14. I Got You (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa Monic nggak datang ke pernikahan kita?"

"Kakak lagi sibuk di Amrik, jadi nggak bisa datang."

Aku mengangguk-angguk, lalu melanjutkan membuka kotak hadiah. Jadi, aku sama Oliver sekarang lagi unboxing hadiah-hadiah yang kami dapat karena awalnya bingung gitu mau ngapain. Terus aku keingat kalau kamar kosong ini kami jadiin tempat penyimpanan barang-barang yang kami dapat pas resepsi. Saat aku ngajakin Oliver, dia juga excited buat bongkar-bongkar hadiah. Berasa banget sih jadinya suasana sebagai pengantin baru.

"Monic nggak marah saat tahu kamu mau nikah?"

"Nggak. Dia kan nggak punya hak buat marah, Sayang, karena di antara kami nggak ada hubungan ke arah romantisme."

Kalau langsung jawab tanpa mikir gitu kemungkinan besarnya memang nggak bohong, sih. Yah, sekarang aku harus ngurangin curiga biar nggak pusing.

"Terus dia nggak ngasih hadiah gitu, Olv? Kan kamu adiknya."

Sebenarnya aku paling nggak suka ngebahas orang lain dalam suatu hubungan. Orang lain yang aku maksud ya kayak mantan, gebetan zaman dulu, dan sejenisnya. Tapi mungkin karena sudah memutuskan untuk percaya sama Oliver dan yakin kalau Monic bukan si pengirim bunga, aku ngerasa ngebicarain tentang wanita itu kayak teman.

"Ada. Aku yang belum sempat bilang sama kamu. Kakak ngasih aku uang saat aku diskusi mau pindah ke Bali karena mau ngelamar seseorang dan menetap di sini kalau lamaranku diterima. Dengan yakinnya Kakak nyuruh aku langsung beli rumah, karena Kakak tahu orang yang mau aku lamar pasti adalah orang yang bikin aku nggak menjalin hubungan sama siapa-siapa selama ini."

Oliver terlihat mau membagi apa pun kisahnya sama aku. Apa ini karena dia memang sudah berkomitmen sejak awal dengan hubungan kami?

"Kakak juga yakin aku akan bisa menikahi perempuan itu, karena aku berjuang sekian tahun salah satunya emang untuk itu. Jadi, tanpa ragu Kakak setuju aku kerja remote dan ngasih aku uang untuk beli rumah. Anggap sebagai hadiah katanya."

Hah? Bentar, bentar. Aku menggeser duduk dan menyingkirkan beberapa kotak supaya lebih dekat dengan Oliver. Dia juga tiba-tiba berhenti beraktivitas dan hanya menatapku.

"Jadi rumah ini dibeli pakai uang dia? Katanya kamu kerja biar bisa ngasih aku rumah ini? Ini sih namanya dikasih minta, Olv."

Kalau dijadiin judul FTV kurang lebih kayak gini nih; Aku Menempati Rumah Pemberian Wanita yang Pernah Menyukai Suamiku.

Keren? Ya nggaklah!

"Nggak, Sayang."

"Ihhh. Kamu yang bilang, Olv."

Apa, sih? Jawabannya plin-plan!

"Kapan aku bilang rumah ini dibeli pakai uang Kakak? Aku kan belum selesai ceritanya."

Daguku dicubit pelan. Gemas kayaknya dia sama aku. Ya, kan dia yang duluan bikin aku nggak sabaran.

"Rumah ini aku beli pakai uang hasil kerjaku. Rumah yang Mama tempati, itu baru uang Kakak. Rencana awalnya, cuma aku yang bakal pindah ke sini. Mama, Papa, Azmi, bakal tetap di Jakarta. Tapi karena dapat rejeki dari Kakak, aku diskusi sama Papa dan yang lainnya soal ikutan pindah. Lebih baik kan berdekatan kalau kondisi memungkinkan. Mereka setuju, ya meski Azmi agak kecewa dan marah."

Oh, gitu. Oke, oke, paham. Tapi artinya uang yang dikasih Monic itu banyak banget, dong? Bisa beli satu rumah, lho! Serius dia sebaik itu?

"Udah, ya? Nggak salah paham lagi, 'kan?"

"Tapi apa itu nggak berlebihan, Olv?"

Aku ikut senang dan merasa luar biasa, tapi pemikiran kalau ada harga yang harus dibayar untuk kebaikan Monic itu tetap ada.

"Iya, kelihatannya berlebihan. Aku juga nggak nyangka awalnya. Tapi Allah emang selalu baik, Sofie, ngasih kita kejutan yang benar-benar nggak terduga."

Aku memegangi dada karena debarnya agak berbeda. Oliver benar, Allah memang selalu baik. Kadang-kadang otak sampai buntu memikirkan bagaimana ada kejadian yang serupa keajaiban, nggak jauh-jauh kejadiannya baru-baru ini aku alami; kembalinya Oliver.

"Sof, lucu, nih."

Topik kami sebelumnya sudah selesai. Aku nggak lagi nanya-nanya tentang Monic dan semua kebaikannya pada Oliver. Itu sudah rezeki Oliver dan keluarganya, 'kan? Aku yang baru lagi memasuki hidup Oliver memang seharusnya nggak mempermasalahkan apa pun masa lalunya.

Aku memperhatikan handuk berwarna krem yang sedang direntangkan oleh Oliver. Di sana ada bordiran namaku dan Oliver. Pas dipegang handuknya ternyata lembut banget. Rupanya nggak cuma satu, tapi ada dua handuk dengan bordiran yang sama. Couple gitu ya ceritanya? Astaga. Gemoy!

"Nanti cuci dulu, baru dipakai, Olv."

"Siap, Istriku yang cantik."

Enteng banget lho dia ngomong gitu, sambil senyum pula. Tapi ... emang, sih, pujian-pujiannya bikin aku senang. Apa Oliver memang sengaja menciptakan suasana yang ceria begini biar aku nggak ngerasa canggung dengan status baru kami?

"Kenapa bengong?"

Oliver menepuk pelan telapak tanganku dan membuatku kembali fokus. Tampangnya kayak penasaran banget, apalagi setelah aku senyum sambil geleng-geleng kepala.

"Dulu kamu muji aku cuma di saat aku kesel, marah, sedih. Tapi kenapa sekarang kamu selalu ngelakuin itu setiap saat?"

"Ah, itu," jawabnya pelan. Oliver meletakkan kotak kado yang tadi dipegang. "Jawab pertanyaanku dengan jujur tanpa ada rasa gengsi, Sofie. Apa saat aku muji kamu, di dalam hati sebenarnya kamu senang? Kamu merasa spesial saat aku bilang kamu cantik, manis, mengagumkan, atau hal positif lainnya?"

Aku mengangguk pelan. Memang begitu, sih, perasaanku.

"Itu juga jawaban dari pertanyaanmu tadi. Kamu istriku, tugasku adalah menyenangkan kamu dimulai dari hal sederhana. Apresiasi terhadap pasangan itu sangat berarti, Sof. Walau cuma sekedar memuji habis nyuci piring, percaya deh, itu udah bikin senang."

Lalu Oliver kembali melanjutkan membuka hadiah, sedangkan aku merenung sesuatu.

Aku nggak berbuat hal hebat, tapi di setiap waktu Oliver ngasih aku pujian yang bikin aku kadang-kadang berpikir apa aku memang selayak itu mendapatkannya. Sampai detik ini aku bahkan nggak memberikan hak Oliver sebagai suami, tapi dia nggak protes. Dia yang mendatangiku dengan lamaran dan ngasih aku nafkah setelah jadi istrinya, juga nggak bikin aku benar-benar menghargai Oliver.

Kalau begitu ... aku egois banget, ya?

"Wow! Sofie, ini hadiah khusus buat kamu."

Aku segera melihat kotak yang telah terbuka itu. Dahiku mengerut saat mendapati kain renda berwarna merah muda. Wait! Ini ... nggak kayak yang aku pikiran, 'kan?

"Olv. Jangan kamu ambil deh."

Tubuhku merinding ketika Oliver merentangkan kain itu dan sebuah kain kecil lainnya jatuh dari sana. Kurasa benda itu tadinya ada di lipatan. Tapi kok bisa-bisanya Oliver ngambil dan dengan semringahnya ngasih lihat ke aku?!

"Wow! Kapan aku bisa lihat kamu pakai ini, Sof?"

"Kyaaaa! Mesummm!"

Aku merampas gaun tidur seksi beserta g-string-nya dari Oliver. Nggak ketinggalan, aku juga merampas kotak yang masih berisi lingerie dengan warna berbeda. Kupeluk erat kotak ini setelah menutupnya, nggak mau Oliver lihat apalagi sampai pegang-pegang kayak tadi.

"Apa senyum-senyum?" tanyaku pada Oliver.

Dia menutup bibirnya dan nggak bicara apa-apa.

Kesal! Siapa sih ngasih hadiah unfaedah gini?

"Sofie, itu HP-mu bunyi."

Saking fokusnya nenangin hatiku yang jedar-jeder karena kejadian barusan, aku sampai nggak sadar ponsel di dekatku berdering.

"Sini kotaknya kasih aku. Jadiin satu sama hadiah yang lain."

"Eh, enak aja." Aku menepis tangan Oliver yang hendak mengambil kotak ini. "Aku yang simpan nanti."

Lalu aku mengangkat panggilan dan tetap memasang waspada karena Oliver kelihatan senyum-senyum. Senang kali ya dia bikin aku malu gini? Hih! Biar aman, aku nerima telepon sambil jalan ke kamar untuk nyimpan kotak ini di lemari, kemudian aku balik lagi ke kamar sebelumnya karena Oliver masih di sini.

Nggak sampai sepuluh menit aku sudah menyelesaikan panggilan. Aku membantu Oliver membereskan kertas-kertas bekas pembungkus dan sengaja membiarkan kotak-kotak lainnya nggak di-unboxing.

"Tadi Fani yang telpon, ngajak ketemu di coffee shop yang dekat tokoku itu. Kamu bisa ngantar aku?" Aku bertanya tanpa menatap wajah Oliver.

Oliver mengambil kertas-kertas dari tanganku, lalu berdiri.

"Ayo, pergi sekarang."

Ada nada senang yang aku tangkap dari kalimat Oliver barusan. Aku sebenarnya bisa pergi sendiri, tapi teringat apa yang Oliver bilang tadi, aku jadi sedikit menurunkan keegoisan.

Pasangan itu ... ingin keberadaannya diakui, walau hanya dengan minta dianterin saat ketemu teman. Terlepas dari perasaanku yang belum sepenuhnya kembali dan bisa menerima Oliver sepenuh hati, aku juga wajib menghargainya. Karena Oliver berkali-kali lipat lebih menghargaiku.

Fani nggak menyembunyikan keterkejutan dan rasa senang atas pernikahanku. Aku nggak tahu kalau dia bisa jadi orang yang heboh kayak tadi. Baru ketemu dia langsung meluk aku dengan erat sambil ngucapin selamat. Sebelum Fani mengulurkan tangan dan menyelamati Oliver, laki-laki itu lebih dulu mencakupkan tangan. Dan Fani sepertinya paham, dia nggak ada menunjukkan mimik wajah nggak enak. Ketika Oliver pamit duluan dengan alasan mau membeli sesuatu, Fani juga masih ramah.

"Aku nggak tahu kapan kamu putus sama Farel. Tapi ya pantesan aja Anggi—"

Tiba-tiba Fani menutup bibir, kelihatan dia lagi menutupi sesuatu.

"Anggi kenapa?" tanyaku curiga.

"Better kamu tahu sendiri, Sof."

Eh? Ada apa memangnya?

Oh, iya, mumpung lagi nggak ada Oliver, aku harus melakukan sesuatu. Skip dululah soal Anggi.

"Bentar, ya, Fan. Aku mau nelpon seseorang."

"Oh, oke."

Nomornya masih kusimpan, walau nggak lagi ada di daftar urgent. Dan karena seseorang di seberang sana langsung menjawab panggilanku, kuharap pembicaraan kami lancar hingga aku menemukan sesuatu.

"Halo. Siapa, ya? Nomornya nggak tersimpan di sini."

Eh? Aku buru-buru memeriksa nama yang kutekan pada daftar kontak tadi. Benar, kok, ini nomor Farel. Tapi kenapa yang ngangkat perempuan? Terus suaranya kayak kenal deh.

"Maaf, Mbak siapa, ya? Ini nomornya Farel, 'kan? Saya mau bicara sama Farel."

"Iya, ini nomor Farel. Dia lagi ke toilet. Saya Anggi, pacarnya."

What?! Seriously?! Anggi yang itu, 'kan? Anggi sama Farel jadian?! Gila! Pantesan aku nggak asing sama suaranya.

"Sejak kapan?" tanyaku tanpa sadar.

"Udah sebulan lebih. Kenapa, ya? Kamu ada urusan apa sama Farel?"

Sebulan? Hahaha. Astaga.

"Eh, Baby, ada telpon nih di HP kamu."

Aku mencoba sadar kalau ini masih di bumi. Oh, well. Mereka beneran jadian. Anggi barusan pun manggil Baby ke Farel yang kurasa baru datang dari toilet. Mereka menghabiskan akhir pekan bersama rupanya.

"Halo. Siapa nih?"

Hah. Ternyata nomorku sudah dihapus ya. Hal ini jadi bukti baru kalau bukan Farel pelakunya. Dengan dia pacaran sama Anggi pun berarti Farel sudah nggak peduli sama aku.

"Farel, selamat ya udah jadian sama Anggi."

Fani yang lagi meneguk kopi tiba-tiba terbatuk. Perempuan yang duduk di seberangku ini menatapku dengan kaku. Aku menyunggingkan senyum, ngasih kode kalau aku nggak masalah sama sekali.

"Oh, Sofie. Ngapain nelpon? Aku nggak mau lagi berurusan sama kamu setelah polisi datang ke rumahku hari itu."

Hari itu? Ah, apa hari lamaran? Saat Oliver minta bantuan Pak Jaya?

Oke, itu nggak penting. Intinya aku sudah yakin kalau Farel nggak mau terlibat lagi sama aku.

"Dan langsung jadian sama Anggi?" Aku tertawa kecil. "Hari itu kamu nuduh aku selingkuh karena tiba-tiba bilang bakal nikah. Terus kamu apa namanya, Farel? Jadi saat kita masih jadian, kamu udah chatting sama Anggi, 'kan? Makanya kalian bisa langsung jadian nggak lama setelah kita putus."

Farel nggak ngejawab.

"Ya, aku cukup tahu aja kelakuan kalian. Shame on you!"

Sebelum Farel ngejawab, aku sudah mematikan telepon. Lalu nggak lama setelah itu, ponselku berdering. Nama Anggi tertera di layar dan bikin aku mau ketawa.

"Kamu udah tahu, 'kan, Fan?"

Fani mengangguk pelan.

"Aku nggak marah, tapi aku kecewa sama Anggi. Ternyata dia benar-benar ngincar Farel. Hah. Gitu yang namanya sahabat? Bullshit."

Iya, aku kecewa karena ternyata Anggi nggak menjaga perasaanku. Diam-diam mereka chatting selama ini dan mungkin juga meet-up tanpa sepengetahuanku.

"Aku nggak bisa ngomong apa-apa, Sof. Aku juga nggak lagi komunikasi intens sama Anggi sejak tahu dia udah sama Farel."

Huh! Sudahlah!

Aku mengangkat panggilan dari Anggi dan seperti dugaan, dia ngasih penjelasan yang basi.

"Anggi, coba deh dengerin lagu Bekas Pacar dari Mikha Tambayong. Cocok tuh buat kamu. Bye!

Itu saja yang aku bilang. Nggak penting banget bicara sama dia lagi, nomornya juga sudah aku hapus. Dan aku juga punya urusan yang lebih penting sekarang ketimbang larut dalam kecewa. Untungnya kafe ini lagi sepi juga, jadi aku nggak tambah ngerasa crowded sekarang karena habis dapat kejutan nggak terduga.

"Fan, pacarmu kalau nggak salah ahli IT, 'kan?"

"Eh, iya. Kenapa, Sof?"

Aku menyesap cappucino dinginku sebelum melanjutkan bicara.

"Bisa minta tolong nggak buat ngelacak kepemilikan nomor seseorang?"

Aku dan Oliver jadi makan malam di luar dan sempat window shopping setelah pisah sama Fani. Kami juga sholat di masjid pas Magrib dan Isya. Pokoknya nggak boleh ninggalin sholat walaupun lagi di luar rumah, kata Oliver.

"Mau ngerencanain honeymoon nggak, Sof?"

Oliver baru keluar dari kamar mandi dan langsung bertanya begitu ke aku. Apa selama satu jam di dalam sana dia merenung hal ini?

"Yakin mau honeymoon? Nggak ngerasa rugi karena nggak bisa kayak pasangan lain pas malamnya?"

Aku agak terkejut karena Oliver tiba-tiba naik ke ranjang dan menjadikan pahaku sebagai bantal kepala. Deg-degan lagi aku tuh jadinya! Tapi walau begitu aku pura-pura stay cool dengan bermain ponsel.

Dia tahu nggak, ya, kalau setiap malam tidur di sampingnya aku ngerasa gelisah?

Satu pesan masuk ke ponselku bersamaan dengan Oliver yang kembali bicara. Aku sama sekali nggak fokus pada kalimat Oliver karena lebih serius pada informasi yang Fani berikan. Lalu aku menghela napas panjang dan mengalihkan perasaan dengan menanggapi ucapan Oliver setelah mematikan layar ponsel.

Akhirnya aku mendapatkan orang itu. Oh, aku nggak sabar untuk bicara langsung dengan si pengacau ini. Kira-kira gimana reaksinya, ya, karena aku tahu secepat ini?

Fani:

Sof, aku udah dapat infonya. Nomor itu terdaftar atas nama Hasreni Amelia. Sorry kalau aku salah ingat. Tapi itu bukannya nama ibu mertuamu?

To be continued

Sedang membaca buku bagaimana cara menjadi pasangan idaman.

🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro