IV. Aku Menyerah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arshaka sedang menerangkan mata kuliah Dasar Ilmu Politik pada mahasiswa semester awal. Sebagai asisten dosen, ia menggantikan Zoya yang sedang mengadakan seminar di auditorium kampus. Ini sudah menjadi tahun keempatnya menjadi asisten dosen. Padahal, ia sudah sempat berhenti menjadi asisten setamatnya dari kuliah. Hanya saja, Zoya terlalu mengandalkannya.

Awalnya, ia menjadi asisten Zoya—dosen Ilmu Politik—hanya dengan mengandalkan kepintaran yang dimiliki. Usai menamatkan kuliah, ia pun mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar. Tak bertahan lama, karena Zoya selalu mengusiknya untuk kembali menjadi asisten. Zoya merupakan dosen yang sibuk dengan segala aktivitas di luar kampus dan butuh orang yang dipercaya untuk menggantikannya mengajar. Arshaka menyanggupi permintaan tersebut setelah bernegosiasi mengenai upah.

Ruang belajar begitu tenang. Tidak ada yang berbicara atau pun berbisik. Semua atensi terfokus pada Arshaka—entah pada yang diajar atau pada paras tampannya. Pun, Arshaka tidak segan menghukum mahasiswa yang bermain di kelasnya. Baginya, kedisiplinan adalah hal utama, termasuk dengan menghormati siapa yang berbicara di depan.

Di depan pintu, Chessy mengintip Arshaka. Ia sedang memperhatikan lelaki yang menjadi target taruhannya. Chessy memperhatikan Arshaka dari ujung rambut hingga ujung kaki. Rambut hitam yang tersisir rapi, wajah yang terdapat bintik-bintik hitam di bagian pipi, serta rahang yang tegas. Bibirnya tak pernah tersenyum, tapi suara yang dikeluarkan terdengar berkharisma.

"Kenapa aku malah melihatnya secara detail dan memuji lelaki itu?" Chessy mengibas angin di depan wajahnya. "Kalau bukan karena si kembar, nggak akan mau aku buang waktu ngintilin si Manusia Patung."

Jam mengajar sudah selesai. Para mahasiswa mulai keluar satu per satu dengan tertib. Tidak ada yang berani merusuh jika masih berada dekat dengan Arshaka. Melihat Arshaka keluar dari kelas, Chessy pun mengikuti langkah Arshaka dari belakang sambil menggigit ujung kuku. Ia bingung, kata apa yang harus diucapkannya untuk memulai percakapan.

"Hai, Pak," sapa Chessy dengan senyum garing.

Arshaka abai. Ia tetap mengambil langkah menuju ruangan di ujur koridor. Chessy berusaha menyejajarkan langkah biar diketahui keberadaannya oleh Arshaka.

"Pak, saya boleh tanya-tanya tentang mata kuliah tadi nggak?"

Arshaka berhenti dan memandang ke arahnya sekitar lima detik. Arshaka tidak mengerti mengapa mahasiswa yang tidak mengikuti kelasnya menanyakan hal demikian.

Goblok! Aku, kan, udah mahasiswa tingkat akhir. Ngapain juga nanya mata kuliah anak semester dua, rutuknya dalam hati.

"Pak, kalau semisal nanti saya mendapat kesulitan di akhir-akhir kuliah, saya boleh minta tolong Bapak?" Chessy kembali bertanya sambil mengimbangi langkah besar Arshaka.

Mereka sudah tiba di depan ruang dosen. Arshaka membalikkan badan dan menjawab ringan, "Kamu bisa meminta bantuan pada dekan. Beliau lebih punya kekuatan."

ZONK!!! Chessy terkulai dengan bahu yang menurun. Matanya menatap tak percaya pada lelaki yang baru saja masuk dan mengabaikannya. Kedua tangannya diremas geram dengan gigi yang gemeretak. Sesaat kemudian, ia memicingkan mata pada lelaki yang di dalam sana sedang membolak-balikkan sebuah buku.

"Dasar patung!" umpatnya.

Chessy mengambil arah yang berbeda dan berjalan dengan kekesalan yang terlihat jelas dari caranya menarik napas; tak beraturan serta begitu memburu. Ia menuju kedua sahabatnya yang dapat dipastikan kini sedang bercengkrama di kantin. Ia akan dengan tegas mengaku kalah dan tidak melanjutkan tantangan ini. Baru hari pertama saja, ia sudah makan hati. Hal ini begitu melukai dirinya yang tidak memiliki perasaan apa pun pada Manusia Patung tersebut.

Kenapa juga aku kemarin mau-maunya aja nerima tantangan gila ini? Mungkin kalau bukan si Manusia Patung, bukan masalah. Lha, ini? Aku harus berlaku genit tiap saat untuk dapatin perhatian dia? Sorry, aku punya harga diri. Nggak akan aku ngejar laki-laki yang nggak aku suka hanya demi taruhan. Ini nggak benar. Lebih baik aku buang duit beliin si kembar tiket konser daripada bikin malu ngejar si Patung, cerosoc hatinya.

Ia mengempaskan tas begitu saja di atas meja, menghentikan tawa Nuha dan Nura. Keduanya langsung memperhatikan Chessy yang masih memasang tampang kesal dengan tatapan yang mengarah lurus ke depan, serta bibir yang bergerak ke kiri dan ke kanan.

"Judulmu ditolak?" tanya Nuha perlahan, wanti-wanti mendapat amukan.

"Aku hari ini nggak ajuin judul. Aku ajuin diri. Bukan lagi ditolak, tapi nggak dianggap!" luapnya dengan penuh emosi.

Nura yang sedang menyeruput teh dingin sontak menyembur. "Kamu ajuin diri sama siapa? Jangan buang-buang diri gitu. Frustasi boleh, tapi bertindak gila jangan."

Chessy menatap kedua temannya dengan tajam. "Aku bertindak gila karena kalian, tahu? Gila ya, si Manusia Patung itu benar-benar nggak berperikemahasiswian. Aku nanya jangankan dijawab, didengar aja kurasa nggak. Aku ngikut mulu kaya ekor tapi dia masih kayak nggak ngerasa aku ada. Aku berasa jadi angin lewat doang. Jahat banget nggak, tuh? Udah lah, aku mau mundur. Aku bayar tiket kalian aja," cerocosnya sambil mengibas tangannya.

"Baru hari pertama, Ches. Masih ada 29 hari lagi. Mana Chessy yang suka berjuang? Buktikan dong," tantang Nura.

"Semangat juang untuk lomba dalam akademik nggak masalah, atau memperkuat fisik. Lha, ini untuk buat si Patung jatuh cinta?" Chessy menggeleng kuat-kuat. "Cukup sehari aku menjatuhkan harga diri."

"Kita udah sepakat, kan, kalau ini demi membungkam mulu Ghania dan mengembalikan nama baik kamu. Gara-gara omongan Ghania, banyak orang yang salah paham dengan kamu. Ya, meski mereka nggak ngomong blak-blakan di depan kita seperti yang dilakukan Ghania. Tapi, kita bisa menilai dong dari cara mereka menanggapi omongan itu. Dan bisa jadi itu alasan cowok nggak nyatain cinta sama kamu. Karena mereka udah duluan kemakan omongan Ghania, dan merasa percuma ungkap cinta. Jadi, mereka sebatas dekat sama kamu aja udah cukup, tanpa harus utarakan perasaan," jabar Nuha.

"Bukan nggak nyatain, merekanya aja yang emang nggak suka. Kalian tahu sendiri aku anaknya haha-hihi gimana gitu. Mana ada cowok suka sama cewek gak jaga image. Mereka sukanya modelan kalian, adem."

"Kamu belum aku kasih tahu ya?" Nura mengisyaratkan Nuha dan Chessy merapat ke arahnya. "Ketua Himpunan Sosiologi dulu sempat tertarik dengan kamu, Ches. Tapiii, karena si Ghania mulutnya selalu jelekin kamu, dia milih mundur takut kecewa. Makanya, kamu harus mengklarifikasi tentang kebenaran jati dirimu. Sampai kapan kamu mau dihina begini? Ayo! Kamu pasti bisa menaklukkan hati Manusia Patung," ucap Nura sambil mengepal jemarinya penuh semangat.

Chessy baru tahu mengenai hal ini. Sepenangkapnya, ia memang tidak didekati lelaki mana pun karena memang tidak ada hal spesial dari mereka. Pun, gelagat yang ditunjukkan oleh lelaki yang dekat dengannya hanya seperti teman pada umumnya. Perhatian-perhatian kecil seperti menawarkan antar pulang usai berkegiatan, itu dianggap lumrah dalam pertemanan; saling membantu. Tidak ada yang spesial. Itu pula sebabnya hatinya tidak terketuk sama sekali. Sepertinya hatinya telah tertutup rapat setelah kejadian delapan tahun silam. Kepekaannya pun turut hilang.

Chessy kembali menimang pernyataan Nura.

"Kalau begitu bantu aku dengan solusi cerdas kalian. Apa yang harus aku lakukan untuk mendekati si Manusia Patung? Aku benar-benar nggak tahu harus ngapain untuk mendekati makhluk Tuhan yang satu itu," cetusnya.

"Bukankah kemarin kami sudah katakan, lakukan konsultasi skripsi padanya. Itu bisa menjadi salah satu penghubung antar kalian," saran Nuha.

"Konsul apaan, nanya mata kuliah aja diabaikan."

"Kamunya udah mau tamat kuliah masih nanya mata kuliah, ya wajar diabaikan. Salahmu sendiri. Mahasiswa semester akhir itu bahasannya skripsi, bahan penelitian, metode penelitian. Gitu," sergah Nura.

Chessy tidak menanggapi karena ia sadar bahwa apa kata Nura memang benar. Salahnya dalam mencai topik.

"Terus, kalau misal aku dekati dia dengan modus konsul skripsi, bakal berhasil?"

"Setidaknya itu bisa memancing," jawab Nuha cepat.

"Dia, kan, bukan dosen. Cuma asisten. Apa urusan dia dengan skripsi aku?" Chessy masih berpikir.

"Coba aja dulu. Ntar juga kamu bakal nemu alasan yang cocok. Nggak harus diajarin sampai hal itu, kan?" kekeh Nuha pelan.

"Ajariiin," rengek Chessy.

"Gini, nih, kalau nggak pernah jalin hubungan sama cowok. Dia yang mau deketin, kita yang repot," cibir Nura.

"Lupa siapa yang nyuruh deketin tuh cowok?" gas Chessy.

Nuha menarik napas. "Iya, tenang. Kita bakal bantuin kamu. Kita punya Nura, spesialis dekatin laki-laki. Kita juga punya adikmu, si playboy tampan."

Chessy mengangguk-angguk setuju. Dia punya dua manusia yang bisa diandalkan dalam hal ini. Dia bisa memanfaatkan mereka.

"Oke, aku bakal balik ke ruangannya sekarang juga. Jangan abaikan saat aku telelpon kalian." Chessy beranjak dari duduknya.

"Kamu mau lakuin sekarang?" tanya Nura dengan mata melebar.

"Terus kapan lagi? Waktuku 29 hari lagi."

"Gila!"

Sayangnya, Chessy tidak sempat mendengar umpatan itu karena ia sudah jauh melangkah tegak, seakan kembali siap membidik buruannya. Kini semangatnya telah kembali karena pengaruh si kembar. Tekadnya mulai membulat. Ia melakukan ini bukan menjatuhkan harga diri, tapi untuk mengembalikan harga diri yang sebenarnya.
💕💕💕

Hola, chingu-deul. Untuk kelanjutannya bisa langsung ke akun Karyakarsa KiMLatte ya... Di sana akan update 3 chapter sekaligus setiap harinya 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro