Bab 10 - Pilihan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saya akan pergi!" Eri berkata dengan nada berapi-api. Suster Clara langsung menggeleng-geleng melihat emosi di mata Eri. Kenalan Suster Judith ini memandang Eri dengan tatapan menyelidiki. Jemarinya terlipat rapi di atas meja.

"Eri, melayani orang itu bukan sekadar pergi. Apalagi untuk melarikan diri dari masalah," kata Suster Clara bijak.

Eri langsung tertegun.

"Pelayanan misi adalah pelayanan ke daerah-daerah terpencil. Kau akan melewati banyak rintangan. Suku-suku primitif, hutan-hutan, perjalanan itu jauh sekali."

Tapi aku memang perlu ke ujung dunia, keluh Eri dalam hati. Pikiran Eri saat ini benar benar-benar kacau. Dia ingin sekali menceburkan diri ke dalam sebuah sungai, berendam hingga dia melupakan kejadian nista kemarin.

Arrrgh! Hari gini, mana ada sungai yang bersih, sih? Eri mengerang sebal. Wajah Kyouhei kini melintas dalam pikirannya. Dia menggeleng keras-keras. Memikirkan pria gila itu di tempat seperti ini bisa-bisa bikin dosa. Hih! Amit-amit!

Tapi Eri menyentuh bibirnya sendiri, "Pokoknya saya harus pergi," katanya keras kepala, "Tekad saya sudah bulat. Lebih baik saya mendedikasikan hidup saya untuk melayani sesama."

"Baiklah, kalau itu keputusanmu, maka suster hanya bisa membantu," Suster Clara kini menyerahkan sebuah surat untuk ditanda tangani. Tanpa berpikir lagi, Eri menorehkan penanya dengan cepat. Dia ingin menyelesaikan ini dan melarikan diri secepatnya.

"Saya akan memberitahukan jika ada kabar," kata Suster Clara, "Saya hanya tidak menyangka. Saya pikir, setelah menjadi Mawar Maximus, Eri tidak akan tertarik hal-hal seperti ini."

"Saya bukan Mawar Maximus," Eri berkata spontan, "Saya hanya kebetulan ada di tempat dan waktu yang salah."

Eri menelengkan kepala, mengedarkan pandangan mengelilingi ruangan di sekitar mereka. Hingga kini, Yayasan Cinta Kasih hanya mampu menyewa satu lantai dari sebuah ruko. Ruangannya mirip sebuah kelas kecil dengan lorong dan kursi-kursi kayu. Semua tembok dicat putih bersih. Kantor Suster Clara sendiri adalah sebuah bilik kecil di salah satu sudut ruangan itu.

"Jujur saja, semenjak orang-orang Maximus itu memaksa saya, saya bingung dengan kehidupan saya sendiri," Eri menundukkan kepala, "Saya bahkan tidak tahu apa yang harus saya lakukan sekarang. Mungkin melarikan diri adalah jalan terbaik."

"Eri, tak mungkin kau bisa melarikan diri selamanya," Suster Clara tersenyum manis lalu memberi isyarat dengan kepala, "Lihatlah! Sepertinya saat ini pun, ada orang yang tidak ingin itu terjadi."

Melihat isyarat Suster Clara, Eri segera menoleh. Darahnya berdesir melihat sosok oriental itu sedang berdiri di sana.

"Bicaralah dengannya! Siapa tahu, semua pergumulanmu akan terselesaikan," Suster Clara menyentuh lembut bahu Eri, "Tuhan memberkatimu, Eri. Suster pamit dulu ke sebelah. Kalau ada apa-apa, teriak saja. Suster dan pak satpam akan menolongmu nanti."

Eri mengucap berbagai kutukan dalam hati. Bagaimana bisa Kuga Kyouhei datang ke tempat seperti ini? Mungkin kemarin, Eri beruntung bisa melarikan diri. Tapi hari ini?

"Aku sedang mencarimu," Kyouhei memamerkan senyum khasnya.

Eri melipat kedua tangan. Berpikir bagaimana cara melewati orang ini. Sayang, dengan melihat wajah Kyouhei saja sudah mampu bikin pikiran Eri kusut. Ckckck. Bagaimana bisa Eri berpikir tenang sementara Kyouhei sendiri berdiri di depan, menghalangi jalan begini.

"Kau tak seharusnya kemari!" Eri menghardik pria itu.

"Aku tidak ada tanda larangan di sini," Kyouhei berkata sarkastis, "Memangnya disini merupakan salah satu wilayah kekuasaan Maximus?"

Eri melengos kesal, memacu langkah dengan cepat. Eri telah melupakan keinginan untuk pergi dengan selamat. Benar saja, dalam sesaat, lengannya telah disambar oleh pria itu.

"Tidak secepat itu, Peri Valentine..." Kyouhei menyunggingkan senyuman mengejek itu lagi, "Beginikah sikap terhadap calon tunanganmu?"

Salah satu sudut bibir Eri mengejang. Gadis itu benar-benar marah, "Siapa pun tak berhak mengatur hidupku! Kuberi tahu padamu! Aku—Erika Valerie—tidak akan pernah mau melakukan perjanjian konyol sialan itu! Omong kosong Rajawali Tenggara! Omong kosong Naga Timur Asia! Kalian semua orang-orang gila! Dan kau—" dengan berani, Eri menunjuk dada Kyouhei, "Kau pembual nomor satu—minggir sekarang dan biarkan aku pergi!"

Tawa Kyouhei bergema di telinga Eri. Wajah pria itu mendekat ke depan wajah Eri, "Masih ingat apa yang dapat kulakukan kepadamu?"

Pipi Eri memanas seketika. Kyouhei mempererat cengkeramannya di tangan Eri. Kemarahan dan ingatan kini bercampur baur. Eri bahkan tidak tahu, degup jantungnya kini terjadi karena apa.

"Kau telah memilih berhadapan denganku. Sayangnya, kau juga telah salah memilih musuh," ucapan Kyouhei bagaikan silet dingin di telinga Eri, "Aku bisa mendapatkanmu di sisiku, atau mungkin membunuhmu. Nah, Peri Valentine... di antara menjadi milikku atau mati sia-sia, yang mana yang akan kaupilih?"

"Aku tidak takut mati." Suara Eri meninggi karena kemarahan, "Lebih baik mati ketimbang jatuh di tanganmu. Kau ini penjahat besar!"

"Oh, ya?" Kyouhei menyeringai, "Itukah yang kau dengar tentang aku?"

Eri menjawab dengan sebuah anggukan mantap. Senyum di bibir Kuga kini terlihat sangat puas.

"Ah, sepertinya aku memang tidak bisa menyembunyikan itu darimu. Tapi dengan begitu, harusnya kau tahu... aku bisa bersikap sangat baik atau sangat jahat," bisikan Kyouhei terdengar lirih di telinga Eri, "Apakah kau ingin tahu bagaimana aku membenci Shiori? Tidakkah kau ingin tahu, bagaimana puasnya hatiku ketika kubiarkan peluru itu mengakhiri nyawanya?

"Kau gila!"

"Dengarkan aku," rahang Kyouhei mengeras. Tatapannya saat ini berubah kejam, benar-benar menusuk Eri, "Saat ini, aku masih berbaik hati mengingat perjanjian itu. Aku sendiri tidak bisa membayangkan bagaimana seandainya aku tiba-tiba berubah pikiran."

Mata Eri melebar, kilat tajam dalam mata Kyouhei akhirnya membuat mulut Eri membisu.

"Aku akan memberitahumu apa yang terjadi dengan si botak ketua Geng Kobra kemarin," tak sedikit pun nada mengintimidasi dalam suara Kyouhei berkurang, "Aku menghabisi semua anggota gengnya. Aku menghancurkan seluruh keluarganya, hingga tak ada satu pun mampu melawanku lagi."

Eri menelan ludah.

"Jadi, kau bisa membayangkan sekarang, apa yang akan terjadi dengan Maximus. Atau saudari tersayangmu itu."

Saudari tersayang. Ancaman inilah yang menggoyahkan hati Eri. Dia tidak peduli dengan Maximus. Tapi hidup Jade Judy bagi Eri adalah separuh hidupnya.

Kepala Kyouhei kini bergerak pelan. Satu alisnya naik, sorot kejam dalam pandangannya kembali berubah menjadi sorot geli. Pegangannya di tangan Eri melonggar dan Eri langsung menggunakan kesempatan itu untuk menepis pegangan Kyouhei.

"Kau gila!" Eri mengertakkan gigi. Ingin sekali Eri melayangkan pukulan telak ke wajah Kyouhei. Namun, Eri hanya bisa menabrak pria itu dengan keras, lalu berjalan tiga langkah menjauh... sebelum akhirnya menabrak sosok lain.

"Ketua Klan Naga timur Asia, rupanya anda sedang kelewat santai hingga jauh-jauh datang kemari."

Suara itu!

Eri mengangkat wajah, melihat Sky berdiri di depan. Ketenangan mengaliri wajah Pangeran Maximus itu. Seolah-olah, Sky sedang berbicara dengan salah satu teman sekolah.

Astaga! Sky!

Kyouhei tertawa melihat kedatangan Sky, "Kejutan yang menyenangkan! Pangeran Maximus sampai khusus datang kemari. Apakah gadis ini sangat berarti bagimu?"

Suara Sky mengeras sekeras baja, "Jangan pikir aku tak tahu apa keinginanmu, Kuga-sama. Aku telah mendengar masalahmu dengan Kuga Ryuzaki. Otakmu yang licik itu pasti sudah berpikir keras bagaimana cara memanfaatkan kami demi keuntunganmu, kan?"

"Kau berpikir terlalu jauh, Pangeran."

"Aku tahu, Ryuzaki telah kembali. Kau adalah bajingan yang sama dengan kakakmu," pungkas Sky mantap, "Dengarkan ini baik-baik, Kuga-sama. Aku tidak akan membiarkanmu melibatkan Maximus. Apalagi gadis tak berdaya ini!"

Eri melihat kedua orang itu telah saling berhadapan. Namun, Kuga terlihat enggan mendebat. Sky sendiri tampak yakin dengan apa yang dia katakan. Lepas dari apakah itu benar atau tidak.

Ludah Eri terasa pahit. Sadar kalau Kyouhei memang mengganggu Eri karena satu tujuan.

Mungkin, Eri bisa membantu Kyouhei mendapatkan dukungan Maximus. Dengan memperalat pertunangan ini, Kyouhei akan mendapat kekuatan Maximus untuk menghadapi kakaknya.

Mengapa semua itu terdengar menyedihkan di telinga Eri?

***

Kuga Kyouhei menutup kaca mobil Ferrarinya dengan kesal. Pria itu mengambil sebuah foto yang tergeletak di dekatnya. Foto itu diambil secara candid dari jarak jauh.

Wajah yang nyaris sama. Hanya saja, Ryuzaki membiarkan rambut aslinya yang hitam gelap. Dengan arogan, Ryuzaki membuat sebuah tato naga melingkar di pelipis matanya. Menunjukkan dengan jelas posisinya sebagai penguasa.

"Ryuzaki," Kyouhei bergumam, nyaris tak bersuara. Seluruh dunia seakan berputar-putar di kepala Kyouhei. Kejadian sepuluh tahun lalu kembali terlukis di dalam benaknya...

Sore yang amat suram di kumpulan pertokoan kosong dekat Gunung Akina. Kyouhei berjalan tersruk-saruk, menyeret sebelah kakinya yang terluka. Ia tahu, Ryuzaki masih mengejarnya. Bahkan sudah amat dekat. Tawa kakaknya itu menggema di sudut lorong kosong itu.

"Kemarilah, adikku sayang..." Ryuzaki berkata dari sela tawanya, "Aku janji, akan membunuhmu dengan cepat..."

Enak saja! Kyouhei menyeret kakinya lagi. Namun Ryuzaki sudah berada satu meter di belakang Kyouhei. Bau bensin langsung menyengat hidung Kyouhei. Kyouhei berpaling, mencari dari mana asal bau itu. Rupanya Ryuzaki sengaja menyiramkan bensin di atas jalanan. Jadi, kalau pun Kyouhei berhasil lolos dari Ryuzaki, ia takkan mampu melewati lingkaran api yang akan dibuat oleh kakaknya itu.

"Kau itu kakakku," Kuga berkata lemah dan geram.

"Karena itulah, seharusnya ayah memilihku, bukan kau," Ryuzaki menjawab santai, "Ya, orang tua itu pantas mati," Ryuzaki berjalan memutari Kyouhei. Tak lama kemudian, ia mengambil korek api dari saku lalu memainkan korek itu di salah satu tangan.

"Kau akan mati. Sama seperti ayah."

Ryuzaki melemparkan korek api tepat ke arah cairan bensin. Lontaran itu membuat api menyebar, membentuk setengah lingkaran di depan Kyouhei. Sebagian api menyebar ke belakang mereka, menguar, menghanguskan segala sesuatu di dekatnya.

Kyouhei menutupi mata, mendadak disilaukan oleh api yang berkobar-kobar. Ia melihat Ryuzaki menarik pistol, lalu mengacungkannya ke depan.

Habislah! Kyouhei memejamkan mata, merasa hidupnya tak lama lagi akan berakhir sekarang.

Tapi tidak. Bukan itu yang terjadi. Tepat saat Ryuzaki akan menembakkan pistol, seorang wanita datang dari kobaran api, menyerang Ryuzaki dengan sebilah katana. Setelah bertarung dan mengejar Kyouhei, tenaga Ryuzaki habis separuh. Wanita itu berhasil menghantam mundur Ryuzaki, hingga pria itu lari di tengah kegelapan malam.

Kyouhei menghela napas. Kata-kata Sky dan Eri tiba-tiba terngiang di telinga. Dia mengingat semua hal yang dilakukan gadis itu dari awal mereka bertemu.

"Lebih baik mati daripada jatuh ke tanganmu!"

Kemarahan di mata gadis itu tidak dibuat-buat. Seumur hidup, baru pertama kali ini, Kyouhei mendengar seorang gadis berani menantangnya terang-terangan seperti itu. Naluri maskulin dalam diri Kyouhei perlahan bangkit. Dia ingat kalau Shouji pernah mengatakan kalau Eri diam-diam menaruh hati pada Sky.

Saingannya.

Kyouhei menaruh foto Ryuzaki secara sembarangan. Tak lama, dia menyurukkan tangan ke saku, mengambil sebuah ponsel lalu menekan sebuah tombol panggilan cepat. Tangan Kyouhei mengetuk-ngetuk dasbor dengan tak sabar. Ingin panggilannya segera diangkat.

Dering pertama. Dering kedua... Telepon itu dijawab tepat saat deringan ketiga.

"Hero," panggil Kyouhei, "Jalankan semua yang kuperintahkan kepadamu."

"Jadi anda sudah yakin?" orang yang dipanggil itu rupanya seorang wanita.

"Semua akan berjalan sesuai kehendakku, Hero," ada kegelisahan dalam suara itu, meski Kyouhei berusaha menyembunyikan.

"Semua selalu berjalan sesuai kehendakmu, Ketua," Hero tertawa, "Tapi, saya hanya heran mengapa anda tiba-tiba berubah pikiran."

Kyouhei mengerutkan alis, "Aku ingin semuanya dipercepat. Dia harus segera berada di Mansion Kuga. Tidak ada seorang pun boleh menyentuh orang itu selain aku."

***

Eri membelalak tak percaya. Lembaran-lembaran persegi panjang beserta amplop-amplop tebal tergenggam di tangan Sky. Semua itu adalah surat-surat panggilan dari beberapa universitas, brosur-brosur, juga visa dan paspor atas nama Erika Valerie.

Bagaimana mungkin Sky dapat melakukan hal sekeji ini pada Eri? Sebegitu inginkah pria ini menyingkirkan Eri dari hadapannya?

London?

"Aku tidak akan pergi," Eri berkata dari sela gigi, "Kalau pun harus pergi, aku tidak mau pergi

"Dimana lagi kau dapat belajar lebih baik tentang Sastra Inggris selain di Inggris?" Sky berkata tenang, "Pergilah. Semua sudah diatur."

"Apa kau sedang berusaha menolongku?" Eri menyilangkan tangannya dengan gusar, "Ataukah kau hanya sedang mengusirku karena menganggapku perempuan matrealistis yang akan sangat merepotkan?"

Sky memutar mata, terlihat enggan menjawab, "Aku tidak tahu. Yang jelas aku tidak sedang berusaha menolongmu."

"Oke, jadi jawabanmu adalah yang kedua," Eri mengambil lembaran-lembaran dari tangan Sky. Dengan kasar, Eri merobek-robeknya menjadi serpihan-serpihan. Eri pun melempar serpihan-serpihan itu di depan muka Sky.

"Dengarkan aku!" suara Eri meninggi. Matanya memanas karena menahan tangis, "Aku memang yatim piatu. Tapi aku tidak butuh belas kasihanmu! Kalau memang kau menganggapku sebagai penyakit, mohon jaga jarak saja. Siapa tahu kau bisa terkena sejenis lepra! Satu hal lagi, Dirk Carlo Maximus! Kau harus tahu, aku membencimu! Amat-sangat membencimu!"

Mata Eri berkilat-kilat saat mengatakannya. Sebelum Eri berlalu dari Sky, dia menabrak pria itu dengan keras.

Hari ini betul-betul melelahkan bagi Eri. Seharian ini dia telah bertemu dengan orang-orang berengsek. Kuga Kyouhei memang pria bajingan, namun Sky tak jauh berbeda dari Kyouhei. Eri harus menghindari kedua orang itu. Terutama kalau dia tak ingin hidup dan perasaannya porak-poranda.

Eri tidak tahu, saat itu Sky memandang punggung Eri yang menghilang dengan cepat. Perasaan Sky mati-matian mengutuk diri sendiri Hatinya menyuruh Sky berlari menarik Eri. Namun, pikiran logisnya menahan pria itu di tempat. Lebih baik Eri membencinya, bukan? Dengan demikian, akan lebih mudah buat Eri untuk meninggalkan Maximus...

Dan membiarkan perasaan Sky terkubur selama-lamanya.

Stop Plagiarism

Putu Felisia

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro