21. Kamu Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
SELAMAT MEMBACA
FROM SCARLETA TO GERALDO
DUA PULUH SATU : Kamu Pertama
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||

FOLLOW :
@kdk_pingetania
@aboutpinge
@reynald.geraldo
@zeeana.scarleta

ZEE memandang testpack yang ada di tangannya dengan pikiran yang campur aduk. Rasanya benar-benar terkejut ketika melihat dua garis yang terpampang nyata di alat uji kehamilannya ini. Awalnya ia berharap bahwa testpack yang ia gunakan error atau apapun itu, namun ini sudah ketiga kalinya Zee mengujikan hal itu. Dan hasilnya tetap sama, dua garis itu tetap berada di sana. Seolah-olah memaksa Zee percaya dengan apa yang terjadi.

Setelah beberapa menit membeku, kaki Zee melemas dan kepalanya terasa sedikit pusing. Ia memegang dinding kamar mandi untuk bertahan agar tidak terjatuh di sana. Suara ketukan terdengar dari luar, membuat Zee kembali mendapatkan kesadarannya.

Kemudian suara Rey mulai terdengar, "Zee, kamu di dalem?" tanya lelaki itu. Rey sepertinya mulai cemas karena sudah hampir satu jam gadisnya tidak keluar dari kamar mandi. Rey yang tadinya sudah siap untuk berangkat kerja pun mengurungkan niatnya.

"Iya, aku di dalem," jawab Zee dengan suara yang dia buat senormal mungkin.

"Kamu nggak papa kan, Zee?" tanya Rey memastikan.

"Iya, aku nggak papa, kamu ke kantor aja," ujar Zee.

"Kamu keluar dulu, baru aku berangkat."

Zee menghela napasnya. Buru-buru gadis itu mengantongi semua testpack nya kemudian sedikit membasuh wajahnya agar terlihat segar. Setelah itu ia menarik napas perlahan lalu menghembuskannya. Gadi itu kemudian membuka kunci dan menurunkan ganggang pintu kamar mandi tersebut. Seketika ia langsung disambut oleh Rey yang sedang berdiri di hadapannya.

Zee seketika langsung memeluk Rey dengan erat, membuat lelaki yang dipeluk sedikit terkejut. Untung saja Rey masih kuat untuk menahan tubuh kurus Zee. "Hey, kenapa?" tanya Rey kaget sambil membalas pelukan istrinya.

Gadis itu tak menjawab, tetapi masih memeluk Rey dengan erat.

"Manja banget istri aku," kata Rey. Lelaki itu mengelus rambut Zee kemudian mengecup puncak kepala istrinya. "Ayo makan dulu, aku udah siapin makanan buat kamu," kata Rey.

Zee menggeleng. "Masih mau peluk," rengek Zee. Gadis itu saat ini masih membutuhkan Rey di sisinya, Zee sudah terlalu stress dengan segala pemikiran yang kini mengisi otaknya.

Rey menatap ke arah wajah Zee, "tumben kamu gini, Su," ucap Rey. "Masih belum mau cerita?" tanya Rey.

Zee tak menjawab dan justru kembali memeluk Rey. Lelaki itu pun secara tiba-tiba mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya keluar kamar.

"Rey!" ujar Zee yang terkejut.

"Sttt ... jangan bawel," ucap Rey. Lelaki itu membawa Zee ke ruang makan dan mendudukkan gadis itu di atas salah satu kursi. Rey kemudian menarik kursi lainnya mendekat ke arah Zee dan duduk di sana. Rey mengambil bubur buatannya kemudian memberikannya kepada Zee. "Nih makan," ujar Rey.

"Suapin," pinta Zee sambil menatap Rey dengan wajah malu-malu.

Rey melihat itu terkekeh. Lelaki itu pun mengambil sendok dan menyendokkan bubur buatannya untuk Zee. "Manja banget hari ini," kata Rey kemudian meniupkan sesendok bubur tersebut.

Melihat Rey yang perhatian seperti ini membuat Zee sedikit melupakan segala pemikiran negatif yang ada di otaknya. Untuk saat ini dirinya tidak ingin memikirkan apa-apa. Zee menelan bubur yang ada di dalam mulutnya. Itu suapan terakhirnya.

"Pinter," ucap Rey sambil mengelus rambut Zee. Lelaki itu kemudian mengecup puncak kepala istirnya, "aku berangkat dulu ya."

Zee tersenyum ke arah Rey sambil melambaikan tangannya. Namun senyum itu luntur begitu saja disaat Rey telah keluar dari rumah. Zee menatap ke arah perutnya yang masih rata. Kenapa? Kenapa harus sekarang? Disaat dirinya belum siap dengan semua ini. Kenapa kariernya harus dihambat dengan sesuatu yang tidak bisa disalahkan?

***

ZEE menatap buah nanas di hadapannya. Entah pemikiran jahat dari mana, saat ini ia ingin sekali memakan buat nanas itu, hanya sekali dan berharap bayi yang ada di perutnya ini tak pernah ada. Tapi jangankan memakannya, untuk menyentuh nanas itu saja Zee tidak sanggup.

Bunyi bel rumahnya menghamburkan niatan buruk Zee, buru-buru gadis itu tersadar. Astaga, aku mikir apa tadi? batin Zee. Gadis itu menggelengkan kepalanya berusaha menyadarkan dirinya, kemudian berjalan menuju pintu utama. Zee membukakan pintu rumahnya. Ternyata tepat di ambang pintu, ada Ertha yang bediri di sana.

"Ertha?" tanya Zee bingung. Walaupun Ertha adalah salah satu teman terdekat Rey, Zee masih saja canggung dengan lelaki itu, mungkin karena sifat Zee yang kurang bisa bergaul. "Eee ... Rey nggak ada di rumah, udah pergi dari tadi pagi," kata Zee.

Ertha mengangguk mengerti. "Iya, Rey udah bilang tadi, dia bentar lagi pulang abis selesaiin urusan kantornya."

"Oh ..." Zee mengangguk-angguk mengerti.

"Jadi ... boleh masuk nggak? Gue nunggu di sini nggak papa kan?" tanya Ertha.

Zee terdiam sejenak. Entah kenapa ia merasa tidak enak jika berduaan dengan seorang lelaki yang bukan suaminya di rumah. Namun, mana mungkin Zee menyuruh Ertha untuk pulang atau menunggu di luar. Lagi pula dengan adanya Ertha di sini bisa membantu mencegah Zee untuk melakukan hal-hal gila yang tak terduga nantinya.

"Kalau nggak bole—"

"Boleh kok, masuk aja," kata Zee sambil mempersilahkan Ertha masuk. Ertha pun masuk ke dalam dengan perasaan tak enak.

"Sori ya kalau lo nggak nyaman ada gue di sini. Anggep patung aja," kata Ertha.

Zee menggeleng, "nggak kok, lagian lo temennya Rey," ujar Zee. "Duduk di sini aja dulu, gue buatin minuman," ujar Zee.

"Air aja nggak papa," ucap Ertha sambil duduk di sofa ruang tamu.

Gadis itu mengangguk dan segera berjalan menuju dapur. Zee mengambil segelas air dan beberapa cemilan kemudian menaruhnya di atas nampan. Ia membawa nampan tersebut menuju ruang tamu lalu menyuguhkannya kepada Ertha.

"Makasi ya, Zee," ucap Ertha pada Zee.

Zee mengangguk sambil tersenyum, "iya, sama-sama." Kemudian Zee terdiam sejenak. Bingung harus tetap menemani Ertha, atau pergi saja ke dalam kamar. Namun rasanya sangat tidak sopan jika meninggalkan tamu seorang diri. Akhirnya Zee memutuskan untuk duduk di sofa yang tak jauh dari Ertha.

"Kalau lo nggak nyaman, tinggalin aja gue," ucap Ertha. Walaupun tak pernah mengenal Zee secara langsung, namun Ertha sudah sangat tahu karakter Zee karena Rey yang setiap saat membahas gadis itu.

Zee menggeleng, "nggak papa, lagi bosen aja di kamar," ucap Zee. Entah kenapa saat ini ia ingin berbicara dengan seseorang. Menyurahkan keluh kesah yang ia pikirkan.

Ertha menatap Zee sejenak, gadis itu terlihat sedang banyak pikiran. Bahkan pandangan Zee selama beberapa menit tak terlepad dari buah nanas yang ada di atas nampan. "Pengen nanas, Zee?" tanya Ertha. Lelaki itu kemudian mengambil piring berisi nanas tersebut dan menyodorkannya pada Zee. "Makan aja, gue juga nggak begitu suka nanas."

Dengan refleks Zee menggeleng kemudian berkata, "nggak, Tha, gue lagi hamil." Butuh beberapa detik untuk Zee menyadari perkataan yang keluar dari mulutnya. Matanya mendelik dan bibirnya terkatup rapat.

Mereka berdua saling bertatapan canggung. Apalagi Zee, tubuhnya membeku seperti orang yang sedang tertangkap basah melakukan suatu kesalahan berat.

Kenapa harus Ertha yang tahu pertama kalinya? batin Zee.

Di satu sisi ia merasa kesal kepada dirinya sendiri, karena tanpa sadar telah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak ia katakan. Namun di sisi lain ia merasa sedikit lega karena ada orang lain yang tahu tentang kehamilannya.

"Oh, maaf gue nggak tahu, Rey belum ada bilang soalnya," ucap Ertha memecah keheningan.

Iya, karena kamu yang tahu pertama kali.

"Btw, selamat ya. Udah berapa lama?" tanya Ertha.

"Belum tau, Tha, gue belum ngecek," jawab Zee.

"Oh, Rey belum sempat nganterin?" tanya Ertha.

Zee menggeleng, "Rey belum tahu," ucap Zee.

"Pantesan. Keceplosan ya tadi?" tebak Ertha.

Zee mengangguk mengiyakan pertanyaan Ertha.

"Dia pasti seneng sih kalau tahu lo hamil. Rey ada bilang kalau lo hamil, dia mau sering ambil cuti kerjaan, kalau bisa kerja di rumah aja, terus lo pokoknya harus diem di rumah aja nggak boleh kemana-mana," cerocos Ertha.

Mendengar perkataan Ertha membuat mood Zee benar-benar kacau. Raut wajah Zee yang tadinya masih ramah, kini menjadi datar tanpa ekspresi menyembunyikan perasaannya saat ini. Ia tahu dengan keadaannya yang hamil seperti ini, Rey, mertuanya, ibunya dan semua orang di sekitarnya pasti akan menyuruhnya untuk cuti kuliah. Padahal sebentar lagi dia sudah memasuki semester delapan, dan novelnya juga sebentar lagi akan difilm kan. Zee ikut mengambil peran juga di dalam film tersebut.

Apa semuanya harus tertunda?

Sampai kapan?

Sampai dirinya melahirkan?

Sampai anaknya berhenti menyusui?

Sampai anaknya tumbuh dewasa?

Zee sadar dan tahu betul, jika wanita telah hamil, ia harus meninggalkan seluruh pekerjaannya dan fokus kepada kehamilannya. Tetapi, Zee belum siap untuk itu.

"Maaf gue asal ngomong banget," ucap Ertha tak enak hati ketika melihat Zee yang terdiam.

"Tha," panggil Zee.

"Iya?"

"Bisa rahasiain ini dari Rey nggak? Gue masih belum siap dia tahu ini semua," ujar Zee.

"Hah?" Ertha bingung.

"Jujur aja, gue masih belum siap punya anak," kata Zee. "Gue mau cek ke dokter dulu, mastiin semua ini bener atau nggak, setelah itu baru gue bakalan omongin ini ke Rey," jelas Zee. Entah kenapa dirinya jadi menjelaskan ini semua ke Ertha.

Ertha mengangguk-angguk mengerti, "ya udah kalau gitu, gue bakal jaga mulut," ujar Ertha.

"Makasi ya," ucap Zee.

"Kalau perlu apa-apa, bilang ke gue aja, biar gue bantuin," kata Ertha. Lelaki itu terlihat bersungguh-sungguh.

Bahkan tatapan Ertha terlihat benar-benar tulus, membuat Zee terpesona sesaat oleh tatapan teduh itu. Hanya sesaat, karena setelah itu, Rey datang dengan senyum lebarnya sambil membawa plastik berisikan makanan.

***

JANGAN LUPA VOMMENT!

150 KOMEN FOR NEXT!

10-06-2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro