Bab 12 - "Pulang"

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dika sedang mengantar Madame Linggar ke rumah sakit. Dia tadi pamit kepadaku," Bene mengulurkan segelas air mineral padaku. Kejadian-kejadian tadi cukup membuat otakku lumpuh hingga tidak bisa berpikir banyak.

Gideon terlihat geli ketika melihat kami. Aku tak tahu apa yang bisa kulakukan. Aku hanya menceritakan kejadian di studio tadi.

"Serius. Unreality itu mengerikan," rengekku, "Hentikan programnya, Kak."

Tapi alih-alih setuju, Bene hanya menatap Gideon sekilas, "Dengan apa yang terjadi, rasanya itu sulit dilakukan."

"Apa?"

"Sudah kukatakan, Unreality bisa menghasilkan banyak uang," Gideon berkata puas. Aku langsung merasa jijik melihat senyumnya yang penuh keserakahan.

"Kristina, kondisi perusahaan sedang tidak bagus sejak 2014 kemarin," jelas Bene, "Kan kamu tahu sendiri keadaan ekonomi dunia. Belum lagi masa-masa Pilpres yang tidak menentu."

Aku cemberut.

Bene tampak bingung melihat ekspresiku. Namun Gideon berdeham sekali, seperti mengingatkan.

"Aku nggak mau siaran acara itu lagi," kataku bersikeras. Tak lupa sambil mengarahkan tatapan permusuhan ke arah Gideon.

"Ya, sudah... kalau kamu nggak mau siaran, suruh yang lain saja," Bene tersenyum manis, "Nggak apa-apa, kan... Gideon?"

"Apapun katamu," Gideon merentangkan tangan, seolah-olah memberi hormat dengan cara seorang gentleman. Huh. Dasar sok ganteng. Aku cemberut lagi.

"Ke mana saja kakak pergi?"

Bene menyugar rambut. Tampak menimbang-nimbang apa yang dia katakan. Seperti biasa, aku sulit menebak pikiran Bene. Gideon masih berdiri di sebelah kami, bertopang dagu dengan ekspresi datar. Apa yang sedang dia pikirkan, aku malas mencari tahu.

"Maaf, tidak sempat berpamitan," Bene berkata, "Saat itu, ada masalah bisnis yang mendadak di Jakarta. Lalu penyakitku kambuh," Bene terbatuk sekali, "Aku kemudian pergi ke Singapura. Tapi aku bertemu dengan beberapa iblis..."

"Lebih tepatnya, iblis-iblis itu menyerang Bene, hingga mobil Bene mengalami kecelakaan di sana," Gideon menambahkan, "Aku meminta orangku mengantarnya ke Frankfurt untuk pengobatan lebih lanjut. Luka-lukanya nggak parah. Tapi nggak ada salahnya jaga-jaga, kan?"

Jadi bukan Bene yang membunuh Tommy, aku merasa lega.

"Aku lega kakak tidak apa-apa," aku berkata, "Tapi kok bisa ditolong sama dia?"

Seringaian Gideon terlihat licik, tapi dia menjawab, "Astaga, Kris. Kamu terlalu parno, deh... aku kan berniat baik."

"Kamu bisa berniat baik?" nada suaraku jelas menyindir. Gideon terbahak mendengarnya.

"Hei, aku dan kamu kan sama-sama nephilim. Berdamai sesekali nggak ada salahnya, kan?"

"Berdamai untuk mengajakku bergabung ke kubu neraka?"

"Kris..." potong Bene.

Aku menyentakkan tangan sebagai tanda protes. Tapi Bene menggeleng, "Bagaimanapun, dia menolongku. Dan kita ada di pihak netral, ingat?"

Aku memutar mata saking sebalnya.

"Ini hanya masalah bisnis," Gideon membuat tanda V dengan jari, "Ayolah. Sementara ini, kita berdamai."

"Selama aku pergi, apa terjadi sesuatu?" Bene berkata, tak membiarkan aku kembali berdebat dengan Gideon. Dia menggenggam tanganku. Matanya menyipit dan menggelap, kembali membuatku merinding.

"Kristin!"

Segera, aku memalingkan wajah mendengar panggilan itu. Bene tampak terkejut melihat kehadiran Feng di sana. Wajah Feng bahkan tampak sama kacaunya dengan saat dia menemuiku menjelang pertempuran dulu.

"Feng," desis Bene dari sela gigi, "Mau apa kau kemari?"

Tanpa bicara apapun, Feng menarikku dari Bene. Dipandanginya Bene dan Gideon sekilas, kemudian dia menemukan ketenangannya.

"Nggak apa-apa, kan?" Feng berkata kepadaku, "Tadi aku lewat sekitar sini dan melihat makhluk-makhluk itu..."

Dehaman Bene menghentikan penjelasan Feng. Aku tak sadar, satu tanganku masih digenggam Bene. Feng tampak tak suka melihat itu.

"Kapan kamu balik? Bilang, dong. Kan aku bisa menjemputmu di airport."

Saat kupandang wajah Bene, seringaian aneh terlihat sementara dia menjawab, "Aku tidak ingin terlalu merepotkan. Urusanku cukup banyak."

Baik Bene maupun Feng tidak melepaskan tanganku. Bahkan ketika aku menepis tangan Feng dan Bene bersamaan.

"Ayo, Kris... kita pulang."

"Ayo pulang bersamaku."

Mereka berkata bersamaan.

"Eh... sejak kapan Kristina tinggal di rumahmu?" Gideon yang bertanya, "Dia itu anak gadis. Jangan sembarangan! Kristina! Pulang sama kakakmu, sana!"

Alih-alih mendebat, Feng hanya tertawa, "Hei, Bene... masa nggak ingat jual rumahmu padaku? Kamu bilang aku harus menjaga adikmu baik-baik," Feng berkata tenang, "Kamu juga tadi bilang urusanmu banyak. Nggak apa-apa, kok... kamu memercayakan Kristin padaku."

Sedetik, Bene tampak terkejut sekali. Aku malah merasakan kemarahannya membara seperti kobaran api. Namun secepat munculnya, murka itu hilang begitu saja.

"Rupanya dia telah memperhitungkan semuanya, ya?" Bene berkata dengan nada menantang. Bene melepaskan tanganku. Membiarkan Feng menarikku hingga berdiri di belakangnya. Aura permusuhan yang pekat sempat kurasakan mengalir di antara mereka. Memercik seperti korslet pada arus listrik.

***

Aku sempat mendengar suara mobil Bene di pagi hari. Tapi aku terlalu lelah untuk bangun. Apalagi ini hari libur. Libur kuliah. Libur siaran. Indah sekali.

Untuk berjaga-jaga, aku telah memperkuat gelembung unyu *pinjam istilah Dika* hingga aku tetap tidur di kamarku. Sekalian meliburkan diri dari urusan astral yang belum selesai.

Aku duduk di pinggir kolam renang, menikmati susu kedelai andalan Mbak Kedasih. Pemandangan di sana lumayan menghibur. Harus kuakui, Bene pandai sekali menata rumah. Dia membuat air terjun mini di sisi kiri kolam renang, lalu mengecat batunya hingga mirip bebatuan di gunung. Berbagai tanaman bunga dan buah memenuhi seberang kolam. Lengkap dengan rumput hijau yang mendatangkan suasana segar.

Feng datang beberapa saat kemudian. Mengenakan celana cargo coklat tua dan kaos oblong sederhana, dia tampak memikat seperti biasa.

"Sudah siang begini, nggak makan siang?"

Aku menggeleng, "Belum lapar."

"Masih kepikiran masalah kemarin?" Feng ikut berbaring di kursi sebelahku, "Aku minta maaf datang terlambat. Aku tak menyangka kekuatan jahat itu akan berpusat di Radio Lentera."

"Nggak apa-apa, kok," kataku, "Aku malah berterima kasih ada kakak di sana. Meski sepertinya, Kak Bene tidak suka hal itu."

"Kadang-kadang, aku bisa over protektif, lho..."

"Ngomong-ngomong, aku heran dengan sikap kakak. Kenapa tiba-tiba kakak menantang Kak Bene?"

"Kenapa aku mendadak menantang Bene?" Feng memegang dagu, "Entahlah. Malam itu aku merasa ada yang janggal. Kehadirannya terlalu mendadak. Waktunya juga terlalu pas. Menurutmu bagaimana?"

Aku membetulkan kaca mata hitamku. Hari ini, aku malas mengenakan soft lens. Tapi aku tak mau memerlihatkan warna asli mataku.

"Aku bingung, Kak," aku mendesah, "Satu kompi pasukan iblis datang begitu saja. Lalu ada makhluk berkerudung yang beraura sangat jahat. Apa yang mereka lakukan di sana?"

Aku bergidik membayangkan perkataan makhluk itu. Katanya, dia akan menjemputku. Mengerikan!

Feng tampak ragu ketika bergeser semakin dekat denganku. Dia membuka kaca mata hitamku, membuatnya leluasa memandang mataku yang bersinar keperakan.

"Ternyata kau memang memiliki kekuatan itu."

Aku melengos, "Aku memang memiliki kekuatan malaikat. Dan karena hingga kini aku belum memilih bersatu dengan neraka, kekuatanku masih murni."

"Kekuatan yang bisa menghancurkan satu kota itu?"

Aku menunduk, tidak menjawab. Ibu pernah menceritakan bagaimana ketika dia bergabung dengan pasukan Archangel Michael—panglima surga. Tapi buatnya, itu pengalaman yang tidak terlalu menyenangkan. Dia lebih senang bergabung dengan para penyembuh. Memperbaiki semesta atau melindungi manusia.

"Apakah pihak surga tahu hal ini?"

Aku menggeleng, "Saat ibu mencabut sayapnya, dia tak tahu kalau dia sedang mengandung. Mereka masih berharap bahwa aku akan tumbuh seperti manusia normal. Tapi sayapku tumbuh saat aku berusia sepuluh tahun. Ayah juga bingung kenapa aku bisa kayak gitu. Kalau saja aku lahir agak normal, ya..."

Feng menggenggam tanganku. Perasaan simpatinya membelaiku lembut. Namun aku berusaha keras tidak menampakkan air mataku padanya. Semua itu sudah berlalu. Aku tidak ingin memberatkan Feng dengan masalahku.

"Aku menyesal tidak menemanimu di saat-saat tersulit."

"Aku malah berharap Kak Feng tidak ada saat itu," nada suaraku terdengar getir, "Itu pertempuran yang sengit. Aku bahkan sempat berpikir kalau aku akan mati."

"Tapi Bene melindungimu, kan? Oh, Kris... semoga aku bisa melindungimu seperti dia melindungimu."

Kegagalan melindungi Freya kembali membayangi Feng. Dia kembali merasa bersalah. Merasa kalau dia juga bertanggung jawab atas kematian Freya.

Aku yang kini meremas jemari Feng, "Aku sudah sangat berterima kasih kakak sering menemaniku," kataku tulus, "Ngomong-ngomong, sedari tadi aku tidak melihat Kak Bene."

Feng tersenyum geli, "Dia tadi mampir sebentar. Tapi pergi lagi. Tampaknya suasana rumah ini tidak begitu menyenangkan buatnya."

Alisku seketika bertaut. Kok aneh? Biasanya Kak Bene betah di rumah. Dia bukan tipe laki-laki yang doyan keluyuran.

"Jangan terlalu memikirkan Bene," Feng berkata santai sambil menunjuk Sano dan Malaikat Yizreel di dekat kami, "Toh sekarang, kamu punya banyak bodyguard."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro