renita sengaja membiarkan semua komentar kebencian itu bertebaran, bisa jadi bukti tambahan yang menguntungkan dirinya.

"Semakin pintar licik kau, rupanya," komentar temannya itu seraya meneguk kopi gelas kertasnya.

"Makin banyak, makin bagus. Gue tinggal pilih komentar paling ngeselin, pas ketangkap pelakunya langsung deh pada takut," balas Renita dengan tersenyum manis.

"Mbak jadi curiga nih sama komentar-komentar dari profil aneh gini. Jangan-jangan ini jaringan buzzer gitu." Nira berucap tanpa memandang lawan bicara.

"Renita bukan anak konglomerat atau Presiden, Mbak Ra," sahut temannya Renita, "Masa benci gara-gara artis doang sampai sewa kayak gituan, nggak logis."

"Ada kemungkinan juga mereka dari kelompok pembenci yang elit," sambung Renita.

Nira menggeleng patah-patah, "Bisa jadi," Kakak beda darah Renita itu meletakkan ponselnya untuk menyesap es kopi susunya, "Kita lihat saja nanti, ya. Sudah mau lanjut lembur dulu aku. Kalau ada apa-apa tinggal kabari Mbak saja, ya, Ren." Nira menarik kursi kemudian menepuk pelan pundak Renita sebelum berlalu dengan gelas plastik kosongnya.

Teman Renita itu melirik pergelangan tangannya, "Gue balik kantor dulu deh, mau ngurus dokumen dulu." Keduanya jalan bersamaan melewati pintu kaca transparan ruang rapat.

Semburat oranye menyinari gedung-gedung sebelah ketika dia berdiri di lobi luar. Dia berpamitan pada teman-teman yang lewat. Ada yang dijemput kekasihnya, kendaraan daring, sampai jalan kaki ke stasiun MRT terdekat. Renita masih di situ karena sopir kendaraan daringnya mengabari masih macet. Sepuluh menit berlalu, sopir mengabari bahwa bannya bocor dan minta dibatalkan sekaligus minta maaf.

Renita mengerang kesal, "Nyusahin aja, ini kan lagi promo uang elektronik dan berakhir hari ini." Pump Shoes-nya menghentakkan lantai keramik mewah.

"Ah, kabarin Indah saja. Dia katanya lagi kosong hari ini, mungkin bisa makan bareng di cafenya." Ponselnya gelap seketika ketika jarinya mau menekan speed dial. Giginya bemeletuk diiringi hentakan kakinya yang makin kencang. "Ini gimana pulangnya, mana nggak bawa power bank lagi," keluhnya setelah mengaduk tasnya. Mau kembali ke kantor sambil nunggu isi daya, malas sekali. Apalagi satpam dan office boy jarang berkeliaran sekitar sini. Di dalam hanya ada Mbak Nira yang tenggelam sama kerjaan. Dia memutuskan jalan kaki menuju stasiun MRT terdekat, masih ada sisa saldo uang elektronik.

Trotoar dekat pintu masuk stasiun masih ramai, tapi Renita merasa ada debuman sepatu boots yang seirama dengannya. Namun, saat menoleh ke belakang tidak ada siapa-siapa. Ketukan sepatu itu mengikutinya sampai menempelkan kartu pada loket pemindai transaksi elektronik. Renita mengabaikan pandangan aneh orang-orang yang lagi antre di sebelah pagar otomatis.

Rok pensil memperlambat langkahnya, tapi mampu melewati himpitan orang-orang di depannya. Iramanya sama dengan lari Renita yang naik turun. Renita tidak kehabisan akal, saat penumpang sebelumnya mengurubungi koridor, langkahnya berhenti mendadak. Ternyata benar, suara itu ikut hilang.

Perlahan, Renita membalikkan badan. Orang-orang yang tadinya tak acuh memfokuskan pada dua orang yang berhadapan di mana salah satunya mengacungkan pistol. Pria tua yang pakiannya sudah buram tapi rapi berjalan mendekat, tidak ada senyum sama sekali, hanya pandangan kosong dengan dengkusan.

"Lo kalau tembak gue pakai pistol itu, hukumanmu bakal lebih berat. Bukan hanya pakai pasal 338 atau pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana—jika memang berencana bunuh gue, lo sendiri juga kena hukuman soal senjata api illegal." Ucapan santai Renita menimbulkan kengerian dari orang-orang sekitar yang tidak sempat melarikan diri.

Terdengar selongsong peluru yang terisi. Orang itu masih jalan mendekat, Renita tetap bergeming saat pistol itu menimbulkan sensasi dingin di keningnya. Tatapan matanya memang kosong, tapi seperti ada yang mengontrolnya.

Petugas keamanan melewati orang-orang yang menonton adegan tadi. Namun, pistol itu Meletus pada dahi salah satunya. Petugas kedua juga bernasib sama. Orang lain pada berhamburan ke segala arah, mulai dari melompat pagar loket hingga memenuhi kereta sampai berhimpit satu sama lain.

Renita menendang pistol, terlempar jauh. Pria tua itu tampa ampun memukul dan menendang, tapi Renita halau dengan tangan. Sayangnya, lengan kanan yang dia perban tadi pagi akibat sabetan pisau Indah semalam terkena bogeman orang itu. Renita terhuyung mundur sambil memegangi lengannya, giginya bermeletuk seraya menegakkan tubuh. Dia melempar tawa sadis, "Mau main-main, ya, sama gue? Oke siapa takut?"

Renita melepas sepatu hak tinggi dan tas tangannya yang Ia letakkan di ujung dinding. Suara mesin kereta mampu meredam tendangan berputar dan lurus Renita. Si pria kaku itu tidak mau kalah, pukulannya cepat dan dia tahu celah-celah pertahanan Renita yang terbuka. Pukulan itu mengenai bahu dan perut gadis itu, keduanya berjalan berlawanan sampai punggung dan kepala Renita menabrak pilar.

Gadis itu terduduk lemas, tapi semangat bertarungnya masih tinggi. Dia berdiri perlahan, Renita menendang lurus perut pria itu dengan buas, lalu tendangan atas mengenaik kepalanya sampai hilang fokus. Pisau mata kakinya terulur pada leher dan bahu dengan gerakan memutar lalu menghantam dua bahunya. Sepatu boot lawan menekel kaki Renita, untungnya sisa tenaga gadis itu Ia gunakan untuk bersalto. Pendaratannya mulus, walau kaki yang kena tekelan bikin ototnya terasa bergeser.

Si lawan sudah mengeluarkan cairan merah di pelipis dan sedang mengatur napas. Renita tidak ampun mengeluarkan tendangan berputar mengenai dadanya, Ia bersalto ke belakang untuk memukul tengkuknya pakai pisau tangannya.

Sang lawan jatuh terduduk tapi dalam posisi merangkak. Keduanya saling menoleh, dan mata lawan makin kosong dan ganas. Dia bangkit secepat kilat lalu mencekik leher Renita, terdorong mundur menghimpit pilar. Renita mencengkram erat kedua tangannya untuk menariknya mundur. Tendangannya seperti udara kosong karena lawannya membuka kedua kaki. Cengkraman itu makin kuat, ditambah napas Renita melemah perlahan. Kakinya melayang lima sentimeter.

"Ma ... ti ...," lirih sang lawan. Rahangnya mengeras dengan alis bertaut dalam. Renita mendengar pelatukan gigi.

Napas Renita terhimpit, semakin pendek, baiklah kali ini dia sudah pasrah. Mungkin ini saatnya bertemu Mama di alam baka.

Lidah Renita terjulur keluar dari mulut. Namun, cekikannya mengendur pelan-pelan. Pria tua itu tergeletak miring saat Renita terbebas dari cekikannya, gadis itu terbatuk sambil mengambil napas dalam-dalam. Terdapat peluru bius di tengkuk saat Renita memeriksakan kondisinya.

"Siapapun kamu ...," Renita berkata sambil batuk-batuk, "Keluar sekarang."

Ketukan sepatu loaf menggema di tengah kosongnya Stasiun, dia melewati mayat dua petugas keamanan yang darahnya melebar ke lantai. Renita tidak bisa berkata-kata ketika melihat sosoknya.

"Kamu baik-baik saja?" ujarnya ketika jarak mereka hanya dua meter.

Renita mengangguk lemah sambil memegang lehernya. Bunyi napasnya melengking. Punggungnya masih nyeri ketika mencoba berdiri tegak. "Kamu ngikutin aku sampai sini, Gama? Kamu mata-mata dari mana, kemunculanmu selalu seperti Jelangkung?"

Gama menggeleng sambil berjalan maju, "Aku tadi kirim pesan ke kamu karena mau menyampaikan kabar baru terkait proyek robot dokter Yunus, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan Indah sendiri tidak tahu keberadaanmu. Jadi, aku coba nyusul kamu ke kantor, kata Satpam kantor kamu jalan ke Stasiun. Aku buru-buru ke sini, ternyata Tidak sia-sia aku ngantongin pistol bius di saku."

"Aku ...," jawab Renita tertatih, "Ponselku baterenya habis."

Bibir Renita melengkung lebar, kali ini dia sangat berterima kasih pada Pria itu. Jadi begini rasanya diselamatkan seseorang. Pantas saja kebanyakan novel-novel selalu berkata bahwa mereka merasa aman bersama pasangan. Tapi dia tetap lebih suka melawan dulu sebelum diselamatkan. Gama mengulurkan tangan, yang langsung disambut baik gadis itu.

"Aku gendong aja gimana?" tawar Gama saat kondisi Renita masih belum sepenuhnya baik.

Melihat kondisinya seperti ini Renita mengangguk. Gama menggendongnya dari belakang, tubuh Renita tidak berat sama sekali. Tangannya melingkar di leher Gama, rasanya hangat dan nyaman, bikin mulutnya menguap. "Gama, tolong ambilkan tas sama sepatuku di situ."

Gama berjalan ke ujung dinding untuk menyampirkan tas, sedangkan Renita memegang sepasang sepatunya di tangan. Keduanya sempat berbincang dengan gerombolan polisi yang buru-buru turun untuk keterangan saksi, tidak lupa para wartawan investigasi mengerubungi mereka berdua. Lagi-lagi lampu kamera itu menakutinya sampai-sampai lingkaran tangannya makin erat. Kepalanya tenggelam di punggung Gama.

"Bapak Gama bagaimana bisa sampai di sini?"

"Motif apa yang dimiliki pelaku sehingga menyakiti Bapak dan Ibu?"

"Bapak! Sini, Pak! Bapak!"

Pasukan polisi yang lain menghalau pergerakan wartawan sehingga Gama dan Renita menaiki undakan tangga dengan lancar. Di luar, sopir dan pengawal Gama langsung membuka pintu belakang mobil sedan Audi hitam. Dia menurunkan Renita dan mengatur duduknya, sedangkan Gama memutar posisi untuk duduk di sebelahnya. Mesin mobil itu berbunyi saat sopir sudah di posisinya.

Kendaraan roda empat itu membelah jalanan Jakarta yang makin gelap makin ramai. Renita menoleh sejenak dengan senyum tipis, Gama menatap sesuatu dari jendela mobil. Dari samping, mata kecil dan rahangnya terbentuk bagus walau tidak tegas, alisnya bertaut lalu tersenyum lagi. Efek obat dari dokter Isha dan dokter Yunus memang dahsyat, nyeri punggung Renita terasa membaik.

"Tolong antar langsung ke rumah Renita di Menteng, ya," pinta Gama pada Sopir.

"Baik, Pak."

"Terima kasih," lirih Renita bikin pria itu menoleh dengan kikuk.

Gama menggaruk tengkuknya. "Sama-sama, Renita. Kamu sebaiknya berhati-hati, tadi orang itu cuma kubikin pingsan. Siapa tahu dia kembali lagi?"

"Aku sudah pernah menghadapi yang lebih parah dari ini, Gama. Jadi jangan panik, oke." Renita meyakinkan pria itu untuk tetap tenang.

Gama menghela napas, melirik sebentar pada mobil yang berhenti di lampu merah. Dia mengangguk dengan senyum manis. "Baiklah, tapi kamu bisa menghubungiku jika terjadi hal aneh." Suaranya masih mengandung kekhawatiran.

Renita mengangguk lemah, dia pamit tidur lalu berbalik sambil memeluk tas tangannya.

Gama masih bergeming, Ia tahu Renita bisa melindungi dirinya sendiri. Namun, Gama kadang ingin sekali berkontribusi untuknya, tadi itu belum cukup. Tapi kalau terlalu memaksakan diri juga percuma, dia ragu apa Renita benar-benar ingin bersamanya atau sekadar pelarian semata? 

Pikirkan matang-matang. Jangan sampai kecolongan seperti kejadian Ayu dulu, batin Gama seraya menoleh kembali pada gedung tinggi.

Dear BSWClub. Day 69, 70, & 71.
2900++ words.
Happy Reading.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro