6. Permainan Yang Tak Main-Main

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Calon istri cadangan? Anne mengulang dalam hati. Sekali lagi menatap penampilan Reene, yang bisa dibilang sangat sempurna. Seperti Luciano. Rasanya mereka memang lebih cocok bersama.

"Sebelumnya, kuharap kau memahami posisimu. Seseorang seperti Luciano, yang memegang kerajaan bisnis sangat besar di negeri inu. Tentu saja memerlukan pewaris. Yang bisa dipercaya. Yang berasal dari keluarga terdekat. Kami tak mungkin membiarkan pewaris berasal dari orang asing sepertimu."

"Kau hanyalah salah satu obsesinya. Dan seorang Luciano selalu mendapatkan apa pun yang diinginkan. Tapi aku adalah sebuah kebutuhan. Kita memiliki peran masing-masing di hidup Luciano. Jadi..."

Anehnya, Anne sama sekali tak merasa tersinggung. Jika ada Reene, bukankah itu artinya ia memiliki kesempatan akan dibuang oleh Luciano. Dan ia bisa terbebas. Senyum tersamar di ujung bibirnya setelah cukup menelaah penjelasan Reene yang sangat menguntungkan dirinya.

"Kuharap kita bisa berhubungan baik," lanjut Reene.

"Sejujurnya, aku berharap kau bisa memiliki Luciano untuk dirimu sendiri," senyum Anne. Memberikan Reene senyum seapik mungkin. Dalam hati merasa begitu bahagia akan kesempatannya untupernikahannya. Dan Anne menyadari, hidup Luciano yang ternyata lebih besar dari yang ia bayangkan. Luciano hanya bermain-main dengannya. Pun dengan pernikahan ini, yang entah apa tujuan pria itu yang sesungguhnya. Anne hanya butuh bersabar dan menunggu. "Tapi ya. Kuharap kita bisa berhubungan baik."

Senyum keangkuhan di wajah Reene sempat membeku akan respon yang diberikan oleh Anne. Alih-alih cemburu atau kecewa, wanita itu malah dengan tangan terbuka menyambut kabar yang sudah ia rancang seapik mungkin demi penempatan waktu yang tepat. Mengejutkan Anne, dengan cara yang sebaliknya. Tapi lihatlah sekarang, sebuah binar malah terlihat menyelimuti kedua mata wanita itu.

"Kau meremehkanku?" Mata Reene memicing tajam, menatap penuh curiga ke arah Anne.

Anne tersenyum, dengan kerendahan hati yang dibuat-buat. "Seperti yang kau bilang, aku hanya mainan untuk Luciano. Sekedar teman bersenang-senang. Peranmu lebih besar, begitu pun tanggung jawabmu. Bagaimana mungkin aku berani meremehkanmu."

Raut wajah Reene membeku, mencoba mencari kebohongan di wajah Anne yang tak bisa ditemukannya. Reene menaikkan dagunya, mengamati penampilan Anne sekali lagi. "Kau ingin keluar?"

"Menemui teman." Anne mengangguk sekali. Kemudian berpamit dan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya di depan mobil yang tadi ditumpangi Reene.

Sedangkan Reene, wanita itu hanya tertegun menatap kepergian Anne. Dengan seringai tipisnya, ia mendengus tipis. Huh, semudah itu. Seperti merebut permen dari anak kecil.

***

Anne menatap Reene yang masih berdiri di tempat menatap kepergiannya dari kaca spion. Jadi wanita itu yang akan menjadi istri kedua Luciano? Sekarang ia punya alasan untuk membuat kedua orang tuanya mengetahui bagaimana menyedihkannya pernikahannya. Butuh pukulan keras, tetapi ia berjanji kekecewaan yang diterima kedua orang tuanya hanya sebentar dan sekecil mungkin.

Anne menghela napas panjang, terhenyak di punggung jok hingga sampai di tempat tujuan.

***

Anne langsung menemukan pria tampan dengan penampilan rapi yang mengenakan kemeja flannel dan celana jeans yang sedang duduk di meja samping jendela. Teman dekat yang bekerja sebagai salah satu asisten kepercayaan papanya. Ibra William. Keduanya berteman sejak masih kecil. Dan keluarga mereka berdua sangat dekat hingga nyaris seperti sebuah keluarga.

Pria itu bangkit berdiri menyambut kedatangan Anne, memeluk singkat dan menarik kursi untuk Anne sebelum kembali duduk di seberang meja.

"Kau menunggu lama?" tanya Anne. Meletakkan tasnya di meja.

"Dua menit yang lalu," jawab Ibra dengan senyum manisnya. "Kudengar kau akan pergi ke Italia, bersama suamimu."

"Aku tak ingin membahasnya."

Ibra berkerut kening, menangkap rasa kesal yang selalu muncul setiap ia menyinggung tentag Luciano atau pernikahan wanita itu. "Kenapa? Luciano sudah menjadi suamimu, bukan?"

"Kau tahu bagaimana perasaanku tentang dia dan pernikahan ini." Anne memanyunkan bibirnya. "Aku lapar."

Ibra melirik jam tangannya. "Sebentar lagi. Oke?"

Anne mendesah singkat dan berat. Wajahnya tampak tertekuk. Wanita itu menatap wajah Ibra, tepat di kedua mata sang sahabat. Keseriusan memekati kedua matanya. "Ada sesuatu yang ingin kuberitahu padamu."

Raut Ibra membeku, mengangguk dengan perlahan. "Ya?"

Anne menarik napasnya dalam-dalam. Mengulurkan kedua tangannya untuk menggenggam kedua tangan Ibra. Menatap lebih lekat kedua mata Ibra. "Dan aku membutuhkan bantuanmu."

Seklai lagi Ibra mengangguk dengan perlahan. "Ya, tentu saja. Kau tahu aku akan melakukan apa pun untuk membantumu, kan?"

"Aku hamil."

Kedua mata Ibra tampak melotot terkejut, napasya tertahan sebelum kemudian menelan ludah sambil menatap berkeliling di area sekitar meja. Lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Anne. Masih tak memercayai apa yang didengarnya. "K-kau apa?"

"Aku melakukan inseminasi buatan demi menggagalkan pernikahanku dan Luciano. Tetapi Luciano sepuluh langkah lebih maju dari yang kupikirkan. Dia mengetahui semua rencanaku sejak dua bulan yang lalu. Dan dialah yang mendonorkan spermanya kepadaku."

Ibra tampak masih membeku, dengan mulut yang melongo. Butuh beberapa saat lebih lama baginya untuk menelaan semua penjelasan yang diungkapkan oleh Anne. Oke, ia tahu Anne sedikit membenci Luciano dan menentang keras tentang rencana pernikahan yang diatur oleh kedua orang tua wanita itu. Dan sebagai anak tunggal serta kesayangan yang baik, Anne tak bisa menolak keinginan kedua orang tua wanita itu. Hanya pernikahan inilah satu-satunya hal yang diinginkan kedua orang tua Anne dari wanita itu. Sehingga Anne sendiri tak mampu menolaknya. Dan .., Ibra pikir, mungkin Anne akan terbiasa seiring dengan berjalannya waktu. Ditambah Luciano adalah pria yang baik dan sangat sopan. Tahu benar cara memperlakukan Anne seperti ratu. Yang entah bagaimana Anne bersikeras bahwa semua sikap Luciano hanyalah topeng.

Ibra tak pernah menyangka Anne akan melakukan tindakan segila itu untuk melakukan inseminasi buatan demi menggagalkan pernikahan. "Jadi suamimu sendiri adalah pendonor sperma dalam inseminasi buatanmu? Lalu ... apa masalahnya?"

Anna menggeram rendah. "Apa kau tidak memahami situasiku. Aku terjebak dalam pernikahan ini."

"Sejak awal kau terjebak dengan pernikahan ini, Anne. Apa yang perlu ...

"Aku ingin melarikan diri."

Sekali lagi mulut Ibra melongo. "Apa?"

"Hanya kau satu-satunya yang bisa menolongku."

Mulut Ibra melongo semakin lebar, dengan kedua mata yang nyaris melompat. "A-aku?"

Anne mengangguk.

"Kau ingin papamu memenggal kepalaku?"

"Papaku sangat memercayaimu. Dia tak akan mencurigaimu."

"Dan kau membuatku merasa bersalah karena mengkhianatinya."

"Jika papaku tahu situasiku yang sebenarnya, dia pasti mendukungku."

Kening Ibra berkerut.

"Kalian tidak memercayaiku. Kalian tak pernah memercayai apa pun yang kukatakan tentang Luciano."

"Ya, aku tahu kau membencinya. Tapi kau tidak bisa menuduhnya seperti itu, Anne."

Anne benar-benar ingin mengerang lebih keras. "Satu-satunya kelemahanku hanyalah tidak memiliki bukti. Luciano menutupi ..." Anne berhenti. Sekeras atau sepanjang apa pun usahanya untuk menjelaskan. Ia tahu Ibra tak akan memercayaiku. "Kau tak mungkin percaya jika aku mengatakan Luciano seorang pembunuh, bukan?"

Ibra membeku, kemudian tertawa rendah. "Jangan bercanda untuk hal seserius itu, Anne."

Anne menipiskan bibirnya dengan kesal. "Jadi kau ingin membantuku atau tidak?"

Ibra menghela napas rendah dan panjang. "Bantuan apa yang kau inginkan?"

Anne tampak berpikir sejenak. "Aku tak bisa menjadi istri Luciano, apalagi mengandung anaknya. Aku tak bisa menahannya lebih banyak lagi. Hanya kaulah satu-satunya harapanku."

Ibra hanya terdiam, merasakan Anne yang semakin dalam menggenggam kedua tangannya. Mendengarkan dengan seksama.

"Kekuasaan Luciano terlalu besar dan aku tak bisa menandinginya."

"Sepertinya kau cukup sadar diri, bukan?"

"Tapi aku tak akan menyerah."

Ibra mendesah rendah akan kekeras kepalaan Anne. "Lalu?"

"Aku ingin dia muak denganku dan membuangku."

"Dengan cara?"

"Aku ingin benar-benar berselingkuh."

Kedua mata Ibra benar-benar nyaris melompat keluar. "Kau sudah gila?"

"Ya. Aku sudah kehilangan kewarasanku. Hanya ini satu-satunya cara yang tersisa selain menunggu kesempatanku datang."

"Dan dengan siapa kau akan berselingkuh? Jangan bilang kau akan menerima cinta Eshan. Kau sudah menikah, Anne. Kau seorang istri. Aku tahu kau masih mencintai Eshan, tapi ..."

"Bukan dia." Anne menggeleng, dengan kesungguhan yang lebih pekat dari sebelumnya.

Ibra menutup mulutnya. "Lalu?" tanyanya dengan suara lirih dan kernyitan yang mulai tersamar di kening.

"Kau."

Untuk beberapa detik yang rasanya begitu lama, keduanya hanya membeku dala ketegangan. Ibra mengedipkan matanya, mencoba memastikan bahwa pendengarannya baik-baik saja. Dan ia masih dalam kelinglungannya ketika tiba-tiba Anne bangkit berdiri dan membungkuk ke arahnya. Mendaratkan ciuman di bibir.

Ibra tersentak, dan Anne mempertahankan posisi tersebut selama beberapa detik. Memastikan salah satu pengawal Luciano melihatnya sebelum kemudian Anne menarik tubuhnya dan kembali duduk.

"Papaku sangat memercayaimu. Dia akan ..."

Ibra masih tenggelam dalam keterkejutannya. Mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum tersadar dari kegilaan Anne. "Kau sudah gila, Anne."

"Aku tahu," jawab Anne dalam helaan napasnya. Melepaskan genggaman tangannya pada Ibra dan menoleh ke arah jendela. Tempat pengawal Luciano yang menunggu di dalam mobil. Ia yakin pengawal itu sedang sibuk melaporkan hal ini pada Luciano.

Pelayan datang dan membawa menu pesanan Ibra. Anne menoleh dan melihat Ibra yang tampak bengong. "Kenapa wajahmu memerah?"

Ibra tersadar, mengusap bibirnya dan menggeleng. "A-aku ..." Suaranya berubah serak, ia pun berdehem dan melanjutkan kalimatnya. "Aku masih terkejut."

"Ck, itu hanya ciuman. Apa kau tak pernah berciuman?"

Ibra mendengus dan membalas. Sambil berusaha mengembalikan degup jantungnya yang tak beraturan. "Katakan itu pada dirimu sendiri, Anne."

"Aku lapar." Anne mengalihkan pembicaraan sambil mendekatkan piring spaghetti ke depannya dan mulai melahapnya. Ibra pun ikut melahap makanannya sendiri. Selanjutnya, perbincangan keduanya menjadi lebih ringan. Dan Anne sengaja mengabaikab getaran dari dalam tasnya.

Setelah satu jam lebih keduanya menghabiskan waktu di restoran tersebut. Dan keduanya terpaksa harus mengakhiri pertemuan tersebut karena hari sudah menjelang malam. Mereka pun berjalan bersama keluar dari restoran. Anne sengaja menunggu Ibra naik mobil lebih dulu sebelum dirinya.

"Aku akan menghubungimu secepatnya." Anne melambaikan tangannya ke arah Ibra yang menjulurkan kepala keluar dari jendela. Sambil melajukan mobil keluar dari area restoran menuju kepadatan lalu lintas.

"Nyonya, sejak tadi tuan mencoba menghubungi Anda," ucap pengawal Luciano, menyela pandangan Anne yang masih terpaku pada bagian belakang mobil Ibra.

Anne menatap ponsel yang diulurkan oleh pengawal itu dan mengambilnya dengan gerakan yang kasar, kemudian berjalan menuju mobil yang pintunya sudah dibuka untuknya.

Dan Anne baru saja masuk ke dalam mobilnya ketika suara tabrakan yang keras dan memekakkan telinga menyentakkannya. Seluruh tubuh Anne membeku, kepucatan menerjang wajahnya dan saat ia menoleh ke arah jalanan. Jantungnya serasa dibetot dari dadanya melihat bagian depan mobil yang ditumpangi Ibra sudah hancur.

Kedua kaki Anne yang melemah mencoba melangkah mendekat. Seluruh napasnya serasa ditarik dari dalam dadanya. Air mata Anne membeku, saking syoknya dengan pemandangan mengerikan yang ada di hadapannya.

Anne tak bisa membayangkan bagaimana keadaan Ibra yang duduk di balik kemudi. Bagian depan mobil itu sudah hancur dan tak berbentuk. Anne membekap mulutnya dengan kedua tangan, demi membungkam jerit tangisnya. Dan saat itulah ia menyadari ponsel yang masih berada dalam genggamannya.

Kepala Anne tertunduk, melihat panggilan yang masih tersambung. Ia tak berani memikirkan hubungan Luciano dengan kecelakaan yang menimpa Ibra saat ini. Tetapi ... Luciano memang tak pernah tidak mengejutkannya. Dengan gerakan perlahan dan tangan yang gemetar hebat, Anne menempelkan ponsel tersebut ke telinga. Dan seolah tahu ia sudah siap mendengarkan. Kalimat yang didengarnya membuat isak tangisnya semakin dalam dan menyesakkan dada.

"Kau mencoba bermain-main denganku, Anne?" Suara Luciano yang diselimuti kegeraman terdengar dari seberang. Yang semakin melumpuhkan kedua kaki Anne.

Apa yang telah dilakukannya pada sahabatnya? Tangisan Anne mengalir deras, memenuhi seluruh wajahnya dan tubuhnya jatuh ke jalanan beraspal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro