2. MOS Hari Pertama - II

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Putaran terakhir selesai. Napasku ngos-ngosan, keringat bercucuran dan kaki ini rasanya mau patah. Kulihat artis jadi-jadian itu tersenyum iblis dan segera meninggalkanku sendirian di tengah lapangan.
Lihat aja, kubalas nanti!

Oh, lihat, baju seragamku basah semua. Berasa mandi keringat. Badanku rasanya remuk. Bahkan jantungku dari tadi rasanya mau copot. Aku nggak kuat jalan sama sekali, akhirnya tubuhku ambruk saat itu juga. Bukan pingsan. Cuma, ini tubuh perlu kuistirahatkan sementara. Yang lain cuma dikasih hukuman sepuluh putaran, sedangkan aku? Kalian tahu sendirilah tadi.

Di tengah lapangan aku terlentang seperti ikan dikeringkan. Aku berusaha mengatur napasku. Pada putaran ketigaku, artis palsu itu sudah minta seluruh murid baru masuk kelas dan cuma tinggal dia, yang sengaja mengawasiku berlari. Sial!

Pelan-pelan mataku mulai menutup, tapi aku tersentak, setelah merasa di atas dahiku seperti berada di kutub selatan.

"Maaf, kaget ya?"

Apa aku mimpi? Hebat! Baru aja tutup mata sudah disambut mimpi ketemu pangeran. Yeayy....

"Kamu kenapa? Kamu sakit?" Pertanyaan itu membuatku semakin melayang. Wajah cemasnya menjadi hiburan buatku. Suaranya akan membuatku lebih lama di alam mimpi ini.

"Ahh, indahnya kalau mimpi kayak gini tiap hari...." Aku masih senyam-senyum sendiri.

Tapi kemudian....

PLETAK

Auww!

Sepatu melayang di kepalaku.

"MIMPI KEPALA LO PEYANG!" sembur si kampret Tomi yang tiba-tiba datang, entah dari mana.

"Tega banget sih lo. Ini kepala. Sakit, tau." Aku meringis sambil mengusap kepalaku.

"Yang bilang batu siapa!" jawab Tomi, santai.

Dasar kampret nggak berperikemanusiaan.

Aku langsung menoleh ke samping setelah mendengar ada kekehan seseorang.

"Maaf ya bikin kaget. Ini."

Kukerjapkan mataku berulang kali dan aku langsung minta bantuan Tomi, mencubit pipiku untuk memastikan sesuatu.

"Auw, auww, sakit, Tom. Lep, lepas. Kekencengan, bego," teriakku, kesal. Sedangkan Tomi hanya menyeringai puas, setelah melepaskan tarikan tangannya dari kedua pipiku.

Tenyata bukan mimpi! Aku berusaha bersikap normal dan fokus.

"Ini apa, Kak?" tanyaku pura-pura bloon. Mumpung ada kesempatan emas, nih.

Segera kupelototi Tomi sebelum membuka suaranya. Nih anak dari dulu memang hobi banget merusak rencanaku.

"Buat kamu. Oh, ya, maaf soal tadi. Harusnya hukumannya nggak sebanyak itu." Ini kalimat terpanjang yang aku dengar dari cogan. Oh, rasanya seperti air pegunungan. Bikin tenang.

Setelah terima air dingin pemberiannya, aku berpikir cepat. "Emm ... kata maafnya bisa nggak ditambah tanda tangan, Kak?" Hehehe ... ngelunjak sedikit nggak apa-apa, kan?

Tadi sebelum semua murid dibubarkan, aku sempat mendengar, bahwa tiap jam istirahat diwajibkan meminta tanda tangan seluruh anggota OSIS. Katanya, agar saling mengenal. Preet. Ini namanya bukan saling mengenal, tapi pemaksaan. Buktinya cuma kita doang yang disuruh ngejar minta tanda tangan mereka!

Cogan tersenyum manis. "Boleh."

Yeayy ... aku bersorak girang, sedangkan Tomi memutar bola matanya malas. Biarin!

Langsung aja kupeluk manja tangan kanannya Tomi, sementara tangan kananku menengadah ke arahnya. Aku yakin pasti Tomi sudah bawakan lembaran tanda tangan itu tanpa kuminta. Tomi hanya bisa pasrah seperti biasa, dan segera meletakkan lembaran itu di telapak tanganku.

Lembaran itu memang sudah disediakan dari sekolah. Tapi harus ambil sendiri di ruangan OSIS. Meskipun nyebelin, kurang ajar, tapi sebenarnya Tomi perhatian banget orangnya.

"Makasih kak buat tanda tangannya," balasku sembari tersenyum manis.

"KEVAN ADITYA SAPUTRA." Itu namanya. Nama yang keren seperti orangnya. Rasanya ingin sekali loncat-loncat saking senangnya.

"Sama-sama, e ... maaf?" ucap Kak Kevan bingung manggil namaku, karena tulisan nama di papan yang aku kalungkan di leher sengaja aku balik.

"Frel. Ya, panggil aja saya Frel, Kak," jawabku cengengesan sambil membalik papan namaku dengan benar.

Kedua alis Kak Kevan berkerut samar. "Oh, ok. Kalau gitu saya balik dulu."

"Daah, Kak Kevan...." Aku melambai-lambaikan tangan dengan antusias saking semangatnya, meskipun bayangan Kak Kevan sudah nggak kelihatan lagi.

Kubalik tubuhku. Loh, kok? Mana nih, si Tomi? Aku celangak-celinguk sendirian.

Dasar kutu kupret sialan, setan alas, bedebah! Awas aja nanti ketemu, kubuat botak kepalanya.

Aku berlari ke sana kemari mencari keberadaan Tomi. Karena terlalu lelah, aku menyerah. Kuseret kaki ini ke kelasku.

Huft....

Sabar ... sabar ... kuatkan aku Tuhan!

Ada beberapa keunikan sekolah di SMA ini. Salah satunya saat istirahat, setiap ruang kelas akan dikunci sampai jam istirahat selesai. Alhasil, kuputar tubuhku ke arah kantin belakang sekolah, tempat paling sepi. Aku butuh istirahat. Apes banget hari ini.

Capek. Itu yang sedari pagi aku rasakan. Kuteliti daftar makanan dan minuman. Mataku membulat begitu mengetahui harga yang nggak masuk akal.

Huft ... sudah kuduga akan seperti ini.

Akhirnya, aku batal memesan makanan, hanya sepotong roti dan teh hangat.

Kutelungkupkan kepalaku di atas meja sambil menunggu pesananku datang. Suara tawa dari arah belakang menggangguku. Awalnya suara cekikikan, dan berubah menjadi tawa yang cukup keras.
Aku mendengus, sudah bisa menebak siapa dalangnya.

Ada suara beberapa orang mendekat. "Woy ... ngapain di sini?" Aku menghela napas, malas sebenernya mau jawab pertanyaan nggak penting dari si garang.

"Lagi main kartu, Kak," jawabku judes, masih dalam posisi menunduk.

"Ikutan dong. Emang ada ya, main kartu sambil nunduk gitu?" Kalau ini nih pasti pertanyaan dari si kalem.

"Wangsitnya ada di kolong meja, Kak. Udah gitu, dia lari diambil kucing bunting." Ngomongnya asal aja biar mereka puas. Sementara itu, tawa mereka berdua makin keras.

Sabar ... sabar ....

"Lo kenapa? Capek?"

"Lo pusing?"

"Lo hamil?"

"Lo salah minum obat?"

Pertanyan beruntun dan nggak jelas itu, membuat kepalaku mau pecah.
Terpaksa kudongakkan kepalaku. "Ya, Kak, saya salah minum obat. Karena siapa? Ini semua karena artis jadi-jadian yang ngasih hukuman nggak ngaca dulu. Nggak liat apa, rok dia juga di atas lutut, hah!" teriakku, dalam satu tarikan napas.

"Artis jadi-jadian?" Mereka saling tatap, bingung.

Dan kemudian, "Bwahahahahahahahaha...." Tawa mereka menggelegar kemana-mana.
Sedangkan aku? Karena sudah mulai terbiasa sama mereka, aku sih santai aja, mending minum teh pesananku yang baru datang, daripada keburu dingin.

Dengan ekor mataku sempat kulirik dua cowok lain yang berada di kantin ini, Kak Kevan yang berada tak jauh dari kami bertiga, tersenyum manis, kadang terkekeh geli mendengar aku jadi bahan lelucon. Sedangkan cowok satunya lagi, dari tadi diam dan cuek di sudut kantin.

"Lagian nih ya, Kak, mana ada rok SMP udah dipakai selama tiga tahun, bisa tetep sama kayak dulu. Ya ... nggak mungkinlah," lanjutku.

"Emang dulu di bawah lutut?" Ngajak perang nih, si garang.

"Ya iyalah, Kak. Kan hidup itu harus makin tinggi," jawabku bangga.

"Oh, ya? Wah, hebat. Tapi ..., sekarang aja tinggi lo segini, kira-kira waktu SMP tinggi lo seberapa, ya?"
Nih, orang, niat muji atau ngejek sih?
Skak Mat!

"E ..., i-itu Kak, sebenernya ..., sejak kelas 2 SMP tinggiku udah nggak nambah lagi," jawabku malu-maluin.

"APAA??" tanya mereka barengan.

Bisa bayangin sendiri kan, gimana reaksi mereka berdua sesudah itu.

"Hahahahahahahaha ... wkwkwkwkwkwk ... bwahahahhahaa...."

Sarap! Ketawa aja sampai terjungkal dari kursi.

Aku sudah nggak sanggup jadi bahan ketawaan mereka lagi. Setelah membayar pesananku, aku melenggang pergi dari sana, pergi sejauh-jauhnya, asal nggak ketemu sama dua Kakak OSIS sarap seperti mereka.

.........................***.............................

Jadi pembaca yang bijak ya. Pliss comment.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro