7) The (First) Love

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•••

15 Menit sebelum tampil di RING BEBAS ...

Belakang panggung yang dipenuhi oleh loker berbagai sisi terasa sunyi. Masih terdengar suara hingar penonton dan teriakan Bos yang memacu semangat mereka akan mendukung jagoannya bertanding. Cahaya yang bersumber dari lampu pijar nyala kuning menerangi sosok yang sedang melakukan pemanasan. Renita yang sudah memakai kostum taekwondo sedang melakukan gerakan tendang atas, tengah, dan bawah, serta pukulan pada udara kosong. Matanya memancarkan semangat dan optimisme.

Gadis itu mengencangkan ikat ekor kudanya berhadapan dengan cermin persegi panjang. Dia menyemangati dirinya sendiri bahwa Ia mampu melakukannya. Ini juga menjadi pengujian pertamanya, apakah dia bisa bertahan dengan dosis obat pemberian dokter Isha yang di resep tertulis 3x1 menjadi sekali sehari?

"Ah, Renita." Suara berat khas orang tua yang sangat Ia kenal.

"Bos Midun," Renita membalas jabatan tangan orang tua itu, "Gimana tadi pembukaannya? Menyenangkan?"

Bos Midun, pemimpin aliansi RING BEBAS yang menjadi sosok orang tua kedua Renita, tawanya menderai, "Mereka semua merindukanmu, Nak. Katanya kangen lihat tendangan khasnya Renita."

Renita menepuk bahu Bos Midun, "Bos nggak usah kuatir, Renita seperti biasa akan melakukan yang terbaik. Uangnya nggak lupa, kan?" Senyum jahil gadis itu merekah.

"Kamu ini kalau urusan duit selalu nomor satu, Ren," Bos Midun tertawa lagi, "Menang dululah, dananya besok langsung cair di rekeningmu."

"Ashiap, Bos." Renita menaikkan dua ibu jari ke wajah pemimpin ramah itu.

"Lakukan yang terbaik pokoknya, Nak. Lawanmu kali ini selain selevel, dia itu artis papan atas." Itu pesan Bos Midun sebelum kembali ke ring.

Renita terheran-heran, artis? Sejak kapan Bos Midun merekrut anggota baru dari kalangan selebritis? Biasanya Beliau lebih suka dari kalangan orang biasa atau atlet. Mungkin buat marketing kali, ya?

***

Suara nyaring Bos Midun membuka acara makin membuat penonton berteriak kencang. Nama Renita mendominasi teriakan. Mereka sudah rindu dengan aksinya, iya Renita memang sempat dua tahun tidak mengikuti pertandingan di ring bebas karena magangnya yang menyita waktu. Di sisi bawah ring, terdapat empat kursi dan meja yang diisi oleh juri yang akan menentukan skor. Di balik mereka, tepatnya posisi kursi penonton paling depan, ada pria yang duduk sambil menyilangkan satu kaki. Dia mengenakan jaket bomber Zara menutupi kaus oblong putih dengan celana jins hitam, datang sebagai undangan khusus dari Renita.

"Mari kita sambut ... peserta kesayangan kalian yang hilang dan akhirnya kembali. RENITA." Tangan Bos Midun mengarah ke arah jalan masuk ring.

Sosok yang mengenakan jubah panjang dan hoodie yang hampir menutupi seluruh wajahnya melebarkan tali elastis sebagai jalan masuk ke arena. Teriakan penonton makin keras saat Ia membuka hoodie lalu membuka jubahnya. Renita berteriak senang saat koor penonton memekakan telinganya.

"Wah, Ren, sekali kamu kembali, mereka teriaknya kenceng. Padahal biasanya nggak gini." Bos Midun membuka percakapan formalitas.

"Terima kasih Bos Midun dan semua penonton. Semoga kalian puas ya. Mana semangat kalian?" jawab Renita pada penonton. Lagi-lagi suara mereka menggemakan semangat dan sukses pada petarung kesayangannya.

Renita berjalan ke sisi kanan ring, dia duduk sambil memasang pengaman kepala dan badan. Dia menerima minuman dari pihak panitia. Setelah itu, dia berdiri sambil melakukan pemanasan ringan seperti menendang, memukul dan bertahan.

"Kalian siap melihat siapa lawan baru Renita kali ini?" Suara Bos Midun muncul lagi. Koor penonton lagi-lagi menggema lebih luar biasa. Mereka tahu bahwa lawan Renita tidak pernah lemah, minimal setingkat dia.

"Oke, dia baru satu tahun gabung di sini. Seorang artis papan atas, yang bikin kami sampai repot mengurus media karena RING BEBAS adalah turnamen privat dan eksklusif, tidak boleh ada publik yang tahu kecuali mulut ke mulut. Gaya berkelahinya adalah tinju, dan baru saja ikut kompetisi resmi sesama amatir dua bulan lalu dan juara satu. Nah itu orangnya sedang jalan ke sini."

Otomatis pandangan Renita tertuju ke arah jalan masuk itu. Sama seperti Renita, sosok itu juga ditutupi jubah dan sudah mengenakan sarung tinju. Penonton terkesima saat dia meloncat masuk ke ring dengan mulus, bahkan Bos Midun sempat membuka mulut. Dari posturnya, Renita mengira pria itu tingginya hampir menyentuh angka seratus delapanpuluh senti meter, tipe badannya pun berotot tapi tidak sampai besar seperti raksasa. Kulitnya pun lebih cerah seperti artis korea.

Salah satu tangannya menarik pelan hoodie-nya. Tampak rambut tebal hitamnya menyilaukan arena. Kepalanya miring ke kanan, lalu mengangkat ke atas untuk mengibas poni yang menghalangi Sebagian wajahnya.

Renita mematung saat sosoknya terlihat sempurna.

Begitu juga dengan lawannya.

Tidak mungkin itu dia, ini pasti mimpi, pasti, batin Renita. Gadis itu sangat mengenal lawannya, sangat mengenal gerakannya, sangat mengenal seluruh aspek dalam diri pria itu walau hanya bertemu sebentar. Pria yang selalu melekat di hati Renita, pria yang selalu Ia bandingkan ketika sedang apes dalam berkencan.

Dia, cinta pertama Renita.

"Renita," kata pria itu.

Guratan luka di tangannya sudah membekas, rahangnya jauh lebih tegas. Tidak ada sisa kebaikan dan kerendahan hati dari matanya, pria ini berubah total. Tetapi tidak ada kekejaman dan kejahatan dalam sorot matanya.

"Reno ...," balas Renita dengan gumaman.

Di tengah-tengah mereka, Bos Midun justru heran melihat kedua peserta ini malah memiliki dunia masing-masing. Begitu juga dengan koor penonton yang justru tidak terdengar sama sekali.

"Kalian sudah saling kenal sebelumnya? Kok malah bengong begitu," tukas Bos Midun.

"Kami saling kenal, Bos," sahut Renita, "Kami berteman dari SMP akhir, dan sempat hilang kontak sangat lama. Baru sekarang ketemu deh."

Tawa berderai dari penonton, bahkan ada yang sampai beraw ria seperti merasakan percikan cinta. Padahal bukan itu yang Renita rasakan saat ini, dia justru dilanda rasa terkejut yang hebat. Sedangkan, pria di depannya kembali menguasai situasi.

"Baiklah, kalau gini kan saya nggak repot mengakrabkan kalian. Ayo, beri hormat masing-masing," ajak Bos Midun memecahkan suasana canggung ini.

Renita dan Reno saling membungkuk hormat lalu memberi salam tinju. Bos Midun melangkah mundur sambil mengangkat tangan saat keduanya sudah dalam gerakan kuda-kuda.

"Kita lihat bagaimana perkembanganmu, Reno." Renita menghalau gusar dan detak jantungnya yang meningkat. Dia harus bisa mengalahkan pria yang selalu ada di hati dan pikirannya tersebut.

"Oke siapa takut, Renita," balas Reno dengan tatapan tajam yang selalu jadi ciri khasnya.

"SIAP, MULAI." Bos Midun menurunkan tangan diiringi bel berbunyi.

Pukulan dan tendangan yang dua sentimeter lagi mengenai badan dan tubuh keduanya seakan membuka kenangan lama mereka. Teriakan penonton perlahan mengendur hingga udara kosong menguasai ruang ini.

***

Sepuluh Tahun Lalu ...

Reno sangat hafal akan ruangan ini, dua kali dia dibawa ke basement super pengap dan dipenuhi debu halus ini, dua kali dia harus melepaskan diri. Perbedaannya adalah yang membelakanginya sekarang adalah si anak manja dari teman sahabatnya ini yang terus menangis dan berteriak, tapi bukan teriak minta tolong keluar dari bibir tipisnya. Melainkan kegagalannya atas aksinya tadi siang di taman ria.

"Kampret sialan, kenapa sih tenaga gue kalah sama empat orang berbadan gede itu? Padahal gue sudah cukup bisa melindungi diri masih aja ketangkap," umpat Renita, "Jurus Taekwondo gue nggak guna banget. Argh sialan, gue kapan cepat ujian kenaikan sabuk sih."

Badannya yang terus bergerak mengusik Reno, "Dari pada kamu mengeluh terus, Ren, mendingan kamu ambil pisau kecil yang ada di kantong belakang celanaku."

"Gimana mau ngambilnya, Ren? Tanganku meraih kantong celanamu aja susah mati gini," keluh Renita.

"Coba aja dulu kenapa sih? Belum nyoba udah ngeluh dulu." Kombinasi udara pengap dan cahaya remang-remang membuat Reno jadi tidak sabaran. Sungguh dia sebal dengan orang terlalu banyak mengeluh sebelum bicara. Padahal tangan kiri dia yang dekat lokasi di mana pisau itu berada sudah menggenggam tangan kiri Renita.

"Oke gue coba dulu, tapi jangan salahin kalau nggak nyampek." Renita melepas sedikit genggaman tangan Reno. Punggungnya menegak dan makin intens menempel pada punggung pria yang ternyata nyaman. Tangannya berusaha menggapai kantong belakang celana jins Reno. Dapat! Jemari telunjuk Renita menyentuh benda dingin dan keras itu yang perlahan disusul jari lainnya. Saat berkumpul, lima jari itu menarik pegangan pisau perlahan-lahan.

Ini sungguh menyakitkan, pergelangan tangannya sangat nyeri. "Reno," lirihnya, "Kamu goyangin tanganmu coba?"

Reno menjawab hem sebelum melakukannya. Sakitnya berkurang, mengambilnya lebih mudah. Sekarang pisau kecil itu sudah sepenuhnya dalam genggaman Renita, terdengar dentingan kecil saat membukanya. Kemudian, tangan Renita meraba-raba titik temu untuk melepas ikatan tangan sialan ini.

Pintu bawah tanah terbuka ketika ikatan terasa longgar. Renita buru-buru menurunkan gerakan memotong talinya.

"Wah wah, pikirannya sudah jernih rupanya," ujar si Bos, berjalan mendekat ke arah mereka.

"Jernih buat bedah otak tumpul kau," ejek Renita.

PLAK!

"Hei, jangan main kasar sama Perempuan," bentak Reno.

Orang itu mengabaikan teriakan Reno dan menyuruh anak buahnya menampar pipinya. Bahkan lebih keras dari si Bos.

Tawa bengis Renita muncul, "Buat apa sih menculik saya, Om? Saya bukan anak konglomerat yang minta tebusan. Wajah Om aja pas-pasan gitu, mana kerutannya hampir dimana-mana pula."

Bos membungkukan badannya sejajar dengan posisi Renita yang duduk. Gadis ini memang punya nyali, berbeda dengan calon-calon subjek tesnya yang ketakutan dan seakan hanya punya hari esok. "Saya hanya butuh sampel darah kamu, karena kami ingin melihat seberapa besar kekuatanmu."

Renita mengangkat alis, terlihat bingung, "Kekuatan?" Tawanya mengencang, dia mengatur napas dulu sebelum melanjutkan, "Jangan halu deh, Om, saya ini normal. Mana mungkin saya punya kekuatan dalam darah? Memangnya saya ini manusia mutan gitu?" Suara tawanya terkesan mengejek si lawan bicara.

"Lakukan," perintah Bos pada dokter spesialis imun di sampingnya.

Dokter itu menggantikan posisi si Bos. Beliau melilitkan sabuk elastis di lengan atas Renita hingga terlilit sempurna. Mata gadis itu membulat sempurna dan meronta-ronta tetapi tidak digubris oleh Bos. Mereka malah tertawa kencang dan menyalahkan Renita karena terlalu meremehkannya. Dokter menghubungkan alat suntiknya dengan tabung kecil, ujung jarumnya mengenai bagian kulit Renita yang terkena alcohol. Saluran yang tadinya kosong mulai terisi cairan merah, tak ayal teriakan Renita makin menggema.

Reno yang pipinya masih kesakitan berusaha menggagalkan proses mengisi tabung darahnya. Tangannya memegang tangan Renita agar proses memotong tangannya lebih cepat. Berhasil, tali pengikatnya terlepas seluruhnya. Renita melepaskan sisa ikatannya kemudian disusul Reno. Seakan mendapat suntikan semangat, kepala Renita menyundul kepala si dokter hingga Beliau pingsan.

"Tidak mungkin," gumam si Bos tidak terima.

"Kenapa?" Renita melepas suntikannya dengan paksa yang bikin dia mengernyit, "Takut? Beraninya sama anak kecil?" Gadis itu melepas sabuk elastis dan berdiri.

Pertarungan tidak bisa dielakkan, dua buah pasukan si Bos menyerang keduanya. Renita menendang dan memukul kemudian menghindari serangan balok kayu. Sedangkan Reno memukul rahangnya dari bawah. Gadis itu memutar tiga kali sebelum menendang kepala orang itu dengan keras sampai pingsan, sedangkan Reno memukul telak pada ulu hati.

Keduanya pingsan seketika.

"Sialan dia kabur, ayo kejar dia," seru Renita.

Mereka berdua berlari melintasi pintu berpelitur kayu yang sudah mulai aus dan menaiki tangga putar dikelilingi bebatuan dan cahaya kuning lampu di pinggirnya. Basement itu mengarah ke sebuah laboratorium yang dipenuhi berbagai benda aneh dalam tabung cair raksasa.

Saat itu keduanya benar-benar terkejut seolah melihat hantu. Ketika tangan mereka bertaut erat, ada kenyamanan tersembunyi yang menenangkan jantung Renita yang berdebar keras.

***

Ring Bebas bagi Renita adalah sarana menyalurkan rasa frustasi, kecewa, dan pengingat diri bahwa ada orang di luar sana yang selalu mendukungnya tanpa memandang status sosial maupun pekerjaan. Semua penonton disini hanya ingin melihat keseruan para jagoannya bertanding dan menghilangkan penat. Bos Midun tidak pernah menarik uang tiket asalkan mereka mengisi perjanjian bahwa tidak boleh menyebarkan komunitas ini ke luar arena.

What happens here, stays here ...

Gadis itu masih semangat menendang dengan gaya berputar dan gerakan tinggi dari atas. Tujuannya satu, mengenai kepala dan badan Reno agar skornya bertambah. Kali ini dia beruntung, tendangan dwi chagi-nya berhasil mengenai perut Reno, dua kali berturut-turut sampai dia terdorong ke belakang dan jatuh telentang. Reno mengernyit sambil memegang perutnya, Bos Midun menghitung maju dari satu sampai sepuluh dan pria itu masih belum menunjukkan tanda bangkit.

Renita memenangkan ronde pertama.

Mereka berdua diberi kesempatan untuk beristirahat selama tiga menit, seseorang memberi Renita air dan meminumnya dengan ganas. Dari sini, Renita mempelajari bahwa Reno paling lemah terhadap pertahanan, setiap dia menyerang menggunakan pukulan bawah sama dengan membuka pertahanannya. Bos Midun memberi tanda istirahat selesai ketika gadis itu sudah berhasil mengatur napasnya.

Setelah memberi hormat, Bel tanda ronde kedua berbunyi dan Bos Midun melangkah mundur.

"Sialan, Ren, kamu pintar sekali mengambil kesempatan saat bertahan," kata Reno ketika mereka saling mengitari ring untuk mencari target tubuh yang harus terkena lebih dahulu.

"Kelemahanmu terbaca sekali, Reno," balas Renita santai.

Renita bergerak ke kiri dan ke kanan saat pukulan depan Reno terurai tiga kali. Sayangnya, Renita tidak bisa lolos dari pukulan dari bawah Reno, alhasil mengenai pinggir dagu Renita yang membuat gadis itu mundur sejenak.

Renita makin semangat melempar pukulan yang langsung dihalau Reno, tidak menyerah dia menekuk lutut dan melemparkan dua tendangan lurus dengan cepat. Satu gagal, dua mengenai perut Reno. Sayangnya, pria itu langsung memantul di ring. Teriakan penonton makin menggema saat pukulan berputar Reno mengenai Pundak dan leher Renita, tapi masih belum bisa membuatnya jatuh. Jual beli tendangan dan pukulan makin sengit sehingga tersisa tigapuluh detik.

Saat pertahanan Renita sedikit terbuka ketika ingin menendang leher Reno, pria itu langsung memukul perut Renita dengan keras. Gadis itu jatuh terlentang dan sulit berdiri ketika hitungan Bos Midun sudah sampai di angka 10.

Reno memenangkan ronde kedua.

"Waduh ini hasil akhirnya seri. Berarti ini tandanya tanding ulang, ya, jadi kita istirahat dahulu," seru Bos Midun.

Renita memegang perut dan pundaknya yang kesakitan. Dia mengumpat keras, mengutuk kebiasaannya yang selalu membiarkan pertahannya terbuka saat melemparkan jurus Dwi Hurigi. Sepertinya kali ini, harus ada jurus Neryo Chagi dalam pertandingan ulang ini.

"Renita."

Gadis itu menoleh.

Sejak kapan Gama berpindah posisi jadi menumpukan tangannya di tali ring dan jaraknya sedekat ini? Membuat jantung Renita terkejut saja. "Saya tahu, kamu mau menerapkan Neryo Chagi, kan? Pakailah ketika kondisi darurat saja."

"Sejak kapan kamu mendadak jadi pelatih saya, Gama?" Renita melirik pria itu dengan pandangan meremehkan.

"Saya suka nonton pertandingan Taekwondo dan mencari nama-nama jurus itu, Reni. Tendangan itu harus menggunakan tenaga maksimal agar lawanmu tidak berkutik. Terlalu banyak menggunakannya tubuhmu bisa mudah lelah." Pria itu justru menjawab diplomatis, khas mentor sejati.

Renita tersenyum miring tanpa memandang Gama, "Saya nggak janji."

"Kalau kamu menang, apa imbalannya?" Laki-laki beralis semi tebal ini malah mengajaknya taruhan.

"Kita tanding Tekken 7 empat babak nggak boleh stop, bahkan minum sekalipun." Renita yakin pasti Gama jika main permainan video tidak pernah jauh dari cemilan.

"Silakan. Kalau kamu kalah, Reni?"

"Kamu yang memutuskan, Gama." Bel berbunyi tanda pertandingan penentuan dimulai. Walau jawaban gadis itu terkesan menggantung, tapi otak kreatif dan saintis Gama memunculkan banyak ide.

Pertandingan penentuan ini benar-benar menguras energi Renita, padahal sebelum bertanding dia sudah meminum obat dari dokter Isha. Tendangan-tendangannya terasa loyo, dan itu benar-benar memberi kesempatan Reno. Sudah ada pukulan yang mendarat di rahang dan perutnya. Masih ada satu dua pukulan yang mengenai lawannya, tapi langsung dibalas dengan gerakan pukulan siku yang mengenai dua pundaknya.

Napas Renita melemah, kelelahan ini benar-benar memakan semangatnya. Tepat saat Jab cepat Reno mengenai perutnya, membuat tubuhnya melayang ringan ke bawah seperti debu yang mudah tertiup angin topan. Serangan dari sang cinta pertama yang telak, seakan memberi pertanda bahwa ambisi pria itu tidak pernah hilang, bahkan menggerogoti dirinya sehingga dia tidak mengenal sosoknya seperti sepuluh tahun lalu. Ada apa dengan pria tercintanya itu?

Hal terakhir yang ia dengar adalah debuman keras lantai ring dan teriakan minta tolong dari penonton karena semuanya sangat gelap. 

A/N:
Hello BSWClub Day 13-15

1. Dwi Hurigi:Tendangan ini dibuat untuk memutar ke belakang di mana gerakan kaki harus seperti mengait. Kepala atau leher adalah arah serangan dari gerakan tendangan ini.

2. Neryo Chagi: Tendangan ini dilakukan dengan mencangkul ke depan menggunakan tumit Anda. Kepala adalah target dari gerakan menendang ini dan kita perlu mengangkat kaki setinggi mungkin sebelum kemudian dirobohkan seperti gerakan sambil mencangkul.

3. Dwi Chagi: Tendangan ke arah belakang, dengan memutar badan 90 derajat kearah belakang, lalu mengangkat lutut kemudian menyentakkan kaki ke arah lawan. Sasaran ke arah perut ataupun ke arah kepala

4. Jab: pukulan pembuka pada tinju, berupa pukulan lurus mengaarah pada badan atau muka lawan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro