25. Messed Up

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Oliver!!! Cepetan deh mandinya! Aku juga mau mandi!"

"Ya, ya! Bentar lagi selesai!"

"Dari setengah jam lalu kamu bilang gitu, Oliver!"

"Sebentar lagi, Sofie! Sabar!"

Argh! Selalu gini deh setiap pagi, Oliver menguasai kamar mandi selama satu jam. Please, jangan mikir aneh-aneh, walau aku sempat sih suuzan dia melakukan aktivitas terlarang di dalam sana. Oliver itu pure mandi, berkali-kali, makanya dia lama banget di kamar mandi.  Nggak masalah kalau aku lagi nggak ada janji, tapi pas aku buru-buru gini rasanya pengen teriak-teriak terus jadinya.

Awalnya aku nggak tahu kenapa Oliver selalu mandi berlama-lama, seminggu belakangan akhirnya aku mendapati sebuah fakta kalau Oliver mengidap OCD. Syok? Sudah pasti. Bayangin, selain punya suami yang suka makan makanan bayi, suamiku juga ternyata pecinta kebersihan. Mulai dari dia yang selalu pakai hand sanitizer saat masuk mobil setelah makan atau ngapain saja di luar, aku mestinya sudah curiga, ya. Tapi aku menganggap itu wajar, apalagi kemarin-kemarin sempat heboh karena sebuah virus yang menyebar dengan cepat.

Kukira Oliver cuma iseng mengatur amenities di kamar mandi. Mulai dari facial wash-ku, shampo, conditioner, scrub, itu dia atur berdasarkan tinggi. Coba deh, apa nggak buang-buang waktu? Karena berkali-kali aku lihat Oliver menyentuh barang-barangku, akhirnya aku tanyain. Dan akhirnya terungkaplah semua, kalau Oliver  risih melihat benda yang nggak beraturan, kalau dia harus mandi berkali-kali dalam satu waktu demi memastikan badannya bersih dan nggak ada kuman.

Pusing nggak tuh mikirinnya? Ya pusinglah! Karena ini berdampak untuk aku. Pantas saja dia selalu cerewet kalau sore-sore aku belum mandi, selalu nyuruh aku langsung ganti baju tiap habis dari luar. Hah! Benar-benar, deh, hidup itu banyak kejutannya. Aku belum tahu sejak kapan Oliver mengidap OCD, dan sepertinya aku saat ini nggak mau juga terlalu banyak penasaran, takutnya aku makin syok saat mendengar fakta lainnya, terus ending-nya aku melambaikan tangan.

"Olv! Ini aku mau ada meeting lho!"

"Iya! Udah selesai, nih!"

Dia nggak bohong, karena pintu terbuka setelah itu. Aku memelototi Oliver. Nggak ada rasa bersalahnya banget sudah bikin aku nunggu lama, malah cengar-cengir sambil ngelap rambutnya yang basah. Dan jahatnya ... Oliver selalu topless setiap habis mandi. Dia nggak sadar apa otot-otot di perutnya itu menggoda? Astaghfirullah! Untung aku masih kuat ya dan nggak nyerang dia duluan.

"Besok-besok pakai baju. Masuk angin nanti."

"Alibi karena kamu tergoda, ya?"

Oliver mengerling disertai senyuman mematikannya. Aku melotot lagi, lalu melewati Oliver dan segera mengunci kamar mandi. Sebal! Kok dia tahu, sih? Memang kelihatan, ya? Astagaaa!

"Sofie."

"Apa, sih?!"

"Ada telpon."

"Biarin ajalah! Nanti kutelpon balik!"

"Dari Mbak Yuni, nih."

Klien yang mau aku temui pagi ini.

"Nelpon lagi, nih."

"Biarin."

"Penting kayaknya."

Duh!

"Ya udah, kamu aja yang jawab."

"Boleh?"

Aku yang akan menyalakan shower tiba-tiba berhenti bergerak. Sederhana banget pertanyaan Oliver, tapi hatiku tersentuh. Kami memang suami-istri, tapi ada batasan yang nggak mau Oliver lewati, entah karena kami yang belum benar-benar menjadi pasangan atau memang begitu caranya menghargai urusan pribadiku.

"Ya, boleh. Angkat aja."

"Oke."

Bersamaan dengan air yang mulai membasahi tubuh, aku memejamkan mata. Perasaanku mendadak nggak nyaman karena teringat bahwa meski aku dan Oliver sudah berbaikan setelah keributan tentang Monic, tapi aku tahu masih ada lubang yang terbuka. Hal itu menjadi alasan kenapa aku belum mau disentuh Oliver walau kami hampir pernah melakukannya beberapa waktu lalu.

Setelah banyak hal yang terjadi di antara kami, perpisahan, pertemuan kembali, dan terikat pernikahan, munafik kalau kubilang sama sekali nggak menginginkan Oliver dan mau memiliki semua yang ada di dirinya tanpa terkecuali. Tapi ... aku belum bisa, karena Oliver belum menghilangkan semua garis yang memisahkan kami. Kelihatannya dia care, sayang banget sama aku, hanya saja aku masih merasa kurang. Entahlah apa ini termasuk suatu ketamakan atau bukan. Yang jelas aku ingin kami seperti ini saja saat ini sampai aku yakin sepenuhnya dengan Oliver.

Aku segera mengakhiri sesi di kamar mandi. Pagi ini aku ada meeting dan nggak boleh terlambat. Lagi serius merias diri, perutku bunyi. Ah! Aku belum sarapan! Oliver siapin sarapan nggak ya?

"Sof, sarapan dulu."

He is awesome. Tahu banget ya kalau aku memang lagi butuh makanan.

Wajahku sudah fresh, pakaian rapi, tas sudah siap, ponsel ... eh, iya, ponselku mana? Aku mencari-cari di kasur, meja rias, nakas, nggak ada.

"Olv, HP-ku mana?"

Tadi kan dia yang terima panggilan Mbak Yuni.

"Di sini."

Aku menghampiri Oliver ke dapur, dia sedang menata meja dengan menu sarapan kami pagi ini. Dalam mode begini, ketampanan Oliver jadi nambah berkali-kali lipat. Dia dan dapur itu seperti perfect match, sedangkan aku adalah orang ketiga yang perlu menjauh karena hanya akan menyebabkan kekacauan kalau berada di dapur.

Sesaat Oliver berhenti bergerak, pandangannya lurus padaku. Setiap kali dia melakukan ini, aku merasa waktu terhenti sejenak. Caranya menatapku, memujiku, bersikap penuh kasih sesungguhnya sangat menyenangkan. Aku mulai terbiasa menerima semua itu, walau sering kali aku nggak mau mengakui di depannya. Karena bagiku, perpisahan selama sebelas tahun itu adalah kekacauan yang butuh waktu untuk membereskannya.

"Masya Allah. Bidadari kok bisa turun di rumahku, ya?"

"Gula darahku naik deh kayaknya, tiap hari makan omongan manismu."

Dan seperti biasa, Oliver nggak pernah marah kalau aku nggak membalas pujiannya dengan kata-kata manis.

"Mbak Yuni bilang apa?"

"Meeting-nya diundur."

"Hah? Kok gitu? Terus apa katanya lagi?"

"Diundur, jadi besok. Nanti kamu telpon aja lagi."

Tahu gitu aku malas-malasan saja ya tadi, karena meeting keduaku itu setelah jam makan siang.

Oliver menyiapkan smoothies stroberi dan semangkuk oatmeal dengan toping menyehatkan seperti biasa. Tapi nafsu makanku seketika berkurang saat melihat Oliver makan bubur bayi. Aku belum terbiasa dengan yang satu ini. Kok ada sih orang dewasa suka makanan bayi yang lembek itu? Astaga.

"Seenak itu, ya?"

"Iya. Mau coba nggak?"

"Nggak usah, makasih."

Aku buru-buru menyantap oatmeal-ku. Setelah kalimat terakhir yang kuucapkan, kami dilanda hening karena sama-sama menikmati makanan. Tapi nggak lama setelah itu Oliver mengeluarkan kata-kata yang bikin perasaanku lagi-lagi galau nggak jelas.

"Nanti kalau kita punya anak dan udah waktunya dikasih MPASI, sesekali dikasih bubur fortifikasi nggak apa-apa lho, Sof. Karena nutrisinya udah jelas, tertakar sesuai kebutuhan bayi, dan bisa jadi solusi kalau nanti kita sama-sama lagi hectic."

Dari sekian banyak topik, kenapa harus memilih soal anak, sih? Hah!

Aku nggak jawab apa pun sampai kami selesai sarapan dan Oliver ke kamar sebelah untuk bekerja. Tadi aku lihat ekspresi Oliver nggak aneh, biasa saja walau aku nggak ngasih respons.

Anak. Memangnya dengan kami yang seperti ini akan memiliki anak?

Aku selesai meeting lebih cepat dari dugaan, kliennya enak banget diajak bicara. Sekarang aku bingung mau ngapain. Oliver lagi datang ke acara keluarganya, lokasinya nggak jauh dari sini sebenarnya. Daripada aku nongkrong sendirian di resto, apa sebaiknya aku mendatangi Oliver? Walau nggak terlalu dekat sama sepupunya yang hari ini tunangan, tapi kan ada Oliver. Mama dan Papa pasti datang juga, 'kan? Kalau Azmi, karena ini weekday, kayaknya dia nggak hadir.

Satu pesan kukirim pada Oliver. Saat balasannya datang dengan cepat barulah aku tersadar kalau seharusnya aku nggak bilang bakal nyusul dia. Sewaktu acara pernikahanku, aku memperhatikan kalau semua perempuan di keluarga Oliver itu berhijab. Terus sekarang aku yang hanya pakai dress yang panjangnya sebetis ini gimana mau datang ke sana? Aneh, 'kan?

Oliver menelepon. Duh, bilang apa, ya? Nggak jadi datang karena ada kerjaan? Ketahuan banget sih kalau gitu, karena Oliver tahu jadwalku hari ini.

"Ya, Olv."

"Kenapa cuma di-read? Kamu masih di restoran yang dekat traffic light itu, 'kan? Aku jemput, ya."

"Hemmm. Kayaknya aku nggak jadi datang, deh, Olv."

"Kenapa?"

Aku mengetuk-ngetuk meja.

"Nggak enak sama keluargamu. Aku nggak pakai kerudung, Olv. Aku tahu dirilah nanti berasa salah kostum."

Sunyi sesaat. Aku sampai mengira panggilan sudah terputus.

"Menutup aurat itu emang kewajiban, Sofie. Aku nggak bisa memaksa kamu untuk melakukannya, karena hanya akan menimbulkan pemberontakan di diri kamu kalau aku terlalu keras. Tapi pakaianmu belakangan ini udah lebih sopan. Di mobilmu ada outer, 'kan? Pakai itu, ya."

Seperti kena sihir, aku menuruti kata-kata Oliver dan menunggu di mobil karena Oliver bilang bakal jemput. Kalau dipikir-pikir, aku sekarang memang lebih sering pakai dress yang melewati lutut. Benar, sih, yang Oliver bilang, sudah lebih sopan. Jadi nggak masalah kan ya kalau datang ke acara itu?

Kurang dari lima belas menit Oliver tiba dengan menaiki ojek. Ah, segitunya ya dia biar aku nggak sendirian pas datang.

"Langsung jalan, ya, Sof."

"Oke."

Oliver yang nyetir, hal ini bikin kepalaku  jadi bebas memikirkan macam-macam, termasuk soal hijab.

"Kamu malu nggak karena aku belum berhijab?"

"Aku bukan malu sama manusia, tapi aku takut sama Allah."

"Dan menurut kamu tentang aku yang kayak gini?"

"Kamu hanya belum mendapat hidayah dan aku sedang membantu kamu untuk menjemputnya. Aku mau kamu berubah perlahan dengan hati, daripada sekarang aku paksa kamu pakai gamis dan kerudung panjang yang ujungnya kamu bakal berontak dan nggak mau dengerin aku lagi."

Aku tersenyum tanpa menatap Oliver. Jadi, dia sedang pakai metode halus ya untuk mengubah aku?

Kami tiba di sebuah rumah yang cukup besar. Banyak motor dan mobil terparkir di halamannya. Di bagian teras, sekelompok laki-laki berkumpul dengan beberapa gelas kopi dan camilan di hadapan mereka. Oliver menyapa mereka ramah, begitu juga dengan aku. Tiba di dalam rumah, suasana yang begitu ramai dan orang-orang yang punya kesibukan sendiri, tiba-tiba menjadikanku pusat perhatian setelah Oliver mengucapkan salam. Beberapa dari mereka aku ingat, para bibi dan sepupu Oliver yang datang saat pernikahanku, sisanya aku nggak kenal. Sebenarnya nggak penting aku tahu atau nggak siapa mereka, tapi aku sangat terganggu pada tatapan mereka yang seolah-oleh menelanjangiku di sini. Seperti yang aku duga, datang ke sini memang seperti salah kostum.

"Mama ada di sana, kita samperin ya, sekalian ambil minum buat kamu."

Aku memperhatikan titik yang Oliver maksud. Meja untuk makanan dan minuman jaraknya lumayan jauh dariku. Dan aku sangat malas untuk datang ke sana, karena tatapan orang-orang itu rasanya makin tajam saja.

"Aku tunggu di sini aja, ya. Kamu tolong ambilin aku minum."

"Oke. Tunggu, ya."

Oliver berlalu, begitu juga dengan pusat perhatian yang mulai berkurang untukku. Sayangnya, aku mendengar obrolan yang nggak seharusnya. Empat orang wanita yang kurasa sepantaran Bunda tengah membicarakanku, padahal posisi kami nggak jauh-jauh banget. Aku tadinya mau mengabaikan dan duduk saja dengan tenang, tapi makin lama aku makin terganggu.

"Itu lho menantunya Reni. Nggak ada imannya banget, ya. Udah nikah, tapi gayanya masih kayak anak remaja. Remaja yang lain aja sekarang udah banyak yang paham aturan agama."

"Nah, itu. Apa Reni nggak malu punya menantu gitu? Cantik tanpa iman ya sama aja bohong."

"Iya itu. Padahal aku udah ngajakin Reni buat besanan dari dua tahun lalu. Pas Oliver pulang lebaran tahun lalu, anakku makin suka, maunya ngajak ta'aruf, tapi Reni nolak."

Sebentar. Tahun lalu? Tahun lalu Oliver pulang ke Bali?

"Padahal Riza cantik dan sholihah gitu kok bisa ditolak ya dan malah dapatnya yang kayak gini? Itu palingan orang tuanya yang nggak mau ngajarin, sampai-sampai anak perempuan nggak pakai kerudung. Jaman sekarang orang tua banyak yang nggak berkualitas."

"Iya, iya, bener. Anak perempuan liberal gini ya udah pasti karena orang tuanya nggak bener ngajarin."

Cukup. Telingaku sudah nggak sanggup dengarnya. Hatiku seperti dibakar mendengar kedua orang tuaku dihina.

"Kalian punya masalah sama saya? Bisa langsung ke saya ngomongnya. Orang tua saya nggak salah apa-apa, jadi jangan hina mereka."

Keempat wanita ini terlihat syok melihatku berdiri di dekat mereka. Kami memang duduk lesehan, jadi mereka menatapku sambil mendongak.

"Kesalahan seorang anak bukan berarti karena orang tuanya. Banyak orang tua yang udah maksimal membimbing anak-anak mereka, tapi banyak juga anak-anak yang tetap keluar jalur. Apa itu salah orang tuanya? Nggak. Kalian udah berusia, harusnya malu, 'kan, ngomong kayak tadi? Saya nggak berhijab karena saya yang nggak mau, bukan karena orang tua saya yang nggak mengajarkan agama."

Di belakangku bisik-bisik kembali terjadi. Sementara itu, ibu-ibu penggosip di hadapanku nggak bersuara sama sekali.

"Sofie, ada apa?"

Aku menoleh pada Oliver yang berdiri di sebelahku. Laki-laki ini telah berhasil membuatku patah, lagi.

"Lebaran tahun lalu kamu ke Bali?"

Keterkejutan itu jelas banget di mata Oliver, membuatku tersenyum miris karena baru mengetahuinya sekarang, ditambah aku teringat sesuatu yang sempat aku lewatkan.

"Jadi gitu, ya. Kamu sebenarnya udah sering ke Bali, tapi nggak pernah datangi aku. Bahkan kamu mendirikan bisnis penyewaan mobil yang saat ini udah sukses dan itu udah jadi tanda kalau kamu membangunnya bukan cuma dalam waktu dua bulan."

Tubuhku gemetaran, rasanya aku mau mengeluarkan isi perut karena mual hebat ini.

"Sofie, aku bisa jelasin."

"Kalimat basi, Oliver. Kalau gini, apa aku bisa yakin kalau kedatanganmu emang tanpa maksud tertentu?"

"Sofie, demi Allah, aku serius nikahin kamu."

Orang-orang makin gaduh atas ketegangan di antara aku dan Oliver. Nggak mau lagi membicarakan hal pribadi, aku segera berlari menuju mobil tanpa berpamitan dengan siapapun. Oliver ikut berlari, tapi aku lebih dulu sampai di mobil dan mengunci diri, mengabaikan Oliver yang panik dan mengetuk-ngetuk kaca mobilku.

Aku memukul setir kuat-kuat serta berteriak.

Kacau. Hari ini kacau. Aku berantakan dan nggak tahu gimana cara membereskannya.

To be continued

Apa kabar sayang-sayangku?

Maaf nih baru muncul sampai membuat beberapa reader khawatir karena ngira aku gantung cerita ini. Dilanjut kok dilanjut, beberapa bab lagi. Eh? Wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro