Bab 14 - Terlarang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Baik aku maupun Bene, dulu tak tahu kenapa kami selalu hidup berpindah-pindah. Dari Jakarta ke Makassar. Lalu pindah ke Malaka, Pontianak, Phuket, Penang. Ke mana saja tugas ayah sebagai dokter memanggil.

Terlalu seringnya harus beradaptasi membuatku tumbuh menjadi anak yang keras kepala dan tertutup. Ayah dan ibu kerap menasihatiku. Bene mencoba akrab padaku. Tapi aku tidak menyukai siapapun. Sudah sering terjadi, ketika aku akrab dengan seseorang, aku harus pindah dan meninggalkannya. Karena itu, aku takut. Aku membenci perubahan-perubahan yang terlalu sering terjadi. Terlebih, saat itu sekolah kami adalah sekolah di mana muridnya kebanyakan anak-anak orang kaya yang suka bikin ulah.

Sayangnya, sekolah ini hanyalah sekolah yang menganut hukum rimba. Senior menindas junior. Mahasiswa merisak anak SMA. Anak SMA menggencet anak SMP. Bullying menjadi hal biasa di sana. Pihak sekolah pun tak bisa berbuat apa-apa karena dana mereka diperoleh dari para orang tua yang anak-anaknya paling bermasalah.

Penampilan Bene yang lembut membuat anak-anak cowok mengejeknya banci. Untuk pertama kalinya, aku kasihan pada Bene. Aku telah berusaha menahan emosi. Aku berdiam diri saat anak-anak itu memaksa Bene ikutan geng agar jadi lebih jantan. Aku tidak bertindak saat Bene beberapa kali dikunci di kamar mandi, dengan tubuh terikat dan mulut terbungkam kaus kaki.

Tapi siang itu, aku tak dapat menahan diri lagi. Sekitar dua puluh anak mengepung kami di sebuah perempatan sepi. Dengan sok gagah, dua orang anak menarik dan menyanderaku.

Bene dipukuli berkali-kali. Ditendang. Diludahi. Aku membenci ketidakberdayaanku. Kemarahanlah yang membuatku kemudian menangis. Aku berusaha meronta, melepaskan diri. Tapi pegangan dua cowok itu terlalu kuat. Mereka mencengkeram lenganku hingga terasa hampir patah. Rahangku mengertak. Seluruh emosi yang kutahan berbulan-bulan akhirnya meluber keluar. Hingga kemudian, sayapku muncul. Dengan kibasan kuat, sayapku melemparkan dua orang penyanderaku. Mereka melayang hingga sekitar tiga meter.

"Sis! Jangan!"

Terlambat. Angin kencang keburu datang seiring kepakan sayapku. Cowok-cowok pengeroyok itu melotot dengan mulut menganga. Lalu kabur sambil berteriak-teriak ada hantu.

"Kit, kamu nggak apa-apa?"

"Astaga, Sis. Sudah kubilang, panggil aku Kakak," perkataan lemah itu terucap dari mulut Bene sebelum dia pingsan.

***

Tentu saja, kami dimarahi habis-habisan. Herannya, Bene yang kemudian maju untuk membelaku. Dia bahkan berbohong mengatakan kalau anak-anak itu adalah warlock.

"Aku yang terlalu lemah, Bu," katanya dengan wajah menyesal. Bahkan tanpa melirik ke arahku.

"Kalian ini," Ibu mendesah kecewa, "Seharusnya kalian memikirkan akibat yang bisa ditimbulkan. Sekarang semua anak-anak itu harus ditemukan dan dihapus ingatannya. Kalau ketahuan, kita yang repot. Apalagi kalau ayah tahu..."

Bene pun menerima nasihat panjang lebar mengenai bahaya yang akan kami alami saat itu. Kami kemudian terpaksa pindah sesegera mungkin dari Penang. Padahal, kami baru tinggal di sana tidak sampai dua bulan.

Kupikir, Bene akan marah kepadaku. Terlebih karena ibu memberi banyak hukuman. Tapi Bene hanya beberapa kali menghindariku. Ketika bahaya datang, dia yang mengadang. Termasuk ketika terjadi pertempuran di Orchard Road beberapa tahun kemudian.

Hanya keajaibanlah yang berhasil menyelamatkanku saat itu. Melalui tangan Bene.

***

Kupandang wajah Bene yang sedang tertidur di atas meja. Wajah yang kini lebih pucat daripada dulu. Garis-garis kelelahan tampak di kening, bawah mata, hingga sudut bibir. Meski demikian, Gideon benar mengenai apa yang dimiliki Bene. Ketampanannya kerap dibicarakan bahkan sejak aku masih SD. Kuakui, aku kadang merasa iri padanya. Inilah salah satu hal yang membuatku menjauhinya dulu. Aku minder.

Suara batuk Bene menyadarkan aku dari lamunan. Dia telah terbangun. Jaketku yang tadi kusampirkan di bahunya kini dia genggam. Beberapa kali dia mengerjapkan mata, lalu menaruh jaket itu di atas sandaran kursi.

"Dari kapan kamu ada di sini, Kris?"

"Baru saja, kok..." aku mengambil jaketku lalu mengenakannya, "Kakak sudah makan? Ini sudah malam sekali. Seharusnya kakak sudah di rumah."

Senyum Bene saat itu terlihat aneh, lebih seperti seringaian, "Aku sedang sibuk sekali."

"Jangan terlalu capek. Ingat kesehatanmu."

Bene tidak menjawab. Dia hanya menyeka wajah lalu menghindar dari pandanganku. Terbawa suasana canggung, aku akhirnya memungut beberapa contoh kain tirai yang berserakan di lantai. Aku menumpuknya di tangan, lalu meletakkannya di sudut yang tidak mengganggu.

"Kakak sakit?"

"Sakit. Seperti biasa."

Penekanan kata-katanya mendatangkan rasa bersalah dalam hatiku. Bene memandangku dengan mata abu-abu terangnya.

"Kenapa kamu ke sini?"

Entah apakah ini hanya perasaanku atau bukan, sepertinya ada nada sinis dalam ucapan Bene. Hatiku pedih mendengarnya.

"Aku ke sini karena aku jarang bertemu denganmu. Aku mengkhawatirkanmu, Kak," aku berusaha membuat nada suaraku setegar mungkin. Namun reaksi Bene ternyata tidak seperti yang kuharapkan.

"Bolehkah aku mengharap lebih?"

Sedetik, aku bergeming mendengar pertanyaan Bene. Kilat luka terlihat saat matanya bersitatap dengan mataku. Namun Bene masih tersenyum aneh. Ada sesuatu dalam pandangannya yang membuatku merinding.

"Kamu tentu sudah mendengar dari Gideon. Aku bicara terlalu banyak."

Contoh lis kayu sepanjang 15 cm di tanganku seketika terjatuh, "Memangnya apa yang kakak bicarakan?" kupungut lis itu. Mencoba mengabaikan pusaran perasaan yang manis memabukkan di belakang. Selama bertahun-tahun, belum pernah kurasakan pusaran perasaan Bene yang seintens ini.

Tiba-tiba aku jadi gugup. Perkataan Gideon soal dia tahu tentang rahasia kami menyeruak dalam pikiranku. Tidak mungkin Bene mengatakannya pada Gideon, bukan? Setelah tahun-tahun setelah kematian ayah dan ibu. Setelah semua yang pernah terjadi di antara kami...

"Kadang-kadang, aku berpikir bagaimana seandainya kita bukanlah sepasang kakak adik..."

Tenggorokanku mengering. Pusaran perasaan Bene kini terasa bagai belati yang berusaha merobek pikiranku. Dia menghampiriku. Aku bisa merasakan napas Bene di atas kepalaku.

"Kak Bene, sudah..." kataku dengan napas tercekat, "Aku tidak ingin membahas itu."

"Aku ingin mengutarakannya, Kris. Setelah semua yang telah terjadi. Dan demi apa yang akan terjadi."

Aku memutar badan menghadap Bene. Bingung dengan maksud perkataannya.

"Apa yang kamu tahu tentang kiamat?"

"Mati bersama," jawabku ketus. Sama sekali tak menyukai arah pembicaraan Bene.

"Mati mengenaskan," Bene menegaskan, "Itu cara kematian yang menyedihkan. Penuh rasa sakit. Mungkin kamu akan kehilangan satu persatu anggota tubuhmu akibat ledakan dahsyat. Mungkin kamu akan kelaparan dan kehausan dalam jangka waktu panjang. Karena sungai telah habis. Karena semua pohon telah mati..."

Kudengar suara langkah Bene menjauhiku. Dia memutari meja kerjanya. Tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan tidak sabaran.

"Pasukan iblis sudah dekat dengan gerbang dunia manusia."

Ya, aku tahu itu. Aku tidak menyuarakan pikiranku. Sebaliknya, aku menutup pikiranku lebih rapat dari pikiran Bene. Respon defensifku kini memilih untuk tetap berpikir tenang. Ada yang aneh dengan semua ini. Perkataan Bene tidak sesuai dengan prinsipnya. Bagaimana mungkin dia bisa berubah haluan begitu saja? Apa mungkin Gideon benar? Ini semua gara-gara aku?

Bene kembali mengetuk meja, "Bukankah kamu tahu apa yang terjadi sekarang?" nada suaranya naik satu oktaf, "Semua ketidakpastian ini. Masalah ekonomi, politik, peperangan yang mulai dipicu kelompok ekstremis..."

"Aku masih percaya dengan balatentara surga," aku bersyukur masih dapat berbicara dengan nada yakin. Meski hal itu hanya membuat Bene tertawa.

"Balatentara surga telah kehilangan banyak aliansi sejak perang dunia," katanya, lebih bernada tidak berdaya, "Memangnya kamu berpikir, mendapatkan Syushin di pihak cahaya, lalu surga akan menang mudah? Surga telah lama lemah, Kristin. Bahkan dari awal, mereka sama sekali tak bisa mengendalikan manusia. Manusia selalu berbuat seenaknya. Memerangi sesama, membuat revolusi-revolusi, dan penjelajahan samudera yang membuka lebih banyak kekejian dan penjajahan..."

"Ini pertama kalinya kakak membahas kelemahan manusia denganku," kata-kataku terdengar lebih tajam daripada yang kuharapkan.

"Sepertinya aku baru sadar kalau hal itu tidak dapat diubah," Bene berkata tanpa sedikit pun keraguan.

"Kak," sial. Ini benar-benar seperti rengekan, "Aku tidak percaya kakak akan mengatakan ini. Kakak yang biasanya mempercayai manusia. Kakak yang biasanya yakin akan kemurahan Sang Pencipta..."

"Hahaha! Kamu terlalu naïf, Kristin," kali ini dia seakan mengejekku, "Apa yang dilakukan Sang Pencipta ketika semua kacau balau seperti ini? Apa Dia sendiri mau datang menolongmu? Atau kamu hanya berpegang pada omong kosong belaka?"

Aku melongo. Oke, ini benar-benar tidak beres. Seputus asa apakah Bene hingga bisa mengatakan hal seperti ini?

"Katakan padaku apa yang terjadi saat pertempuran di Malasunya," untuk menegaskan maksudku, aku melipat tangan di depan dada, "Pasti terjadi sesuatu yang buruk, kan? Kalau tidak, kakak nggak mungkin bisa mengatakan kata-kata tadi."

Bene tertawa semakin keras. Herannya, aku tidak merasakan kegetiran dalam tawanya. Aku mengabaikan ejekan yang terasa dalam dirinya. Bene pasti sedang menyembunyikan perasaan sebenarnya, pikirku.

"Apa kakak menanggung kesalahanku lagi?" kupandang Bene dengan tatapan muram. Berharap dia akan menyanggah dugaanku.

Tapi Bene hanya diam. Dia duduk di kursinya. Tatapannya menusuk hingga hatiku terasa sakit.

"Apa surga menyalahkanmu karena aku terjun dalam pertempuran?" aku berkata marah, "Aku bersedia bersaksi untukmu. Aku akan mengatakan kalau saat pertempuran, kakak hanya duduk diam di rumah. Aku akan meminta Kak Feng, Kak Vari, siapapun..."

Air mataku merebak saat mengatakan hal itu. Aku menyusutnya dengan punggung tangan, "Mereka tidak boleh menyalahkanmu atas kesalahan yang tidak kakak perbuat! Aku akan bertanggung jawab. Meski mereka memintaku bunuh diri, aku tidak akan peduli!"

Sialan! Bahkan saat ini pun bayangan Bing Bong dan pengorbanannya mengganggu pikiranku. Aku tak mau Bene berkorban untukku lagi. Aku tak sudi melihat penderitaan yang disebabkan olehku. Sudah cukup!

Aku merasa ditarik oleh Bene. Tangisanku pecah di dadanya. Herannya, di mana perasaan tenang yang biasa kurasakan saat bersama Bene? Saat ini, jantungku bergemuruh begitu kencang. Aku mati-matian menahan diri agar tidak melingkarkan tanganku ke pinggang Bene, lalu mencoba menghirup perpaduan harum daisy, gaharu, dan aroma Bene yang selalu membuatku merasa tenang.

Bisikan Bene sama sekali tidak terdengar olehku saat itu. Aku bahkan tidak tahu salah satu lapisan gelembungku sedang goyah. Bene melepaskanku, lalu dengan sabar menyusut air mataku dengan sapu tangannya.

"Aku rela melakukan apapun untukmu," Bene berkata lembut. Pandangannya kembali menusukku. Dan kali ini, pusaran perasaannya memasuki pikiranku. Jauh lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Seperti anggur yang tak boleh kuminum. Seperti narkoba yang tak mungkin kusentuh.

"Kristina..." dia menyebut namaku dengan tekanan yang tak pernah dia gunakan. Tangannya menyusuri pipiku, bergerak ke rahang dan leherku. Aku memejamkan mata, sempat terlena oleh sentuhan yang tak pernah kudapatkan. Hanyut oleh perasaan yang tiba-tiba kuizinkan ada.

Napas Bene terasa hangat di depan hidungku. Sedikit saja dia bergerak, dia akan menyentuh bibirku dengan ciuman. Jika dia melakukan ini, maka hubungan kami sebelumnya akan berubah. Tapi apakah aku masih harus memedulikan hal itu?

Aku tak sempat mencari jawaban. Pikiranku bergerak sendiri. Sebelum Bene benar-benar berhasil menyentuh bibirku, visi kartu ketiga terlihat begitu saja. Kemudian pikiranku berpindah pada kata-kata yang kutulis saat menerawang tempat Gilang bunuh diri. Dan berakhir pada suara telepon yang kudengar saat Bene datang.

"Sambut dia, Nona Kristina. Sambutlah His Lordship..."

Naluriku menghidu adanya nafsu yang begitu pekat dan jahat. Aku tak sadar kalau saat itu aku akhirnya mendorong Bene dengan sangat keras. Bene berteriak kesakitan saat punggungnya membentur meja.

"Kristina, apa yang kau lakukan padaku?" Dia memandangku dengan pandangan bingung dan marah.

"Kak Bene!" aku bergerak ragu, hendak menolongnya berdiri, tapi aku mulai takut dengan perasaanku sendiri. Aku pasti kehilangan kewarasanku beberapa menit lalu. Bagaimana mungkin aku bisa membiarkan Bene berdiri begitu dekat denganku?

"Kita tidak boleh berdekatan seperti itu!" aku berteriak histeris sambil menggeleng keras. Namun berbeda dengan dugaanku, alih-alih marah, Bene hanya tersenyum. Dengan cepat Bene pulih dari rasa sakit. Dia berdiri, maju menghampiriku. Sementara yang kulakukan adalah mundur selangkah setiap kali dia mendekat.

"Kenapa Kristina?"

Suara itu terdengar menggoda. Penuh undangan dan janji. Aku mengertakkan tangan, mati-matian berusaha menyadarkan diri.

"Sadarlah, Kak... aku ini adikmu!"

Aku tak berani memandang wajah Bene. Aku tak berani membuka diri untuk mencecap perasaan-perasaan memabukkan dari dirinya. Terlebih lagi, tak berani memikirkan apa yang dia ucapkan kemudian.

"Kamu tahu sendiri kalau apa yang kamu ucapkan itu sama sekali tak benar."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro