5) Time (Well) Spent

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

Seorang pria berbadan kurus yang mengenakan tank top hitam dibalik vest jins buluknya sedang memencet lift. Bekas-bekas lukanya di area perut, lengan, dan kakinya sudah memudar. Namun, punggungnya masih nyeri bila duduk terlalu lama. Sejenak matanya memandang parkiran basement kantor yang sudah sepi. Jam kantor sudah bubar sejak dua jam lalu, dia berharap kehadirannya tidak diketahui OB.

Kotak besi itu terbuka dan Ia melangkah masuk. Sebelum pintu kotak besi itu tertutup, jarinya menekan tiga tombol yang merupakan kode. Lift yang biasanya bergerak keatas kali ini bergerak turun ke bawah. Sambil menunggu, Ia bersiul.

Dua menit kemudian, lift terbuka. Pria itu melangkah ke ruangan yang berisi orang-orang yang sedang latihan memukul samsak, menembak, dan bermain tak-tik seperti permainan air soft gun. Namun dia tahu ekspresi bengis dan datar yang ditunjukkan mereka, ambisi untuk mengejar target sampai dapat, bila perlu keliling dunia mereka sanggup.

"Bos sudah menunggu anda," kata penjaga pintu saat langkahnya berhenti. Penjaga pintu membuka satu daun pintu untuk mempersilakannya masuk.

"Ah akhirnya datang juga," sambut Bos dari meja kerjanya. Meja yang hanya ada laptop, lampu LED datar, dan fail-fail yang harus dikerjakan.

Pria itu mengangguk dengan sedikit menundukkan kepala tanda hormat. Bos mempersilakannya duduk di sofa yang membelakanginya. Sofa persegi panjang dengan pola lurus di berbagai sisi. Bos duduk di sofa tunggal, sementara si pria duduk di sofa panjang. Dua cangkir teh hangat tersaji di meja kopi panjang oleh penjaga pintu tadi.

"Ini fail hasil intaian kami yang Bos minta." Pria itu mengeluarkan amplop coklat berukuran A4 di balik vest jinsnya lalu menyodorkan pada Bos.

Bos menerima dan langsung membaca isinya. Terdapat kop logo perusahaannya di bagian atas dengan foto targetnya di sebelah kiri. Data diri singkat di kolom sebelah kanan, dan catatan penting kehidupannya di bagian bawah. Pekerjaannya sungguh rapi, menyusunnya sesuai tahun. Bagian terakhir membuat wajah si Bos jadi gusar. Sementara itu pada lembar kedua isinya tetap sama namun lebih singkat. Wajah pria tua itu mengeras kala foto anak pada lembar kedua lebih mirip si Papa dari pada Mamanya.

"Subjek OT025 adalah yang kita cari selama ini sejak kejadian kebakaran rumah Agus di Surabaya itu, Pak. Dia selama ini bersembunyi pada musuh Bapak. Sementara itu, kabar terakhir saya pada target lembar kedua adalah berdasarakan rekam medis, antibodi tambahannya melemah dan seiring usianya bertambah maka kondisinya semakin parah bila obatnya tidak dia minum."

Bos mengangguk paham, tapi ada yang ganjil dari penjelasannya, "Lantas kenapa kalian bertiga menyerang mereka di toko dan jadi tontonan umum?" suaranya naik satu oktaf.

"Kami hanya ingin melihat kondisi mereka lebih dekat. Bos juga harus lihat aksi mereka berdua dari diska lepas tipis yang saya selipkan di map itu." Sang pembawa informasi itu mulai menyesap tehnya yang tidak sehangat tadi.

"Terus awasi mereka, dan cari sampel DNA-nya sampai dapat. Sidik jari, kuku, rambut, apapun," perintah Bos.

"Baik, Bos." Pria di hadapannya berdiri dan membungkuk hormat lalu meninggalkan Bosnya yang termangu.

"Obat yang sungguh langka ternyata, hem sepertinya ide bagus," gumam Bos dengan senyum dingin dan meremehkan.

***

Aryo bukanlah satu-satunya pria yang membuat Renita melakukan hal ekstrim. Justru kasus pria berperlente itu tingkatannya paling ringan dibanding masalah serupa. Ada satu pria yang dulu membuat gadis itu menunjukkan taring singanya melebihi apapun. Kejadian itu sekitar satu tahun lalu, ketika Renita masih magang di firma hukum milik kolega Ayah-nya. Firma hukum yang menangani delapanpuluh persen kasus litigasi perusahaan. Renita sempat dekat dengan salah satu pria, sebut saja namanya Rio. Rio pada awalnya adalah pria baik dan penuh perhatian, memenuhi salah satu tipe gadis itu.

Namun, selepas melihatnya sidang kasus wanprestasi biaya arsitek dan pemilik Gedung, pandangan Renita padanya tidak sama lagi.

"Dek, saya pergi dahulu, ya. Tolong bawakan berkas bukti surat ini dan taruh di meja saya," kata Rio. Suaranya bahkan merdu sekali mengalahkan penyanyi pria sekaliber Tulus.

Renita mengangguk patuh sambil memeluk berkas itu.

"Oh, ya, Kakak jadi kan mau ngajak Renita ke PIM? Dengar-dengar ada restoran korea terbaru dan harganya lagi diskon." Ia mengingatkan.

"Pasti," Rio mengedipkan mata, "Nanti nggak usah bayar sendiri-sendiri, ya. Kali ini saya yang bayar."

"Lho kenapa?" Renita heran, "Kan Reni nggak mau bebanin Kakak. Masa setiap ngajak makan di luar Kak Rio terus yang bayar? Reni nggak enak jadinya." Gadis itu memang selalu terbiasa minta bayar sendiri-sendiri pada teman kencan dalam berbagai tingkat. Namun, untuk Kak Rio ini dari dulu dia merasa ada ego yang tersayat walau dia tidak mengungkapkannya. Karena laki-laki itu tidak mengungkapkan, Renita tidak mempermasalahkan sama sekali.

"Anggap aja deh traktiran dari saya. Apalagi titik terang kasus ini jelas hehe, peluang menang di depan mata." Rio tetap pada pendirianya.

Dari pada debat, Renita akhirnya mengalah. "Baiklah, tapi cuma kali ini saja, ya. Sampai jumpa di restoran Korea, ya, Kak."

Dengan hati senang gadis itu melangkah keluar dari kantor pengadilan negeri. Butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke kantor. Teman-teman magangnya bersorak senang ketika Renita menceritakan kencan berikutnya ke PIM, bahkan mereka sudah yakin Rio si pengacara tingkat partner itu akan menyatakan perasaannya pada Renita. Selama perjalanan, sebenarnya Renita memikirkan kejadian traktir itu. Ini benar-benar pertama kali dia mengalah. Padahal sama teman kencannya yang dulu-dulu sampai bikin mereka debat hingga pelayan restoran menyarankan untuk segera ke kasir.

Lamunan itu terhenti ketika sopir taksi berkata telah sampai tujuan. Renita membuka pintu mobil dan melewati pintu otomatis PIM. Lokasi restorannya sih dua blok dari Bakmi GM dengan menaiki empat escalator. Langkahnya terhenti ketika sudah sampai di pintu masuk restoran yang meja kursinya terdapat blower di atas pemanggang. Pelayan resto mengucapkan selamat datang dalam Bahasa korea yang dibalas dengan anggukan hormat olehnya.

Ekspresi ceria Renita langsung pudar tak bersisa ketika mendapati Rio duduk berhadapan dengan seorang gadis. Mereka saling menggenggam tangan dan pandangannya penuh mesra. Gadis di hadapannya bahkan sangat cantik dan elegan, tidak perlu riasan berlebihan. Amarah Renita makin tersulut saat percakapan dua insan itu tertangkap melalui telinganya.

"Kapan kamu meresmikan hubungan kita pada orang tuaku, Mas? Kenapa kamu menghindar terus?" tanya gadis di hadapannya memohon.

"Kamu, kan, tahu, Sayang. Mereka tidak suka padaku, dan aku berusaha membuktikan pada mereka bahwa aku mampu membiayai hidup berumah tangga kita nanti. Kamu sabar, ya, Yang."

"Tapi mereka mau menjod—"

Gadis selingkuhannya itu menutup mulut ketika Renita menuangkan air jus jeruk sisa tepat di atas kepala Rio. Alhasil kemeja merek The Excecutive-nya basah kuyub seperti habis kehujanan.

"Wah manis sekali mulut Anda, ya," sindir Renita. Tidak puas menyiram, gadis itu langsung menggampar Rio dengan ganas dan mendorongnya hingga jatuh dari kursi.

"MBAK—" teriak gadis selingkuhan.

"Diam kamu, Dek," potong Renita dengan menuding tepat di wajahnya, "Masih aja kamu mempertahankan laki-laki sampah kayak gini. Menjijikkan."

Mata Renita memicing. "Pantesan aja akhir-akhir ini kamu sering menghindar, terus mukamu kayak nggak terima gitu ketika aku minta bayar sendiri-sendiri. Bilang kalau egomu terluka goblok."

Rio berusaha bangkit tapi masih dalam posisi menunduk dalam.

"Bangun lo. Dasar pengecut!" Gerakan menendang Renita langsung dihentikan oleh pelayan dan manager resto.

"Mbak sebaiknya pergi dari sini. Sebelum saya laporkan ke pihak keamanan," usir manager resto sediplomatis mungkin.

"Laki sampah, bangun." Mengabaikan peringatan Beliau, amarah Renita makin tak terbendung ketika Rio tidak merespon, "Cih, langsung takut. Udah pengecut, minderan lagi. Masih untung gue nggak gaplok lo pake ipad gue. Sayang itu hadiah dari Bokap, berharga banget buat dikorbanin ke sampah macam lo."

"Gue ... gue ...," lirih Rio takut-takut. Mulutnya seakan terkunci, dan dalam hatinya dia merutuk akan penyesalannya. Seharusnya dia tidak mendekati Renita si cewek perkasa itu, benar kata teman-temannya dia bukan perempuan lemah seperti penampilannya.

"Lo kalau udah punya pacar nggak usah tebar pesona ke cewek lain. Gila banget gue dibohongin selama ini. Argh, gue benci jadi gampang baperan gini." Sepatu flat Renita mendarat di kaki Rio dengan keras.

Renita melotot ke arah manager itu, "Saya pergi, kok. Tenang saja." Dia menoleh ke arah Rio, "Bodo amat gue habis ini dipenjara. Setidaknya gue melakukan hal yang benar, mungkin saksi-saksi di sini bakal belain gue. Minimal hukuman gue jadi ringan." Satu tendangan yang membuat rintihan Rio terdengar keras.

Hal ini pula memberi Renita pelajaran bahwa tidak boleh bawa perasaan ketika dekat dengan laki-laki lain. Memang cuma hanya dia, si cinta pertamanya yang tidak seperti pria-pria yang dekat dengannya. Selera para pria-pria itu memang perempuan yang harus memuaskan egonya, dan Rio masuk ke salah satunya walau terlambat sadarnya.

Kasus Rio jugalah yang makin menajamkan insting Renita bila tidak ada yang beres dengan perangai pria-pria yang dekat dengannya, meskipun statusnya gebetan. Buktinya sembilanpuluh persen Pria mundur teratur ketika melihat betapa gemilangnya gadis itu dalam meningkatkan kualitas diri, betapa banyak prestasi yang Ia raih selama ini. Kali ini, respon gadis itu adalah membiarkannya.

Pada masa kini, di ruang rapat semua berbalik seratus delapanpuluh derajat.

Kehadiran Gama di ruang pertemuan perlahan mengacaukan insting Renita, lagi.

Pria itu bukan termasuk tampan bagaikan dewa Yunani yang biasanya dideskripsikan dalam novel romansa. Badannya mendekati saja enggak, tapi ketika Ia memaparkan tentang bahan baku yang dimaksud sampai barang-barang rakitan yang akan dibelinya dari Comborg Electrical membuat fokus Renita berceceran. Ia ingin semua pembicaraan itu hanya dipaparkan pada Renita seorang, Rambutnya yang dirapikan ke belakang dengan sedikit berkembang, alisnya yang naik turun mengikuti intonasi bicaranya, sampai senyum optimisnya ketika menjelaskan masa depan baru Indonesia dengan kesejahteraan teknologi kesehatan setelah kesuksesannya menciptakan obat kemoterapi bagi penderita kanker.

Senggolan sikut di lengan Renita menyadarkan dari khayalan siang bolongnya.

"Nggak usah ngeliatin Pak Gama sampek segitunya, Ren," bisik Jihan dari belakang tengkuknya.

"Sok tahu lo," balas Renita dengan bisikan. Semoga saja Jihan tidak menyadari rona kemerahan di pipinya.

"Laki-laki berkharisma memang lebih keren dari pada laki-laki tampan bagai dewa." Jihan masih saja bermonolog.

"Diem bisa nggak sih," desis Renita.

Sisa pertemuan itu membahas revisi apa saja yang dibutuhkan dalam draft perjanjian itu. Salah satu junior partner yang setahu Renita ahli di bidang pajak menjelaskan tentang berapa persen pajak dari Jepang sana dan Bea masuk ke Indonesia. Gama sendiri paham akan semua peraturan hukum yang dijelaskan, dengan tambahan penjelasan dari Nira terkait hukum perdagangan Jepang membuat Gama mendapat pengetahuan baru. Ini adalah pertama kalinya Mahendra Grup bekerja sama dengan perusahaan terbesar di negeri bunga Sakuta itu.

Renita memberanikan diri mendekati Gama yang sedang membereskan berkas, rapat yang telah bubar memang meninggalkan dirinya beserta pria itu dan dua orang perwakilan Mahendra Biomedic.

"Kali ini kita bertemu lagi, Pak Gama." Renita bersuara lebih dahulu, cukup mengalihkan perhatian Gama dari berkas-berkas. Dia memerintahkan dua orang itu untuk pergi lebih dahulu.

"Kenapa harus manggil Pak? Kan sudah bilang panggil saja Gama." Pria itu berdiri dengan senyum bahagia dan masing-masing tangan memegang siku. Melihatnya makin dekat malah membuat jantung Renita meningkat entah berapa detik.

"Hanya di luar kantor saja, Pak Gama."

"Ini, kan, jam istirahat kantor. Jadi bisalah hilangin formalitas dulu sebentar," Gama melirik jam Rolex-nya, "Masih dua jam lagi juga."

"Baiklah kalau begitu, Gama," Lebih baik Renita mengalah dari pada buang-buang waktu, "Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Gadis itu merutuk diri sendiri, bisa-bisanya baru ketemu dua kali sudah ngajak laki-laki makan siang. Ini benar-benar di luar kuasanya, dia akan mengajak gebetannya menghabiskan waktu bersama ketika benar-benar yakin melalui obrolan-obrolan maupun sikapnya.

Gama tertawa kecil, "Sebuah kejutan dari Nona Arsa." Ia menatap ke segala arah sebelum melanjutkan kalimatnya, "Baiklah, tapi saya yang menentukan. Bagaimana kalau di Edogin?"

Renita sangat tahu tempat itu, dia pernah diajak makan bareng sama Papa dan keluarga Om Andi. Makanan Jepangnya termasuk menggiurkan, apa cukup ya uangnya? "Boleh saja, tapi hari ini saya nggak bawa kendaraan." Sudah kebiasaan dari SMA, Renita jarang mengendarai mobil. Dia lebih suka berdesak-desakan dengan Busway atau MRT. Lebih hemat waktu dan uang lainnya bisa Ia pakai buat jajan atau investasi. Kali ini, Ia memberanikan diri makan di restoran mewah setelah sekian lama. Siapa bilang dia tidak bisa berbaur dengan anak konglomerat?

Jam istirahat kantor memang lengang, membuat Renita terbebas dari pertanyaan-pertanyaan kepo. Papanya sendiri sepertinya juga lagi di luar kantor. Selama perjalanan menuju lobi, Gama berusaha mengajak Renita ngobrol beberapa topik dasar. Sampai hal itu berlanjut di mobil Mercedes Benz Class S warna hitam melintas di lobi, mereka berdua duduk berdampingan di jok belakang.

"Mengapa kamu memilih kantor kami untuk mendampingi kalian?" tanya Renita ketika mobil Gama melaju dengan lancar melewati SCBD.

"Karena melihat bagaimana Anggara Grup berhasil mempertahankan aset mereka tahun lalu. Saya tahu sekali berita itu menggemparkan dunia usaha dan politik. Satu anak perusahaan yang ternyata mata-mata perusahaan musuh bertujuan memotong gurita Anggara Grup, tapi mata-mata itu langsung dihancurkan oleh kalian," jawab Gama.

Pendingin mobil sudah disetel sedingin mungkin, tapi kenapa rasanya masih panas saja? Dia merasa Gama menelitinya, atau tidak?

"Kalau Anggara Grup bisa, saya yakin Mahendra Grup juga bisa. Bahkan lebih baik lagi," lanjut Gama.

Renita membenarkan jawaban Gama, Mbak Nira memang bertangan dingin. Semua rencananya benar-benar berjalan sempurna walau firma hampir saja runtuh.

Selain itu, tidak ada pembicaraan lagi karena Gama sedang menjawab panggilan yang Renita yakin dari kantor. Sesekali dia mengucapkan maaf dan terima kasih. Gadis itu kembali menekuri ponselnya, membaca pesan dari dokter Isha terkait jadwal pemeriksaannya.

Mobil Gama melambat di lobi hotel Mulia Senayan. Seseorang membukakan pintu untuk mereka.

Dua orang itu berjalan serasi memasuki lobi utama. Pintu geser kayu dan Dinding berwallpaper abu-abu dengan meja kursi warna hitam semi tinggi motif kaku menyambut pandangan mereka. Renita menatap takjub semua ini, apalagi ada vas bening di tengah-tengah, menambah kesan nyaman restoran ini. Pantas keluarganya Ronald hobi banget mengajaknya makan bersama di sini. Susana tenangpun Ia dapatkan ketika pelayan mengantarkan mereka menuju dua kursi dengan meja kotak kecil dengan sisi kirinya adalah salad bar ala-ala Pizza Hut. Terakhir, pelayan memberikan dua buku menu.

"Saya ramen deh satu, sama ocha hangat tawar." Renita memesan lebih dahulu.

"Saya pesan yang sashimi saja, ya. Minumannya samakan dengan dia." Gama memesan beberapa detik kemudian.

Renita tersenyum tipis, Gama adalah pria yang tahu apa dia mau kalau soal makanan. Tapi gadis itu masih belum puas. Dia tidak mau terjebak lagi dengan dia sudah menikah diam-diam atau sudah punya pacar.

"Buat pria seperti Anda, soal makanan selalu punya tujuan." Renita membuka pembicaraan.

Gama mengambil serbet di atas piring lalu menguraikannya dengan santai. "Saya kalau makan nggak mau ribet. Demi efisiensi waktu juga. Oh, ya, ngomong-ngomong kenapa kamu menyetujui pilihan saya di sini?"

Renita mencondongkan badannya sedikit, Dia tahu Gama berusaha menahan napas melihat gestur gadis itu yang memainkan tangan di tengkuk leher kanannya. "Saya lumayan sering makan di sini jika diajak sama keluarga teman Papa. Bahkan menu itu favorit saya. Kalau Anda sendiri?"

Gama mengukir senyum, sedikit ada kikuk. Renita benar-benar menawan bahkan dalam kemeja warna merah darah dipadu celana kulot warna coklat yang bertabur anting gantung emas putih di telinganya. Dia menarik napas, mengatur dirinya sendiri, yakin jika setiap laki-laki yang mendekatinya sudah terbuai akan pembawaannya yang berani dan tenang di saat bersamaan, "Ini salah satu restoran favorit keluarga saya. Indah suka sama shabu-shabunya, katanya kuah sama dagingnya enak dan segar."

Ah, pantas saja Adik sekaligus sahabatnya itu menyukai hal-hal berbau minimalis, pengaruh Kakaknya sungguh kuat. Parfum Bvlgari Musk Gama sungguh menambah kesan elegan dan maskulinnya. Sungguh pilihan bagus, Renita memberi nilai dobel plus. Laki-laki yang tahu bagaimana berpenampilan adalah pria yang mencintai diri sendiri.

Obrolan mereka tertunda karena pelayan datang membawa pesanan mereka. Rasa ramennya masih tidak berubah, jamur dan daging ayamnya empuk. Gama memerhatikan Renita yang memainkan sumpitnya dengan lancar.

"Saya punya pertanyaan untuk Anda," Renita angkat bicara lagi ketika ramennya tinggal setengah, Gama mempersilakannya. Pertanyaan yang mengganjal Renita dari kemarin, dia ingin mengkonfirmasi dahulu sebelum membuka arsip lama Mamanya, "Mahendra Biomedic pernah mengadakan uji coba obat anti Hepatitis C duapuluh dua tahun lalu, dan saya adalah salah satu subyeknya. Terhitung berhasil, saya bisa bertahan dan membuat cedera setiap pertandingan Taekwondo sembuh dalam waktu empatpuluh delapan jam. Satu pertanyaan mengganjal dari saya, mengapa sekarang Mahendra Biomedic baru mengembangkan lagi obat itu dalam bentuk vaksin Hepatitis C?"

Dua sashimi terakhir yang akan masuk ke mulut Gama langsung berhenti. Dia mengerutkan alis, terlihat bingung.

"Apa karena antibodi itu akan melemah seiring usia? Makanya tanpa sepengetahuan saya, dokter Yunus dan dokter Isha mengembangkan kembali suntik itu? Vaksin yang memisahkan orang tua saya, demi saya." Renita menekankan kalimat terakhir. Pandangan datarnya menusuk sanubari Gama. Ada kilat kesakitan yang belum sepenuhnya sembuh dari diri gadis itu.

Namun, bukan Gama namanya bila Ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit. Sekarang dia paham bahwa gadis ini terasa familiar bila Ia sering main ke laboratorium riset dokter Yunus Danniswara. "Saya yakin kamu sudah membaca jurnal terbaru dokter Isha terkait hal ini. Saya memang tidak banyak tahu kejadian duapuluh dua tahun lalu, tetapi mereka melakukannya bukan semata-mata antibodi yang menghalangimu. Justru mereka sudah menemukan formula terbaru yang kemungkinan besar bisa menyelamatkanmu dari efek sampingnya."

Pantas saja dokter Isha terus menolak mengurangi dosis obatku, batin Renita. Jawaban Gama masih belum memuaskannya. Tidak lama, pesan terbaru dari ponselnya menerbitkan secercah ide dari Renita, dia memang sengaja memasang getaran dan nada dering berbeda pada panggilan dan notifikasi pesan itu.

"Boleh saya meminta nomor ponsel Anda?" tanya Renita.

Gama dengan sukarela mengambil ponsel dibalik jasnya. Gadis itu menekan tombol virtual lalu menekan panggil. Terakhir Ia meneruskan pesan ke aplikasi perpesanan sebelum mengembalikan ponsel itu pada pemiliknya.

Gama melebarkan mata ketika melihat pesan tersebut.

"Saya asumsikan anda sudah melihat akun linkedin saya dan melihat prestasi taekwondo di situ. Kali ini saya akan membuktikannya pada ring bebas yang diadakan di area Timur ibukota. Itu undangan khusus untuk Anda, bila berminat untuk datang tentunya." Renita mengendikkan bahu, tapi dengan tatapan tenang dan dalam.

"Lihat saja nanti, Renita Arsa." Gama tersenyum miring, seakan menjawab tantangan dari wanita di hadapannya.

Suasana restoran semakin tenang, padahal satu jam berlalu. Insting Renita mengatakan ada yang tidak beres. Benar ternyata, baru saja Gama berdiri untuk meminta bill, pengunjung sekitar satu persatu tersungkur dengan cairan merah mengalir dari kepala, dada, dan pelipisnya. Pelayan yang masih berada di luar berhamburan masuk dapur dan keluar pintu darurat.

"Ayo ikut saya." Renita menarik tangan Gama, mengikuti Langkah pelayan yang berlari menuju pintu darurat. Naas, salah satu pengunjung dan pelayan itu terkena tembakan di pelipis. Pecahan kaca jendela, vas, dan lampu berusaha menghalangi langkah keduanya. Namun, dua orang itu menundukkan tubuh sambil mempercepat langkah mereka agar pecahan kaca dari langit-langit tidak mengenainya.

Gama dan Renita berhasil menutup pintu darurat yang terletak tidak sampai satu meter dari restoran dan di area lift. Sementara mereka aman di balik pintu sampai suara tembakan peredam itu berhenti. Renita merasakan ada getaran dalam tautan tangan mereka, dia berpindah posisi ke depan Gama yang bersandar di tembok. Dia langsung membekap mulutnya ketika pria itu hendak bersuara.

Hanya deru napas yang berhembus di kulit masing-masing menjadi percakapan tidak langsung mereka. Masing-masing mendatangkan sensasi hangat dan aman dalam diri masing-masing. Tatapan mereka berdua makin intens, tapi itu hanya bertahan sepuluh detik karena suara tembakan peredam itu tidak ada lagi.

"Turunnya pelan-pelan," bisik Renita melepaskan bekapannya dari mulut Gama lalu berjalan lebih dahulu menuruni tangga demi tangga dengan Gama di belakangnya.

Tangga darurat ini berakhir di basement. Renita mendorong pintunya pelan-pelan, tampak mobil Gama terparkir di situ. Kecepatan langkahnya melebihi angin hingga Renita terpaksa menenteng pump heels hitamnya. Laki-laki itu mengetuk kaca yang langsung membangunkan sopir kantor. Mereka berdua membuka pintu belakang dan kendaraan roda empat itu melaju ke luar area hotel secepat mungkin. 

Halo BSWClub Ini buat hari ke 7
3100++ words

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro