13. Sudah Bersih

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Apa yang akan kau lakukan padanya, Luciano?” Anne mengulang pertanyaan dengan cicitan yang semakin jelas. Semakin gelap seringai Luciano, hanya membuat tubuh Anne semakin bergetar hebat.

Tangan Luciano terangkat ke wajah Anne, menyentuhkan punggung tangannya di sepanjang garis rahang wanita itu dengan senyum yang semakin mengembang dengan gelap. Menyentuh di sepanjang garis yang perna Anne buat dengan pecahan kaca. Bekasnya masih ada, tersamar di kulit wanita itu. Dan akan kembali seperti semula berkat perawatan khusus dokternya. “Kau begitu cantik, Anne.”

Itu sama sekali bukan pujian. Semakin Luciano memuji, itu akan berakhir menjadi sebuah derita.

“Aku tak akan menyalahkan siapa pun yang tertarik dan menginginkanmu. Kau begitu mudah diinginkan. Hanya saja … mereka perlu diberitahu bahwa apa yang mereka inginkan. Sudah menjadi milikku.” Punggung tangan Luciano turun ke bawah. Bergeser ke belakang dan dalam sekali sentakan, pria itu membawa leher Anne ke wajanya.

“Ini akan mengingatkan padanya, milik siapa wanita yang diinginkannya,” bisik Luciano dengan bibir yang masih menempel di lehernya. Gigi pria itu menggigit kulitnya dan menghisapnya. Meninggalkan jejak merah di sana.

Luciano mengangkat wajahnya, menatap dengan puas hasil karyanya. Di tempat yang tak akan dilewatkan begitu saja. Kemudian telapak tangannya mencengkeram rahang Anne dan membawa wajah wanita itu ke hadapannya. Mengunci kedua mata Anne dan berbisik tepat di depan bibir wanita itu, “Aku tak peduli siapa yang ada di hati dan pikiranmu, Anne. Tetapi sebaiknya kau tahu posisimu jangan bertaruh dengan keberuntunganmu. Aku tak suka milikku disentuh siapa pun. Apa kau mengerti?”

Anne meringis, menahan rasa sakit yang mencengkeram rahangnya tetapi menolak untuk mengaduh. Semakin ia terlihat sakit, Luciano akan semakin senang. Dan ia tak akan memberikan kesenangan tersebut.

Luciano tersenyum tipis, menyadari Anne yang masih keras kepala berusaha tangguh akan semua kesakitan yang ia berikan. Kalau begitu, ia hanya perlu melihat. Sampai mana batas yang dimiliki wanita itu. Cengkeramannya perlahan melonggar. Setelah memastikan ia menata pakaian wanita itu dengan rapi dan membuka satu kancing teratas demi membuat kissmarknya terlihat dengan jelas, Luciano menyuruh Anne untuk turun.

Anne melangkah dengan ragu. Berbagai kemungkinan buruk membayang di kepalanya akan apa yang dilakukan Luciano pada Eshan nanti.

“Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran. Kalian tak memiliki hubungan apa pun yang perlu membuatku khawatir, kan?”

Anne tak yakin dengan jawaban dari pertanyaan Luciano ketika ingatannya kembali memutar perbincangannya dan Eshan di restoran tadi.

Eshan meraih tangan Anne dan menggenggamnya. ‘Kau memiliki aku, Anne.’

Anne terdiam, genggaman tangan Eshan adalah segala hal yang diinginkannya selain ingin terbebas dari pernikahannya dan Luciano.

Eshan membawa tangan Anne ke bibirnya dan mendaratkan kecupan di punggung tangan wanita itu. Kedua mata mereka saling bertemu dan menyiratkan cinta yang begitu dalam antara satu dengan yang lainnya. ‘Kita akan melalui semua ini dan kita pasti bisa, kita harus percaya dengan apa yang kita miliki.’

Anne tak mengatakan apa pun, tetapi kedua matanya sudah meyiratkan jawaban yang diingikan oleh pria itu.

‘Kau masih mencintaiku?’

Napas Anne tertahan sejenak. Memutar kembali semua kisahnya dan Eshan yang harus terhenti oleh perjodohannya dan Luciano. Ketika ia menolak cinta dari pria yang dicintainya, yang membawanya ke dalam kubangan derita karena pernikahannya. Sekali ini saja, Anne akan mengerahkan seluruh keberaniannya. Dan memberikan satu anggukan sebagai jawaban untuk Eshan.

Senyum mengembang di wajah Eshan.

Anne masih bisa mengingat dengan jelas senyum pria itu dan tak akan sanggup jika senyum itu tak akan pernah ia lihat lagi. Untuk pertama kalinya, keduanya saling mencicipi kebahagiaan akan perasaan cinta yang mereka miliki. Kenapa kebahagiaannya harus sesingkat ini.

Anne menuruni anak tangga, tetapi ia masih bisa merasakan tatapan tajam Luciano yang menusuk punggungnya. Berjalan terus menyeberangi ruang tamu yang luas dan berhenti di teras.

Kedua telapak tangan Anne yang saling meremas di depan perut tak berhenti bergetar. Gigitan pada bibir bagian dalamnya semakin merapat dan jantungnya tak berhenti berdegup dengan kencang. Dan semakin tak tertahankan ketika melihat pintu gerbang yang terbuka dan mobil Eshan muncul. Melaju semakin dekat ke halaman rumah.

Ketakutan Anne tak bisa wanita itu sembunyikan ketika Eshan menghentikan mobil tepat di depannya. Kemudian pria itu turun dengan sebuah senyum yang melengkung indah.

Keringat membasahi pelipis Anne seiring dengan ketakutan yang mencengkeram dadanya. Membuatnya kesulitan bernapas.

“Hai, apa kau baik-baik saja?” Senyum Eshan seketika berubah menjadi kerut keheranan menangkap kepucatan di wajah Anne.

Anne masih menunggu, menunggu setiap detik yang menghabisi napasnya.

Eshan berhenti tepat di depan Anne, mengulurkan tangan dan menyentuh pundak wanita itu.

Anne langsung berjengit menjauh, membiarkan tangan Eshan melayang di udara.

Eshan membeku, tetapi kemudian ia tersadar kalau mereka berada di rumah suami Anne. Ya, suami. Kemudian tatapan Eshan menangkap tanda merah yang ada di leher Anne, yang seolah digunakan sebagai tanda bahwa wanita ini bukan miliknya. Eshan meringis dalam hati.

“Kau harus pergi, Eshan,” lirih Anne nyaris tak menggerakkan bibirnya sambil merebut dompetnya yang ada di tangan Eshan.

Eshan bergeming, menatap ketakutan yang merebak dan memucatkan seluruh permukaan tubuh Anne. Merasa ada yang tak beres dengan wanita itu dan ia tak bisa mengabaikan hal tersebut. “Kau tak terlihat baik-baik saja, Anne,” ucapnya dengan tatapan menelisik yang lebih dalam.

“Kita akan bicara. Tidak di sini dan sekarang.” Permohonan tersirat di kedua mata Anne. “Kumohon, Eshan. Pergilah.”

Eshan masih bergeming selama beberapa saat, lalu memberikan satu anggukan singkat dan ia sudah memutar tumitnya ketika tiba-tiba …

“Kenapa harus terburu?” Suara Luciano muncul dari arah belakang Anne. Menegangkan seluruh tubuh Anne yang sudah bergetar.

Anne benar-benar berhenti bernapas, merasakan langkah Luciano yang semakin mendekat di belakang punggungnya. Kemudian lengan pria itu melingkari pinggangnya dan kepalanya terteleng ke arahnya saat bertanya, “Kenapa kau tidak mempersilahkan kamu kita, Anne?”

Eshan bisa merasakan ancaman yang menundukkan Anne hingga wanita itu tak berkutik seperti ini. Ya, mungkin Luciano Enzio memiliki tubuh Anne. Tetapu hati wanita itu sepenuhnya menjadi miliknya. Rasanya terlalu pengecut jika ia tidak memperjuangkan Anne. Eshan kembali memutar tumitnya menghadap Luciano dan Anne. Menangkap gelengan samar wanita itu dan mengabaikannya.

“Perkenalkan, namaku …”

“Eshan, bukan?” Luciano menyambar kalimat Eshan. Mengulurkan tangannya dengan senyum yang begitu apik.  “Teman Anne. Aku Luciano, suami Anne.”

Seringai Eshan tersamar dengan kata ‘suami’ yang ditekan dalam-dalam oleh pria itu. “Ya. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kalian. Kau tak mungkin lupa.”

Luciano mengembangkan senyumannya. “Silahkan masuk. Untuk secangkir kopi sebagai ucapan terima kasih telah mengantar dan membawakan dompet istriku.”

Sekali lagi Eshan mengabaikan gelengan samar yang berusaha Anne berikan untuknya. Melangkah masuk ketika Luciano mempersilahkan dirinya ke dalam rumah. Pandangan Eshan berkeliling ke seluruh ruangan besar dan luas yang ada di hadapannya. Lampu besar berada di tengah-tengah ruangan dengan perabot mewah bergaya klasik dan modern.

“Silahkan duduk,” Luciano mempersilahkan Eshan duduk di sofa panjang sedangkan ia duduk di sofa tunggal. Melepaskan Anne untuk duduk di sofa yang berseberangan dengan Eshan.

Salah satu tangannya terangkat menyuruh pelayan membawakan minuman untuk mereka bertiga.

“Jadi, apa kesibukanmu?” Luciano memulai pembicaraan, menyeringai akan ketegangan yang masih menguasai tubuh Anne.

“Aku seorang dokter anestesi. Bekerja di salah satu rumah sakit besar di kota ini.”

“Ens Medical Center?”

Eshan tak tahu bagaimana pria itu tahu, tetapi kemudian ia mengangguk.

“Ah, kebetulan sekali. Rumah sakit itu milikku.”

Eshan seketika membeku. Berpura terkejut dan tertawa kecil. “Ya, sebuah kebetulan yang mengejutkan.”

“Senang Anne memiliki teman yang baik dan berjiwa social sepertimu. Siapa naa ayahmu, mungkin kami saling mengenal.”

“Harry Sebastian.”

Kening Luciano berkerut tipis, mencoba mengingat dan …”Ah. Mr. Sebastian. Bukankah dia salah satu petinggi terpandang di rumah sakit?”

Eshan mengangguk.

“Jadi kau putranya?”

Eshan menatap Anne dan mengangguk sekali.

“Mr. Sebastian pernah bercerita tentang putranya, aku tak tahu ternyata kau adalah teman Anne.”

Pelayan datang dan membawakan ketiganya cangkir teh yang masih mengepulkan asap. Luciano dan Eshan berbincang penuh basa basi busuk. Sedangkan Anne, satu-satunya yang tak bersuara. Sibuk dengan detak jantungnya yang naik turun tai terkendali.

Luciano tak melakukan apa pun, pria itu sibut bertanya tentang Eshan. Dan Anne tak bisa berhenti berpikir kalau Luciano akan menggunakan semua informasi itu untuk menyakiti Eshan.

Perbincangan akhirnya berakhir setelah Eshan menghabiskan cangkir teh, kemudian ia dan Luciano mengantar Eshan ke teras. Lengan Luciano masih menempel di pinggangnya ketika mobil Eshan menghilang di balik pintu gerbang tinggi. Anne sedikit bernapas, setidaknya Eshan keluar dari rumah ini dengan nyawa pria itu.

“Tubuhmu benar-benar tegang, Anne?” Luciano memutar tubuh Anne hingga menghapapnya dan membuat kedua tubuh mereka saling menempel. Dan karena tinggi badan mereka yang cukup berbanding jauh, Luciano sengaja menaikkan rengkuhannya di pinggang Anne hingga membuat wanita itu berjinjit. Dengan wajahn terdongak menatap wajah Luciano yang menunduk. “Kau berpikir aku akan melakukan sesuatu yang licik seperti yang kulakukan pada Ibra?”

Anne tak menjawab. Merasakan napas Luciano yang berhembus menerpa wajahnya. Mencoba membaca raut Luciano dan berakhir dalma kegagalan. Kegelapan di wajah Luciano terlalu pekat, membuatnya kesulitan dan nyaris tak mungkin menelisik ekspresi di wajah pria itu.

“Selama seminggu ini kau bersikap baikku dan aku bukannya orang yang tidak tahu terima kasih. Jadi aku harus membalas kebaikanmu dengan bersikap baik pada temanmu, kan?”

Anne tetap membeku. Mencerna kalimat Luciano dan ia tak memercayainya. Tetapi memikirkan kalau Eshan baik-baik saja setelah Luciano membiarkan pria itu pulang, rasanya itu adalah kejujuran pertama yang diberikan Luciano kepadanya. Anne menelan ludahnya dan berkata dengan suara tercekik. “Terima kasih, Anne.”

Luciano terdiam. Ia sudah mendengar, tetapi ia nyaris tak percaya dengan yang didengarnya. “Kau bilang apa?”

Anne mengerjap, menatap kedua mata Luciano sekali lagi dan berbisik lirih. “Terima kasih, Luciano.”

Salah satu alis Luciano terangkat. “Hanya terima kasih?”

Anne seharusnya tahu apa yang diingikan oleh pria mesum seperti Luciano. “A-apa yang kau inginkan?”

Seringai Luciano naik lebih tinggi dan memperdalam tatapannya pada Anne. “Bukankah hari ini kau sudah bersih dari pendarahan?”

Seketika tubuh Anne membeku. Teringat akan pendarahannya yang sudah berhenti sejak pagi. Bertanya-tanya bagaimana Luciano mengetahui hal sedalam itu tentangnya. Mengabaikan pertanyaan itu, sekarang ia khawatir pada dirinya sendiri. Bahwa tak akan bisa menolak keinginan Luciano lagi. Yang tak hanya akan mencumbunya.

“Sepertinya kita harus kembali ke kamar,” bisik Luciano di telinga Anne, memungkasinya dengan jilatan di ujung daun telinga wanita itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro