🍑46🍑 Hypocrisy

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

We're bestfriend. Why you do this to me?

Happy reading 🍑

"Run, lo ngapain?" tanya Brishen.

Kemunculan Brishen yang tiba-tiba membuat Arun terkejut bukan main. Ponsel Arun sampai terjatuh saking terkejutnya.

Melihat ponsel Arun yang jatuh, Brishen langsung mengambilnya. Arun berusaha merebut kembali ponselnya itu, tetapi Brishen mengelak.

"Balikin, Bri!" bentak Arun emosi karena Brishen menjelajahi isi ponselnya.

"Gue bilang balikin! Lo gak sopan banget lihat-lihat privasi gue gitu!" bentak Arun lagi. Melihat Brishen mulai mencopot case ponselnya, Arun cepat-cepat merampas kembali ponselnya. Akan tetapi, sudah terlambat. Brishen sudah melihat beberapa kartu sim yang sepertinya sudah dipakai. 

"Ternyata dugaan gue bener, Run. Itu lo," kata Brishen setelah melihat isi ponselnya.

Arun terdiam karena Brishen sudah tahu semuanya. Tak lama kemudian ia terkekeh.

"Terus kenapa kalau gue?"

"Heran gue sama lo, Run. Apa sih yang ada di otak lo?"

"Jadi, lo gak beneran suka sama gue? Lo nyari peluang buat korek informasi gue? Iya kan?" tanya Arun mengalihkan pembicaraannya.

"Iya."

"Pantesan. Gak mungkin lo secepat itu move on dari sahabat tersayang gue. Kasihan banget sih lo, Bri," ucap Arun sambil menggeleng prihatin.

Brishen menatap Arun dengan tatapan tajam. Ia merasa cewek itu sudah gila karena berbuat seperti itu.

"Eh iya, gue lupa ngasih tahu lo. Gue mau buat pertunjukan. Ditunggu ya," kata Arun sambil tersenyum manis. Ia melangkah meninggalkan Brishen dan menuju mobilnya.

🍑🍑🍑

Freya membuka matanya perlahan. Hal yang pertama ia lihat adalah kegelapan. Rasa dingin menusuk tubuhnya dan membuat Freya menggigil kedinginan karena angin yang lumayan kencang berhembus. Dimana dia? Apa yang sudah terjadi?

Ia merasakan kepalanya sangat sakit hingga membuatnya pusing. Ia berusaha mengingat-ingat apa yang sudah terjadi pada dirinya.

"Gue dimana?" batinnya saat bibirnya tidak bisa berbicara karena sebuah kain menutup mulutnya. Ia merasakan tali mengikat tangan dan kakinya hingga ia tidak bisa bergerak.

Freya berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Ia sudah berusaha dengan keras, tetapi hasilnya nihil. Hanya penutup mulutnya yang berhasil ia buka.

Freya mendongak ke atas. Ia melihat langit gelap yang tanpa dihiasi bulan dan bintang. Sepertinya sedang mendung. Freya menebak-nebak dimana dirinya.

"Tolong! Apa ada orang? Tolongin gue!" teriak Freya. Ia sangat berharap ada seseorang yang menolongnya.

Freya menoleh ke tembok tempatnya bersandar. Sepertinya itu bukan tembok tinggi. Freya pun menyadari bahwa itu hanyalah tembok pembatas. Ia sadar kalau sekarang ia ada di rooftop.

Saat mendengar suara langkah seseorang, Freya pun berteriak lagi, "Tolong! Tolongin gue!"

"Frey ...."

"Arun? Lo di sini? Tolongin gue, Run," kata Freya. Ia menangis terharu saat ada Arun yang pastinya akan menolongnya.

"Iya, gue di sini," kata Arun sambil menggenggam tangan Freya yang terikat. Freya melihat dengan remang-remang Arun yang sedang berjongkok di depannya.

"Bukain, Run. Nanti penjahatnya dateng," kata Freya panik karena Arun tidak kunjung melepaskan tali yang mengikatnya.

Arun tidak merespons kepanikan Freya. Ia malah terkekeh melihat Freya yang panik.

"Lo kenapa, Run? Lo gak kerasukan kan?" tanya Freya takut-takut. Apalagi hari sudah malam dan kaki tangannya masih diikat.

"Freya ... Freya ... lo bego ya?"

"Duh ... lo kan tahu kalau gue emang bego. Pakai nanya lagi," kata Freya ketus karena sempat-sempatnya Arun bercanda di saat-saat seperti ini.

"Anggaplah begitu. Lo masih gak sadar ya?"

Freya menatap Arun bingung. Otaknya yang pas-pasan tidak cukup untuk mengerti maksud Arun.

"Oke. Gue bakalan buat lo sadar," kata Arun.

"Gue udah sad— argh! Sakit!" Ucapan Freya terpotong karena Arun menjambak rambutnya. Ini benar-benar sakit sampai Freya merasa rambutnya akan tercabut semua.

"Gimana? Udah sadar?" tanya Arun. Tidak lupa pula ia melontarkan senyum lebarnya.

"Aduh, Run! Jangan bercanda deh. Sakit tahu!" teriak Freya kesal. Mendengar Freya berteriak, Arun pun melepaskan jambakannya.

"Maaf ya," kata Arun sambil terkekeh.

"Lepasin ini, Run. Lo jangan banyakan bercanda deh," kata Freya kesal.

"Frey, lo bener-bener bego! Lo segitu percayanya sama gue sampai semua yang gue lakuin itu lo gak sadar. Bahkan curiga aja enggak."

"Maksud lo?"

"Eh Frey, lo inget gak sih siapa yang ngirim pesan anonim ke lo?" tanya Arun.

"Kenapa? Kok tiba-tiba bahas itu sih?" tanya Freya bingung.

"Enggak. Nanya aja."

"Inget lah. Siapa lagi kalau bukan Gravi? Duh gue jadi kesel tiap inget lintah itu."

Mendengar jawaban Freya, Arun pun terkekeh.

"Terus waktu jatuh main basket? Lo gak curiga kalau gue sengaja?" tanya Arun.

"Lo sengaja?" tanya Freya. Arun tidak merespons.

"Pot bunga? Yang jatuhin pot bunga itu lo beneran ngira Gravi?" Freya mengangguk yakin.

"Itu semua gue, Frey! Gue! Lo bener-bener bego!" bentak Arun yang langsung membuat Freya terkejut. Freya menjadi linglung setelah mendengar penjelasan Arun.

"Gue nggak ngerti."

"Gue yang neror lo lewat chat. Gue sengaja bikin lo jatuh. Gue yang jatuhin pot bunga. Gue juga yang bikin lo ada di sini. Masih gak ngerti juga?"

Mendengar ucapan Arun, Freya teringat saat ia bertemu Arun di UKS. Arun berkeringat dan ia kira karena sakit. Ternyata karena berlari sesudah menjatuhkan pot bunga dari rooftop.

"Kenapa?" lirih Freya.

"Gue gak nyangka punya sahabat sebego ini."

"Lo suka Glan, Run? Karena itu?" tanya Freya. Air matanya mengalir begitu saja mendengar semua ucapan Arun. Ia tidak pernah menyangka sahabat satu-satunya tega berbuat seperti itu.

"Iya. Gue iri sama lo! Lo selalu dapet apa yang lo mau. Keluarga lo utuh, sedangkan keluarga gue hancur. Lo dapetin Glan, sementara gue mati-matian nahan cemburu. Gue benci sama lo!" jerit Arun sambil menangis. Arun tidak tahan lagi dengan kekacauan hidupnya. Ia iri melihat Freya yang tampak bahagia dengan hidupnya.

"Keluarga gue utuh? Gue anak adopsi, Run. Gue gak tahu dimana keluarga asli gue. Itu masih lo bilang utuh? Dan juga gue udah putus sama Glan. Lo tahu itu, Run. Kenapa lo lakuin semua ini sama gue? Lo sahabat satu-satunya gue, Run. Kenapa lo tega?"

"Lo emang putus sama Glan, tapi kalian masih saling suka. Gue tahu itu. Asal lo tahu, gue suka Glan dari lama. Gebetan rahasia gue itu Glan. Lo ngerebut dia dari gue. Gue benci sama lo, Frey!"

Freya sangat terkejut mendengar penjelasan Arun. Ia tidak pernah mengira kalau gebetan yang diceritakan Arun itu adalah Glan.

"Bukannya gue yang lebih dulu suka sama Glan ya, Run?" Arun tidak merespons. Arun melepaskan ikatan di kaki Freya dan menarik Freya agar Freya berdiri. Arun juga melepaskan ikatan di tangan Freya. "Lo lepasin gue?" tanya Freya sambil tersenyum haru. Arun sepertinya sudah sadar dengan apa yang dia lakukan.

"Lepasin?" tanya Arun heran. Sedetik kemudian ia terkekeh kecil. "Gak ada orang bunuh diri dengan tangan dan kakinya diikat," sambungnya sambil tersenyum lebar.

"Ma—maksud lo?" tanya Freya gugup. Ia menerka-nerka apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Besok bakalan ada berita 'seorang murid lulusan SMA Nakula loncat dari rooftop'. Gimana, Frey? Udah jelas kan maksud gue?"

"Run ... lo jangan gila, Run. Gue ini sahabat lo. Jangan kayak gini, please," kata Freya yang mulai berkeringat dingin. Ia takut kalau Arun benar-benar nekat membuatnya loncat dari rooftop.

"Mulai hari ini lo bukan sahabat gue," kata Arun. Ia mendorong Freya sedikit demi sedikit dan menyuruh Freya untuk naik ke tembok pembatas.

"Arun, jangan gila!" teriak Freya sambil memberontak. Ia tidak mau dan tidak akan pernah mau untuk naik ke tembok pembatas.

"Naik, Frey! Lo harus mati!" bentak Arun.

"Arun! Lo gila!" pekik Freya. Tenaganya tidak sebanding dengan Arun dan membuat ia kewalahan untuk menahan agar Arun tidak mendorongnya.

"Gue bilang naik! Gue benci sama lo! Gue gak mau lagi lihat muka lo!" bentak Arun lagi.

"Freya!" teriak seseorang. Ternyata itu Brishen. Brishen langsung berlari, lalu mengambil alih Freya dan mengamankan Freya di belakangnya.

"Lo gak usah ikut campur, Bri," kata Arun datar.

"Sinting! Gila lo, Run. Lo manusia kaga sih? Gak ada otak lo," umpat Brishen sambil menatap Arun dengan tajam.

"Seperti yang lo bilang, gue manusia dan gue gila," ucap Arun simpel. Tidak sedikitpun ada rasa bersalah setelah apa yang ia lakukan terhadap Freya.

"Yuk pulang, Frey," ajak Brishen pada Freya yang sedang menunduk. Freya mengangguk tanpa menatap Brishen.

"Frey, lo gak papa?" tanya Glan yang baru saja datang bersama Derry.

"Gak papa," ucap Freya singkat.

"Kak, lo anter Freya pulang sama Brishen ya. Gue mau ngomong bentar sama dia," kata Glan sambil melirik Arun.

"Gue juga mau ngomong sama tuh cewek gila," kata Derry sambil menatap Arun tajam. Amarahnya memuncak ketika mendapat kabar dari Brishen kalau Arun ingin mencelakai Freya.

"Udah, biar gue aja. Lo emosi gitu gak bakalan nyelesain masalah," kata Glan. Ia sebenarnya tidak setenang ini saat tahu Freya hampir celaka. Justru dialah yang paling marah saat ini karena perbuatan Arun ada kaitannya dengan dirinya. Akhirnya Derry memilih untuk pergi bersama Freya dan Brishen. Tidak bagus juga kalau ia emosi terhadap Arun dan justru malah ia yang balik mencelakai cewek gila itu. "Run," panggil Glan.

"Semua karena lo, Glan," tuduh Arun.

"Lo bener-bener gila, Run. Dia sahabat lo padahal. Kenapa lo tega kayak gitu sama dia?" kata Glan menahan kekesalannya.

"Lo ngehindar dari gue setelah lo deket sama dia, Glan. Ini semua karena lo. Lo nyakitin perasaan gue. Dan Freya ... dia ngerebut lo dari gue. Dia nikung sahabatnya sendiri. Itu namanya sahabat?" bentak Arun emosi.

"Gue gak pernah merasa deket sama lo, Run. Gue gak pernah suka sama lo. Kenapa lo jadi nyalahin Freya? Kenapa lo nganggap seolah-olah Freya yang ngerebut gue dari lo? Kan sejak awal gue bukan milik siapa-siapa," jelas Glan berusaha tenang. Api tidak boleh dibalas api.

"Terus kenapa lo nanggepin semua chat gue? Itu karena lo juga suka sama gue, ‘kan?" tanya Arun.

"Oh, jadi, lo baper sama chat gue? Run, bayangin deh. Ada orang nge-chat lo baik-baik, terus lo tanggepin jelek gitu? Enggak, ‘kan? Lo pasti nanggepin chat itu baik-baik juga. Begitu juga gue. Gue gak mungkin terang-terangan bilang kalau gue gak suka diganggu," ungkap Glan.

Mendengar penjelasan Glan, Arun bagai tersambar petir. Ia tidak menyangka kalau selama ini Glan tidak lebih hanya sekedar menanggapi chat-nya. Ia kira Glan juga suka padanya, makanya Glan menanggapi semua chat-nya.

"Lo tahu kenapa sikap gue ke Freya beda?" tanya Glan. Ia menatap Arun yang sedang menunduk dengan berlinang air mata. "Karena dia spesial," katanya dengan tegas. "Gue suka sama Freya udah lama dan akhirnya gue bisa deket sama dia. Gue gak sempet lagi ngeladenin lo saat gue udah deket sama cewek yang gue suka. Gue gak mau kehilangan dia," tambahnya lagi.

"Lo bener-bener berengsek. Lo nyakitin perasaan gue demi ngelindungin perasaan Freya? Ternyata ini lo yang sebenarnya, Glan. Makasih atas harapan palsu lo," kata Arun. Perlahan ia beranjak dari tempatnya berdiri tadi. Ia meninggalkan Glan yang masih emosi.

"Lo yang terlalu baper, Run!" teriak Glan kesal. Hanya karena sebuah chat, Freya hampir saja celaka.

***

20/4/2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro