26. Imperfect Us(b)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Vote sama komen jangan lupa, Zheyeng!

🌹

"Sofie," Ayah menjeda kalimatnya sejenak, "maaf, maaf karena Ayah melukai hatimu. Ayah nggak bertanya dulu apa kamu setuju atau nggak. Ayah cuma mempertimbangkan kalau pada akhirnya kamu bisa menerima Oliver. Ayah ingat gimana kamu dulu tengah malam nangis sambil nyebut-nyebut nama Oliver. Ayah tahu kalau dulu kalian udah saling suka."

Ayah tahu? Tapi Ayah nggak pernah negur saat aku nangisin Oliver. Dan aku selalu melakukannya di malam hari, atau setidaknya saat merasa yakin Ayah lagi sibuk sendiri.

"Karena itu, Ayah bisa menerima Oliver. Ayah lihat kepribadiannya juga baik. Insya Allah dia adalah imam yang baik untuk kamu."

Kalau begini menang jadi lebih masuk akal. Ayah sudah beberapa kali ketemu Oliver, makanya nggak ragu terima lamaran dadakan itu. Tapi ....

"Ayah udah cukup bicaranya. Kamu kalau ada yang mau disampaikan, Ayah akan dengar."

Ayah meraih cangkir tehnya. Bunda menatapku dengan sendu, lalu menyuruhku minum dengan bahasa tubuhnya.

"Kalau nggak ada, sebaiknya kamu bicara sama Oliver hal-hal yang mau kamu ketahui. Ayah udah cukup menjelaskannya dari sudut pandang Ayah. Kalau mau bicara di sini silahkan, tapi ingat adab. Kalau mau pulang ke rumah kalian, sama juga, tetap kontrol emosi."

Ayah lalu mengajak Bunda ke halaman depan sambil membawa cangkir teh. Tersisa aku dan Oliver yang masih hening. Kami nggak saling tatap, jadi aku nggak tahu bagaimana ekspresinya saat ini. Kalau aku ... aku jelas masih resah dan bertanya-tanya. Dahagaku akan keingintahuan alasan Oliver nggak mendatangiku lebih awal belum juga sirna.

"Aku mau minum teh di kamarmu. Bisa tunjukin kamarmu?"

Aku menghapus sisa-sisa air mata, lalu membawa cangkirku dan menaiki tangga tanpa mengatakan apa-apa. Sudah pasti Oliver mengikuti. Kami berada di kamarku sekarang. Wanginya masih sama seperti saat aku tinggal di sini. Bunda ternyata tetap menjaga kamarku dan nggak membiarkannya berdebu.

"Sofie."

Sikuku ditarik pelan. Oliver muncul di depanku, mengambil cangkir dari tangan kananku dan dia meletakkannya di meja. Kini kami berhadap-hadapan, kuyakin sama-sama gelisah.

"Sorry."

"Kenapa? Kenapa nggak muncul lebih awal?"

"Aku percaya diri sekaligus rendah diri di saat bersamaan, Sofie. Aku takut langsung muncul di hadapanmu dan seketika kamu lari."

Hah. Alasan macam apa itu?

"Tapi kamu melakukannya, Oliver. Kamu ngelamar aku secara mendadak. Kamu nggak memperkirakan kalau aku bisa aja kabur?"

"Restu orang tuamu udah aku dapat, Sofie. Kamu bisa kabur ke mana? Kalau aku lebih dulu ketemu kamu, aku nggak punya jaminan karena orang tuamu belum setuju."

Astaga. Kenapa dia selalu bisa menjawab?

"Apa aku bisa percaya kamu?"

Aku mendorong dada Oliver. Di sini sangat panas, sampai seluruh tubuhku rasanya berkeringat. Mungkin karena cuaca yang sedang ekstrem ... atau karena Oliver yang menatapku dengan serius. Aku hendak mengambil remote AC yang terletak di dinding, tapi aku tertahan karena tubuh Oliver tiba-tiba menyentuh punggungku, dan dia meraih remote itu dengan posisi tangannya yang memenjarakanku.

"Apa ada hal yang nggak kamu percayai dari aku? Coba sebut, Sofie."

"Keluargamu tadi berkali-kali nyebut kamu pulang ke kampung halaman, bahkan niat jodohin kamu sama anaknya. Aku cuma bertanya-tanya kenapa aku nggak tahu bagian itu. Di saat kamu mengaku kangen dan bisa membuat kita ketemu lebih cepat, kamu nggak melakukannya. Itu aku nggak paham."

Karena rasa kangen itu aku pernah menangis berhari-hari. Oliver nggak paham gimana terlukanya aku saat itu yang nggak bisa menemukan walau sekilas saja kabar tentangnya. Dia nggak tahu bahwa aku pernah mengira kesedihan mendalam itu hanyalah bagian dari mimpi buruk yang panjang. Dan saat aku terbangun, kenyataannya Oliver nggak pernah pergi.

"Aku udah jawab, Sofie. Terkadang, bahkan suatu tindakan itu nggak butuh alasan. Seperti kata Ayah, aku masih Oliver yang dulu, tapi aku juga Oliver yang berbeda. Kamu mengharapkan aku yang sempurna, aku nggak bisa, tapi aku terus berusaha untuk mendekati versi itu. Tolong lihat semua usahaku, Sofie, tolong."

Kedua tangan Oliver melingkari pinggangku, disusul wajahnya yang berpangku pada bahuku. Mataku refleks terpejam saat embusan napasnya yang hangat menyapa kulit leherku. Ada sensasi merinding dan mendamba di satu waktu yang nggak aku pahami kenapa.

Hatiku merasa nggak nyaman, sekaligus sebaliknya. Perkataan Ayah dan Oliver nggak salah. Apa yang aku harapkan dari dia yang nggak pernah ada di genggamanku? Apa yang aku harapkan dari Oliver, sedangkan aku nggak bisa kasih apa-apa? Hah. Aku sepertinya butuh waktu untuk menata ulang cara berpikirku. Aku seperti selalu mencari kesalahan Oliver, padahal Oliver mengabaikan aku yang sampai detik ini nggak memenuhi haknya.

"Mereka bilang apa sebelum aku datang?"

"Orang tuaku dihina. Mereka bilang Ayah sama Bunda nggak bisa mendidik aku jadi anak yang baik. Aku nggak terima itu, jadi aku balas omongan mereka."

"Kamu yang paling tahu soal itu. Kamu nggak butuh pengakuan orang lain atas pencapaian di keluargamu. Dan kamu udah membela Ayah sama Bunda. Kerja bagus, Sayang."

Aku menelan ludah cepat-cepat ketika Oliver mengecup leherku.

"Aku juga marah sama kamu."

"Maaf, Sayang. Aku emang salah."

Cicak! Kenapa pakai cium lagi?! Aku jadi nggak konsentrasi mau marah.

"Makasih udah belain aku tadi."

"Sama-sama, Sayang. Itu udah kewajiban aku."

AC sudah di suhu terdingin, tapi aku malah makin keringetan karena bibir Oliver yang nggak bisa diam ini. Menyebalkannya, aku gagal melepaskan diri setelah Oliver nggak bergerak walau sudah kupukul-pukul tangannya.

"Ngomong aja, Sof, semua keluh kesahmu."

"Tapi bisa lepas dulu nggak? Gerah dipeluk terus."

"Gerah? Oh, jadi maksudnya mau lepas pakaian? Ayokkk!"

Heh! Astaghfirullah!

"Kamu tuh, ya!"

Aku mencubit tangan Oliver. Kok bisa jadi nyambung ke sana, sih? Hih!

"Udah nggak marah?"

Dia yang sempat tertawa kecil, kini kembali bernada serius. Kepala bagian belakangku dicium dan tangannya enggan pergi sebentar saja dari pinggangku.

"Masih."

"Tentang apa lagi?"

Mulanya aku nggak mau membahas ini, tapi makin ke sini ternyata aku tersiksa memikirkannya sendirian. Menunggu Oliver yang nggak pasti kapan akan membuatku lega hanya akan menambah pemikiran negatifku lainnya.

"Kenapa?"

"Hemmm?"

"Kenapa nggak mempertemukan aku sama Monic?"

Sedari tadi dadaku berdebar nggak normal, kali ini detaknya malah lebih gila. Membicarakan Monic sama saja menyatakan kalau aku memang belum sepenuhnya percaya pada Oliver dan masa lalunya. Setidaknya aku butuh diyakinkan lewat sebuah pertemuan yang kurasa sangat wajar. Tapi Oliver nggak melakukannya saat Monic ada di Bali. Lima hari dia ada di sini, selama itu pula setiap hari Oliver pergi mendatanginya dengan alasan pekerjaan. Asisten Oliver yang datang dari Jakarta bahkan sampai ke rumah untuk menjemput Oliver sekaligus berkenalan secara resmi denganku. Oliver nggak keberatan mempertemukan aku dengan orang di lingkungan kerjanya, tapi kenapa nggak totalitas sekalian?

"Itu ganggu pikiranmu selama ini, ya?" Aku mengangguk. "Maaf."

Oliver melepaskan pelukan, lalu me memutar badanku sehingga kami bertatapan. Daguku disentuh Oliver, lalu ... adegan yang halal itu terjadi. Kyaaa! Bisa-bisanya dia melakukan itu dan aku nggak berkutik.

"Saat itu kami lagi hectic, Sofie. Banyak yang kami bahas, apalagi aku sama Kakak emang udah lama nggak ketemu dan ada beberapa pekerjaan penting yang perlu diselesaikan saat itu. Aku ngerasa momennya nggak pas untuk kalian ketemu, karena pasti bakal buru-buru, ujungnya obrolan nggak jelas karena dikejar waktu. Aku udah rencanain pertemuan kalian dua bulan lagi, aku cuma belum sempat bilang ke kamu karena baru kemarin asisten Kak Monic ngabarin jadwal luang Kakak."

Begitu, ya ....

"Coba kasih aku sedikit kepercayaan, Sofie."

Saat wajah Oliver kembali mendekat, aku berpaling. Bukannya dia mengurungkan niat untuk menyentuh, tapi telingaku yang malah jadi sasarannya. Aku melotot sebal padanya karena sesukanya saja membuatku merinding terus-terusan.

"Kamu menghilang lama, Olv. Susah buat aku percaya."

Oliver menunduk sejenak, saat itu juga aku mendengar dia menghela napas berat.

"Tapi laki-laki yang pernah menghilang itu sekarang udah jadi punya kamu, Sofie, diakui agama dan negara. Apa aku harus kerja lebih keras biar bisa pergi ke bulan dan nancapin papan bertuliskan 'Aku cinta kamu, Sofie Paramitha. Cuma kamu yang ada di hati seorang Bram Oliver Permadi'? Gitu maunya?"

"Apa, sih? Absurd banget."

Dari manyun nggak jelas, sekarang akhirnya aku senyum-senyum jauh lebih nggak jelas. Dekat-dekat sama Oliver memang berpotensi jadi ikutan aneh.

"Nah, gini dong. Kan cantik kalau senyum."

Pipiku diuyel-uyel.

"Udahan marahnya?"

Aku mengangguk-angguk.

"Oke. Sekarang giliranku."

Wait. Vibe-nya otomatis berubah saat Oliver menarik kursi dari meja riasku, lalu mendudukkan aku di pangkuannya. Senyumnya mendadak hilang, begitu juga dengan kedua tangannya nggak berada di pinggangku.

"Kasih aku penjelasan."

Keningku berkerut. Ah, itu! Astaga! Gimana aku bisa lupa?!

"Ini nggak kayak yang mereka gosipin, Olv."

"Terus kayak apa?"

Duh, aku jadi deg-degan lagi dilihatin serius gini.

"Jadi, Ray itu-"

"Ray?"

"Namanya Rayhan."

"Oke."

"Jadi, Ray yang ngirimin aku hadiah dari Sista itu. Aku cuma mau tahu alasannya apa dan saat itu ada Fani nggak jauh dari aku duduk. Kami nggak cuma berdua."

Oliver diam, kayak nggak puas sama penjelasanku.

"Hadiahnya udah aku balikin, kok, dan kami nggak ada ketemuan setelah itu ataupun chat. Serius, aku nggak bohong."

Masih diam juga. Ampun, deh! Ini aku mesti gimana?

"Olv, marah, ya? Aku nggak bermaksud bohong, aku cuma ngerasa itu bisa aku handle sendiri tanpa melibatkan kamu. Aku ...."

Suaraku lenyap saat menyadari tatapan Oliver nggak sepenuhnya bermakna marah. Dia sedang membuatku sadar atas apa yang aku lakukan dan bagaimana caraku bersikap dalam hubungan kami. Nyatanya, aku nggak lebih baik dari Oliver.

"Stop being childish, Sofie. We're too older to get jealous or grumpy without logical." (1)

Aku nggak bisa tersinggung dengan kata-katanya, karena itu fakta.

"Aku cemburu, tapi aku menahan diri dengan lebih dulu ngasih kamu kesempatan untuk mengeluarkan semua isi hati. Jantungku dari tadi nggak bisa tenang, udah kayak drumband keliling kota. Tapi aku terus berpikir kalau kamu punya alasan sendiri. Aku nggak perlu tanya detail tentang Ray dan hadiahnya. Karena aku percaya kamu. Aku mau kamu juga melakukan yang sama Sofie."

Air mataku menetes begitu saja, tersadar betapa kurang ajarnya aku yang terus-terusan saja mencari celah dalam diri Oliver. Padahal ketidaksempurnaan itu adalah suatu kenormalan.

"Aku masih banyak kurangnya, kamu juga gitu, karena kita cuma manusia biasa. Tapi poinnya, bagaimana kita terus melakukan yang lebih baik lagi setiap saat. Ngerti nggak, Sayang? Belajar lagi, yuk, ngontrol emosi dan pikiran. Jangan kasih setan senang."

Fix, Oliver manusia paling sabar yang pernah aku temui, melewati peringkat Ayah dan Bunda dalam menghadapiku. Kok bisa? Kok dia hebat banget? Aku nggak paham sama sekali dari mana dia mempelajari hal itu.

"Maaf," bisikku.

"Iya, aku maafin. Tapi cium dulu dong."

Heh. Nyari kesempatan banget. Tapi ... tetap aku lakuin juga. Jadilah sekarang Oliver senyum-senyum sambil ngehapusin air mataku.

"Sof."

"Ya ...."

Pinggangku ditahan saat akan turun dari pangkuannya. Tapi malah dia yang berdiri sambil menggendongku. Astaga.

"Kasurmu kayaknya nyaman, ya. Mau coba kalau ditidurin berdua nggak?"

Oliver melangkah ke arah ranjang. Gimana maksudnya ini? Gimana? Tolong jelaskan!

To be continued

Hiyyaaa hiyyaaaaaaa. Mau ngapain mereka?????? Wkwkwkwk.

NB:
1. Berhentilah kekanak-kanakan, Sofie. Kita udah terlalu tua untuk cemburu dan marah-marah tanpa logika.

I'm sexy and yours, so touch me like you do.

-Oliver 2022-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro