15. Cinta dan Kecewa(?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Darel tahu ada yang salah dengan dirinya sejak memikirkan Rosella di kantor selama seharian. Si cerewet dan pemarah itu menjelma dalam wujud kesepian, hingga Darel cukup terganggu. Tidak ada perdebatan, tetapi malah membuat Darel merasa waktu tidak berjalan dengan seharusnya.

Pada detik ini dia pun masih tak percaya akan mendatangi Rosella yang terbaring lemah di rumah sakit. Perempuan berambut pendek itu belum sadarkan diri efek dari obat yang dia terima. Menurut penuturan asisten rumah tangga, Rosella memang tidak makan beberapa hari terakhir. Tubuhnya kekurangan cairan dan lemah. Lalu segera dilarikan ke rumah sakit ketika Rosella tidak sadarkan diri lebih dari satu jam.

"Ke mana Rosella yang biasanya suka menantangku?" desis Darel seraya mengamati wajah sang istri.

Satu tahun bersama, Darel sama sekali tidak pernah berniat menelusuri setiap inci dari wajah atau tubuh istrinya. Baginya, Rosella sama sekali tidak menarik setelah kejadian di apartemen. Terhitung dalam kurun waktu satu tahun pula, sekarang adalah kali pertama Darel memberi tatapan tidak biasa. Rosella yang lemah dan tak berdaya, ternyata menusuk hati Darel. Kebenciannya lenyap untuk sementara bersama suara tetes cairan infus dalam kesunyian ruang itu.

Seorang Rosella sampai kelaparan dan berujung masuk ke rumah sakit. Darel tidak mengerti mengapa istrinya mendadak jadi konyol seperti itu. Entah sengaja ingin membuat Darel terkesima lalu memberi perhatian, atau perempuan itu memang benar-benar tengah mengalami fase buruk.

"Darel ...."

Seketika wajah laki-laki itu terangkat, berhenti menunduk dengan pikiran yang kusut. Rosella sudah sadar dan tengah menatapnya. Hening sempat mengisi suasana setelah panggilan Rosella, tetapi Darel akhirnya menawarkan istrinya untuk minum.

"Kamu datang," kata Rosella diiringi senyum tipis.

"Ya. Asisten rumah tangga kita menghubungiku, tapi aku belum memberi tahu keluarga kita."

"Tidak perlu beri tahu mereka, Darel."

Laki-laki itu mengangguk setuju. Pasalnya, dia tak suka melibatkan keluarga untuk hal yang bisa diatasi sendiri. Lagi pula, Darel sedang enggan bersandiwara untuk menunjukkan cinta pada Rosella. Para keluarga juga akan menanyakan bagaimana anak atau menantu mereka bisa masuk rumah sakit. Baru membayangkan kehebohan itu saja sudah membuat Darel pusing.

"Aku akan memanggil dokter."

"Aku sangat lapar, bisakah kamu membelikan makanan untukku? Aku tidak mau makanan di rumah sakit."

"Oke." Darel setuju tanpa protes.

"Tunggu," cegah Rosella, otomatis Darel tetap di kursinya, "bisakah kamu cepat kembali? Sebenarnya aku tidak ingin sendirian, Darel."

Darel tidak menjawab, dia hanya buru-buru pergi. Langkahnya cepat menyusuri koridor rumah sakit dan segera kembali, meski sebenarnya dia ragu dengan segala tindakannya. Seharusnya Darel memaki Rosella karena sudah bertindak bodoh, nyatanya laki-laki itu malah iba. Sungguh suatu perasaan yang tidak dia harapkan.

"Dokternya sudah pergi dan mengatakan aku baik-baik saja. Perlu tinggal sampai dua malam di sini untuk memulihkan kondisiku."

"Itu bagus," komentar Darel. Lalu membuka kotak makan untuk Rosella.

"Bisakah kamu menyuapiku?"

Lirikan laki-laki itu tajam. Tanpa kata-kata berarti, Darel langsung menyuapi Rosella setelah mengatur posisi ranjang. Sesekali mereka saling lirik tanpa suara, hingga makanan Rosella tandas. Mungkin Darel akan mencatat malam ini sebagai sejarah baru, bahwa dia menyuapi istrinya tanpa paksaan.

"Kamu sudah bosan hidup, sampai-sampai tidak makan?"

Setelah selesai dengan kotak makanan, Darel langsung melontarkan pertanyaan pedas. Duduknya tegak, menanti sang istri memberi jawaban.

"Aku hanya lelah berdebat denganmu, lalu berpikir apa yang bisa aku lakukan untuk kita."

"Dan kamu berpikir tentang kematian? Caramu salah, Rose. Harusnya kamu langsung menusuk jantungmu dengan pisau khusus jika kamu ingin mati."

Antara marah dan miris, Darel berdecak mendapati Rosella yang tersenyum tipis. Perempuan itu tampak berbeda tanpa riasan yang bertabur di wajahnya. Tubuh seksinya yang kini tertutup oleh pakaian pasien juga tampak asing bagi Darel, tetapi sekaligus ... menarik, mungkin. Darel pun tak tahu pasti bagaimana dia menilai Rosella saat ini.

"Aku lelah, Darel. Aku memikirkan dua kemungkinan; berdamai atau berpisah denganmu. Tapi, kemungkinan yang kedua pasti membuatku frustrasi."

"Pilihan pertama bagus."

"Kamu mau kita berdamai? Menjadi pasangan normal?"

"Cukup kamu tidak merengek untuk dicintai dan mengusik kehidupan pribadiku, kita sudah berdamai."

Senyum yang Rosella ulas terlihat sangat terpaksa, sedangkan Darel bertahan pada mode dingin dan berusaha tenang. Pasangan itu memang tampak tidak normal jika sedang berdua. Seperti saat ini mereka memilih saling diam.

"Tidak adakah kesempatan untuk kita, Darel?"

Mendengar Rosella mengiba dan memohon dengan segala cara bukanlah kali pertama untuk Darel. Laki-laki itu sudah paham bagaimana istrinya bermain trik dengan kalimat-kalimat manis. Namun pada kesempatan ini, Darel tidak yakin bahwa Rosella berpura-pura. Sorot mata itu menggambarkan kesedihan dan perih yang dalam, seakan-akan jiwa di dalam sana juga kelelahan.

Perempuan yang telah dikenalnya selama satu tahun jelas berbeda. Darel tahu secara baik bahwa Rosella tidak akan tahan pada nada merendah terus-menerus. Emosi perempuan itu tidak stabil dan tak akan segan menunjukkan pada Darel.

"Apa kamu salah makan? Kamu yang sekarang terlihat seperti bukan kamu, Rose."

"Bagus kalau aku bisa terlihat berbeda di matamu. Mungkin dengan itu kamu bisa mulai mencintaiku."

Menghela napas panjang, Darel lalu bangkit dari kursi. Kedua tangannya masuk ke saku celana dan memberikan Rosella tatapan lekat. Perempuan itu juga balas menatap tanpa keraguan bersamaan dengan sedikit senyum di wajah pucatnya, terlihat menyedihkan. Dan sekali lagi telah menciptakan kesan baru di mata Darel.

"Ada banyak laki-laki dan cinta di luar sana untukmu. Aku tidak akan mengekangmu. Kamu punya kebebasan secara penuh atas hubungan dengan laki-laki lain sejak di hari pertama kita menikah. Karena aku tidak akan peduli pada hal-hal semacam itu."

Rasa kemanusiaan, Darel meyakini hal tersebut sebagai alasannya menemani Rosella di rumah sakit. Untuk itu pula, tanpa keraguan Darel memberi penjelasan tentang Rosella yang memiliki banyak kebebasan. Akan tetapi, kata-kata perempuan di ranjang rumah sakit itu mampu membuat Darel berpikir ulang.

"Tapi aku ragu jika kamu tidak memiliki perasaan sedikit pun padaku, Darel. Kalau malam itu kamu bisa menyiksaku sampai pagi, lalu kenapa malam ini kamu mendatangiku?"

🍁🍁🍁

Demamnya semakin tinggi, dia juga meracau beberapa kali memanggil nama sang ibu dan Darel. Hanya dua nama itu yang melekat di ingatan Deandra, dua insan yang berarti baginya. Terlalu berarti, bahkan dalam ketidaksadaran Deandra masih mampu menyebutkan dengan baik.
Obat penurun demam sudah diminum, tetapi belum membuat perubahan berarti. Agustin cemas, ingin membawa Deandra ke rumah sakit agar cepat ditangani. Dalam sisa-sisa kesadaran dan masih ada tenaga untuk bicara normal, Deandra menolak. Yang dia inginkan hanya Darel, lengkap dengan pelukan hangat.

Sudah berkali-kali menghubungi sang tuan, tetapi Agustin belum mendapat kelegaan. Pesan beruntun pun sudah Agustin kirimkan. Dia heran, tak biasa tuannya seperti itu. Mungkin Darel sangat sibuk dan Agustin tetap merasa tidak enak hati. Deandra yang tengah berbaring lemah terlihat sangat butuh perhatian Darel.

"Tuan ...."

Kalau saja Darel tidak memiliki istri, maka secepat yang Agustin bisa pasti sudah mendatangi kediaman Darel. Status yang hanya sebagai pekerja harus Agustin pahami dengan baik. Dia tahu banyak aturan yang tak bisa dilanggar meski ingin.

"Lekas sembuh, Nona," bisiknya sembari mengompres Deandra."

Pukul 11 malam, gadis itu terbangun dan mendapati keningnya basah oleh sebuah kain. Perlahan-lahan dia mencoba duduk dan sesekali mengeluarkan gumaman tidak jelas karena masih pusing.

Diamatinya sekitar ruang, lalu pandangan Deandra jatuh pada Agustin yang tertidur dengan posisi duduk di lantai, sedangkan dua tangan perempuan itu menjadi alas wajah di sisi ranjang.

Rasa tidak enak seketika menjalari hati Deandra mengingat pasti Agustin sangat repot selama seharian ini. Mengurusi orang sakit dan lemah memang melelahkan.

"Agustin, bangunlah."

Jemari kecil Deandra mengetuk-ngetuk pelan tangan Agustin, mencoba membangunkan dengan cara halus dan tidak mengagetkan.

"Agustin, Deandra butuh sesuatu."

Satu kalimat itu ternyata mampu menggerakkan mata Agustin untuk terbuka. Wajah Deandra yang masih pucat menjadi pemandangan pertamanya. Dengan sigap Agustin berdiri dan bertanya apa yang Deandra butuhkan. Begitu cekatan, padahal baru saja dia terbangun dari lelap.

"Tuan tidak datang?"

"Ah, itu ... itu ...."

Lidah Agustin bingung mengeluarkan kata, tetapi Deandra langsung paham bahwa Darel memang tidak datang. Memaksakan senyum sejenak, Deandra lalu mengucapkan terima kasih dan menyuruh Agustin kembali saja ke kamar. Demam Deandra sudah turun, Agustin jadi tenang meninggalkannya.

Harta memang melenakan dan membahagiakan, tetapi Deandra kini sadar tak semua hal bisa diselesaikan hanya dengan uang. Gadis itu mendesah panjang, lalu turun dari ranjang dan menyibak gorden dinding kaca kamar. Pandangannya kosong, meski terarah pada gedung-gedung pencakar langit.

Kehampaan tak bisa dicegah oleh Deandra, hatinya kini ingin merintih. Harapan dapat memeluk Darel sepanjang malam ternyata hanyalah angan. Kerinduan pada mendiang sang ibu juga kian meremas jantung. Dulu, saat demam, mendiang ibunya akan selalu berjaga, tidak membiarkan Deandra sendiri.

Pada malam yang sekelam hatinya, Deandra ingin menyerukan rindu yang dia tahu tidak akan bertepi. Pada langit yang tetap saja gelap, meski bertabur bintang, Deandra ingin memberi tahu bahwa jiwanya kesepian. Dalam kesendirian yang tidak bisa dia perkirakan di mana ujungnya, Deandra ingin menangis keras.

Tidak ada tempat untuknya mengadu tanpa beban seperti saat bercerita dengan mendiang sang ibu. Deandra lemah, rapuh, dan sendirian. Itulah hal yang tak bisa disangkal oleh Deandra, meski dia ingin mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Benda pipih yang teronggok di nakas berdering. Tanpa melihatnya pun Deandra tahu siapa yang menghubungi. Namun, gadis itu enggan menerima panggilan. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa tidak perlu mendengar suara laki-laki itu.

Kembali ke ranjang tanpa menutup gorden dan tetap memandang secara kosong menjadi pilihan selanjutnya untuk gadis itu. Peningnya berangsur hilang, jauh lebih baik daripada ketika terbangun tadi.

Tiga puluh menit berlalu sunyi. Denting waktu yang terus terdengar menjadi teman Deandra dalam sepi. Gadis itu sudah akan terlelap bersama hati yang terasa buruk saat seseorang membuka pintu kamarnya. Deandra menoleh ke pintu karena mengira yang datang adalah Agustin. Ternyata yang berdiri di sana adalah laki-laki menjulang tinggi. Seketika gadis itu kembali mencari posisi nyaman di ranjang dan menutup mata.

"Aku pikir kamu sedang tidur, sampai tidak menjawab panggilanku. Apakah demammu sudah turun, Deandra?"

Gadis itu diam. Suara kaki yang semakin mendekat tetap tak membuatnya berpengaruh. Bahkan ketika Darel merebahkan diri di belakang Deandra yang tidur miring, tetap juga tidak ada jawaban.

"Hei, kenapa tidak bicara?"

Tangan besar Darel menyentuh dahi Deandra. Sebuah senyum lalu tersungging mengetahui gadisnya sudah baik-baik saja.

"Apa gadisku marah?"

Ingin sekali Deandra menjawab, tetapi dia memilih bertahan dan enggan membuka mata. Sebuah tangan kemudian melingkar di pinggangnya, disusul wajah yang tenggelam di antara helai rambutnya. Deandra meremang.

"Katakan sesuatu, Deandra. Kamu marah? Maafkan tuanmu, Deandra. Bisakah gadisku memberi maaf?"

Deandra bergerak gelisah, berusaha melepaskan diri dari Darel. Bukannya berhasil, lingkaran tangan laki-laki itu malah semakin kuat.

"Aku bersalah sudah mengabaikanmu. Kamu demam dan aku tidak datang saat kamu butuhkan. Maafkan, ya?"

"Lalu kenapa sekarang datang? Sekarang Deandra tidak butuh Tuan."

Hati Deandra meringis, menyadari telah melakukan kebodohan barusan. Bagaimana kalau Darel marah dan mengusirnya?

"Aku tahu aku sudah membuatmu kecewa. Tolong maafkan aku. Sebagai gantinya, akhir pekan aku akan mengajakmu jalan-jalan. Bagaimana?"

Belum ada kata yang Deandra keluarkan. Dia sedang terpaku pada sesuatu. Kecewa, kata Darel. Bahkan gadis itu tidak menyadari apakah dia kecewa dan kenapa harus kecewa.

Jika Darel tidak datang dan Deandra merasa kecewa, entah bagaimana nanti jika pada akhirnya Darel hanya memperlakukan gadis itu selayaknya teman biasa. Karena baik Darel dan Deandra tidak tahu bagaimana masa depan mengajak mereka terlibat dalam skenario Tuhan.

"Apakah Nyonya Rosella merantai Tuan agar tidak meninggalkan kamar?" Pertanyaan itu serupa sindiran yang tepat mengenai dada Darel.

"Gadisku sudah pintar marah rupanya."

Kepala belakang Deandra terkecup, membuatnya semakin meremang. Apalagi tangan Darel yang kini sibuk mengusap-usap perut Deandra dan kian merapatkan jarak. Nyaris tak bisa bernapas akibat menahan luapan rasa di dada, Deandra masih mencoba bersikap tenang.

"Tuan jahat sekali," bisik gadis itu sembari mencengkeram seprai dengan kuat.

Cengkeramannya kemudian terlepas ketika Darel menyentuh jemari Deandra dan membuat telapak tangannya terbuka. Gadis bergaun tidur merah muda itu tidak menyangka bahwa Darel mengetahui gerak-geriknya.

"Aku tahu kalau aku jahat. Lalu apa lagi?" Kali ini jemari Darel menyelip di antara jemari Deandra.

"Tuan menyebalkan."

"Aku tahu. Lalu apa lagi?" Sekarang Darel mengeratkan tautan tangannya dengan Deandra.

"Tuan tidak punya hati."

"Bukannya kamu yang membawa hatiku?"

Mendadak senyum Deandra merekah, terlebih ketika Darel menarik tangannya ke belakang dan mengecup pelan. Dada Deandra semakin penuh dan suara riangnya hampir tak bisa dia kendalikan.

"Maafkan tuanmu yang jahat, menyebalkan, dan tidak punya hati ini, ya?"

Ah, Tuan manis sekali.

Dan wajah Deandra kian panas ketika tubuhnya dibalik oleh Darel, hingga dua pasang mata itu bertatapan. Detik itu juga Deandra menyadari, bahwa hatinya memilih Darel dan akan selalu memilih Darel sebagai sang pemilik.

To be continued

Wahai kalian silent reader, sesekali muncul napa? Udah part 15 nihhh. Ayolahh, masa dari part 1 jumlah komennya segitu-segitu doang. Pengen dong sesekali lapakku ramai.😆

Eh, tapi makasih buat yang selalu komen.🌹❤️

Darel gemesin ya di part ini? Wkwk

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro