[13] : Na Jaemin dan Serpihan tak terduga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

• From Home •

Pacarmu ganteng? Sebaik aku tidak?

Jaemin

Missing my puzzle pieces

Jaeminakhirnyabisabahasainggris
#bukanlirik

•~~•

Jika mendung selalu identik dengan rasa rindu, Jaemin pikir itu memang benar adanya, mendung selalu memberikan sebuah kesan yang entah kenapa membawanya hanyut begitu saja sebelum kemudian terlepas bersama air hujan.

Anak laki-laki itu hanya terdiam ketika mendapati seorang pria yang duduk di hadapannya saat ini, bersama seseorang yang entah sejak kapan berada disamping pria tersebut.

"Nak, kenalkan ini Hendery—kamu bisa manggil dia kakak"

Ada sedikit keterkejutan dalam diri Jaemin, anak itu menganggukkan kepalanya diiringi dengan jabatan ringan dan senyum ramah yang justru keluar dari bibir laki-laki yang berada di samping ayahnya.

"Halo Jaemin—Papa sering cerita soal kamu"

Jaemin kembali menganggukkan kepalanya. "Makasih"

"Hendery ini salah satu mahasiswa terbaik di universitas ternama—" Pria itu tersenyum bangga seraya menepuk-nepuk bahu Hendery "—kamu bisa tanya-tanya dia"

"Jadi ayah yang selalu kirim buket bunga buat bunda?" Bukannya menanggapi ucapan ayahnya tadi, Jaemin justru memilih untuk mengalihkan pembicaraan ke arah lain, terutama ketika ia menatap sebuah buket bunga yang berada tepat di hadapannya.

"Ah itu—Bunda kamu suka bunga, ayah harap bisa membantu bundamu menjadi lebih baik"

Tak ada respon selama beberapa saat, anak laki-laki di hadapannya ini nampak enggan untuk berbincang lebih lama.

"Ka Hendery, bisa kasih waktu sebentar?"

Jaemin tersenyum sopan, Hendery yang sedari tadi hanya memperhatikan dengan kikuk sebelum merasa lebih lega ketika Jaemin memintanya untuk memberi ruang antara ayah dan anak ini.

"Oh—iya, aku tunggu di mobil"

Setelah menatap punggung Hendery yang kian menjauh, tatapan Jaemin segera beralih kepada ayahnya dengan nanar. 

"Gak usah kirim lagi"

Pria itu kini menaikan alisnya, berusaha memberikan isyarat agar Jaemin mengulang ucapannya.

"Gak usah kirim bunga lagi"

"Na Jaemin—"

"Aku tau ayah orang yang baik, aku tau betul—" Jaemin menghela nafasnya sejenak, kedua manik matanya kini tertancap tajam ke arah ayahnya "—Tapi yah, sudah cukup ayah peduli—aku gak mau kalau nanti justru ada hal-hal yang tidak diinginkan malah terjadi sama bunda"

"Maksudnya kamu gimana?"

"Aku pernah bilang aku dan bunda bakalan baik-baik aja kan?—Sekarang ayah liat sendiri"

"Ayah gak akan pernah biarin kamu buat nyelesain masalah ini sendiri"

"Terus kenapa ayah pergi?"

Pria itu kini terhenyak, rasanya ada sesuatu hal yang kini menumpuk dalam kepalanya.

"Kenapa ayah lari?"

"..."

"Jaemin tau yah, tapi tolong—Ayah kalau mau pergi—pergi yah, jangan datang seolah ayah mau kembali buat kami—kedatangan ayah yang sekarang bakalan bikin kesan yang berbeda. Buat aku, buat bunda"

"..."

"Sakit yah—jangan kasih kita harapan kalau ternyata ayah gak bisa"

"Jadi kamu mau memutuskan hubungan kamu sama ayah?"

"Aku gak berniat buat memutuskan hubungan aku sama ayah—tapi untuk saat ini, tolong menjauh dulu yah—sampai pada waktunya, aku yang akan datang pada ayah, aku janji"

•~~•

"Udah tau sekarang?"

"Pa Taeil dari awal udah tau kalau yang sebenernya rutin ngirim bunga buat Bunda itu ayah saya"

"Iya"

"Kenapa?"

"Biar emosi kamu gak duluan negatif—saya nggak kira kamu bisa setenang itu tadi"

"Bapa lupa kalau saya punya 'Bunda' "

"Terlepas dari itu Jaemin, tidak sebaiknya kamu terus memendam seluruh rasa yang kamu rasakan di dalam hati kamu"

"Saya cuman gak tau gimana harus mengekspresikannya pa—saya terlalu bingung bahkan untuk sekedar berteriak menuntut sesuatu"

Taeil menganggukkan kepalanya paham.

"Kamu tau?, sebenernya ada serpihan dalam diri kamu yang justru merindukan sosok seorang ayah"

"Saya sadar pa, bukan cuman ayah— semuanya. Saya rindu keluarga saya—"

"..."

"Ayah saya orang baik pa—ayah cuman gak bisa bersabar, saya paham kenapa ayah bersikap kaya gini, tekanan dari keadaan yang menguji kesabaran ayah, berakhir pada keputusan yang sekarang ayah pilih, tentang dirinya yang kehilangan anaknya atau tentang Bunda yang terlihat begitu asing, dan saya yang masih terlalu kecil untuk bisa mendukung ayah dalam menjalankan kehidupannya"

Selama beberapa saat Taeil hanya terdiam menatap Jaemin yang sedang memangku dagu di atas lengannya yang bertumpuk pada meja yang berhadapan langsung pada rintikan hujan di luar jendela.

"Berbicara tentang keluarga—menurut kamu keluarga itu apa?"

"Bahagia—seharusnya. Seharusnya jadi tempat yang bahagia bukan?—kalau menurut Pa Taeil sendiri?"

"Mungkin—Tempat berlindung yang paling aman, tempat mengadu paling menenangkan, tempat pulang yang akan selalu dituju, dan tempat paling hangat untuk rasa nyaman"

"Menurut Bapa begitu?"

"Iya—Saya rasa, kamu, dan tiga teman kamu itu—saya yakin kalian semua punya kisah yang kurang menyenangkan dengan kata 'ayah' "

Jaemin kembali terdiam merenungkan dalam kata-kata yang diucapkan  Taeil barusan.

"Yang justru tanpa sengaja kalian temukan pada Taeyong"

"Pa Taeyong?"

"Sadar atau tidak, kalian menempatkan Taeyong sebagai sosok seorang ayah yang sedang kalian cari"

Jaemin menganggukkan kepalanya "Mungkin bapa bener—mungkin itu alasannya kenapa rasa kehilangan itu benar-benar kentara"

Tak ada percakapan lain setelah nya, hanya suara lalu lalang orang-orang yang terlihat begitu sibuk sore ini, diterpa angin yang berlahan terasa dingin, di tengah percakapan semesta yang mungkin sedang merancang sesuatu hal di hari esok. Jaemin dan Taeil sama-sama termenung dengan tenang.

"Jadi apa rencana kamu?"

"Nggak tau"

"Sudah cukup bagi kamu mengamati Jaemin, sudah cukup kamu terus menerus memikirkan orang lain—bukannya ini saatnya kamu memikirkan diri kamu sendiri?"

"Nggak pa, justru ini saatnya bagi saya buat peduli terhadap orang lain, cukup saya tenggelam dalam pemikiran egois saya sendiri"

Taeil tak menjawab, membiarkan Jaemin untuk mengeluarkan segala hal yang berada di dalam kepalanya.

"Pa Taeyong pernah bilang kalau saya nggak akan pernah sendirian—yang berujung dengan pertemuan saya sama Pa Taeil, saya gak ngerasa sendiri dan memiliki tempat untuk berbagi, tapi saya gak pernah tau apakah orang-orang di sekitar saya punya tempat yang serupa seperti tempat yang saya miliki. Ini peran yang waktu itu Pa Taeil bilang, mungkin saat ini peran saya adalah menjadi tempat untuk berbagi, seenggaknya memastikan orang lain untuk tidak merasa sendirian"

"..."

"Jadi Pa Taeil gak usah khawatir, saya bisa membaginya dengan baik sekarang, tentang ruang diri atau langkah kaki bersama orang lain, saya bisa membaginya"

Taeil sedikit terkekeh dengan jawaban panjang yang baru saja di ucapkan oleh anak laki-laki disampingnya ini, tak lama setelahnya Taeil hanya dapat menyunggingkan senyumnya menyadari sesuatu hal.

"Kenapa saya jadi ngeliat Taeyong di diri kamu, Jaemin?"

•~~•

"WOEEEE APENI MANG ATUY PEGANG-PEGANG JAMBUL BADAI SEMILIWER SAYA?!!"

Jaemin baru saja menepis lengan Yuta yang baru saja mulai menyentuh rambutnya.

"Inget, baju kamu masih putih abu-abu—NGAPAIN RAMBUTNYA DIGITUIN?!"

"Buat perosotan kutu pa" Tatapan Jaemin yang kaya bocah Tablo malah jadi sasaran tabok sama Yuta.

"ADAW!!! KALAU SAYA KENA GEGER OTAK GIMANA PA?!"

"Masuk rumah sakit"

"Iya sih"

"Turunin makanya poninya! Saya yakin itu panjangnya udah nutupin mata kamu"

"Ya terus?"

"Ya terus ya terus! Sisir yang rapih! Liat Renjun, berdedikasi sekali punya rambut potongnya rapih"

Renjun yang lagi nguyah cilok jadi senyum-senyum asem dengan pipi yang menggelembung bulat disatu sisi.

"Dia lagi ngefans berat sama song Jong Ki pa!—saya kan sukanya Irene!"

"NAH PANJANGIN AJA TUH RAMBUT SAMPE BISA KEGILES MOBIL!"

"JAHAT BANGET!"

"BERISIK BANGET!"

"TAPI MANG ATUY JUGA TERIAK!"

"SIAPA YANG PERTAMA TERIAK HAH?!"

"WAH GAK MAU NGAKU! EMANG BENER KATA PEPATAH TUH 'BUAH JATUH TIDAK JAUH DARI TUKANG BUAH' !!!"

"KAGA ADA PEPATAH KAYA BEGITU KAGA ADAAAAA—PERADABAN MANA YANG NYIMPULIN KAYA GITU HAH?!"

"DIH! ORANG BENER KOK SAYA AJA GAK PERNAH LIAT BUAH JATUH DARI POHONNYA!"

"TERUNTUK BAPAK-BAPAK HAJAT YANG TIDAK TERHORMAT-HORMAT AMAT, HARAP TENANG! SAYA LAGI NGUYAH CILOK, KESELEK!"

Renjun gak bohong deh, beneran, kalau gak percaya potong aja kupingnya Mang Atuy.

"Ok—" Yuta kini menatap Nyalang bagai elang yang sudah siap menerkam Jaemin kapan saja, tapi anak laki-laki itu malah dengan santai mengeluarkan sebungkus permen dari kantong celananya yang sempat tercuci beberapa hari lalu.

"—Udah hampir setiap hari saya dan 90 % kehidupan saya harus dengerin kalian, buat 10% nya kalian yang harus dengerin saya"

"APANIH PERSEN PERSEN MANG ATUY OPEN DISKON USUS GORENG?!" Haechan yang dasarnya punya telinga sepanjang jalan kenangan langsung teriak heboh dari ujung kelas, diikuti Jeno yang nampaknya terlalu lelah untuk menanggapi kelakuan absurdnya Haechan.

"Siapa juga yang lagi ngomongin diskon?!"

"Itu persen-persen"

"Emang persen cuman ada di diskon doang bocah sablengggggg?"

"Oh bukan?"

"Bukan"

"Terus?"

"Duduk aja bisa?"

"Nggak"

"Yaudah gak usah duduk! Besok semua belajar aja di lapangan!"

"OK!" Haechan berseru keras, membuat Renjun menghampirinya seraya berbisik.

"Panas Chan"

"Kaga apa-apa, ada anak paskib lagi latihan biasanya, cakep euy apalagi yang paling kecil di taro di ujung, imut pisan! Ehehehehhehehe"

Selanjutnya, Haechan di toyor mantep.

"Mang Atuy tadi mau bilang apa?"

"Apa?"

"Iya apa?"

"Yang mana?"

"Nanya apa Mang?!"

Yuta nampak berfikir sejenak "Gak jadi"

"Cieelah...ngambek bestie?!"

Yuta berdecak frustasi, kalau bukan karena punya niat mantap, ogah banget ngurusin ini bocah empat.

"Renjun"

"Naon slur?"

"Heh!!!!"

"Apa atuh ai bapa?"

"Udah nguyah ciloknya?"

"Bentar" Renjun mengangkat tangannya tinggi seraya menyuruput semua kuah cilok dalam plastik yang ia genggam "Alhamdulillah kenyang—kenapa pa?"

"Yang lain masih mau ada iklan lagi?"

"Iklan?—indomie seleraku? Mang Atuy buka warung makan Indomie?"

"Maksud saya!—" Yuta greget banget sama ini empat anak anoa, pengen dijitak satu-satu tapi nanti makin kurang ajar kelakuannya.

"—Kalian ada yang mau ke toilet atau acara apalagi gitu sebelum saya ngomong?"

"Acara di toilet? Emang ada?"

"Pertunjukan orkestra sekarang ada versi di toilet gitu ya biar autotune?"

"Autotune apaan?"

"Temennya Spacetoon kali"

"Acara ya—" Haechan nampak berfikir keras "—Boleh Karaokean dulu gak 10 menit?"

"Gak"

"Dih, singkat banget kaya kulit kerang ajaib"

"Otak kalian agak diperbesar dikit bisa gak?"

"Di zoom gitu?"

"Denger!—bisa denger gak?!"

"Iya kan punya kuping"

"PAS BANGET—UDAH LAMA GAK NYAYAT KUPING MANUSIA"

Ucapan Yuta tadi dibalas dengan pelototan bulat dari Jaemin, Jeno, Haechan dan Renjun.

"DZOLIM PA!!!!!!"

"MAKANYA DENGERIN BOCAH JANCUKKKKK!!!!!!"

"Iyaaaaaaaa"

"Jadi—"

"Mang Atuy"

"DIEM!" Jeno padahal dari tadi cuman diem duduk manis malah jadi kena bentak Yuta yang udah sensi banget sama deretan muka empat bocah ini.

"Dengerin yang baik dengan seksama—atas perundingan saya, Jaehyun, dan beberapa orang lain yang juga ikut terlibat—"

"Oknum penggelapan uang?"

"Mau dicekek apa di tendang?"

"Mau disayang" Haechan mem-pout kan bibirnya seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Renjun.

"Geli sialannnn!!!, Haechan!!!!"

Renjun udah misuh-misuh sendiri takut malah dicium sama Haechan.

"Ok, karena persiapan menjelang ujian masuk universitas kalian udah lumayan gak jelek-jelek amat—saya mau tambah sekalian buat belajar TOEFL, kalian udah punya basic yang sering Taeyong ajarin dulu, jadi gak masalah kalau saya ajarin TOEFL"

"Tupel?"

"Waffle?"

"Pentopel?"

"Gusti pa! Tadi Atun Atun gitu sekarang Tupel apaan dah buset?!"

"Ini sejenis makanan manis gitu bukan Tuy?"

"Otak kalian isiannya gak ada yang lain apa selain makanan?"

"Uhmmm gimana kalau ditambah berlibur ke pantai jadi nanti otak kita isiannya ditambah jadi pemandangan beningnya air laut dan putihnya pasir pantai" Haechan menjentikkan jarinya dengan bangga, merasa idenya adalah ide paling luar biasa selama 18 tahun ia hidup di dunia.

Renjun yang gak merhatiin apa-apa cuman ngangguk-ngangguk sok ngerti.

Jaemin sibuk ngebug dan Jeno cuman bisa menguap dengan bosan.

"Bacot"

"DIH!!! KATANYA DISURUH MIKIRIN HAL LAIN SELAIN MAKANAN!"

"APAAN BANGET DAH MANG ATUY INI!"

"TIDAK VISIONER SEKALI!" Renjun yang menukas paling keras membuat Yuta mengernyitkan dahinya.

"Tau apa visioner?"

"Nggak Mwehehehehehhehehe"

Bocah sableng, Yuta kembali membatin.

"INTINYA! KALIAN HARUS BELAJAR TOEFL, SAYA MAKSA!"

"Pemaksaan hak itu tidak boleh di undang-undang!"

Yuta menyerah, ini Yuta boleh gak sih keluar aja? Nggak usah ngajar lagi, bisa sinting lama-lama ngadepin bocah-bocah Tarzan ini.

"Apa hubungannya?!"

"Hak kita dong mau belajar atau nggak!"

"Belajar itu kewajiban bukan hak! Gak ada bacot lagi!!! Mau gak mau, kepake atau nggak, kalian tetep harus belajar!!!!"

"IYA IYA BAAAAACOT"

"NGOMONG APA BARUSAN?!"

"Bacot pa, jenis makanan yang berasal dari daging"

"BACON ITU BACON!!!"

Ingetin Yuta buat cepet-cepet bikin asuransi jiwa, buat jaga-jaga.

•~~•

• From Home

•~~•

ToBeContinue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro