9. Late Night Call

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mendekati hari akad, aku ternyata ngerasa gugup. Aku juga jadi jarang ke toko, lebih banyak waktu di rumah atau ketemuan sama orang WO untuk meriksa persiapan. Bawaannya aku nggak pengen ngapa-ngapain, berasa deg-degan terus. Makan saja aku malas, main HP berkurang drastis, media sosial aku mungkin hampir lumutan karena sudah sebulan nggak aktif kayak biasanya. Anak-anak toko giliran nelpon aku, bahkan ada yang sampai datang ke sini karena khawatir. Mereka tahu aku bakal nikah dan pastinya waktu untuk pekerjaan itu berkurang. Cuma, aku yang sama sekali nggak mantau keadaan toko tetap saja bikin mereka kepikiran.

Oh, iya, karena nafsu makanku agak menurun, aku ngerasa berat badanku terpengaruh. Sewaktu fitting kebaya buat yang terakhir, itu kebayanya berasa longgaran, padahal sebelumnya pas banget. Jujur, itu bikin aku tambah worry. Bukannya gimana, ini badan aku sudah kurus, bakal nggak lucu banget kalau ada acara berat badan turun lagi. Nggak kebayang kalau tulang-tulangku sampai kelihatan gitu karena dagingnya nggak ada. Hah! Sebenarnya aku mencemaskan hal-hal lain juga, seperti gimana kalau Oliver mendadak gagu dan nggak bisa menyelesaikan ijab qobul dengan benar.

Apa ini yang dinamakan pre-marriage syndrome?

Setelah hari lamaran, aku makin jarang ketemu Oliver. Komunikasi kami juga nggak intens lewat telepon. Palingan kami membicarakan persiapan pernikahan, terus malamnya dia bakal kirim pesan ucapan selamat tidur. Sudah, gitu doang. Kalau dipikir-pikir sikap Oliver itu B banget. Coba, deh, katanya sayang, tapi hubungi aku jarang. Nanti kalau sudah nikah dia juga pasti kayak gini, 'kan? Kalau aku nggak berkabar, dia santai saja gitu.

Tunggu, tunggu. Kalau sikapnya dingin memang masalah, ya? Harusnya kan nggak, Sofieee! Dia mau kayak gimana juga bukan urusanmu!

Kan! Aku mikir berlebihan lagi. Kayaknya benar ini efek hari pernikahan yang tinggal menghitung jam.

Ponselku berdering, aku nggak ada ide siapa yang nelepon. Dengan malas aku mengambil benda pipih itu dari nakas. Tadinya aku mau melanjutkan berbaring, tapi batal. Aku seketika bersila dan mataku serasa melebar saat membaca nama yang tertera di layar. Dan boom! Ada yang meledak di dadaku, sampai-sampai di dalam sana rasanya kacau banget.

Angkat, nggak? Angkat, nggak?

Layar ponselku padam, kukira orang itu nggak akan menghubungi lagi, tapi aku salah. Dia nggak menyerah hanya karena tiga panggilannya nggak aku jawab. Di panggilan keempat, aku memutuskan untuk bicara padanya. Karena aku memang nggak bermaksud untuk menghindar.

"Ada yang penting?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Sofie, kamu mau nikah sama Oliver, tapi kenapa kamu nggak ada cerita apa-apa ke aku? Oliver udah balik juga kamu nggak pernah ngabarin. Seminggu ini aku sibuk dan aku baru ngecek grup barusan, aku kaget banget. Berarti sama Farel udah putus, ya?"

Sia-cicak! Sebenarnya aku sudah menduga Anggi akan membicarakan soal pernikahanku, mengingat seminggu yang lalu aku sudah menyebarkan undangan daring untuk alumni angkatanku di grup WhatsApp. Tapi kok kesal ya saat dia bertanya kenapa aku nggak ngabarin? Lupakah apa yang sudah terjadi di antara kami?

"Kamu punya hak apa untuk bertanya, Anggi? Kita bahkan udah nggak komunikasi selama dua bulan."

"Soal itu, aku udah minta maaf berkali-kali, Sof. Kita kan sahabatan dari lama, sampai kapan kita mau marahan gini? Kenapa nggak mau terima maafku, sih? Aku beneran minta maaf, Sof, dan mau kita balik kayak dulu."

Kesal! Bahasa Anggi barusan seperti membalik keadaan bahwa aku yang salah karena nggak memaafkan dia. Gimana mau maafin kalau dia saja tampak nggak tulus mau memperbaiki hubungan kami.

"Anggi," aku mengembuskan napas panjang, "kalau kamu mau datang ke pernikahanku, silahkan. Kalau nggak mau datang juga nggak apa-apa, karena aku emang nggak ngasih undangan secara khusus. By the way, aku udah putus sama Farel. Dia available tuh kalau mau kamu deketin, kayak katamu dua bulan lalu."

Lalu aku mengakhiri panggilan, padahal Anggi sedang memanggil namaku tadi.

Mood-ku anjlok, mataku makin nggak bisa diajak kerja sama buat tidur. Menyebalkan!

Selain Oliver, Anggi adalah sahabatku sejak SMA. Kami sekelas, aku duduk sama Oliver, sedangkan Anggi tepat di belakangku. Selama ini aku ngerasa hubungan kami baik-baik saja, sewaktu aku ngegalau karena Oliver menghilang Anggi pun selalu nemenin aku. Tapi ... mungkin cuma aku yang menganggap kami nggak ada masalah, sehingga aku selalu menyangkal kabar burung tentang Anggi.

Mulanya aku mendengar dari teman yang lain, bahwa Anggi selalu membicarakan keburukanku. Salah satu contohnya, seperti aku yang nggak pintar dan nggak begitu cantik tapi punya crush se-perfect Oliver. Saat itu aku nggak mempertanyakan ke Anggi, karena aku berprinsip no body has perfect life. Aku juga menerima kalau aku ini nggak spesial, jadi ya sudahlah. Tapi ternyata nggak berhenti sampai di situ. Setelah lulus SMA, kami beda universitas, tapi tetap menjaga hubungan. Nggak jarang aku hangout sama teman-teman SMA dulu. Dan ... aku makin sering dengar kalau Anggi ngomongin aku. Kali ini agak nyelekit sih omongannya. Dia bilang aku gamov dari Oliver, bahkan tersiar kabar bahwa mungkin aku pernah ngapa-ngapain sama Oliver makanya aku stuck dan nggak bisa pindah ke lain hati. Saat itu aku emosi banget, tapi sekuat mungkin aku nahan diri karena aku nggak pernah mendengar langsung dari mulut Anggi.

Sekalipun aku pernah macam-macam sama Oliver, dalam pandanganku Anggi nggak berhak mengumbar hal tersebut, apalagi ini cuma fitnah. Mempertimbangkan persahabatan kami, aku memendam semua pertanyaan dan perasaan nggak enak itu. Sayangnya makin hari Anggi buat aku nggak nyaman. Puncaknya adalah, saat aku dengar langsung dari mulutnya bahwa Farel itu ganteng dan bakal dia pacarin seandainya aku sama Farel belum jadian.

Sumpah, aku syok banget. Situasinya saat itu adalah aku lagi ngantri di restoran cepat saji dan Anggi lagi makan bareng Fani-teman SMA kami dulu. Hari itu aku flu, jadi pakai masker dan kacamata hitam karena mataku juga perih-takut kena debu. Untuk itu, Anggi ataupun Fani nggak ngenalin aku, walau aku berdiri di dekat meja mereka karena antrian mengular. Dengan penampilanku yang nggak ketahuan, aku bisa mendengarkan obrolan mereka sampai selesai. Seketika aku pengen ngamuk, karena saat itu aku mendengar langsung penilaian Anggi terhadapku selama ini.

"Aku kalau bukan Sofie punya toko besar dan relasinya banyak juga malaslah temenan sama dia. Dari jaman SMA juga, sih, sebenarnya. Dulu itu aku nempel dia karena anaknya royal aja. Kalau ke kantin aku lebih sering dibayarin. Sisanya nggak ada kelebihan apa-apa tu anak. Sok cantik iya, beruntung banget juga sekarang punya pacar seganteng Farel. Apa aku coba goda Farel, ya?"

Ternyata begitu. Jadi, selama ini dia hanya memikirkan benefit yang didapat kalau dekat denganku. Selama ini aku sendirian yang menganggap Anggi adalah sahabat? Aku sering traktir dia zaman SMA karena ngerasa ya kenapa nggak, toh dia temanku. Oliver pun aku perlakukan sama. Dan bisa-bisanya dia bilang mau goda Farel, padahal mereka pernah ketemu beberapa kali saja saat di tokoku.

"Gila kamu, Nggi. Sofie teman kita dari dulu, biarpun aku nggak dekat banget sama dia, tapi kamu keterlaluan ngomongin dia di belakangnya."

Nggak nyangka, Fani yang nggak terlalu dekat sama aku mau membela, tapi Anggi ....

"Yeee! Biasa ajalah, Fan. Emang kenyataannya gitu, 'kan? Terus ya, palingan perawannya udah diambil Oliver, makanya bertahun-tahun dia nggak mau pacaran sama yang lain."

Gila, ya. Di tempat umum bahas keperawanan seseorang. Di mana sih etikanya si Anggi? Aku jadi nggak heran kalau dia sering gonta-ganti kerjaan, mungkin attitude-nya ini yang bikin dia susah diterima dengan baik.

"Apaan, sih, Anggi? Keterlaluan mulut kamu."

"Kamu, kok, belain dia terus, Fan?"

"Karena Sofie nggak sa-Sofie?"

Fani bengong saat aku duduk di kursi sebelah Anggi. Kacamata dan masker sudah kubuka. Aku tersenyum lebar pada Fani dan juga Anggi. Wajah mereka sangat menunjukkan keterkejutan. Suapan Anggi sampai tertahan dengan mulut sedikit terbuka.

"Hai, antriannya masih panjang, nih. Boleh numpang duduk di sini? Obrolan kalian kayaknya seru banget. Asyik gitu ya, Nggi, ngomongin keperawananku?"

"Eh, eh! Nggak gitu, Sof! Kamu salah paham."

Ayam goreng yang tadi sudah berada di dekat bibir Anggi, kini kembali ke piring. Dia terlihat panik dan berniat mencuci tangan dulu.

"Nggak perlu."

Aku mencekal lengan Anggi, mencegahnya mengulur waktu untuk kepastian yang ingin kuminta. Fani diam saja, sepertinya dia tahu bahwa aku memahami situasi sebelum aku duduk di sini.

"Sof, jangan marah. Itu tadi omongan iseng-iseng aja."

Anggi memelas, ekspresi yang selalu dia tampilkan kalau sedang meminta bantuanku. Sial-cicak! Kenapa aku membiarkan orang berkulit badak ini ada di sisiku selama bertahun-tahun?

"Yang mana? Bagian mau goda Farel? Oliver yang ambil perawanku? Bagian mana yang omongan iseng-iseng? Nggak capek bersandiwara, Anggi?"

Perempuan berambut cokelat di sampingku ini nggak memberi penyangkalan lagi. Dia hanya berkali-kali mengucapkan maaf yang membuat aku sangat muak.

"Sorry, Sof, sorry. Aku janji akan jaga omongan dari sekarang. Jangan marah, ya?"

"Bullshit, Anggi."

Aku menepis tangan kirinya yang hendak menyentuh tanganku. Anggi tegang dan terlihat makin panik.

"Bertahun-tahun aku tutup telinga karena nggak pernah dengar secara langsung dari kamu hal buruk tentang aku. Selama ini aku diam, bukan karena pengecut, tapi karena aku nggak punya bukti. Dan sekarang, aku lega bilang ini. Jangan pernah temui aku lagi, Anggi."

Rasa laparku menguap. Tanpa memikirkan untuk kembali mengantri, aku meninggalkan Anggi dan Fani. Nggak peduli berapa kali pun Anggi telpon aku hari itu, aku nggak ngejawab. Terus kok bisa-bisanya dia masih nanya kenapa aku nggak ngabarin soal pernikahan dengan Oliver?

Uhh! Sebal!

Waktu sedikit lagi menuju tengah malam, tapi aku nggak bisa tidur sama sekali. Gimana ini? Gimana? Lingkaran hitam di bawah mataku pasti parah nanti pagi, lalu Bunda bakal ngomel karena aku sudah disuruh tidur cepat, tapi malah begadang.

Ngapain, ya, biar bisa cepat tidur?

Satu pemikiran gila muncul ketika aku melirik ponsel. Aku kembali berbaring dan menatap layar ponsel yang mati. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi dan membuatku terkejut. Hampir aku lempar lho karena barusan lagi nggak fokus.

Oliver menghubungiku di tengah malam begini, apa ada yang penting?

"Halo," sapaku, setelah menimbang mungkin memang ada yang perlu dia bicarakan.

"Assalamu'alaikum, Calon Istri."

Kyaaaaa! Aku sampai bingung mau berekspresi gimana dipanggil kayak gitu.

"Wa'alaikumussalam. Ngapain telpon jam segini?"

Cool, Sofie, cool. Jangan sampai Oliver tahu barusan kamu senyum-senyum.

"Aku nggak bisa tidur, aku pikir kamu juga sama. Kurang dari 24 jam kita akan jadi suami istri, Sof. Aku nggak bisa berhenti mikirin mimpi besar itu akan jadi kenyataan."

Mimpi yang pernah kami bicarakan memang sebentar lagi akan terwujud. Hatiku dipenuhi berbagai perasaan, jadi aku nggak bisa menjelaskan detailnya. Tapi anehnya, entah gimana, aku bisa merasakan ketulusan Oliver barusan. Hanya lewat kata-katanya tadi, aku yakin dia sangat bahagia atas status baru yang akan kami sandang.

"Mau dengar aku ngaji, nggak, Sof?"

Eh? Tiba-tiba? Padahal kukira dia akan melanjutkan topik tentang pernikahan kami. Hahaa. Aku geleng-geleng saat kembali sadar Oliver memang out of the box.

"Boleh."

"Oke, tunggu sebentar."

Aku meringkuk setelah menutup tubuh dengan selimut, bersiap mendengarkan suara Oliver. Dulu kami ngaji di TPQ yang sama, jadi aku tahu tuh suara Oliver memang enak didengar. Pas bulan Ramadan juga aku beberapa kali dengar dia tadarusan di masjid. Cuma ini adalah kali pertama dia memperdengarkan suaranya khusus buat aku.

Dan aku merasa ... tenang? Kekesalan terhadap Anggi jadi terlupakan begitu saja.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم"
الٓمّٓ ۚ 
"ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ  ۛ  فِيْهِ  ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ ۙ 

Tepat di saat Oliver mengucapkan Alif Lam Mim, ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku meneteskan air mata. Aku berkali-kali pacaran, tapi nggak sekali pun pernah ketemu yang seperti Oliver. Ketimbang nyanyiin aku lagu-lagu romantis atau ngerayu, dia lebih milih ngaji. Ketimbang ngajak pacaran dan ngasih janji palsu, dia malah langsung ngajak nikah.

Kalau begini, gimana aku nggak jatuh hati lagi sama dia?

To be continued

Hai! Apa kabar semua?

Maafkan aku yang masih lelet update. Dan izinkan aku meminta maaf untuk beberapa atau mungkin sebagian reader yang kecewa kalau Full of Betony berbeda dengar ceritaku yang lain.

Ini lapak SANGAT BERSIH DARI AREA 21+. Mungkin terkesan membosankan, tapi aku menulisnya dengan sepenuh hati sebagai reminder untuk diri sendiri. Syukur-syukur ada yang bisa ambil bagian positifnya juga.

Jadi mari enyahkan pikiran kalian malam pertama Sofie tanpa sensor.😆😆😆😆

Btw, aku salah prediksi. Next part baru The Day ya, alias hari pernikahan mereka.

Ada yang mau disampaikan? Silahkan.

Lav,
Putrie

NB: Ayat di atas diambil dari Surat Al-Baqarah ayat 1 dan 2.

Sedang menerawang masa depan bersama Sofie.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro