Bab 19 - Berdansa atau Minum

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eri melihat Jade tampil agak feminin malam itu. Tank-top hitamnya berpadu manis dengan rok pendek ketat bermotif tentara. Sementara rambutnya diberi bando ber-glitter keemasan. Ia memoles sedikit bedak dan lip gloss berwarna oranye. Jade memandang gadis cantik di depan cermin. Posturnya khas Maximus, indah, berlekuk sempurna di tempat yang tepat. Mata topaznya tertutup bulu mata luar biasa lentik, sementara bibirnya penuh dan menawan. Eri memperhatikan penampilannya sendiri. kaus Sabrina dengan rok lipit itu benar-benar membuatnya seperti anak sekolahan. Terlalu biasa. Namun Eri sama sekali tidak tertarik untuk berpenampilan agak spesial. Perdebatannya dengan Sky membuatnya amat frustasi. Dia mati-matian menghindari pertemuan dengan pria itu. Tidak ingin perasaannya semakin hancur lebur. Rumah dan kampus adalah tempat teraman baginya. Dia tidak ingin pergi ke tempat lain. Kalau saja Jade tidak memaksanya ikut malam ini, dia akan segera bersembunyi di balik selimut, melakukan hibernasi hingga jiwanya tenang.

Eri tersenyum, Jade sahabatnya itu bahkan rela memakai hak tinggi demi mempercantik dirinya saat bertemu Andhika.

"Cantik sekali..." Eri berkata tulus, "Andhika pasti terkesan melihatnya."

"Makasih..."

"Seharusnya aku tidak ikut pergi."

"Aku tahu," Jade mengambil cardigan rajut dan mengenakannya, "Tapi aku tak ingin kau bersedih terus..."

Eri menghela nafas panjang, meilhat pandangan optimis dari Jade.

"Aku akan menjagamu. Aku berjanji.." Jade mengancungkan kedua jempolnya, "Semangat, ya!"

Eri tersenyum miring.

Andhika dan Darius datang tak lama kemudian. Seperti dugaan Eri, Andhika terkesima melihat penampilan Jade sebelum mengecup dahinya. Kedua orang itu membawa Jade bersama Eri ke lounge dalam klab The Don Juan.

"Bersantailah sejenak," Darius berkata sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Eri.

Mereka tiba jam dua belas lewat dua puluh menit. Namun lounge itu sudah hampir sesak oleh manusia. Asap rokok bertebaran dimana-mana. Gadis-gadis ABG berseliweran dengan gaun-gaun mini dan seksi. Sedangkan kaum pemudanya terlihat mencolok dengan dandanan hip. Ini adalah dunia gemerlap. Eri baru pertama kali mengalaminya. Melihat langsung sinaran kerlap-kerlip lampu bergantian menyinari tarian orang-orang di lantai dansa, sementara telinganya disesaki dengan sekumpulan musik R&B. Baru saja Eri beranjak, saat sorot matanya bertabrakan dengan seorang pria tampan yang sedang bersantai di depan bar. Kuga Kyouhei. Hanya ditemani Radit, minus anak buahnya yang lain. Mungkin ia sungkan mengajak anak buahnya ke kafe, yang notabene adalah milik Maximus. Tampak binaran kecil yang usil di matanya saat melihat Jade, kemudian wajahnya berubah masam waktu melihat Eri di belakang Jade. "Apa kemana-mana kamu harus dikawal?" sindirnya. Muka Eri langsung memerah mendengarnya, namun, Darius dan Jade bersikap tak peduli.

"Bagaimana kau dapat menikmati kebebasanmu jika harus terus-menerus ditemani baby sitter?" Kuga mengulurkan tangannya kepada Eri, "Berdansalah denganku."

"Kau keberatan?" Jade lebih dulu menyambut uluran tangan itu, mengabaikan pandangan tak senang dari Andhika. Ia tidak ingin melanggar janjinya untuk menjaga Eri.

"Satu lagu saja." Jade berkata menantang. Eri beringsut dari tempatnya berdiri, ingin menyepi di satu sudut. Dari ekor matanya dia melihat Kuga tak menolak ajakan Jade. Pria itu menarik tangan Jade halus sekali, membimbingnya menuju lantai dansa yang tak terlalu banyak pengunjung. Kedua orang itu larut dalam musik yang berdentum-dentum.

Eri berjalan lambat mendekati sebuah meja bundar kecil yang terletak di sudut. Darius sedang bercanda dengan seorang gadis berpakaian ala Harajuku. Gadis itu langsung cemberut saat Darius mendaratkan ciuman jauh kepadanya sebagai tanda perpisahan, lalu beralih melihat Eri.

Darius mengulurkan segelas cocktail ke tangan Eri. Aroma stoberi dan apel menguar menggelitiki hidung Eri. Ia menyesapnya sedikit, lalu memalingkan wajah ke Darius. Cowok itu tersenyum, memamerkan giginya yang panjang-panjang.

"Betah?" tanyanya.

Eri menggeleng.

"Pantas saja dia tertarik sama elo," Darius tergelak, "Kalian berdua sama-sama ngebosenin."

"Maksudmu siapa?"

Darius angkat bahu. Setelah itu mulai menikmati musik dengan menggeleng-gelengkan kepala,

"Mengapa aku harus ikut dalam permainan kalian? Mengapa Kuga menginginkan aku?"

"Tanya aja sama Kuga..." Darius menunjuk, "Makanya lain kali kalo mau nodong orang liat-liat dulu!"

Eri berpaling, melihat arah yang ditunjuk Darius. Kuga dan Jade sedang berjalan ke hadapan mereka. Eri langsung membuang muka.

"Bolehkah kupinjam partnermu ini?" Kuga bertanya. Sikapnya yang sopan memaksa Darius mengangguk dan mengiyakan. Kuga kembali pada Jade lalu berkata, "Keberatan?"

Jade menggeleng. Ia menyambut uluran tangan Darius, dan turun kembali ke lantai dansa.

"Shall we dance?"

"No!" Eri berkata galak, menepis tangan Kuga dengan kasar. Kurang ajar betul orang ini! Eri melirik Kuga dari sudut matanya. Penampilannya semenawan biasanya. Sejak mengetahui Kuga adalah ketua klan yakuza, baru kali ini Eri melihatnya berpenampilan lebih santai. Meskipun sikap mengejeknya tak pernah berubah.

"Sejak kapan aku berutang padamu?" Eri berkata dengan nada menuduh. Kuga hanya memamerkan senyum separonya. Eri menggertakkan gigi. Gemas. Entah mengapa kehadiran Kuga di sebelahnya sedikit mengingatkan Eri kepada Sky. Sky yang anggun, Kuga yang tegas. Ada beberapa bagian dari kedua orang itu yang mirip, mungkin dikarenakan keduanya adalah penerus dan ketua klan mafia.

Sky... kenapa begitu sulit melupakannya? Seharusnya sejak lama ia mencegah hatinya menyerahkan diri kepada laki-laki itu. Mengapa perasaan itu begitu mudah tercurah dan patah? Eri merasakan kedua pipinya memanas. Dia seharusnya menjauhi pria itu seumur hidupnya.

Sky.

Dan mata birunya...

Juga pesonanya...

Namun masalahnya, tidak seorang pun bisa mencegah perasaannya sendiri...

"Kau menangis?" perkataan Kuga membuyarkan lamunan Eri. Ia baru merasakan setetes air mata menuruni pipinya. Konyol.

"Cengeng."

"Bukan urusanmu."

Kuga tertawa, "Orang yang kautangisi itu sangat beruntung."

Ucapan Kuga terdengar tulus, Eri hampir mempercayainya, kalau saja yang disebelahnya bukan ketua Naga Timur Asia.

"Aku akan mencari Jade," sergah Eri. Mengalihkan pembicaraan. Namun Kuga menahan sebelah tangannya. tangannya yang lain menunjuk sekelompok anak-anak junkies, "Pernah kecanduan?" katanya sambil memandang anak-anak junkies itu, sebelum mengalihkan pandangannya pada Eri, "Keadaanmu sekarang lebih parah dari mereka."

Eri menunduk. Mungkin Kuga benar. Cintanya kini telah melebihi obsesi. Benar-benar seperti pemadat. Ia akan layu jika tidak melihat Sky. Namun sensasi kenyamanan dari berada di dekat laki-laki itu adalah fatamorgana yang akan kembali membuatnya terpuruk.

"Aku bukan pemakai," kata Eri, nyaris seperti berbohong.

"Pantaskah dia menerima semua ini? Setelah perlakuannya padamu? Setelah ia berkali-kali membuatmu menangis? Pantaskah?" Kuga melanjutkan tanpa ampun, telunjuknya mengusap sebutir air mata dari pipi Eri, "Waktu itu kau juga menangis karena dia."

"Jadi aku perlu mengetahuinya darimu," sergah Eri, agak tersinggung.

"Kalau mencintainya membuatmu sakit, lebih baik lupakan saja..." Kuga berkata pelan. Eri melihat kilauan di mata Kuga, seperti matahari kecil. Eri terlalu sakit untuk mengakui, kehangatan matahari itu perlahan menenangkan jiwanya.

"Jangan mempercayai perkataan Shouji tentang aku," Eri membuang muka, menyembunyikan semburat merah di pipinya.

"Jadi aku harus percaya kalau kau lebih memilih masuk biara, daripada 'menggadaikan keperawananmu kepada bajingan tolol sepertiku'?"

Darimana dia tahu hal itu? Eri menggerutu, "Tidak!" Eri mengeluh. Tiba-tiba teringat obrolannya dengan Jade di atas sebuah kertas kecil. Dia sudah membuangnya. Jelas sekali.

"Apa kau punya hobi mengorek-ngorek tong sampah?" Eri berkata, masih dengan nada tersinggung. Marah karena pria ini ternyata memahami keseluruhan dirinya. Mengapa harus Kuga? Kalau saja pria itu Sky... Eri akan rela melakukan apa saja. Termasuk menyerahkan nyawanya.

"Ayolah... siapa lagi yang bisa membuatmu sedih kalau bukan Sky?" tantang Kuga, "Tidak ada gunanya menangisi laki-laki macam dia. Dia tidak pernah akan bisa mencintai seseorang."

"Terimakasih sudah mengingatkan," Eri menyapu air matanya, "Aku ini memang gadis yang bodoh. Terlalu bodoh sampai bisa jatuh cinta padanya." Eri melihat Kuga lagi. Wajahnya terlihat hampa. Heran, mengetahui kalau ia bisa mengakui perasaannya di depan Kuga. Untung saja Kuga saat itu sedang menghadap meja bar, sehingga tidak melihat wajah Eri sedang memerah lagi.

"Chivas Regal," Kuga berkata kepada si bartender, "Dan berikan nona ini gin and tonic."

Eri melotot, "Apa yang kau lakukan?"

"Membantumu melupakannya."

"Tidak mau."

"Berdansa, atau minum?"

Penawaran atau pemaksaan? Eri membalas dengan nada menuduh, "Mau membuatku teler?"

Kuga tersenyum tenang, "Kira-kira lebih mudah mana, membuatmu teler dengan alkohol? Atau memasukkan narkoba ke dalam cocktail-mu?" tantangnya, "Disini adalah wilayahmu... Kalau aku macam-macam, kau bisa memanggil kakak-kakakmu."

Si bartender menaruh gelas bertangkai di depan Kuga, dan sebuah gelas gemuk di hadapan Eri.

Eri memutar gelasnya, melihat sebuah bulatan es besar ikut berputar di dalamnya.

"Satu gelas saja takkan membuatmu mabuk."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro