6. Brother Complex

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tahu nggak biarpun aku dongkol, tapi aku juga senang banget? Ya gimana nggak? Aku punya alasan buat batalin pernikahan ini. Sampai rumah aku akan bilang ke Ayah kalau adiknya Oliver nggak suka sama aku. Itu kenyataan, jadi aku nggak bohong, 'kan? Doaku pas di mobil Oliver dikabulin, lho, sama Allah.

Senang nggak? Senang nggak? Senanglah! Masa nggak? Ini aku sampai nahan-nahan senyum biar nggak dikira aneh kalau ada yang lihat.

Pokoknya sekarang aku harus cari taksi buat pulang. Eh, tapi rencanaku ambyar saat seseorang menarik tasku secara tiba-tiba. Untung saja aku nggak sampai kejengkang. Siapa yang narik? Oh, tentu saja Oliver. Karena dari dalam rumah, sampai aku lewati pintu rumahnya, dia terus manggil-manggil tapi nggak aku hiraukan.

Karena tasku masih dipegang, aku terpaksa balik badan. Oliver natap aku dengan pandangan memelas yang nggak match banget sama wajahnya. Dan aku nggak suka lihat dia begini, bikin aku ngerasa bersalah, bikin kayak aku jadi penyebab perasaannya buruk.

"Apa?" tanyaku.

Kami berdiri di depan gerbang rumah. Nggak ada orang lewat, sepi, tapi Oliver kelihatan nggak nyaman, makanya dia mengusulkan nganterin aku pulang sambil kami bicara.

"No. Aku nggak mau. Mending kamu urusin adik kamu, tuh."

"Please," mohonnya sembari menarik-narik tasku.

Aduh. Iya, iya. Dari dulu aku paling nggak tahan kalau: digombalin Oliver pakai tatapan hangat, Oliver memohon dengan nada rendah, dan Oliver manggil nama lengkapku dengan pelan. Kalah sudah aku kalau dia mengeluarkan tiga versi dirinya itu. Anehnya, ternyata itu masih berpengaruh buatku saat ini.

Oliver doang memang yang bikin aku gagal move on! Ngeselin nggak?

Well, seperti yang memang seharusnya terjadi karena aku mau dianterin pulang, kami ada di mobil Oliver. Belum bicara apa pun hampir sepuluh menit perjalanan. Kalau aku sih, nggak butuh bicara apa-apa lagi sebenarnya. Semua sudah sangat jelas tadi di rumah Oliver.

"Sorry Azmi keterlaluan sama kamu."

Mancing nih? Mancing? Oliver kayak nggak tahu saja aku bisa meledak-ledak kalau lagi kesal. Dan mengingat Azmi tuh sama kejadian tadi bikin kesal, lho.

"Kami kira dia akan bisa jaga sikap kalau ketemu kamu langsung."

Kami nih pasti maksudnya Oliver dan orang tuanya, ya? Hah. Jadi mereka dari awal pasti sudah tahu Azmi nggak suka sama aku, tapi tetap kukuh dengan rencana pernikahan ini.

"Sof, say something. Aku nggak bisa lihat kamu diam gini, lebih buruk daripada kamu ngomel sepanjang kereta api."

Ternyata ... dia nggak berubah. Dulu Oliver bakal uring-uringan kalau aku diemin. Dulu-

Sofie, stop! Berhenti mikir dulu, dulu, dan dulu! Argh!

"Sofie Paramitha ...."

Nggak dengar. Aku nggak dengar ada yang manggil jadi aku tetap sibuk main HP.

"Sofie Paramitha yang cantik, yang baik hati."

Ah, apaan, sih?!

"Sofie Paramitha yang manis ...."

Argh! Stop!

"Kamu maunya apa, sih?"

Percuma juga pegang HP, nggak konsen, jadi aku masukin ke tas. Lalu kutatap Oliver yang masih berwajah serius.

"Jangan batalin pernikahannya, oke?"

"Terus kamu mau nanti aku dan Azmi cekcok setiap hari?"

"Kita nggak akan tinggal di sana, Sofie. Kamu nggak perlu ketemu dia."

"But she is your sister, Oliver! Kamu kira kita akan tinggal di belahan bumi mana sampai aku nggak perlu ketemu dia?!"

Please, deh, ya! Kadang-kadang aku memang nggak habis pikir dengan cara Oliver menanggapi sesuatu. Dia maunya aku bagaimana? Cuek saja walau tahu calon adik iparku nggak menyukaiku? Setelah nikah dan setiap pertemuan bakal ngamuk-ngamuk kayak tadi? Gitu maunya?

I see Azmi itu cuma adiknya Oliver, masih ada orang tuanya Oliver yang suka sama aku. Aku paham kalau ada yang menganggap ini persoalan sepele. Tapi bagiku, ini masalah besar. Hubungan antar ipar itu rawan, sebaik mungkin harus dijaga. Karena dari hubungan antar ipar yang nggak akur, aku sangat yakin masalahnya bisa merembet ke yang lain. Ya sekarang coba saja bayangin aku nikah sama Oliver, terus setiap ketemu aku dan Azmi sama-sama adu urat. Yakin Oliver nggak pening lihatnya? Yakin dia bakal bisa stay cool melihat istri dan adiknya terus-terusan ribut? Jawabannya sudah pasti nggak! Karena aku pun tahu kalau Oliver sayang banget sama adiknya.

"Kita pikirin jalan lain, ya?"

"Apa? Kalau kamu nyuruh aku ngerayu Azmi, aku nggak mau! Ogah ya merendah di depan adik kamu yang sombong itu!"

"Nggak, nggak akan. Sekarang kita makan dulu gimana?"

Makan. Astaga. Terakhir aku makan itu jam satu siang. Sekarang sudah lewat jam delapan, ya pantesan saja aku lapar. Coba, gara-gara siapa aku batal makan tadi?

"Aku makan di rumah aja. Malaslah mampir-mampir."

"Di rumah ada makanan? Aku sekalian makan ya?"

Tadi aku ngabarin Bunda kalau bakal makan di rumah Oliver. Kalau aku nggak di rumah, Bunda pasti masaknya sedikit.

"Pesan ajalah. Nggak tahu Bunda masak apa nggak."

"Oke."

Lalu Oliver menepikan mobilnya. Nggak paham dia klik-klik apaan di HP, aku cuma sekilas doang lihatnya. Karena masih kesal gitu kan, jadinya aku lebih sering natap ke luar kaca, asalkan nggak natap Oliver lama-lama.

Kami sampai rumah tanpa drama. Oliver nggak cerewet di mobil, bikin perjalanan nyaman buat aku istirahat sebentar. Hari ini berasa chaos, membuat hatiku lelah banget. Pengennya berdiri yang lama di bawah shower. Salah satu caraku menenangkan diri adalah mandi air hangat dan itu nggak pernah gagal. Sayangnya aku nggak bisa buru-buru masuk kamar sekarang. Karena ternyata makanan yang Oliver pesan sudah tiba di rumah dan diterima oleh Bunda. Sekarang Bunda natap aku dan Oliver penuh tanya, tapi nggak ada satu pertanyaan pun yang keluar.

"Oliver jelasin nanti, Bun. Kami boleh makan dulu, nggak?"

Aku diam saja, nggak punya daya buat ngomong. Tenagaku habis banget. Buat sampai ke meja makan saja aku berjuang keras. Capekkkk.

"Ya, ya. Sekarang makan dulu. Tadi Bunda langsung buka kotak-kotak makannya. Bunda tunggu di ruang tamu, sekalian nunggu Ayah pulang tahlilan."

Bunda pergi gitu saja. Aku dan Oliver makan tanpa ada obrolan. Heninggg banget. Aku sadar dilihatin, tapi aku sengaja nggak bilang apa-apa sampai kami selesai makan.

"Aku mau mandi. Kalau kamu mau pulang, nggak usah nunggu aku."

"Aku tunggu. Obrolan kita kan belum selesai, Sofie."

Ngomongin apa lagi? Bodo, ah! Aku ninggalin Oliver yang masih cuci tangan. Di ruang tamu Ayah dan Bunda lagi duduk bareng. Ayah masih pakai baju Koko dan sarung, belum sempat ganti kayaknya. Pasti Bunda cerita ke Ayah ada something yang berkaitan dengan aku pulang telat, tapi nggak jadi makan di rumah Oliver.

"Yah," sapaku.

Kucium takzim telapak tangan Ayah.

"Hal penting?"

Ayah memang gitu, nggak suka basa-basi. Mau sat set sat set, biar cepat beres.

"Oliver tuh mau jelasin katanya. Sofie mandi dulu, Yah, Bun."

Aku naik ke lantai dua setelah Oliver menyapa Ayah dan Bunda. Seperti biasa, Oliver ramah dan sopan, tipe kesukaan Ayah banget. Entah setelah dengar tentang Azmi keputusan Ayah gimana.

Sampai kamar aku langsung mandi. Hampir satu jam kemudian aku baru turun. Ternyata Oliver belum pulang, asyik main HP sendirian.

"Ngapain masih di sini?"

"Kan masih mau ngobrol sama kamu, Sofie."

Malas banget kalau intinya dia mau bujukin aku buat terima Azmi apa adanya.

"Aku udah kasih tahu Ayah sama Bunda situasi di rumah tadi. Tentang Azmi juga aku jelasin. Duduk dulu, yuk, Sof."

Ponsel itu segera ditaruh sama Oliver. Aku nurut disuruh duduk, biar cepat selesai urusan sama dia, biar aku cepat tidur. Besok aku ada meeting.

"Gimana?" tanyaku.

Aku duduk di seberang Oliver. Dengan begini aku bisa lihat setiap gerak-geriknya. Dan anehnya, apa-apa yang Oliver lakuin kenapa menarik, sih? Dia ngusap tengkuk dan menyugar itu bikin aku nahan napas. Seksi, cyin!

Astaghfirullah. Mata, Sof, mata!

"Azmi terlalu sayang sama aku, sampai bisa timbul tindakan impulsif kayak tadi."

"Terlalu sayang?"

"Dia over protective ke aku, takut aku nggak perhatian sama dia saat udah menikah, dan dia punya banyak kekhawatiran kalau ada perempuan lain di hidupku."

Tunggu. Aku seperti pernah mendengar hal itu.

"Brother complex bukan, sih?" tebakku ragu-ragu.

"Iya."

Hah? Demi apa?

"Olv, orang-orang pengidap brother complex itu bisa sampai tahap mengerikan. Dan Azmi?"

Demi apa, aku kaget. Oliver juga mukanya kusut. Mungkin sebenarnya dia nggak pengen cerita, tapi berhubung terpaksa, ya jadinya begini.

Aku belum pernah ketemu kasus brother complex secara langsung. Tapi sependek yang aku tahu, orang-orang dengan rasa kasih berlebih pada saudara laki-lakinya ini bisa sampai berfantasi. Tentu saja dalam artian ngebayangin badan saudaranya, bayangin make out or maybe bisa sampai bayangin make love.

"Tenang, Azmi nggak sampai punya perasaan cinta sebagai lawan jenis. Dia hanya berlebihan menyayangi aku sebagai kakaknya. Azmi khawatir aku nggak sayang lagi sama dia."

"Terus gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Kami tahu kondisi Azmi sampai mana dan itu cukup melegakan. Di matanya aku tetap kakak, jadi dia nggak ada perasaan dan keinginan jadiin aku pacarlah atau bayangin hal-hal terlarang lainnya."

"Terus?"

Kayak orang oon deh aku nanya-nanya terus. Habisnya lumayan penasaran. Dilihat dari sikap Azmi tadi, dia memang nggak mau kehilangan Oliver. Apa ini artinya kalaupun orangnya bukan aku, Azmi tetap nggak suka?

"Terus aku akan bicara baik-baik sama dia. Kita tetap nikah ya, Sof? Ayah sama Bunda juga tetap setuju kita nikah."

Melas banget coba wajahnya Oliver.

"Segitunya pengen nikah sama aku? Kenapa, sih?"

"Karena cuma kamu yang aku mau, Sofie. Bertahun-tahun aku kerja dengan ngebayangin senyum kamu. Dan tadi, aku merasa hampir kehilangan semuanya."

Kalau bukan Oliver orangnya, aku akan percaya dua tetes air mata yang meluncur dari sudut matanya itu adalah palsu. Karena Oliver orangnya, aku jadi percaya bahwa saat ini hatinya sedang berkecamuk. Kadang, Oliver bisa nunjukin sisi yang mengejutkan seperti ini. Sisi lemahnya ini yang buat Oliver berbeda dengan cowok-cowok lain, di mataku. Karena dari matanya aku bisa merasakan ketulusan.

"Kalau aku udah jadi istri orang lain saat kamu kembali, apa yang kamu lakuin, Oliver?"

"I have no idea. Mungkin aku tikung kamu lewat sepertiga malam?"

Aku malah senyum, padahal Oliver pasang muka serius.

"Dan gimana kalau seandainya kamu yang menikah duluan, ya?" tanyaku serius.

Oliver diam sejenak.

"Aku nggak pernah memikirkan pernikahan selain dengan kamu. Karena aku nggak bisa membayangkan mencintai perempuan lain seperti aku mencintai kamu sejak kita SMA."

Soal Azmi terlewat gitu saja di benakku. Aku sudah nggak mau mikirin dia. Aneh, 'kan? Harusnya aku tetap kukuh, tapi lagi-lagi Oliver membuatku luluh.

"Sejak kapan kamu suka aku?"

"Sejak kelas 1 SMA."

"Tapi dulu kamu pacaran sama cewek lain, lho. Mana aku percaya kamu suka sama aku saat itu."

Lah, kok malah bahas masa lalu, sih? Salting deh aku karena Oliver senyum-senyum.

"Karena aku nggak mau ngerusak persahabatan kita. Tapi akhirnya aku tetap ngambil resiko itu."

Mmmm. Iya, sih, masuk akal. Katanya persahabatan bisa rusak karena cinta.

"Sofie, give me your forever. Could you?"

Bentar. Bentar. Aku nge-lag!

Oliver tadi bilang apa? Terus kenapa dia keluarin cincin dari sakunya? Maksudnya gimana?

Dia ngelamar aku? Dengan aku yang pakai piama dan rambut tergerai setengah basah? Seriously?!!

"Ini kamu ngapain?"

Aduh! Aku tepuk-tepuk pipi, kirain ini cuma khayalanku. Nyata dong, tapi. Cincin yang Oliver taruh di meja cantik banget dan senyum laki-laki ini bikin deg-degan.

"Ngelamar kamu. Kita nikah ya, Sofie?"

Harusnya aku tolak. Tapi kok aku malah ngangguk?!

To be continued

Dengerin deh lagu di atas. Asyik banget (buatku)

Jangan lupa follow ig putriew11

Btw, sorry yah baru update. Baru sembuh nih. Huhu

Lav,
Putrie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro