24) Buzzer Terorganisir & Momen Terakhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Malam yang sama dengan Renita dan Gama, satu jam sebelum penembakan.

"Akhirnya aku melihat ketidakberdayaanmu, sahabat lamaku."

Dokter Yunus membalikkan badan perlahan. Orang yang menodongkan pistol revolver-nya mundur selangkah. Sementara pria bersuara itu menekan saklar lampu. Dokter Yunus tersenyum simpul tatkala todongan senjata api itu terarah pada dahi, dia mengenal fisik perempuan itu, tapi tidak dengan sorot mata tajam nan kosongnya.

"Tampaknya ada satu yang tidak kamu singkirkan, Anggodo."

"Bukan singkir, Yunus," ralat Anggodo, "Anakku hanya tidur selama ini. Mahendra membesarkannya dengan baik. Bukan begitu, NT025, atau kupanggil Chamomile atau dengan nama Indah?" Anggodo tersenyum bangga.

Dokter Yunus mengepalkan tangan diam-diam.

"Sekarang aku tanya ke kamu, dimana gulungan kecil yang berharga itu? Catatan rahasia kita dan Lia, tentang vaksin," tanya Anggodo seraya berdampingan dengan Indah.

Mata dokter Yunus melebar, detik berikutnya terbit senyum cemooh. "Lia selama ini pintar juga simpannya. Apa itu sebabnya anak buahmu bunuh dia begitu saja?"

Anggodo tidak menjawab, tapi rautnya tenang. Ini sebuah perkembangan signifikan dari sahabat lamanya. Memorinya terbang pada serpihan masa lalu di mana mereka bertiga kumpul bersama dan Anggodo lah orang paling aktif membicarakan tentang teknologi mutakhir zaman itu, terutama pada perangkat keras yang diciptakan oleh Steve Jobs sampai Frederick Sanger.

"Itu kesalahan dia sendiri karena tidak memberitahukannya padaku. Katanya itu amanat dari kamu."

"Benar, Anggodo," dokter Yunus berkata datar, menumpuk semua energi negatifnya, "Jika gulungan itu jatuh ke tanganmu, itu akan mengubah peradaban manusia. Apa pedulimu dengan kesehatan manusia?" dokter Yunus terkekeh, "Yang ada kamu menguntungkan pembeli kalangan atas dan negara berperang."

"Itu yang namanya bisnis, kamu dan Lia dengan idealisme yang menyusahkan itu menghalangi semua kegiatanku." Anggodo menguap malas.

"Jadi, tunggu apa lagi, sahabat lamaku," energi negatifnya sudah memakan habis tubuh dokter Yunus, "Bikin aku menyusul Lia di alam baka. Oh, aku tahu kenapa dia belum tembak-tembak aku, karena masih nunggu aku buka mulut tentang keberadaan gulungan itu. Kenapa kamu tidak tanya Renita langsung?"

Dokter Yunus melakukan observasi singkat pada anaknya, ini sungguh di luar ekspektasinya. Beliau pikir selama ini anak-anak itu tidak terpengaruh dalam chip rancangan mereka berdua yang sudah usang itu. Dia ingat tujuan awal menciptakan benda kecil krusial itu, agar bisa mengatur rancangan manusia cyborg-nya dalam mengolah berbagai bakat sesuai keinginan penciptanya. Namun, yang tidak disangkanya, alat itu berhasil pada manusia murni.

"Chamomile adalah subyek pertamaku yang berhasil dalam percobaan nano chip rancangan kita. Syukurnya bahan-bahan dan cara pasangnya sudah kucatat di otakku." Anggodo berkata seolah bisa baca pikiran dokter Yunus. Beliau melanjutkan, "Walau butuh bertahun-tahun dan lewat ledakan minor."

Dokter Yunus tidak jawab, dia tahu meladeni Anggodo sama saja masuk dalam jebakan. Pistol otomatis itu masih menimbulkan sensasi dingin di kepalanya. Tubuhnya seperti terkurung dalam sangkar es, sementara Anggodo menggeledah rak buku, tumpukan berkas di bawah meja, buka kasar laci samping meja kerja, sampai berkas di samping kanan meja berdampingan dengan kumpulan bolpoin.

"Satu hal yang kupelajari dari persahabatan kita, Anggodo. Kamu orang yang grusa-grusu sampai-sampai lalai pada hal kecil." Dokter Yunus angkat bicara, membiarkan diri masuk perangkap Anggodo Ismail.

Anggodo hendak menanggapi, tapi Dokter Yunus buru-buru melanjutkan perkataannya. "Tujuh tahun lalu, kamu hampir mendapatkannya. Sayangnya, Lia sangat cerdik untuk mengalihkan anak buahmu. Pasti Lia bilang beberapa hal melantur sampai beran melawan. Itu triknya dia, walau berujung nyawa. Dia sudah segenap jiwa melindungi gulungan kecil itu." Tekanan pucuk pistol pada kepalanya menimbulkan nyeri.

Anggodo menggebrak meja kaca dengan kepalan tangan. Seutas lengkungan puas terbit dari bibir dokter Yunus. Kelemahan fatal seorang Anggodo, memperlihatkan kemarahan pada musuh. Dalam kancah pertempuran, itu adalah hal fatal. Sisanya, Ia membiarkan Anggodo melempar semua barang-barang di meja kerjanya ke lantai pualam berlapis karpet turki warna hitam dan abu-abu.

Wajah gusar Anggodo berubah jadi seringai mengerikan tatkala mengambil buku catatan bersampul hitam polos berukuran A5 dari puing-puing lemparannya. Dia mondar-mandir sambil manggut-manggut. Mata dokter Yunus melebar cepat, itu ... itu.

"Kamu ternyata simpan catatan vaksin buat Renita yang tercantum dalam gulungan itu, walau tidak lengkap, lagi. Siapa yang bodoh sekarang?" Secepat itu sorot mata Anggodo yang cerah berubah bengis. "Berita selentingan itu benar rupanya, tahap tes awal sudah berhasil. Katanya kamu tidak punya dan tidak tahu sama sekali? Ah, sungguh pembohong ulung kamu, Yunus." Anggodo menjauh untuk berbicara dengan seseorang melalui earpiece-nya.

Dahi dokter Yunus terasa bergetar, pemilik benda dingin itu mulai lelah menahan pucuk pistol. Sorot gadis itu makin kosong, deru napasnya seakan mendamba perintah selanjutnya. Dokter Yunus tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, Beliau mencengkram tangan Indah lalu menggesernya ke sebelah kiri tatkala kepalanya miring ke kanan. Satu tembakan meletus pada vas bunga di pojok rak buku.

Dokter Yunus berguling ke kanan agar terhindar dari timah panas yang memekakan telinga. Anggodo mematikan sambungan lalu bogeman, tapi dokter Yunus langsung menahan buku jarinya.

Dokter Yunus tidak menyadari Indah berada di belakangnya dengan dua tangan menangkup pistol otomatisnya.

"Sudah kubilang jangan ganggu Renita lagi. Apa yang bikin kamu tidak puas?" ujar dokter Yunus.

Anggodo menyeringai sambil mendorong dirinya, "Bisnis, klienku tidak puas dengan performa kreasiku selama di lapas. Antibodinya melemah dan aku butuh vaksin terbaru darimu, ternyata tidak perlu jauh-jauh."

"Itulah kelemahanmu cero—"

DOR!

Dokter Yunus mematung, kepalanya seperti dihantam palu raksasa. Pegangannya mengendur lamat-lamat lalu tubuhnya membentur lantai. Cairan merah menggenangi lantai marmer abu-abu dari kepalanya.

Anggodo menatap Indah dengan senyum bangga. Itu benar-benar kreasinya.

***

SAAT INI.

Bias cahaya matahari tidak seterang tadi siang saat Renita dan Gama meregangkan otot di sofa ruang kerja Ardhi Arsa. Padahal hanya susun sisa kronologi, tapi rasanya bikin badan remuk redam. Gelas-gelas es kopi masih belum cukup rupanya. Nanti malam dia akan berendam dengan Lush bath bomb warna biru muda, wanginya bikin kalem.

Gadis itu rebahan di sofa Panjang, sedangkan Gama kembali menekuri laptop Renita yang dayanya sudah terisi penuh di meja kerja.

Renita bersumpah, ketampanan Gama lima kali lipat ketika sudah fokus. Bagaimana rasanya tangan itu lambat laun merambat pada leher Gama lalu bibirnya bersentuhan dengan lapisan kulit tebalnya? Hangat dan nyaman tentunya. Jika bisa, Renita ingin tenggelam dalam ceruk pria itu selamanya.

Kelopak matanya berkedip cepat, mengembalikan logikanya. Dasar bayangan tidak tahu di untung, batin Renita.

Seharusnya pria-pria yang sering masuk sampul majalah musik seperti Mic atau majalah Cosmo edisi pria yang ada dalam versi halusinasi Renita, bukan Gama yang bahkan bisa dibilang seperti Mark Zuckenberg versi necis. Seleranya sungguh ajaib.

"Gama, ini ada bahan-bahan buat vaksin, coba periksa." Renita yang kembali menelusuri daftar obat-obatan buat manusia kloning penasaran akan nama-nama aneh dalam tabel bahan pembuatan vaksin.

Gama beranjak dari meja kerja untuk menerima kertas dari Renita. Mata yang dibingkai kaca mata Rayban segi empat itu serius menekuri kode-kode protein dan hitungan untuk DNA. Pria itu kembali ke posisinya semula, irama kibor kali ini jauh lebih harmonis dari beberapa jam yang lalu. Tampaklah hasil pencarian yang Ia mau, selanjutnya Gama memilih laman yang dibaca.

Reffrain lagu You Make Me Back dari drama korea Itaewon Class mengalihkan Renita. Gadis itu keluar sebentar untuk mengangkat telepon. Ekspresi wajah yang tadinya senang berubah bingung sekaligus terkejut. Dia manggut-manggut pada setiap perkataan dari sang penerima. Setelah itu, Ia kembali ke ruang kerja dan buru-buru membereskan barang-barang.

Gama mengerutkan alis. "Lho, Ren, kamu mau kemana? Kita masih belum selesai."

Aktivitas Renita berhenti sebentar dengan mengapit gulungan. "Aku mau ke kantor polisi, katanya pelaku utama penyebar komentar benci ingin ketemu aku." Gadis itu kembali mencemplungkan gulungan ke dalam tas tabung raksasa dan merapikan alat tulis dalam satu kotak pensil.

Gama ikut-ikutan berdiri sambal merapikan kemeja dan rambutnya yang asal-asalan. "Mau aku temani?"

Renita menggeleng tegas. Gama lagi-lagi menelan kekecewaan. Tetapi, ucapan Renita selanjutnya bikin hatinya membuncah. "Aku bawa mobil hari ini, jadi aku mau tanggung jawab buat mulangin kamu dulu."

Gama tertawa kecil. "Izin sehari tuh tidak bikin kinerjaku turun, ya? Justru aku bisa istirahat sejenak. Otakku panas ngadep segudang dokumen sama laptop."

"Tetap saja istirahatmu kembali ke laptop, sama itu. Argh baiklah, baiklah. Ayo, aku tidak mau telat." Renita menyimpan tas tabung raksasa di  apitan rak buku, sedangkan untuk gulungan kecil dan krusial ini dia simpan di brankas Papanya bersamaan dengan surat-surat berharga dan sepuluh batang emas yang disamarkan dalam laci bawah pojok kiri meja kerja. Gama membantunya dengan nonaktifkan laptop Renita lalu Ia taruh sebelahan dengan tas tabung raksasa.

Pria itu mengekori Renita keluar ruang kerja. Gadis itu kembali kesal lantaran tukang kaca langganan Ronald belum juga datang. "Ronald bener-bener minta ditepuk raket nyamuk ini," geram Renita sambil mengambil remot kunci mobil di mangkuk kaca dekat ruang tamu.

Kendaraan roda empat Renita adalah Toyota Fortuner. Gama menganga, tidak tahu harus berkata-kata. Dia belum pernah melihat perempuan yang mengemudi mobil setara Jeep Hard Top. Indah saja pakai mobil kecil macam Toyota Yaris walau bodi kendaraannya memanjang ke belakang. Ini sungguh menarik, batin Gama.

"Iya, ini mobil pribadiku. Jarang kupakai soalnya malas macet-macetan, cuma kupakai ke luar kota doang. Ayo buruan masuk." Renita langsung masuk ke bagian kemudi disusul Gama yang duduk di sampingnya. Jantung Renita bertalu cepat, apalagi parfum musk bercampur keringat menusuk lubang hidungnya, bikin bulu roma Renita berdiri.

Inilah resiko mengemudi mobil raksasa, tidak bisa selip-selip dengan tenang, apalagi sedang macet. Kuping Gama rasanya berdenging dengan keluhan Renita dan omelannya bila tersalip tiba-tiba dengan mobil dari samping, bersamaan dengan suara klakson panjang. Ketika macet berakhir, kecepatan mobil Renita meningkat tajam. Gama harus berjibaku dengan pegangan tangan di atas dan sabuk pengamannya. Sopir pribadinya saja tidak ngebut seekstrim begini. Sudut mata Gama melirik speedometer, seratus kilometer perjam.

"Biar cepet sampai mumpung di tol." Renita masih sempat bicara di tengah denging gas.

Mulut Gama kaku. Tetapi dalam hati Ia terus merapalkan doa agar dirinya dan Renita tidak kenapa-napa.

Setidaknya, mobil sudah melambat saat masuk area lobi apartment. Gama pamitan seraya lepas sabuk pengaman. Tetapi pria itu tidak menyesal, sepuluh menit sebelumnya mereka sempat buka percakapan.

Renita benar-benar enak diajak ngobrol. Dari obrolan tadi, Gama benar-benar salut sama gadis itu, tidak mau terlalu bergantung sama orang lain. "Indah, sahabatmu ini sudah mulai bisa sendiri," gumam pria itu diiringi senyum tipis tatkala sepatu loaf-nya beradu dengan lantai marmer warna krem.

Sementara itu, tidak butuh waktu lama bagi Renita untuk melanjutkan perjalanannya ke kantor polisi. Setelah parkir mundur mobilnya, sepatu flat Fladeo hitamnya mencium aspal parkiran selama limabelas detik. Gadis itu dipandu oleh polisi yang bertugas menuju ruang observasi.

"Katanya dia mau ngomong sama Mbak," kata salah satu detektif mengalihkan wajah pada kaca tebal. Detektif tadi memberi penjelasan singkat terkait penyidikannya, yaitu komentar-komentar kebencian terhadap Renita dilakukan secara terorganisir. Gadis itu menepuk dahi, ini sungguh lucu sekaligus kesal.

Gue bukan selebriti atau presiden, anjir, pakai buzzer segala.

Tersangka itu menunduk dalam sambil memainkan sepuluh jarinya. Renita memicingkan mata, "Saya pikir pelakunya macam anak-anak warnet kurang kerjaan." Dengan penampilan kaus polo warna-warni, pasti orang-orang mengira dia sedang liburan, bukan jadi tukang pembenci. Sekilas muka pria itu terlihat menyesal, tapi Renita tidak akan luluh.

"Bawa saya ketemu dia."

"Baik, Mbak." Detektif itu menggiring Renita ke ruang sebelah. Tembok kedap warna hitam dengan lampu pijar nyala kuning makin mendukung aura seram ruang interogasi. Renita melirik sekilas kamera pengawas di pojok kiri dan kanan.

Si pelaku mengangkat kepala ketika Renita duduk berhadapan. Tidak ada pembicaraan beberapa detik dari bunyi pelan derak pintu menutup ruang interogasi.

"Kamu mau saya bela kamu di pengadilan nanti?" Renita bersandar seraya melipat tangan di dada. Gila itu mukanya kagak ada ganteng-gantengnya sama sekali, butuh duit banyak kali ya sampai bikin komentar jelek berjamaah di medsos segala.

"Kalau mau, ceritakan kronologinya sama katakan siapa yang bayar lo?" lanjut Renita ketika si pelaku belum buka mulut, tidak ada nada ramah dalam suara gadis itu.

Tangan pelaku meremas rambutnya, erangannya berubah jadi teriakan. Sepuluh detik kemudian, teriakan berubah lengkingan diiringi kepalan tangan membentur meja. Renita menyumbat lubang telinganya dengan dua jari telunjuk. Ini akan jadi pertemuan terlamanya dengan para tersangka yang jadi klien kasus pro bono-nya bila jadi.

Begitu pukulannya berhenti, lubang telinga Renita terbuka. Tatapan sang pelaku kosong, kepalanya menggeleng cepat kesana kemari. Gelengan itu berganti naik turun dan miring, jauh lebih cepat seperti fast forward enambelas kali. Renita terkesiap ketika gerakannya bagaikan robot mau rusak. Bola matanya lebar tatkala badannya kejang-kejang sampai kursi terdorong mundur dengan posisi tumpuan lutut. Borgolnya terlepas seketika, ketika gadis itu mencoba menenangkannya.

DUAR!

Renita refleks berdiri dengan cairan merah terciprat wajah dan menodai kemeja polos Uniqlo-nya. Rahangnya kaku karena otak pelaku itu berceceran bersamaan dengan darah mengalir. Gadis itu terduduk lemas, tidak ada tenaga lagi untuk teriak.

Hal yang dia tahu adalah detektif polisi wanita menyampirkan jaket pada tubuhnya lalu menggiring keluar dari ruang interogasi.

Dear BSWClub. Day 83, 84, 85, 86, 87, 88, & 89.
2100++ words.
Happy Reading!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro