❬ 8 ❭ Paranoid Tak Berkesudahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lelaki itu benar-benar melakukannya. Di depan sebuah gerbang rumah dengan cat putih dan emas yang mendominasi, ia berdiri. Menatap dengan raut khawatir yang kentara ke dalam sebuah halaman rumah.

Alby tidak masuk. Entahlah. Kakinya terasa membeku di tempat. Namun, tak ayal jika sebenarnya ia juga penasaran mengapa suasana rumah tersebut sangat sunyi—lebih daripada sejak terakhir ia berkunjung.

Rumah Ara hampir seperti tanpa penghuni. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang Alby tangkap sejak beberapa menit terakhir ia berdiri di sana. Bahkan Pak Satpam kemarin yang duduk di dalam pos depan rumah Ara juga tak terlihat. Ruangan itu tertutup rapat dengan bagian dalamnya yang sama sunyi dengan keadaan luar.

Sebenarnya, bisa saja lelaki itu menerobos masuk karena pagar yang tidak dikunci. Namun, apakah hal tersebut baik bagi seorang lelaki yang bahkan enggan disebut teman oleh seorang gadis? Ya, daripada digebukin warga, Alby lebih memilih aman.

Embusan angin sore menerpa tengkuknya. Lelaki yang masih mengenakan seragam itu mengusap karena merasa geli. Beberapa pejalan kaki yang melewati tampak menunjukkan gurat kebingungan karena Alby yang seperti anjing penjaga gerbang. Namun anehnya, tak ada satu pun dari mereka yang bertanya. Mereka hanya lewat dan tetap membiarkan pertanyaan itu di dalam kepala.

Beberapa saat menunggu, yang dinanti kian tiba. Di seberang sana, muncul seorang gadis dengan celana putih panjang dan kaus merah muda dari balik pintu putih besar. Alby menatap lamat, sempat sedikit naik sudut bibirnya, tetapi kembali turun saat netra sayu milik gadis itu beradu dengan matanya.

Ada sebuah sendu yang coba Ara katakan. Kemudian dengan cepat gadis itu memutus kontak mata. Seperti berusaha menyembunyikan luka yang hendak terekspos. Mencoba menutupnya padahal tahu jika orang lain juga untuk berusaha menyembuhkan.

Gadis itu menunduk dalam. Helaian rambutnya yang tak terikat tampak beterbangan. Seperti hendak berusaha meringankan beban yang dipikul oleh sang empu. Namun nyatanya, itu tak cukup dari apa yang sebenarnya telah dilewati Ara.

Terkadang Alby berpikir, mengapa masih ada saja orang yang berusaha menyembunyikan luka padahal ia tahu jika itu akan lebih menyakitkan? Bukankah banyak cara menyembuhkan jika kita bersama orang lain?

Gadis itu tahu jika ia tak sendiri. Namun, mengapa ia seakan tak mau tahu?

Kala Alby sibuk bergelung dengan pikirannya, ia kembali diterpa tatapan sayu yang tampak lelah oleh gadis di ujung sana. Memberikan isyarat untuk pergi. Detik berikutnya, ia diberikan punggung kepergian. Ara tenggelam lagi di balik pintu putih besar. Meninggalkan beribu pertanyaan random di kepala lelaki jangkung itu.

Akan tetapi, setidaknya Alby sedikit lega. Walaupun hanya beberapa menit menatap wajah tak semangat itu, Alby puas sebab tahu jika Ara baik-baik saja-meski rautnya tak menunjukkan begitu.

Setelah menghela napas panjang, lelaki itu memutar tumit. Ada perasaan lega, tetapi khawatir masih tetap mendominasi. Entahlah. Mungkin Alby hanya masih khawatir tentang obat yang dikonsumsi Ara. Sayangnya, lelaki itu tak bisa bertindak banyak. Ara yang seperti antisosial membuatnya merasa sangat asing. Alby hanya bisa terus berharap, semoga gadis itu selalu baik-baik saja.

Meski ia tahu, bahwa sekedar harap takkan cukup untuk membuat seseorang tetap baik-baik saja.

***

Matanya membuka dengan cepat. Seperti mendapat efek kejut dari dalam mimpi. Keringat membasahi sekujur dahi dan pelipisnya. Bahkan anak-anak rambutnya yang bebas juga ikut basah. Dadanya naik turun seperti baru saja berlari ratusan kilometer.

Dari balik tirai putih bersih di kamarnya, terlihat jika matahari hendak muncul ke peraduan. Gadis yang masih bergelung dengan selimutnya itu lantas beringsut turun dari tempat tidur.

Ara bergerak dengan cepat-walau sebenarnya ia sedikit kewalahan-tetapi ia berusaha segesit yang ia bisa. Gadis itu akan ke sekolah pagi-pagi sekali. Menghindari kakak tirinya tentu saja. Tinggal berdua saja di rumah dengan bajingan itu memang membuatnya tidak pernah bisa tenang. Namun, apa yang bisa Ara lakukan? Hanya rumah ini satu-satunya tempat ia tinggal-meski sebenarnya ini adalah tempat paling menyedihkan.

Telah rapi dengan seragam sekolah dan tas berisi buku-buku, tak lupa dengan uang saku lebih, gadis dengan rambut jatuh sepunggung itu membuka pintu kamar perlahan. Berusaha agar membuat suara seminim mungkin. Ezra bisa saja masih terlelap, tetapi tak menutup kemungkinan juga ia bangun lebih awal.

Beruntungnya gadis itu dapat keluar dari rumah tanpa diketahui siapapun. Dengan cepat, Ara bergerak menuju sekolah. Mungkin akan lebih baik-walau ia tahu keramaian takkan pernah membuatnya bisa nyaman.

Baik dekat maupun jauh, efek Ezra seperti tetap saja menaunginya. Gadis itu tak henti-henti menatap ke belakang karena takut jika sewaktu-waktu kakak tirinya itu mengikuti dan menyergapnya. Memang hal yang cukup aneh terjadi mengingat ini adalah sekolah Ara. Namun, paranoidnya terasa tak dapat hilang. Gadis itu berwaspada secara berlebihan hingga terus berkeringat dingin.

"Lo kemaren kenapa gak masuk?"

Pertanyaan mendadak itu membuat efek kejut pada Ara. Gadis itu sampai terlonjak kaget dengan tangan yang berusaha melindungi diri sendiri. Syifa yang menangkap hal tersebut lantas menunjukkan raut bingung karena Ara tak biasanya berekspresi berlebihan.

"Lo gak pa-pa, kan?" Syifa berusaha menyentuh Ara, tetapi dengan cepat gadis itu menepisnya. Kemudian ia berjalan meninggalkan Syifa yang masih dilanda kebingungan.

Lagi, gadis itu terabaikan. Syifa lantas mengejar langkah Ara. Hingga kemudian menyalip dan berhenti tepat di depan gadis itu dengan tangan terentang. "Lo belum jawab pertanyaan gue."

Ara hanya merotasikan bola matanya. Kemudian menurunkan tangan Syifa agar ia bisa lewat lalu masuk ke kelas. "Bukan urusan lo."

"Dih!" gerutu Syifa tak terima lantas kembali mengikuti gadis itu.

Langkahnya terhenti ketika menatap Ara dari samping yang beraut tanpa ekspresi dengan netra mengarah pada papan tulis putih. Gema tawa yang terdengar mengejek membuat Syifa sedikit kebingungan. Namun, ketika matanya menatap apa yang ada di papan tulis, jelaslah semuanya.

Selembar kertas bernilai empatpuluh di pajang di sana. Dalam kertasnya, tertera nama Arabella Caessa. Kemudian di atas kertas tersebut, tertulis 'Cewek gila bisa juga dapet 40, wkwk'.

Syifa kembali menatap Ara. Tampak dari samping jika gadis itu mengeratkan rahangnya. Dengan cepat, Syifa mengambil penghapus papan tulis dan membersihkan omong kosong yang ada di sana. Tak lupa ia mengambil kertasnya lalu melipat dua.

Tawa beberapa orang kian berhenti. Salah satunya mendekati kedua gadis itu dengan sudut bibir yang naik sebelah. "Ngapain lo hapus-hapus? Kebenaran kan emang pait."

Syifa menampilkan raut tak sukanya. Kemarin pembagian nilai ulangan Matematika. Sejujurnya ia sudah mencari ke mana kertas milik Ara. Namun, entah mengapa ia tak menemukannya. Jika tidak, mungkin hal ini tidak akan terjadi.

"Lo punya masalah hidup apa, sih? Kurang perhatian makanya nyari perhatian dengan cara gini, hah?" tandas Syifa dengan nada tinggi. Menaikkan dagu seakan menantang gadis di depannya, Erin.

Beberapa orang yang tertawa lagi langsung bertindak seakan tak melakukan apa pun-hanya menatap dari kejauhan sebuah pertengkaran yang akan terjadu. Sedang Ara yang masih berdiri di sana hanya merotasikan bola mata. Kemudian berjalan di depan Syifa dan Erin hendak menuju bangkunya.

"Hohoho, yang punya masalah hidup di sini tuh, ya, cewek gila ini." Erin menunjuk Ara yang memunggunginya dengan dagu sembari berkacak pinggang. "Ya, kan, Ra?"

Langkah Ara yang tadinya sempat berhenti kembali berlanjut. Namun kemudian berhenti lagi karena Erin yang tak berhenti mengoceh. Namun kali ini, ocehannya telah lewat batas.

"Gue jadi pengen tau kenapa lo sering bolos kelas dan tidur di jam pelajaran."

Ara berbalik, menatap seakan memberi tantangan pada Erin yang tersenyum kemenangan. Benar, Ara hanya menunggu apa yang selanjutnya akan dikatakan Erin.

"Atau jangan-jangan lo sering keluar malem buat jalan sama om-om makanya tidurnya jadi pas kelas." Sebelah alis Erin naik. "Huh, dibayar berapa ya kira-kira si Ara ini?" Matanya lantas melirik gadis di depannya dari atas hingga bawah dengan pandangan meremehkan.

"Kurang kasih sayang ortu makanya harus nyari duit jadi PSK?" Kalimatnya berakhir tawa, tetapi tak ada satu pun orang di kelas yang tertawa. Semua menatapnya aneh.

"Terus, lo dibayar berapa buat ngomong ginian?" Melihat tak ada respons yang diberikan Erin, membuat Ara menaikkan sudut bibir kirinya. "Lo pikir gue peduli sama apa yang lo bilang? Duh, sayangnya enggak."

Ara memutar tumitnya, hendak kembali pada tujuan awalnya. Namun, kalimat dari Erin membuatnya kembali terpaku.

"Kayaknya lo nggak pantes lagi sekolah. Mending lo bunuh diri aja sana."

"Aaahh!"

Teriakan histeris memekakkan telinga dari beberapa siswi membuat kelas beberapa saat hening. Erin terpaku kehilangan kata saat menatap kursi besi yang hampir melayang ke kepalanya. Benda itu ada di tangan seorang gadis dengan kilatan amarah yang hampir memuncak. Syifa yang melihat Ara memegang kursi hendak melempar Erin tersebut hanya bisa meneguk saliva dengan susah payah.

Sedikit sulit dipercaya. Kalimat itu memberikan efek magis terhadap emosi Ara yang memang suasana hatinya sedang tidak stabil. Ekspektasi mereka tidak sampai, tetapi terjadi di depan mata beberapa orang saat ini.

"Ada apa ini?" Suara wanita muda mengintrupsi. Semua mata tertuju pada sosok yang berdiri anggun dengan setelan dinas juga beberapa tumpuk buku dipelukannya.

Ara menurunkan kursi yang ia ambil dari meja terdekatnya. Dada gadis itu sudah naik turun berusaha menahan gejolak emosi yang hampir meluap.

"Maaf, saya tidak bisa mengikuti pelajaran Ibu hari ini. Permisi."

Kepergian Ara membuat kebingungan besar di sana. Guru muda itu menatap dengan kenyitan dalam yang kentara. Namun, pertanyaan juga tak muncul di bibirnya. Wanita itu lebih memilih mengabaikan lalu duduk di bangku kebesarannya. Mungkin siswinya itu memang butuh ruang sendiri.

Juga Syifa yang merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ara tidak baik-baik saja. Semua hal yang baru saja terjadi, hampir di luar ekspektasi semua orang. Semua orang memang butuh waktu sendiri, tetapi apakah itu baik untuk Ara?

***

Tidurnya terusik ketika ia merasa bahwa hidungnya terasa sedikit gatal. Gadis berseragam putih abu-abu itu bangkit lalu berusaha merapikan seragam dan rambutnya yang sedikit berantakan.

Sangat senyap-seperti yang Ara cari. Akan tetapi, ini terlalu senyap mengingat sekolahan adalah tempat yang tidak hanya berisi dua tiga orang. Meskipun perpustakaan jarang dikunjungi, setidaknya suara dari liar selalu menggema masuk.

Kala matanya menangkap benda penghitung waktu yang tergantung di dinding, ia menghela napas. Masih tengah hari, bukankah seharusnya ini adalah jam istirahat? Namun, tidak ada suara seorang pun yang Ara dengar. Sangat sepi.

Ara pasti tertidur lama sekali sejak terakhir ia adu mulut dengan Erin lalu berlari ke perpustakaan untuk membaca. Setelahnya ia tertidur pulas.

Sepertinya ia sangat banyak tidur akhir-akhir ini.

Biarlah. Hanya itu yang bisa membuat Ara tenang untuk sejenak. Walaupun ketika bangun nanti, semua beban yang ada di bumi seakan naik ke punggungnya.

Ara berjalan keluar dari sana. Beruntunglah perpus tidak ditutup walaupun sang penjaga tidak ada di mejanya. Ia bersyukur karena tak ada yang mencarinya. Itu bagus, sebab Ara tak perlu menghindar dari siapa pun.

Namun, baru saja ia beberapa langkah keluar dari perpustakaan, rasa waspadanya datang kembali. Ara memastikan jika tak ada orang di sekitarnya dengan melihat kiri-kanan-belakang. Benar, tak ada apa pun. Akan tetapi, ia merasa bahwa seseorang mengintainya dan berniat jahat. Seperti Ezra.

Jantungnya memompa darah lebih cepat. Seiring dengan hal itu, dadanya ikut naik turun-mencoba mengambil oksigen lebih banyak. Dengan cepat, kakinya kemudian melangkah meninggalkan tempat tersebut. Terus bergerak hingga hampir terseok karena terus menatap ke belakang-takut-takut jika memang ada yang mengikutinya.

Saat matanya menangkap tangga, gadis itu buru-buru menanjaki. Naik ke lantai dua. Berharap ketakutannya akan hilang ditelan ketinggian. Kaki-kaki berbalut rok dan sepatu hitam itu berlarian menuju kelas kosong yang tak ada lagi penghuninya-karena ditinggal pulang. Kemudian saat menemukan ruangan yang dirasa aman, gadis itu memasukinya dan bersembunyi di sudut. Memeluk lutut dengan gigi bergemelatuk dan tubuh panas dingin. Matanya harap-harap cemas menatap pintu kelas yang terbuka lebar dengan keringat yang bercucuran dari dahi.

Lantas sayup-sayup terdengar suara lembut menyentuh gendang telinganya. Ara terpaku untuk sesaat. Namun kemudian berusaha mencari asal suara dengan mempertajam pendengaran.

"Jangan takut, aku di sini bersamamu."

***

Berlanjut ....

Cus tungguin terus, yak.
Sampai jumpa Senin depan! ^3^

Salam gulali dari Tim D'Camellias; vanilla-shawty.

—[22/02/21]—

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro