4. Changed

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiba-tiba aku dilamar. Tiba-tiba hidupku kayak sinetron. Hal yang sangat mustahil terjadi sama aku. Ini masih seperti mimpi, masih nggak percaya kalau Oliver yang pernah aku tangisi adalah laki-laki yang beberapa hari lalu melamarku. Bingung harus kayak gimana lagi ngeluarin isi hatiku. Ini tuh kayak drama banget. Astaga!

Dua hari lalu aku bicara sama Ayah dan Bunda, ngasih tahu kalau aku mau membatalkan pernikahan. Aku sudah bilang itu cuma salah paham. Bukannya mereka nggak mau dengar, tapi aku mendadak jadi terdiam dan nggak bisa menyangkal ucapan mereka, sehingga aku dan Oliver harus sibuk dengan segala tetek-bengek pernikahan.

"Sofie, selama ini Bunda dan Ayah pernah minta apa sama kamu? Ayah masih kasih kamu dan Farel kesempatan untuk membuktikan dia layak dijadikan suami. Tapi nyatanya apa? Dia aja malas ketemu Ayah, 'kan? Kamu mau punya suami kayak gitu?"

"Ayah mau kamu menikah dengan orang yang tepat. Ayah selama ini nggak memaksa kamu harus buru-buru menikah. Tapi, kalau jodohnya udah ada, ya kenapa ditunda? Untuk yang satu ini, apa kamu nggak bisa nuruti keinginan Ayah? Ayah mau menikahkan kamu sebelum Ayah meninggal, Sofie."

Begitulah dialog panjang Ayah dua hari lalu. Aku benar-benar nggak berdaya jadinya. Orang tuaku nggak pernah meminta apa pun. Mereka kasih aku modal usaha, setelah dapat laba, sekali pun mereka nggak meminta hak untuk menikmati uang itu. Durhaka banget rasanya kalau aku menolak mati-matian perjodohan ini.

Perihal Oliver yang jadi jodohku, ah gimana, ya? Ada plus minusnya. Dia orang yang sudah bikin aku patah hati. Bagusnya, aku sudah kenal lama sama Oliver. Jadi kayaknya lebih baik nikah sama dia ketimbang sama orang asing hasil pilihan Ayah.

"It feels like I'm stuck in a black hole with you," keluhku tiba-tiba, sembari menatap ke luar kaca mobil.

Kami baru selesai meeting dengan WO. Pernikahan kami akhirnya dijadwalkan satu setengah bulan lagi. Satu minggu lagi acara lamaran, pengajian, akad nikah, dan resepsi. Begitulah susunan acaranya. Oh, ya, akad nikah juga aku minta di KUA saja. Wedding dream aku itu memang nggak glamor, cukup nikah ala sederhana. Meski Oliver bukan partner yang aku inginkan, aku lumayan senang karena permintaanku dituruti soal akad nikah ini. Soal resepsi aku nggak dikasih lagi ikut campur. Kata orang tua Oliver, resepsi harus di gedung pokoknya, harus nyebar undangan ke teman-teman.

Jujur, aku sempat pusing banget saat Bunda pengen pakai adat Jawa dalam pernikahanku, mengingat kami memang berasal dari sana dan merantau ke Bali sejak aku SD. Baru mikirin saja aku sudah pengen teriak. Runutan acaranya banyak banget dan aku nggak mau ribet. Yah, sebenarnya berkat bantuan Oliver juga makanya keluarga nggak lagi rempong bahas adat. Dia bilang, yang nikah itu aku, jadi kenyamananku yang paling utama. Manis, sih, tapi perasaan kesalku karena di-ghosting sebelas tahun nggak akan hilang semudah itu.

"Jadi kamu setuju kita bikin foto after-wedding, 'kan, Sof?"

Dia mengalihkan pembicaraan. Dasar!
Oh, ya. Kami memang nggak melakukan pengambilan gambar sebelum nikah. Ini aku juga nggak terlalu paham alasan Oliver. Tadi pas orang WO ngasih lihat konsep yang bisa saja kami pakai untuk foto pre-wedding, Oliver mengerutkan kening. Entah apa yang salah sama contoh foto-foto itu. Kelihatannya dia kurang suka, sih.

"Aku kira kamu nggak mau bikin foto gituan."

"Ya maulah. Ngapain nggak?"

"Tuh, sama orang WO kamu tolak. Bilangnya nggak butuh."

"Maunya kalau udah nikah. Biar nggak dosa sentuh dan peluk-peluk kamu pas difoto."

Heh? Dia ngomong apa, sih? Aku segera menoleh, tepat, dia juga sedang menatapku. Satu tangannya sedang mengusap-usap tengkuk. Lalu perhatiannya kembali fokus ke jalan.

"Emang kamu nggak mau sentuh aku sebelum nikah?"

"Setelah kita ketemu lagi, apa aku pernah sekedar sentuh tanganmu?" tanyanya balik.

Eh? Iya, ya? Aku baru sadar. Berduaan kayak gini juga dia nggak ada curi-curi kesempatan. Eh, bukan berarti aku pengen disentuh-sentuh, ya! No! No! Aku cuma baru kepikiran kalau Oliver dekat, tapi ternyata memberi jarak. Ini jelas beda sama dia yang dulu. Pegangan tangan, noyor kepalaku, cubit pipi, itu sudah jadi kebiasaan dia. Bahkan pernah sampai ciuman segala. Dan aneh banget kalau sekarang dia bilang tunggu resmi.

"Kamu takut dosa? Bukan kamu banget."

Oliver tertawa kecil.

"Udah tahu gimana hebatnya waktu dan jeda, 'kan? Ya, aku berubah, tepatnya dalam tahap ingin jadi lebih baik."

"More religious?"

"Yep!"

Oh? Wow! Cukup mengejutkan dengar langsung dari Oliver.

"Jadi itu juga alasan lamaran dadakanmu? Karena kamu nggak mau pacaran? Maunya langsung nikah aja?"

"Seratus buat kamu."

Aku terdiam, tiba-tiba teringat sama Farel. Boro-boro ngelamar, ngayal bareng tentang masa depan saja nggak pernah. Bagi dia, sekarang ya sekarang, yang besok pikirin besok saja. Tadinya aku santai dengan dia yang begitu. Dan sekesalnya aku sama Oliver, hari ini dia bantu aku lebih sadar kalau aku memang pantas diperjuangkan. Setelah dengar penjelasan Tante Reni kemarin tentang keluarga mereka yang menghilang tanpa kabar, lalu cerita tentang Oliver yang mati-matian ngumpulin uang demi keluarganya dan tabungan untuk ngelamar aku, aku tuh lumayan terharu.

"Kamu emang masih ada rasa ke aku, Oliver?"

"Selama sebelas tahun hal yang nggak berubah adalah perasaanku ke kamu. Aku tahu ini berat buat kamu dan aku terkesan memaksa. Aku minta kamu untuk percaya, kalau kali ini aku nggak akan pergi lagi, Sofie."

Aku menggaruk-garuk telapak tangan. Nggak gatal sebenarnya, sudah kebiasaan saja kalau lagi mikir sesuatu.

"Kenapa? Kamu mau ngomong apa lagi?"

"Gimana ... kalau nanti aku minta cerai? Aku mau nikah sama kamu karena nggak sampai hati ngecewain Ayah sama Bunda. Tapi setelah nikah, aku berhak ambil keputusan, 'kan?"

Oliver menoleh. Aku menelan ludah dengan susah payah saat menangkap ekspresi kakunya. Aku tahu pikiranku ini sangat jahat. Tapi gimana lagi? Pernikahan ini didasari keterpaksaan. Apa jaminannya kalau dia beneran bikin aku bahagia nanti?

"Kamu nggak akan pernah punya alasan untuk menuntut perpisahan. Karena kamu hanya akan dapat semua yang terbaik dari aku."

Biasanya ... kalau Oliver ngomong sesuatu, dia itu nggak main-main. Sama kayak janji yang dia ucapkan, meski butuh ribuan hari untuk dia tepati. Sekarang aku lagi berpikir, apa pernikahan ini bisa selamanya untuk aku?

"Setidaknya, kamu ngasih kabar."

"Kalau aku hubungi kamu, dengar suara kamu, aku khawatir aku nggak bisa menahan diri sebelum semuanya selesai. Ini salahku, aku tahu. Aku sibuk mempersiapkan dana dan mental dan mengabaikan kamu yang pasti selalu nunggu kabar dari aku."

"Dana itu bisa dibicarakan. Tapi bukannya kamu akan kehilangan aku selamanya kalau seseorang yang lebih gentle lebih dulu ngelamar aku?"

Tuh! Ngomong apa, sih, Sofie?! Jadi kelihatan banget aku mengharapkan dia selama ini. Hah! Malu, ah! Untung Oliver fokus melihat jalan.

"Ya, kekuranganku di sana. Aku hanya mempersiapkan yang terbaik, tanpa memberi tahu kamu tentang kondisiku yang sebenarnya. Aku hanya nggak mau istri dan anak-anakku harus ikut berjuang untuk sesuatu yang udah sepantasnya aku berikan. Kenyamanan, rumah, biaya sehari-hari, biaya bulanan, biaya pendidikan, hiburan, dan aku yakin akan ada keperluan lainnya. Uang bukan segala-galanya, tapi segalanya butuh uang, Sofie. Kita harus realistis dalam memandang hal itu. Kamu dan anak-anak kita nanti pantas hidup tenang, cukup sambut aku dengan senyuman saat aku pulang kerja."

Saat begini, aku nggak mau munafik. Hatiku meleleh banget dengarnya. Nggak salah yang Oliver bilang. Dia hanya sedang bersikap menjadi kepala rumah tangga yang sebenarnya, yang bertanggung jawab untuk semua hal yang ada di dalam rumah itu.

"Kita udah sampai, Sof."

Oh? Sudah sampai ternyata. Karena tadi Oliver jemput ke rumah, aku nggak bawa mobil. Gini, deh, ujungnya. Aku dianterin ke toko, sampai dibukain pintu mobil segala.

"Kemanisan tingkah kamu tahu, nggak? Berhenti, deh. Nanti gula darahku naik."

Dia hanya senyam-senyum, bikin jengkel kalau gini. Habisnya, kami tuh pasti jadi perhatian sama anak-anak di dalam toko sana. Tuh, pada nempel di kaca, pastilah kepo sama sosok Oliver.

"Nanti aku jemput jam berapa?"

"Aku pulang sendiri bisa, deh."

"Aku jemput. Mau ngajak dinner."

Aih!

"Aku pulangnya telat."

"Aku tungguin."

Kukuh banget sih dia?

"Jemput jam delapan kalau gitu."

"Oke. Kamu bawa mukena, 'kan?"

Oliver melirik tasku. Secara refleks aku juga ikut ngelihatin tas.

"Kenapa emangnya?"

"Bentar lagi waktunya sholat Zuhur. Toko kamu kan bersih, bisa sholat di dalam."

Bentar, bentar. Dadaku kok kayak ditusuk-tusuk gitu, ya? Mataku juga kenapa tiba-tiba panas, sih?! Ya ampun, Oliver! Kenapa dia berubah gini? Bisa-bisanya dia bikin aku baper dengan ngingetin ibadah. Farel mana pernah ngingetin aku sholat. Argh! Oliver nih benar-benar deh, ya, damage-nya bukan main!

"Ada. Di dalam ada mukena. Ya udah, ya, aku masuk. Ada orderan banyak buket hari ini. Bye!"

"Alhamdulillah. Assalamu'alaikum, Sofie."

Oliver melambaikan tangan, aku nyaris mengangkat tangan untuk membalasnya, tapi nggak jadi. Sampai salam pun ternyata dia ubah. Dulu-dulu bilangnya, bye Sofie, see you Sofie. Sekarang islami banget dia.

"Wa'alaikumussalam."

Salam wajib dijawab, 'kan? Dosa kalau nggak jawab, walau sebenarnya masih canggung gimana gitu sama Oliver. Aku lalu buru-buru masuk toko, seketika disambut cie-cie karyawan yang terkagum-kagum sama cowok ganteng bernama Oliver.

"Pacar baru, ya, Mbak Sofie? Yang lama ke mana?"

"Kapan, nih, nyebar undangan?"

"Serius putus sama yang itu, Mbak? Terus langsung dapat yang baru?"

Duh! Mereka ini mau tahu banget, deh. Masalah waktu saja buat mereka dengar kabar aku menikah. Dan nggak kebayang gimana hebohnya mereka nanti saat tahu bakal mendekor gedung pernikahanku.

"Kerja, kerja, kerja! Nggak mau, 'kan, gaji kalian aku potong?"

"Ciee! Ciee! Cieee!" goda mereka bertiga barengan. Pegawai yang lain pada senyum-senyum saja, tapi tetaplah kehitung godain.

Nggak cewek, nggak cowok, sama kompaknya godain aku. Ck!

Hari ini tokoku lumayan kebanjiran orderan. Empat belas Februari, orang-orang pada ramai nyari buket bunga. Setengah hari aku nggak di toko, syukurlah mereka bisa handle orderan yang membludak dibanding hari biasa. Kali ini aku juga ikut ambil bagian ngerangkai bunga karena mereka pada kelabakan ngerjain orderan. Maklumlah, aku punya dua pegawai baru yang belum ahli di bidang ini. Biasanya mereka bantu nurun-nurunin bunga dari mobil dan men-sortir bunga.

Dari tadi customer terus saja berdatangan, sedangkan kami pun harus menyiapkan pesanan on-line yang sudah kami terima sampai H-2 valentine. Hectic day banget, deh.

Sekarang jam enam, toko harusnya tutup jam lima, tapi hari ini pengecualian. Dari baru sampai tanganku nggak ada hentinya bikin berbagai jenis rangkaian. Capek, sih, tapi aku bersyukur banget. Keberanianku untuk nyetok bunga sampai lima belas kali lipat dari hari biasa ternyata nggak meleset, sampai-sampai lantai satu dan dua penuh bunga semua dari kemarin. Ini belum termasuk bunga yang aku suplai ke toko-toko lain.

"Bunganya habis! Horeee!" pekik Firman.

Pelanggan terakhir baru saja pergi, karena kami sudah nggak punya bunga buat dirangkai. Ludes semuanya.

"Close! Close! Close!"

Itu Rina yang bersuara. Girang banget dia ngebalik sign di pintu. Satu lagi, Ahmad. Dia langsung rebahan di lantai, padahal sampah masih berserakan. Mereka semua kecapekan banget. Aku menghela napas lega sambil ngotak-atik ponsel. Mereka sudah kerja keras, harus dapat reward kecil dong.

Sebenarnya agak mengejutkan kami sudah selesai jam segini. Aku sampai nyuruh Oliver jemput jam delapan, karena mikirnya ya bunganya bakal masih banyak sampai malam. Ternyata nggak, customer datang tanpa jeda. Well, aku harus konfirmasi ke Oliver lagi biar jemputnya lebih cepat.

"Kalian masih ada tugas, lho." Aku mengingatkan.

"Iya, Mbak, iya. Bersihin kekacauan berbau uang ini, 'kan?" Ahmad yang lagi rebahan menyahut.

"Pinter. Aku udah pesan pizza sama pasta, dimakan ya ntar."

"Waahhh! Mbak Sofie yang terbaik!" Rina mukanya berseri-seri banget ngucapin kalimat itu.

"Makasih ya, Mbak!" Kali ini mereka berdelapan berucap barengan.

Yups! Aku punya delapan orang yang bertugas di toko. Dua orang lainnya khusus bagian pengiriman. Jadi, totalnya ada sepuluh.

"Ya, sama-sama."

Mereka mulai bersih-bersih, sedangkan aku menghitung-hitung omset hari ini.

Tiga puluh menit berlalu, aku lihat mobil Oliver tiba. Aku segera mengambil tas, nggak mau kalau dia masuk ke sini. Nggak sekaranglah. Lagi malas digodain anak-anak.

"Aku balik dulu, ya!"

"Lho, Mbak Sofie nggak nungguin pizza? Nggak makan sama ... kita?"

Suara Rina memelan, kemudian senyum lebarnya mengembang.

"Mbak Sofie janjian sama cowok tadi, ya? Udah dijemput, tuh. Cieee!" Rina mulai, deh.

"Cieee! Cieee!"

Mereka godain aku lagi. Duh!

"Bersih-bersih sana," usirku.

Mereka tuh kompak banget coba ngelihatin ke luar kaca. Oliver lagi menyandar di pintu mobil, lagi nelpon seseorang kayaknya. Nggak peduli tatapan penuh ingin tahu mereka, aku langsung saja keluar. Oliver masukin ponsel ke saku, tersenyum ramah sama aku, terus ngucapin salam.

"Kamu udah sholat Magrib tadi?"

Pertanyaan pertama setelah kami duduk di mobil. Apa dia bakal nanya itu terus-terusan? Serius bakal ngingetin aku sholat setiap hari?

"Udah."

"Jangan bohong, Sofie."

"Udah, kemarin."

Oliver ngelirik aku, terus bilang, "Astaghfirullah. Semangat ngusir setannya, Oliver."

"Kamu ngatain aku setan?"

"Otak kamu yang isi setan."

"Ihhh! Nyebelin!"

"Sofie, kalau seharian nggak makan rasanya gimana?"

Aneh. Tiba-tiba ngomongin makan, padahal barusan abis bahas setan.

"Ya laparlah. Lemas seharian nggak makan, bisa mati kali ujungnya."

Oliver lagi nyetir, tapi dia natap aku lebih lama sambil bilang, "Sholat juga sama, Sofie. Pikirin, sholat itu juga keharusan, sama kayak jadwal makan yang selalu kamu penuhi. Perut aja dikenyangin, terus kenapa hati sama jiwa nggak dikasih makan, sih?"

Speechless. Aku lagi diceramhin nih ceritanya?

To be continued

Semoga author lancar update ya 😂

Pusing dia sama Sofie 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro