Bab 19 - Neraka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Meski sempat antipati, aku agak terkesan melihat bangunan di tengah gurun pasir itu. Sebuah kastel kokoh di antara tembok tinggi dan benteng-benteng di sekelilingnya. Bunga-bunga padang pasir tumbuh bersama kaktus-kaktus yang menjulang. Parit dalam dan luas mengelilingi kastel itu. Hingga kami harus menyeberangi jembatan yang diturunkan oleh beberapa prajurit.

Aku tahu, Gilang berusaha keras terlihat manis. Dia menggandengku dengan sikap protektif. Tidak dibiarkannya orang lain lama-lama memandangku. Meski kastel menjadi heboh ketika aku datang. Orang-orang masih wara-wiri membawa kain-kain kotor, sapu, dan alat-alat kebersihan. Beberapa orang yang melintas sempat memberi hormat pada Gilang.

"Maaf, sepertinya memerlukan waktu lebih lama dari yang kupikirkan," Gilang menyugar rambut. Terlihat tak nyaman dengan kesibukan yang kini berangsur-angsur menyurut itu.

Dia memanggil seorang pelayan lalu memerintahkan pelayan itu mengantarku ke sebuah kamar. Lukisan The Marriage of A Virgin membuatku terenyak. Tanganku bergerak menyentuh bagian-bagian di lukisan cat minyak itu. Karya Rafaello Sanzio. Raphael. Mengingat nama itu, mataku panas seketika. Keinginan untuk pulang semakin kuat tertanam di benakku.

Aku mengabaikan gaun hitam halus yang disiapkan. Sebaliknya, aku hanya menyambar jubah beledu dan selendang hitam. Kusampirkan jubah itu menutupi pakaian yang koyak. Sementara selendang hitam itu kulilitkan di leher.

Mengingat agak mustahil bagiku untuk pergi, penjagaan bagiku sangat longgar. Dengan mudah aku melewati lorong-lorong hingga menuju pintu masuk kastel. Di sana, seorang penjaga wanita Afro telah menungguku. Pakaian tempurnya terlihat mengintimidasi. Akan tetapi, dia membungkuk seraya meletakkan kepalan tangan kiri ke bahu kanan.

"Salam, Milady," katanya, "Saya Nolina. Saya diperintahkan oleh Baron Kalahari untuk mengantar anda berkeliling."

Baron Kalahari katanya? Kutebak, itu gelar Gilang di sini. Seorang Baron di neraka. Jabatan macam apa itu? Mengapa dia mau saja diangkat menjadi Baron? Apakah Gilang benar-benar sudah berubah?

"Tolong antarkan aku menemui Kak Gilang—maksudku Sang Baron," aku sengaja menegaskan nada suaraku. Nolina tampaknya cukup kooperatif, dia langsung menyuruh orang menurunkan jembatan. Dua ekor kuda disiapkan di ujung sana. Nolina memberikan satu kuda untuk kutunggangi.

Aku menaikkan tudung jubah. Sementara selendang kugunakan menutupi hidung dan mulut dari udara padang pasir. Pikiranku sibuk memikirkan mengapa aku dibawa kemari dan bagaimana caraku melarikan diri. Panas menyengat dari tempat ini membuatku haus setengah mati. Perjalanan terasa amat panjang. Meski bagi Nolina, hal ini tampaknya biasa saja.

Kuda-kuda kini memasuki wilayah perbukitan. Parasol hitam gemerlap tampak di sebuah puncak. Nolina mengarahkan kudaku ke sana. Tempat di mana Gilang duduk bersantai di antara banyak wanita cantik.

"Kristin, aku sudah menunggumu dari tadi."

"Kak Gilang, aku—"

"Sini, Kristin. Biar kutunjukkan sesuatu padamu," Tangan Gilang menyambar tanganku. Dia menarikku agar berdiri di sebelahnya. Nolina bergabung dengan para wanita cantik dan para pengawal yang mengelilingi kami. Rasanya seperti ada dalam karnaval bertema Baroque.

"Jangan berkata apa-apa, cukup lihat saja," Gilang kini menggerakkan tangan, menggerakkan angin untuk menyapu padang pasir. Tiupan angin membuat sosok-sosok di padang pasir itu menampakkan diri. Banyak sekali—ribuan, jutaan, entah berapa jumlahnya—tubuh-tubuh rusak bak zombie bergelimpangan di tanah. Tidak diragukan lagi, mereka adalah roh-roh manusia yang sedang menjalani hukuman.

Dengan ajaib, padang pasir itu berubah menjadi padang ilalang. Sementara sosok-sosok menyedihkan itu mulai mewujud dengan tubuh utuh. Luka-luka mereka menghilang dengan cepat.

Gilang tersenyum puas melihat sosok-sosok itu pulih. Kerlingnya tampak jail ketika melihatku bengong dengan mulut terbuka.

"Siap, Kristin?"

Pandangan mata Gilang saat itu membuatku ngeri. Aku mengangguk pelan, hanya digerakkan naluri. Mataku melihat was-was pada sosok-sosok zombie yang kini sudah menyerupai manusia itu. Mereka sempat saling pandang dengan tatapan curiga. Tak satu pun dari mereka menampakkan kalau ada dari mereka yang bersahabat.

Gilang kemudian mengambil beberapa gepok uang dari sebuah nampan. Dengan bangga, dia berdiri seolah dia adalah raja. Keriuhan orang-orang di bawah menyambutnya dengan teriakan-teriakan tak sabaran.

"Tenanglah! Semua akan segera dimulai!"

Gilang menggerakkan tangan. Kali ini mengubah ilalang di sekitar orang-orang itu menjadi senjata tajam. Dari sabit hingga golok. Bahkan ada yang berubah menjadi senapan dan pistol.

"Lihatla, Kris. Kekuasaanku atas orang-orang ini. Mengagumkan, kan?"

Hingga kini, aku masih tak mengerti. Namun Gilang tampak sangat menikmati apa yang dia lakukan. Tawanya bergema sementara dia menyebarkan uang-uang... yang dengan segera terbang tertiup angin.

Aku memekik keras sekali. Pemandangan ini sama sekali tidak pernah kubayangkan seumur hidup. Orang-orang di bawah dengan segera menyambar senjata. Membunuhi orang di dekat mereka seraya berusaha meraih uang yang terbang. Darah menciprat di mana-mana. Potongan-potongan tubuh segera kembali bertebaran. Tangan terpisah, kepala terpenggal, kaki melayang...

"Lihatlah, Kristin! Tidakkah ini membuatmu senang?"

Aku masih memejamkan mata saat Gilang mengatakan itu. Letusan senjata, denting logam, suara daging terkoyak rasanya sudah sanggup menjadi trauma horor seumur hidupku.

"Bagian neraka ini diperuntukkan bagi para pendosa yang rela berbuat jahat demi mendapatkan uang," Gilang menjelaskan dengan nada sabar, "Para pencuri, perampok, para penipu, para bajingan yang rela membunuh demi uang..."

Aku ingin menutup telinga dengan tangan. Meredam teriakan penuh amarah dan kesakitan di sekitarku. Namun Gilang menahan tanganku. Dia bahkan meraih wajahku, hanya untuk membuatku melihat pemandangan di bawah lagi.

"Kristin, mereka pantas mendapatkan ini. Lihatlah," dia berkata selembut nada yang digunakan untuk menenangkan bayi, "Kami bahkan tidak melakukan apa-apa. Kami memberi uang, memberi senjata. Merekalah yang menjalankan hukuman sendiri. Mereka yang saling bunuh. Saling siksa."

"Jujur saja, aku sama sekali tidak senang melihat ini," suaraku telah bergetar saat mengatakannya. Gilang langsung tertawa meremehkan. Aku tahu, ini semua hanyalah pembalasan dendam baginya.

"Kristin, manusia itu makhluk lemah yang tak pantas dikasihani," ada nada jijik dalam suara Gilang, "Mereka bodoh. Mudah dihasut. Mudah dihancurkan."

"Sepertimu dulu? Orang yang langsung memikirkan bunuh diri tanpa mau berusaha lebih keras untuk bahagia?"

Keheningan menjawab pertanyaanku. Aku melihat tangan Kak Gilang mengertak marah. Kali ini kesunyian mulai tercipta. Manusia-manusia tadi telah berubah menjadi mayat lagi. Tubuh mereka kembali tertutup oleh pasir gurun. Terserap dan menghilang begitu saja.

"Memangnya kamu sendiri berhasil?" pernyataan ini menohok hatiku, "Apakah kamu sudah berhenti mempertanyakan tujuan hidup? Apakah kamu sudah berhenti mencari esensi kehidupan dari setiap kitab suci?"

Kali ini, aku yang terdiam. Tangan Gilang terulur di depan wajahku. Dia menyingkapkan selendang di depan hidungku.

"Kapan kamu akan percaya, kalau dunia manusia hanya berisi penderitaan dan orang-orang depresi? Orang-orang yang hanya hidup untuk mati? Orang-orang yang tak memiliki hati? Orang-orang yang memuaskan diri mereka sendiri dengan menindas orang lain?"

"Kata-kata itu terdengar menyedihkan saat keluar dari mulutmu," aku menahan diri agar tidak terhanyut. Gilang tak boleh tahu kalau hatiku mulai goyah. Berada di antara tulang-tulang kering ini menyiksa batinku. Meski tujuan semua manusia itu mati, aku tidak mau mati seperti ini.

"Kristin. Kau telah melihat semuanya. Tidakkah ini yang terbaik bagi kita? Kamu dan aku memerintah di sini. Jauh dari dunia manusia yang busuk itu," Kak Gilang memegang daguku. Pandangannya mengunci pandanganku. Lukanya terasa pedih di hatiku. Hingga aku benar-benar merasa tak berdaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro